Patogenitas S. rolfsii pada Benih Cabai Terenkasulasi

PB17 dan Bacillus sp. BK17 bertahan dalam kondisi lingkungan yang baru yang kering. Jika dibandingkan jumlah sel antara bakteri Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 pada 1 gram benih terenkapsulasi, bakteri Bacillus sp. BK17 lebih banyak dibandingkan dengan Enterobacter sp. PB17. Hal ini menunjukkan bahwa Bacillus sp. BK17 memiliki viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Enterobacter sp. PB17. Hal ini dikarenakan Bacillus sp. BK17 mampu menghasilkan spora untuk bertahan hidup di kondisi yang ekstrim. Bacillus merupakan salah satu bakteri yang dapat membentuk endospora pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Spora yang terbentuk merupakan struktur bertahan dari Bacillus. Spora ini dapat bertahan dalam waktu yang lama hingga mencapai puluhan tahun. Namun kemampuan bertahan spora bacillus dipengaruhi oleh jenis media atau bahan yang digunakan untuk penyimpanan Sulistiani, 2009.

4.5. Patogenitas S. rolfsii pada Benih Cabai Terenkasulasi

Pengamatan jumlah benih yang tumbuh dilakukan selama 6 minggu. Dari pengamatan diketahui bahwa jumlah benih yang tumbuh Gambar 11 lebih banyak pada benih yang dienkapsulasi oleh tapioka daripada yang dienkapsulasi oleh bahan enkapsulasi lainnya yaitu sebesar 80 pada TBK17, diikuti oleh gum arabik dan CMC sebesar 60, selanjutnya diikuti oleh alginat sebesar 0-20. Hal ini menunjukkan bahwa kapsul yang terbuat dari tapioka lebih mudah ditembus oleh benih ketika berkecambah. Disamping itu jumlah benih yang paling banyak tumbuh adalah benih yang sudah dicampur dengan isolat Bacillus sp. BK17. Hal ini menandakan bahwa Bacillus memiliki peranan dalam pertumbuhan benih cabai. Bacillus dikenal sebagai bakteri yang tidak hanya berperan sebagai agen pengendali hayati tetapi juga dapat berperan sebagai bakteri yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. Bacillus mampu menghasilkan metabolit sekunder seperti hormon pertumbuhan. Plant Growth Promoting Rhizobacteria PGPR Universitas Sumatera Utara mempunyai kemampuan untuk memproduksi hormon asam indolasetat, asam giberelat, sitokonin, dan etilen di dalam tanaman Sulistiani, 2009; Susanto, 2008. Gambar 11. Persentase benih cabai yang tumbuh dan yang rebah Benih cabai yang telah terenkapsulasi bakteri kitinolitik ditumbuhkan pada medium tanah yang telah diberikan suspensi S. rolfsii. Pengamatan dilakukan terhadap persentase rebah kecambah, tinggi kecambah dan jumlah daun dari minggu ke-0 sampai minggu ke-4. Kecambah yang ditumbuhkan pada tanah yang mengandung S. rolfsii sangat rentan terserang jamur ini. Hal ini terlihat pada perlakuan C+ dan G+ masing-masing 40 dan 20 dan benih yang dienkapsulasi dengan bakteri Enterobacter sp. PB17 pada TPB17 dan GPB17 masing - masing sebesar 20 sedangkan K - tidak ada benih yang rebah Gambar 11. Penyebab tingginya persentase rebah kecambah pada K + adalah karena pertumbuhan jamur S. rolfsii yang tidak terhambat sehingga jamur tersebut dengan mudah menginfeksi benih cabai yang berada pada perlakuan K +. Rebah kecambah damping–off sering terjadi dipersemaian cabai maupun terung. Biji dapat membusuk di dalam tanah, atau semai-semai dapat mati sebelum muncul ke permukaan tanah. Batang semai muda yang masih lunak terserang pada Universitas Sumatera Utara pangkalnya menjadi basah dan mengerut sehingga semai roboh dan mati Semangun, 2007. S. rolfsii merupakan salah satu jamur patogen yang dapat menyebabkan rebah kecambah pada tanaman cabai Semangun, 2007; Lamidi, 1986; Dange, 2006; Yusniawaty, 2009. Benih yang dienkapsulasi dengan Bacillus sp. BK17 memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Enterobacter sp. PB17 dalam menghambat serangan S. rolfii. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan enzim kitinase pada Bacillus sp. BK17 lebih baik dalam mendegradasi kitin yang ada pada hifa S. rolfsii dibandingkan dengan enzim kitinase pada Enterobacter sp. PB17. Kitinase merupakan enzim yang mampu menghambat perkembangan jamur patogen dengan menghidrolisis polimer kitin sebagai salah satu komponen dinding sel hifa cendawan Gohel et al., 2003, dan secara langsung menghidrolisis dinding miselia jamur dengan pelepasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi ketahanan sistemik pada inang. Oleh sebab itu, kitinase dikenal sebagai salah satu protein anti cendawan Gohel et al., 2003, Wang et al., 2006. Gambar 12. Jumlah rata-rata daun dan tinggi tanaman setelah 6 minggu Perlakuan bakteri kelihatannya mempengaruhi pertumbuhan kecambah seperti jumlah daun dan tinggi tanaman. Jumlah daun yang terbanyak ditemukan pada benih yang dienkapsulasi dengan tapioka TBK17 dan T- sebanyak 12 helai Universitas Sumatera Utara dan ABK17 dan diikuti oleh C+ sebanyak 10 helai Gambar 12, sedangkan jumlah daun yang paling sedikit ditemukan pada APB17 sebanyak 2 helai. Kecambah yang tertinggi juga ditemukan pada benih yang dienkapsulasi oleh tapioka TBK17 dan T - setinggi 13 cm dan diikuti oleh ABK17 dan C + sebesar 10, 50 cm, sedangkan tanaman yang terendah ditemukan pada benih APB17 sebesar 2 cm. Adanya variasi jumlah daun dan tinggi kecambah pada masing-masing perlakuan disebabkan adanya perbedaan usia perkecambahan pada masing-masing perlakuan. Benih yang memiliki jumlah daun terbanyak adalah benih yang tumbuh lebih awal dibandingkan dengan benih yang lain. Perbedaan jenis matrik pembawa pada masing-masing perlakuan mempengaruhi kemampuan benih dalam berkecambah. Semakin sederhana komponennya maka semakin mudah bagi benih untuk tumbuh dan berkecambah. Pada Gambar 12, jumlah daun dan tinggi tanaman pada benih yang dienkapsulasi bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 cenderung tinggi dibandingkan jumlah daun dan tinggi tanaman pada K +. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bakteri tersebut tidak mengganggu pertumbuhan dan tidak bersifat patogen terhadap benih kedelai yang ditanam selama hari pengamatan dan karena adanya mekanisme pertahanan yang diberikan oleh Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 dalam melindungi benih dari serangan jamur patogen. Kelompok bakteri ini selain menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan patogen, juga menghasilkan hormon pengatur tumbuh Backman et al., 1994. Kelompok Bacillus juga dikenal sebagai bakteri kelompok PGPR yang mampu menginduksi pertumbuhan dan ketahanan tanaman terhadap penyakit melalui berbagai mekanisme, seperti antibiosis, lisis, kompetisi, parasitisme, dan induksi ketahanan Kloepper dan Schroth, 1981. Universitas Sumatera Utara BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan