Pengertian Nikah Mis-yar NIKAH MIS-YAR DALAM HUKUM ISLAM

ridha meridhai dan bertujuan bahwa si istri tidak mempunyai hak pembagian giliran bermalam. 25 Fiqih kontempoler syariah Wahbah Zuhaily menyebut nikah ini dengan ungkapan, 26 pernikahan dengan perempuan kedua dibarangi atau dengan sikap mengalah wanita tersebut untuk tidak mendapat haknya dalam hal pembagian waktu dan nafkah. Wahbah Zuhaily melihat Mis-yar pada kelaziman yang terjadi dikalangan masyarakat Arab, yakni biasanya perkawinan ini dijadikan oleh laki-laki telah memiliki istri, tetapi karena syarat atau kondisi tertentu istri kedua tidak mendapat beberapa haknya sebagaimana dijamin dalam Islam. Definisi ini dibangun atas kejadian yang berkembang pada kalangan pria yang berasal dari negara petro-dollar. Biasanya mereka melakukan pernikahan dengan wanita di negara berkembang, sementara mereka juga memiliki istri ditempat asal mereka. Ulama kontemporer lain yang cukup perhatian dengan polemik Mis- yar adalah Yusuf Qardlawi, 27 ia mendefinisikan Mis-yar dengan pernikahan dimana suami mendatangi kediaman istri dan istri tidak berpindah hidup bersama di rumah suami. 25 Ibid., 26 Wahbah Zuhaily, Tajdid al-Fiqh al-Islam, Damaskus: Dar al-Fikr, 2000, h. 170 27 Yusuf Qardlawi, Zawaju Mis-yar Haqiqatuhu Wa Hukmuhu, h. 9. 18 Definisi ini nampaknya terilhami dari kejadian yang melanda seorang perempuan yang hidup tidak jauh dari lingkungan tinggal Qardlwi. 28 Ketika ia membahas polemik Mis-yar. Ia menganalogikan dengan kejadian tentang orang wanita yang tinggal mati oleh suaminya, dari suami pertama ini sang wanita memiliki dua anak dan harta yang cukup untuk diri dan dua anaknya. Sehubungan dengan usianya yang masi muda, ia kemudian melangsungkan perkawinan dengan pria yang tinggal berbeda kota dengannya, pria tersebut tidak hidup satu atap bersama mereka, tetapi hanya berkunjung sesekali, ia juga tidak memberikan nafkah materi dikarenakan wanita tersebut memiliki harta yang cukup bahkan lebih. Dari sinilah kemudian ia mendefinisikan Mis-yar sebagai sebuah perkawinan yang dijalani oleh pasangan dimana suami tidak hidup bersama dengan istri yang tentu kondisi seperti ini menjadi istri kehilangan hak-hak perkawinannya. Dalam pandangan Islam di samping pernikahan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti: menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. 29 28 Ibid., h. 9. 29 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan Jakarta: Prenada Media, 2007, Cet- 2 h. 41 19

B. Pandangan Para Ulama Mazhab

Pernikahan Mis-yar dibina berasaskan tolak ansur antara suami istri mengenai tempat tinggal, nafkah pembagian giliran bermalam antara istri- istri dan sebagainya. 1. Perumahan Tempat Tinggal a. Pendapat Ulama Mazhab Hanafi. Menyediakan rumah adalah tanggung jawab suami, karena nafkah dalam segala bentuknya adalah tanggungan suami, mahar bukanlah sebagai ganti dari fasilitas tersebut, karena mahar adalah milik penuh istri, tidak ada satu dalil pun yang mewajibkan istri menyediakan segala fasilitas tersebut. 30 b. Pendapat Ulama Mazhab Maliki Istri harus ikut membantu suami dalam penyediaan rumah, bantuan istri tersebut dalam batas mahar yang diambilnya, atau dalam batas-batas tradisi yang ada daerah tersebut. Bahwa agama memberikan hak tempat tinggal kepada istri, baik dalam bentuk kerja sama dengan suami atau pun tidak. 31 30 Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 22 31 Ibid., h. 22 20 2. Pembagian yang adil Kondisi berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya, biasanya menyulitkan suami untuk memenuhi tuntutan keadilan dalam membagi waktu antara istri-istrinya. Apabila suami beristri lebih dari satu, tidak boleh ai berdiam disalah satu istrinya kurang dari satu malam, hal ini tidak ada perselisihan. Apa bila ia berdiam lebih dari satu malam di rumah salah satu istri ia berdiam lebih dari satu malam di rumah salah satu istrinya, ada beberapa pendapat: a. Mazhab Hanafi. Suami harus menentukan masa berdiam di salah satu istrinya, karena masa berdiam pada rumah istri-istrinya, tidak ditentukan oleh syariat, tapi dikembalikan oleh kebijaksanaan suami, akan tetapi syariat tidak memberikan suami begitu saja, syariat memberikan batasan jangan sampai lebih dari empat bulan, karena empat bulan adalah batas waktu habisnya ilaa’. 32 b. Mazhab Maliki Mazhab Maliki membolehkan lebih dari sehari semalam, dan boleh juga waktu itu dikurangi, kalau tidak ada kerelaan baik itu dalam penambahan maupun pengurangan, maka wajib bagi suami membaginya dengan adil. Hal ini bisa dilakukan apabila 32 Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal Dalam Islam Jakarta: Darul Haq, 2006, Cet. 1, h. 556. 21 istri-istrinya berada di daerah yang sama, atau di dua daerah yang berbeda dalam satu teritorial. 33 c. Mazhab Syafi’i Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa lebih baik suami membagi waktu antara istrinya satu malam penuh dan dibolehkan membagi dua malam atau tiga malam tanpa kerelaan mereka, tetapi mazhab Syafi’i tidak membolehkan lebih dari tiga malam, tanpa kerelaan mereka, 34 hal ini disebabkan oleh: 1 Berkemungkinan suami meninggal dalam waktu sepanjang itu, sementara ia belum memenuhi kewajiban tinggal pada salah satu istrinya yang berhak atas itu, maka pada saat itu ia telah melalaikan kewajibanya, karena tidak adil dalam pembagian. 2 Waktu yang panjang dapat menyebabkan istri yang lain merasa kesunyian dan kegelisahan karena kesendirianya. d Mazhab Hanbali Tidak boleh suami berdiam di salah satu istrinya lebih dari satu malam tanpa izin dari istri-strinya yang lain. 33 Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 25 34 Ibid., h. 25 22