Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                Karena  Islam  melarang  hubungan  seksual  di  luar  pernikahan,  maka perkawinan  melindungi  individu-individu  terhadap  imoralitas  dengan
memberikan  jalan  keluar untuk menyalurkan  nafsu-nafsu alami mereka dan menjamin  keamanan  fisik  maupun  emosional  kedua  pasangan  suami  istri
yang bersangkutan.
5
Dan  perkawinan  merupakan  suatu  ketentuan  dari  ketentuan-ketentuan Allah  yang  menjadikan dan menciptakan alam  ini. Dalam perkawinan  yang
bersifat  umum,  menyalurkan,  berlaku  tanpa  kecuali  baik  bagi  manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
6
Ketentuan-ketentuan ini telah dituangkan di dalam firman Allah pada surat Al-Imran ayat: 14 yang berbunyi:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 اﺮﻤﻋ لا
ن 3
: 14
Artinya:   “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta
yang  banyak  dari  jenis  emas,  perak,  kuda  pilihan,  binatang- binatang  ternak, dan  sawah  ladang.  Itulah  kesenangan hidup
didunian  dan  diisi  Allah-lah  tempat  kembali  yang  baik surga”. QS. 3 Al-Imran: 14.
Perkawinan  itu adalah salah satu cara  yang telah  ditetapkan oleh Allah untuk
memperoleh anak
dan memperbanyak
keturunan, serta
melangsungkan kehidupan manusia. Allah SWT tidak mengendaki manusia
5
Jones, Monogami dan Poligami Dalam Islam, h. 24
6
Djaelani, Keluarga Sakinah, h. 4
3
untuk  berbeda  dan  bertentangan  dengan  hukum  yang  berlaku  di  alam semesta  ini,  jika  manusia  menolak  tabiatnya  berarti  mereka  bertentangan
dengan fitrah kejadiannya.
7
Dengan  perkawinan,  masyarakat  dapat  diselamatkan  dari  kerusakan akhlak  dan  mengamankan  individu  dari  kerusakan  pergaulan.  Tampak
dengan jelas bahwa tabiat manusia senantiasa condong kepada jenis lainnya. Hal  ini  tak  bisa  terpenuhi  kecuali  dengan  jalan  perkawinan  yang  diatur
dengan  syariat  Islam,  dengan  perkawinan  ini  umat  Islam  dapat diselamatkan,  baik  secara  individual  maupun  sosial,  dengan  budi  pekerti
yang  baik  dan  mulia,  dengan  perkawinan  itu,  nafsu  seks  dapat  disalurkan kepada yang halal, dengan begitu tidak memberikan dan kesempatan kepada
setan untuk melakukan tipu dayanya kepada manusia.
8
Kelezatan  yang  diperoleh  dan  melakukan  hubungan  seks  antara  laki- laki dengan perempuan secara  halal merupakan  kenikmatan  yang diberikan
Allah kepada manusia dan juga bernilai ibadah kepadanya, penyaluran nafsu seks dengan jalan perkawinan. Selain itu untuk memperoleh keturunan yang
banyak dan baik, juga berfungsi untuk mengendalikan nafsu seks tersebut.
9
Mengenai  masalah  seksual,  Islam  berpandangan  positif  terhadap masalah  tersebut.  Hubungan  seksual  dalam  Islam  bersifat  holistik,  di
samping  untuk  memenuhi  kebutuhan  biologis  dan  melengkapi  hubungan
7
Ibid., h. 42
8
Ibid., h. 44
9
Ibid., h. 48
4
sosial antara yang satu dengan yang lainya, juga bersifat ibadah. Namun jika melaksanakannya  dengan  cara-cara  yang  salah,  tidak  sesuai  dengan  hukum
yang  berlaku,  maka  malah  mengakibatkan  dosa  dan  kesalahan  dalam menerapkan hukum, sehingga mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Nafsu  memberikan  nikmat    tertinggi  yang  dimiliki  oleh  setiap  manusia, tanpa  peduli  kedudukan  sosialnya,  namun  tak  dapat  dipungkiri,  nafsu  ini
pula  yang  banyak  dapat  menjerumuskan  manusia  ke  dalam  perbuatan  dosa seperti pemerkosaan, pencabulan, dan perbuatan zina.
10
Islam  berpandangan  tegas  terhadap  persoalan  seksualitas,  yakni melakukan  hubungan  seksual  kehidupan  seksual  yang  tidak  normal  seperti
transeksual  bias  berperan  sebagai  laki-laki  maupun  perempuan, homoseksual,  lesbian,  dan  heteroseksual  penyuka  lain  jenis  dan  sesame
jenis,  pada  lawan  dasarnya  Islam  tidak  mentolerir  perilaku  tersebut.  Islam hanya  membolehkan  hubungan  seksual  dengan  lawan  jenis  saja  dan  harus
melalui perkawinan yang sah menurut ajaran Islam.
11
Apa yang terjadi pada masyarakat, problema seksual merupakan sebuah realita  yang  benar-benar  terjadi,  manusia  manapun  tidak  mungkin  dapat
mengabaikannya  dan  menganggapnya  secara  enteng  bahayanya.  Hal  ini merupakan  sebuah  problema  yang  terjadi  sepanjang  sejarah.  Naluri  seksual
10
Ali Akbar, Seksualitas Ditinjau Dari Hukum Islam Jakarta: Ghalia  Indonesia, 1982, h. 13.
11
Nasaruddin  Umar,  Dilema  Seksualitas  Dalam  Agama  Yogyakarta:  LKPSM-YKF- Interfitsi dan Ford Foundation, 1997, h. 4.
5
diberikan oleh Allah SWT sejak  manusia dilahirkan,  kemudian tumbuh dan berkembang menjadi dewasa.
12
Akan  tetapi  pada  zaman  kita  sekarang  ini  problema  seksual  telah semakin parah bahayanya dan semakin rumit, berbeda dengan zaman-zaman
sebelumnya,  karena  adanya  pergaulan  bebas  yang  tidak  mengenal  batas antara dua jenis kelamin pada berbagai tempat. Pudarnya moralitas tersebut
mengakibatkan manuisa memikul berbagai tangung jawab dan menanggung beban yang amat banyak, yang tidak pernah terlintas pada benak manusia di
masa-masa yang silam.
13
Hubungan  seksual di  luar nikah tersebut bukan saja terjadi di kalangan remaja  akan  tetapi  dikalangan  orang  dewasa  juga  sering  terjadi
penyelewengan seperti itu. Di dalam hukum Islam hubungan seksual di luar nikah  seperti  itu  disebut  zina.
14
Pada  dasarnya  dilarang  zina  dikarenakan dalam  perbuatan  ini  tidak  ada  tujuan  lain  selain  pemenuhan  hasrat  seksual.
Sebagaimana  yang  tertera  dalam  Al-Qur’an  firman  Allah  SWT.  yang berbunyi:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
نﻮﻨﻣﺆﻤﻟا 23
: 7
- 5
12
Sifah  Fauziah,  “Hukum  Nikah  Mut’ah  Dengan  Alasan  Mengindari  Zina”,Skripsi  S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, h. 1.
13
Ibid., h. 1
14
Ibid., h. 1
6
Artinya:  “Dan  orang-orang  yang  menjaga  kemaluannya  kecuali terhadap  isteri  meraka  atau  budak  yang  mereka  miliki,
sesungguhnya  mereka  dalam  hal  ini  tercela.  Barang  siapa yang  mencari  yang  dibalik  itu  maka  mereka  itulah  orang-
orang  yang  melampaiu  batas”.  QS.  23  Al-Mu’minuun:  5- 7.
Banyak  yang  terjadi  di  masyarakat  berbagai  macam  praktek  perbuatan zina  yang  menghalalkan  hubungan  seksual  hanya  untuk  menyalurkan  nafsu
biologisnya.  Seperti  salah  satunya  perkawinan  yang  dibatasi  oleh  waktu yang  telah  ditentukan,  karena  dalam  perkawinan  tersebut  tidak  ada  tujuan
untuk  membentuk  keluarga  yang  sejahtera  dan  langgeng,  sehingga  tidak menimbulkan  akibat  hukum  karena  begitu  masa  perkawinan  telah  usai
waktu  yang  ditentukan,  maka  selesai  pula  ikatan  antara  kedua  pihak. Perkawinan  temporer  ini  lebih  dikenal  dengan  nikah  mut’ah  atau    kawin
kontrak.
15
Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan  dengan  mahar  yang  telah  disepakati,  yang  disebut  dalam  akad
sampai  pada batas  waktu  yang  telah  ditentukan,  sesuai  dengan  kesepakatan kedua  belah  pihak  tanpa  ada  paksaan  dan  tekanan  apapun.
16
Ahmad  Amin berkata,  bahwa  perkawinan  mut’ah  memudahkan  kehidupan  free  sex,  yang
tidak  terkait  dengan  ikatan  apapun  serta  terlepas  dari  tanggung  jawab
15
Luthfi  Surkalam,  Kawin  Kontrak  Dalam  Hukum  Nasional  Kita  Tangerang:  CV. Pamulang, 2005, Cet. 1 h. 15.
16
Muhammad Fu’ad  Syakir,  Perkawinan  Terlarang  Jakarta: Cendekia, 2002, Cet - 1, h. 65.
7
perkawinan.
17
Di  samping  itu  akan  banyak  wanita-wanita  yang  terbawa  ke dalam  jurang  kenistaan,  kerusakan,  dan  banyak  di  antara  mereka  yang
menjadi korban. Halalnya  nikah  mut’ah  pada  zaman  dahulu  lahir karena perang,  yaitu
ketika  tentara  muslim  meninggalkan  tempat  tingalnya  untuk  berperang  di daerah  lain,  sehingga  mereka  berada  jauh  dari  istri-istri  mereka,  dan
dikhawatirkan  berbuat  zina.  Maka  yang  menjadi  alasan  hukum  tentang halalnya nikah mut’ah adalah karena keadaan darurat.
18
Dalam  kasus nikah mut’ah pada masa itu jika diformulasiakan  kembali dapat  melahirkan  konsep-konsep  hukum  baru  yang  dijalankan  oleh  umat
sekarang ini. Sebab keadaan darurat bisa saja terjadi sehingga  nikah mut’ah di  sini  bisa  menjadi  halal.  Misalnya  seperti  budaya  masyarakat  khususnya
bagi pemuda-pemudi yang cenderung terbuka terhadap hubungan  seksual di luar nikah, dan juga mobilitas sosial umat yang dapat memungkinkan orang
gampang berpindah-pindah tempat untuk  kepentingan pekerjaan, dinas  atau usaha,  dimana  istri  tidak  dapat  selalu  ikut  untuk  mendampingi  suaminya.
Dalam keadaan demikian tidak jarang suami berpisah dengan tempat tinggal istrinya dalam waktu yang cukup lama dan dikhawatirkan berbuat zina.
19
17
Ja’far  Murtadho  Al-‘Amili,  Nikah  Mut’ah  Dalam  Hukum  Islam  Kajian  Ilmiah  Dari Berbagai  Mazhab,  Alih  Bahasa  Abu  Muhamad  Jawad  Surakarta:  Yayasan  Abna’  Al  Husain,
2002, Cet-2, h. 14
18
Fauziah, Hukum Nikah Mut’ah Dengan Alasan Menghindari Zina, h. 4
19
Ibid,. hal. 5
8
Untuk  mengetahui  permasalahan  lebih  dalam  dan  detail,  maka  penulis berkeinginan  untuk  mengkaji  dan  meneliti  permasalahan  yang  terjadi  di
masyarakat  saat  ini,  dengan  judul:    “Praktek  Nikah  Wisata  Di  Puncak Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor Jawa Barat
Di Tinjau Dari Hukum Islam”.
                