Pandangan Para Ulama Mazhab
                                                                                istri-istrinya berada di daerah yang sama, atau di dua daerah yang berbeda dalam satu teritorial.
33
c. Mazhab Syafi’i
Mazhab  Syafi’i  berpendapat  bahwa  lebih  baik  suami membagi waktu antara istrinya satu malam penuh dan dibolehkan
membagi  dua  malam  atau  tiga  malam  tanpa  kerelaan  mereka, tetapi mazhab Syafi’i tidak membolehkan  lebih dari tiga malam,
tanpa kerelaan mereka,
34
hal ini disebabkan oleh: 1
Berkemungkinan  suami  meninggal  dalam  waktu  sepanjang itu,  sementara  ia  belum  memenuhi  kewajiban  tinggal  pada
salah satu istrinya  yang berhak atas  itu, maka pada saat  itu ia  telah  melalaikan  kewajibanya,  karena  tidak  adil  dalam
pembagian. 2
Waktu  yang  panjang  dapat  menyebabkan  istri  yang  lain merasa kesunyian dan kegelisahan karena kesendirianya.
d     Mazhab Hanbali Tidak boleh suami berdiam di salah satu istrinya  lebih dari
satu malam tanpa izin dari istri-strinya yang lain.
33
Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 25
34
Ibid., h. 25 22
Imam  Nawawi  mengomentari  tentang  bulan  madu ditetapkan  sebagai  hak  perempuan,  dan  harus  didahulukan  dari
yang lain apabila perempuan itu masih perawan, maka dia berhak selama  tujuh  hari  tujuh  malam  tanpa  mengganti,  kalau  ia  janda
maka  ia  berhak  memilih  boleh  tujuh  malam,  maka  suami  harus berdiam  di  tempat  istri  yang  lain  selama  tujuh  malam  juga, atau
tiga malam ini tanpa harus menggantinya pada hari yang lain.
35
C. Fatwa-Fatwa Terkini Tentang Perkawinan Mis-yar
1. Mufti Mesir : Dr. Nashir Farid Washil
Ia  berkata,  perkawinan  Mis-yar  terjadi  karena  realita,  dan keterjepitan kondisi pada sebagian kelompok masyarakat, seperti Arab
Saudi  yang  meluarkan  fatwa  membolehkan  perkawinan  ini. Perkawinan  ini  beda  dengan  perkawinan  Mut’ah  dan  perkawinan
Temporal  lainnya,  perkawinan  Mis-yar  adalah  perkawinan  yang mencukupi  rukun  akad  yang  disyariatkan,  seperti  :  ijab,  qabul,  saksi,
dan wali. Perkawinan ini adalah sah, hanya saja dalam perkawinan ini, laki-laki  mensyaratkan  kepada  perempuan  untuk  menyatakan  bahwa
35
Ibid., h. 26
23
dia  tidak  akan  menuntut  hak-haknya  yang  berhubungan  dengan tangungan laki-laki sebagai suaminya.
36
Jika  istri  dalam  kondisi  membutuhkan  terhadap  hak-haknya,  ia boleh  menuntut  karena  itu  adalah  hak-hak  yang  selayaknya  ada  dan
berubungan  erat  dengan  perkawinan,  meskipun  sebenarnya  dia  kaya atau  orang  tuanya  memberikan  nafkah  kepadanya,  tapi  apabila  istri
sedang membutuhkannya, boleh menuntut nafkah.
37
Sama  dengan  warisan,  istri  berhak  menerima  warisan  dari suaminya.  Meskipun  dia  sudah  tanazul  mengalah  dalam  masalah
nafkah,  tidak  semestinya  dia  juga  mengalah  dalam  masalah  warisan, kecuali  apabila  suaminya  udah  meninggal  sedangkan  ia  telah
mendapatkan  jatah  warisan  dan  menerima  haknya,  karena  warisan adalah  hak  umum  yang  tidak  dibolehkan  tanazul padanya  kecuali  apa
bila  haknya  sudah  diberikan.  Sebagaimana  dalam  Al-Qur’an  surat  an- Nisa ayat 33.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 ءﺎﺴﻨﻟا
4 :
33
36
Ibid., h. 33
37
Ibid., h. 34
24
Artinya:  “Bagi  tiap-tiap  harta  peninggalan  dari  harta  yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan
pewaris-pewarisnya  dan  jika  ada  orang-orang  yang kamu  Telah  bersumpah  setia  dengan  mereka,  Maka
berilah  kepada  mereka  bahagiannya.  Sesungguhnya Allah  menyaksikan  segala  sesuatu”.  QS.  4  an-Nisa:
33. 2.
Prof. Dr. Muhammad Rawi Anggota  Badan  Peneliti  Islam  Majma’  al-  Buhuts  al-Islamiah
dan  sebagai  Dekan  Fakultas  al-Qur’an  al-Karim  di  Universitas  al- Imam Muhammad Ibn Sa’ud, dia berpendapat bahwa suatu perkawinan
mempunyai  hukum-hukum  dan  ketentuan-keteuannya,  permasalahan peredaman  dan  keterlambatan  kawin  sering  muncul,  bagaimana  kita
mengindari  pengaruh  buruknya.  Bahwa  tidak  ada  cara  untuk memelihara  kemanusiaan,  khususnya  perempuan  dari  kerusakan,
kecuali  dengan  mengisi  kekosongan  dengan  pekerjaan,  mengarahkan kemauan  dengan  iffah  menjaga  diri  dari  maksiat  dan  membiasakan
diri  dengan  sabar.
38
Sebagaimana  Allah  berfirman  dalam  Al-Qur’an surat an-Nuur ayat 33 yang berbunyi:
 
 
 
 
 
 …
رﻮﻨﻟا 24
: 33
Artinya:  “Dan  orang-orang  yang  tidak  mampu  kawin  hendaklah menjaga
kesucian dirinya,
sehingga Allah
38
Ibid., h. 39
25
memampukan  mereka  dengan  karunia-Nya”.  QS.  24 an-Nuur: 33.
Kecenderungan seksual
adalah kecenderungan
yang memyebabkan  timbulnya  Mis-yar  atau  bahkan  kawin  ‘Urfi  di  bawah
tangan,  untuk  kecenderungan  ini,  maka  Allah  SWT  telah mensyariatkan  perkawinan  dengan  hukum-hukum  dan  ketentuan-
ketentuannya.  Tapi  kita  harus  memudahkan  bukan  merumitkan,  pada saat  kita  memudahkan  pintu-pintu  yang  halal  maka  pintu-pintu  yang
haram  akan  terbuka.    Tidak  ada  penyelesaian  dari  krisis  ini  kecuali kembali pada apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3. Menurut Dr. Fauziah Abdussattar.
Dosen  Hukum  Pidana  di  Universitas  Cairo,  berkata,  dia mempunyai beberapa analisa tentang perkawinan Mis-yar ini dan akan
saya simpulkan ke dalam beberapa poin yaitu:
39
a. Dalam  perkawinan  Mis-yar,  suami  kehilangan  harga  dirinya
karena  tidak  memenuhi  semua  kewajiban,  maka  dia  hanya menjadi tanggungan bagi istri.
b. Menurut  saya  keterlambatan  kawin  karena  uzur  lebih  baik
daripada  perkawinan  perjalanan  seperti  ini,  karena  tidak terealisasikan  tujuan-tujaun  perkawinan,  dan  hanya  akan
membuka pintu-pintu untuk menyimpang.
39
Ibid., h. 42
26
c. Sesungguhnya  perkawinan  Mis-yar  tidak  bisa  menerapkan
persyaratan  “adil”  antara  para  istri,  karena  suami  berdiam  pada salah  seorang  istri  beberapa  hari  sementara  di  tempat  lain  satu
tahun.
                