Enkapsulasi Dr. Suci Rahayu, M.Si

Pemanfaatan bakteri kitinolitik sebagai pengendali jamur patogen tanaman diterapkan dengan cara enkapsulasi pada benih tanaman yang akan dijadikan target penelitian Bashan, 1986; Schisler et al., 2004; Dawar et al., 2008; Hameeda et al.,2010; Suarez et al., 2011. Metode enkapsulasi ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan benih tanaman terhadap jamur patogen yang menyerang tanaman, sehingga pemanfaatan mikroorganisme sebagai pengendali hayati dapat lebih efektif dan berkesinambungan.

2.5. Enkapsulasi

Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan suatu bahan atau campuran beberapa bahan dengan bahan lain. Bahan yang dibungkus atau bahan yang ditangkap biasanya berupa cairan, walaupun ada juga yang berbentuk partikel padat atau gas yang disebut sebagai bahan inti atau bahan aktif atau bahan internal, sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pembungkus disebut sebagai dinding atau bahan pembawa atau membran. Proses enkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavor, asam, lipida, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, warna dan garam Risch, 1995. Ukuran partikel yang dibentuk selama proses enkapsulasi terdiri dari beberapa kisaran ukuran. Apabila ukuran partikelnya 5000 mm disebut makrokapsul, ukuran partikelnya antara 15 – 20 mikron atau kurang dari setengah diameter rambut manusia disebut mikrokapsul Yoshizawa, 2004 dan apabila ukuran partikelnya antara 0,2 mm – 2000 Ao disebut nanokapsul King, 1995. Bentuk enkapsulasi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu berbentuk bubuk dengan teknik pengeringan dan yang berbentuk cair. Teknik pengeringan yang biasa digunakan untuk enkapsulasi dalam bentuk bubuk adalah pengeringan semprot, sedangkan teknik untuk enkapsulasi dalam bentuk cairan biasanya menggunakan teknik koaservasi pemisahan fase, emulsi dan ekstruksi dalam bentuk basah. Selain yang telah disebutkan di atas teknik enkapsulasi lain dapat berupa proses suspensi udara fluidized bed atau spray coating, spray cooling, Universitas Sumatera Utara spray chilling, ekstruksi sentrifugal, pemisahan suspensi rotasional, dan kompleksasi inklusi. Beberapa bahan yang bisa digunakan untuk enkapsulasi yaitu: a. Alginat Alginat adalah zat koloidal hidrofilik yang diekstrasi dari ganggang laut Macrocystis pyrifera dan Ascophyllum nodosum yang bersifat biokompatibel dan biodegradabel terdiri dari β-D manuronat dan α–L guluronat yang dihubungkan dengan ikatan 1-4 dengan berbagai perbandingan Colwell et al., 1985. Alginat yang tersedia secara komersial adalah dalam bentuk garamnya yaitu natrium alginat Gambar 2. Keunikan natrium alginat yaitu perubahannya menjadi hidrogel dengan 95 molekul air di dalamnya, yang merupakan syarat penting untuk penggunaan dalam menjebak senyawa. Ketika natrium alginat bertemu dengan kation divalent seperti Ca +2 menghasilkan pembentukan gel dimana residu G dari alginat yang mengikat ion Ca +2 Wang et al., 2006. Gambar. 2. Struktur natrium alginat Beberapa contoh penelitian yang menggunakan alginat sebagai bahan enkapsulasi, seperti yang dilakukan oleh Purwandhani et al. 2007 melakukan enkapsulasi sel menggunakan metoda pelapisan coating, dengan dua metode, yaitu metoda ekstrusi dan emulsi. Pada masing-masing metoda dilakukan enkapsulasi satu lapis single coating dan dua lapis double coating. Metoda satu lapis menggunakan alginat dan metoda dua lapis yaitu menggunakan protein susu skim sebagai lapis yang pertama dan alginat sebagai lapisan kedua. Beberapa laporan penelitian lainnya yang telah memanfaatkan alginat sebagai bahan enkapsulasi benih pada beberapa tanaman diantaranya kacang panjang dengan isolat Methylobacterium spp. Eka, 2009, tomat dengan B. substilis Suarez et al., 2011, bunga matahari dengan isolat Bacillus thuringiensis Dawar Universitas Sumatera Utara et al., 2008, cabai dengan isolat Bacillus sp. Suryanto et al., 2012, padi dengan isolat Bacillus megaterium Chumthong et al., 2008. b. Karboksimetil Selulosa CMC Karboksimetil selulosa atau Carboxymethyl Cellulose CMC banyak digunakan pada berbagai industri seperti: detergen, cat, keramik, tekstil, kertas dan makanan. Fungsi CMC disini adalah sebagai pengental, penstabil emulsi atau suspensi dan bahan pengikat Wijayani et al., 2005. CMC adalah polisakarida anionik linear yang larut dalam air dan merupakan gom alami yang dimodifikasi secara kimia. Bubuk CMC yang telah dimurnikan berwarna putih sampai krem, mengalir bebas, tidak berasa, dan tidak berbau Yundhana, 2008. Fungsi dasar CMC adalah untuk mengikat air, menstabilkan komponen lain, dan mencegah pengerutan. Struktur CMC mempunyai kerangka D-glukopiranosa yang berikatan β- 1,4 dari polimer selulosa Gambar 3. Gambar. 3 Struktur CMC Perbedaan cara membuat CMC mempengaruhi derajat substitusi, tetapi secara umum derajat substitusi berkisar dari 0.4 sampai 1.4 per unit monomer CMC diproduksi dengan cara mencampurkan selulosa dari pulp kayu atau kapas dengan larutan NaOH. Selulosa-alkali ini kemudian direaksikan dengan Namonokloroasetat atau asam monokloroasetat menghasilkan Na- CMC dan NaCl Awalludin, 2004. Berbeda dengan turunan selulosa lainnya. CMC mengandung garam karboksil yang membuatnya lebih mudah larut dalam air. Secara umum larutan CMC dalam air bersifat pseudoplastik, tetapi larutan CMC dengan derajat polimerisasi tinggi dan derajat substitusi rendah menunjukkan sifat tiksotropik. Pada pH rendah, CMC kehilangan viskositasnya Universitas Sumatera Utara dan cenderung mengendap. Stabilitas maksimum CMC terjadi pada pH 7 sampai 9. CMC dengan tingkat kemurnian tinggi yang dikenal sebagai gom selulosa, telah digunakan secara luas dalam bidang industri makanan dan farmasi. Dalam industri makanan, CMC digunakan sebagai pengental, pencegah pengerutan, dan pencegah pembentukan kristal es. Sifat CMC yang tidak larut dalam asam lambung, tetapi larut dalam cairan basa di usus, menyebabkan CMC digunakan untuk pembuatan tablet atau serbuk obat dengan cara salut enteric Awalludin 2004. Natrium CMC adalah garam dari asam karboksilat. Pada pH 3.0 atau lebih rendah, CMC akan kembali menjadi bentuk asam bebas tidak larut. Sifat yang paling berguna dari CMC adalah daya pengentalannya. Viskositas larutan hampir tidak terpengaruh pada pH 5−7; pada pH3, viskositas mungkin meningkat dan pengendapan bentuk asam bebas dari CMC dapat terjadi; pada pH10 terjadi sedikit penurunan viskositas. Viskositas larutan CMC menurun dengan meningkatnya suhu Yundhana, 2008. Beberapa penelitian yang telah memanfaatkan CMC sebagai bahan enkapsulasi diantaranya pada benih padi dengan isolat P. fluorescens Nandakumar et al., 2001, benih jagung dengan isolat B. substilis Muis dan Arcadio, 2006. c. Tapioka Tapioka adalah pati yang banyak dihasilkan di Brazil, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Nigeria. Tapioka berasal dari umbi singkong Manihot esculenta yang diambil patinya melalui proses penggilingan umbi singkong, dekantasi, pemisahan ampas dengan konsentrat, pengendapan, dan pengeringan Dziedzic dan Kearsley, 1995. Komponen utama dari tapioka adalah pati, yaitu 73,3– 84,9, yang terdiri dari amilosa sebanyak 17 dan amilopektin 83. Selain itu, tapioka juga mengandung lemak sebesar 0,08-1,54, protein 0,03-0,60, abu 0,02- 0,33, dan sedikit fosfor 0,8 -4,0 x 102 Rickard et al., 1991. Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-1:4 unit glukosa. Derajat polimerisasi DP amilosa berkisar antara 500−6.000 unit glukosa Gambar 4, bergantung pada sumbernya. Adapun amilopektin merupakan polimer α-1 : 4 unit glukosa dengan rantai samping α-1 : 6 unit glukosa Ikatan α- Universitas Sumatera Utara 1 : 6 unit glukosa ini jumlahnya sangat sedikit dalam suatu molekul pati, berkisar antara 4−5. Namun, jumlah molekul dengan rantai cabang, yaitu amilopektin, sangat banyak dengan DP berkisar antara 105 dan 3x106 unit glukosa Jacobs dan Delcour, 1998. Granula pati tapioka berbentuk semi bulat sampai bulat dengan salah satu dari bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35 mm. Suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64 C, kristalinitas 38, kekuatan pembengkakan sebesar 42 dan kelarutan 31. Kekuatan pembengkakan dan kelarutan tapioka lebih kecil dari pati kentang, tetapi lebih besar dari pati jagung Rickard et al., 1991. Suhu gelatinisasi pati tapioka berada di antara pati jagung waxy dan pati jagung reguler. Viskositasnya lebih rendah dibandingkan dengan pati jagung waxy. Apabila dilakukan pendinginan, larutan pati mengalami retrogradasi untuk menghasilkan suatu gel yang halus. Larutan pati tapioka lebih jernih dibandingkan pati-pati native yang lainnya National Starch, 2005. Gambar. 4. Struktur penyusun pati Pati tapioka dapat digunakan pada industri pangan dan industri nonpangan. Pada industri non-pangan, tapioka digunakan pada industri kertas, tekstil, kayu lapis, farmasi dan komestik, sedangkan pada industri pangan dapat digunakan pada industri bakery, konfeksionari, es krim, saus dan mi instan. Pati tapioka digunakan sebagian besar dalam bentuk pati modifikasinya atau turunannya. Pati tapioka native terbatas penggunaannya pada produk bakery saja. Adapun apabila pati tapioka sudah dimodifikasi, maka dapat digunakan dengan berbagai fungsi, seperti bahan pengisi, pengikat, pembentuk tekstur, stabiliser, pemanis, dan pengganti lemak Hustiany, 2006. Universitas Sumatera Utara Penggunaan tapioka sebagai bahan enkapsulasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya Azospirillum brasilense sebagai pupuk organik Wijayanti, 2010. Benih cabai terhadap F. oxysporum Suryanto et al., 2012. Enkapsulasi terhadap P. fluorescens dan B. putida Charpentier et al., 1998. d. Gum Arabik Gum arabik telah digunakan selama setidaknya 4.000 tahun FAO, 1999. Substansi gum Arabik merupakan suatu metabolit sekunder yang dihasilkan olah tanaman yang berasal dari spesies Acacia senegal dan tanaman lainnya yang masih dekat kekerabatannya. Pohon Acacia senegal banyak ditemukan di Sudan, Senegal, Nigeria dan daerah semiarid. Eksudat kering tidak berbau, tidak berwarna dan hambar, dan sering teerjadi sebagai respons terhadap infeksi pada bagian pohon yang luka. Larut dalam air walaupun dalam air dingin dan air panas dengan konsentrasi mencapai 50 . Viskositas larutan bervariasi tergantung tipe gum arabik, pH dan ikatan ionik. pH memiliki peranan penting dalam memodifiksi viskositas gum arabik. pH 5 dan pH 9,5 menyebabkan pengurangan viskositas ion arabates. Namun pH yang mendekati pH netral dapat meningkatkan viskositas gum arabik Mahmoud, 2000. Viskositas maksimum dicapai antara pH 6 dan 7. Gum arabik digunakan sebagai koloid protektif dan emulsifier. Untuk merangsang produksi eksudat ini dapat dilakukan perlukaan pada bagian batangnya. Karakteristik yang membedakannya dengan getah alam adalah bahwa Gum arabik larut dengan cepat dalam air. Gum arabik disebut juga sebagai getah acasia yang merupakan tanaman yang tertua dan paling dikenal dibandingkan tanaman lainnya. Eksudat kering ini diperoleh dari batang dan cabang seyal Acacia senegal atau Acacia FAO, 1999. Namun, nama ini juga digunakan untuk getah lainnya yang dihasilkan oleh spesies Acacia lainnya Verbeken et al., 2003. Meskipun ada lebih dari 500 jenis pohon akasia, Gum arabik yang paling banyak dikomersialkan dari Acacia seyal dan Acacia seneal, yang dibudidayakan secara komersial di seluruh Sahel dari Senegal dan Sudan. Universitas Sumatera Utara Gum arabik adalah campuran kompleks dari oligosakarida arabinogalactan, polisakarida, glikoprotein. Strukur kimianya bersifat netral atau sedikit asam pada rantai cabang. Komposisi kimia yang terikat pada rantai utama gum arabik berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu musim, iklim, umur pohon, curah hujan, waktu eksudasi, dan faktor lainnya. Rantai utama gum arabik terdiri dari β-1→3 berikatan dengan unit D- galactopyranosyl. Rantai sampingnya terdiri dua sampai lima β-1→3 berikatan dengan unit D-galactopyranosyl, berikatan dengan rantai utama pada ikatan 1,6. Baik rantai utama dan rantai samping dari gum arabik mengandung unit dari α-L- arabinofuranosyl-, α-L-rhamnopyranosyl, β-D-glucuronopyranosyl, dan 4-O- methyl β-D-glucuronopyranosyl Gambar 5 Verbeken et al., 2003; Ali et al., 2009. Tergantung pada sumber tanamannya, glycan pada gum arabik pada seyal acacia mengandung proporsi L-arabinosa yang lebih besar terhadap D-galaktosa Motlagh et al., 2006; Chaplin, 2007. Penggunaan gum arabik sebagai bahan enkapsulasi mikroba telah banyak dilakukan diantaranya pada benih jagung dengan isolat B. substillis Muis dan Arcadio, 2006, benih kacang hijau terhadap B. thuringiensis Sheikh et al., 2006. Gambar. 5 Struktur penyusun gum arabik Universitas Sumatera Utara BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat