Universitas Sumatera Utara
yang berbeda-beda. Ia biasa berkomunikasi dirumah dan di tempat jualan milik Kak Mila informan I, konteks komunikasi masih seputaran pada kehidupan
sehari-hari seperti usaha, keluarga, dan lain sebagainya. Tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi maupun berinteraksi sebab informan memiliki keluarga yang
berasal dari Etnis Pribumi yaitu adik dan kakak iparnya yang berasal dari Suku Jawa dan beragama Islam.
Tidak ada stereotip negatif tentang masyarakat Etnis Pribumi yang berkembang dalam diri informan. Karena sejak kecil keluarganya telah
menanamkan nilai-nilai pluralisme kepadanya dan menurutnya masyarakat di lingkungannya sudah berbaur sehingga mencegah berkembangnya stereotip
negatif tersebut. Ada beberapa stereotip positif terhadap masyarakat Pribumi antara lain adalah solidaritas dan toleransi yang tinggi. Stereotip positif ini
melekat kuat dan juga tepat. Karena selama ini ia melihat dan mengalami langsung selama ia hidup berdampingan dengan masyarakat Etnis Pribumi di
lingkungannya. Hubungan antarbudaya di kawasang Kampung Madras terjalin dengan
erat, rukun dan harmonis. Faktor yang mendukung terwujudnya hubungan tersebut dikarenakan kebersamaan antara seluruh etnis yang ada disana. Toleransi,
sikap saling terbuka dan pemikiran plural juga menjadi hal penting dalam menjaga kerukunan antarbudaya dan etnis di kawasan Kampung Madras.
4.1.3.1.3 Informan III
Nama :
WW Inisial Jenis Kelamin :
Laki-Laki TTLUsia
: Medan, 28 Juni 1996 20 tahun
Agama :
Hindu EtnisSuku
: India Tamil
Alamat :
tidak dicantumkan karena alasan keamanan Pekerjaan
: Pedagang Makanan
Informan selanjutnya berinisial WW 20 ia adalah salah satu anak muda yang tinggal di kawasan Kampung Madras yang sehari-harinya bekerja sebagai
asisten masak di sebuah foodtruck yang menjual makanan khas India di kawasan
Universitas Sumatera Utara
Komplek Pertokoan Asia Mega Mas. Informan sudah 20 tahun tinggal dan menetap di kawasan Kampung Madras. Berbeda dengan lingkungan tempat
informan sebelumnya, lingkungan tempat ia tinggal didominasi oleh masyarakat dari Etnis India Tamil dan Suku Jawa, meskipun terdapat beberapa etnis lain yang
tinggal disana. “20 tahun lah bang, sejak lahir udah tinggal disini. Kalo di gang aku
Jawa sama Hindulah bang. Jawa sama Tamil maksudnya bang. Ada juga suku lain tapi cuma satu dua lah.
Dalam bergaul informan juga tidak memilih-milih ia bergaul dengan semua etnis yang ia temui. Interaksi komunikasi dengan masyarakat Etnis Pribumi
biasanya ia lakukan ketika malam hari sehabis berjualan, sebab di siang hari ia lebih sering berdiam diri dan tidur dirumah. Interaksi komunikasi dengan
masyarakat di sekitar tempat tinggalnya biasanya terjadi di simpang jalan di depan gang tempat ia tinggal. Disana ada sebuah pos piket dan disanalah ia dan teman-
temannya bertemu dan berkumpul. “Bebas bang mana aja masuk. Enggak juga bang, kadang tidur aja tu,
pulang kerja tidur. Paling pas jumpa ajalah gitu. nggak ada lah biasa aja, tentang tentang ini.....jual-jual itu aja...sambil meniru gerakan
menggunakan narkoba. Tentang ceweklah paling, tentang kerja, taruhan bola judi, udah itu aja. Seringlah bang tiap malam pulang jualan ini
jumpalah itu. Di depan ganglah bang jam segini udah rame itu biasanya. Ada pos jaga piket.
” Mereka biasanya membahas hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan dan
praktik narkoba yang ada di lingkungannya. Karena lingkungan tempat tinggalnya merupakan salah satu lingkungan dengan basis narkoba yang cukup kuat. Selain
itu mereka juga sering membicarakan tentang pacar, tentang pekerjaan dan juga tentang praktik judi dalam bentuk taruhan sepak bola.
Universitas Sumatera Utara
Dalam berinteraksi dengan masyarakat dari Etnis Pribumi, informan tidak pernah menemui kesulitan sebab bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia.
Ia mengaku sama sekali tidak mengerti bahasa asli Tamil. Hanya saja terkadang teman-temannya sering menggunakan Bahasa Jawa ketika berinteraksi dengan
dirinya. Informan mengatakan tidak pernah mengerti dan tidak terlalu mempermasalahkan penggunaan Bahasa Jawa oleh teman-temannya ketika
mereka berkumpul. “Nggak ada bang sama sekali nggak ada. Kalo aku sehari-hari pake
bahasa Indonesia bang karena bahasa Tamil nggak ngerti. Tapi mereka kadang sering pake bahasa Jawa juga kalau ngomong sama kawan-kawan
yang lain. Aku nggak ngerti entah apa yang dibilangnya. Aku biasa aja apa yang diomongin orang itu biar ajalah.
” Informan bercerita bahwa masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya
sangat baik kepadanya. Tetapi ia mengatakan di matanya masyarakat Etnis Pribumi di luar lingkungan tempat ia tinggal dinilainya sebagai orang yang suka
menghina. Sering ia mendapati masyarakat pribumi yang berkendara dan lewat didepannya menghinanya dengan sebutan “keling”, terutama di tempat ia
berjualan. Pernah suatu kali ia sedang membeli rokok lalu ada masyarakat Etnis Pribumi yang lewat dan mengejeknya dengan kata “keling”. Ketika ia berpaling
ke arah suara tersebut ia mengatakan sudah tidak melihat orang yang menghinanya dan pergi berlalu.
“Di rumahku bagus-bagus aja orangnya bang, nggak kayak di luar-luar sana gayanya aja yang tengik-tengik semua. Di tempat jualan inilah
kadang, jumpa lewat keling-keling katanya. Tapi anak-anak luar sini banyak kali nggak kenal-kenal ya kan. Awak beli rokok keling katanya,
entah mana orangnya nggak tau awak udah enggak nampak. Jadi awak pun mikirnya orang ini pribumi tukang ngejek pikiran kotor semua bang.
Universitas Sumatera Utara
Bagi informan stereotip negatif yang menganggap masyarakat pribumi bersikap rasis seperti ini cukup kuat melekat pada dirinya. Hal itu didasarkan pada
pengalaman pribadi yang ia alami dan bukan hanya sekali atau dua kali tetapi sangat sering ia mendapat perlakuan seperti itu. Berkembangnya stereotip dan
perlakuan rasis yang dilakukan oleh masyarakat Etnis Pribumi di kalangan masyarakat Etnis India Tamil sangat berpotensi memicu konflik antar etnis yang
berkepanjangan. Diperlukan kebijaksanaan dari masing-masing individu baik itu dari Etnis India Tamil sebagai objek maupun Etnis Pribumi sebagai subjeknya.
Terutama bagi masyarakat Pribumi yang membenarkan stereotip tersebut melalui perilaku dan tindakan yang mereka tunjukkan.
Akan tetapi perlakuan seperti itu sudah biasa dialami informan sehingga ia tidak terlalu memperdulikannya. Stereotip tersebut juga tidak mempengaruhi
informan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Pribumi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Alasanya karena semua masyarakat Etnis
Pribumi di lingkungannya tidak pernah memanggil atau pun menghinanya dengan sebutan “keling”. Mereka sangat menghormatinya dan memanggilnya dengan
sebutan Ane artinya abang dalam Bahasa Tamil dan ia senang kalau ada yang memanggilnya seperti itu.
“Ya enggaklah bang soalnya didaerah rumahku nggak ada lagi yang manggil kayak gitu. Orang itu manggilnya ane semua.
” Menurutnya masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya sangat berbeda
dengan masyarakat Pribumi yang ada di luar. Ia menilai masyarakat Etnis Pribumi orangnya baik-baik, tidak pernah mencuri dan tidak pernah punya pikiran kotor
terhadao dirinya. Namun ada satu hal yang berbeda mengenai masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya, hampir rata-rata dari mereka mencari nafkah dengan
cara berjualan narkoba. Ia mengaku merasa nyaman tinggal disana karena memiliki kesamaan dengan dirinya yang sehari-harinya juga berjualan narkoba
sebagai usaha sampingan. “Bagus-bagus bang. Baguslah pokoknya nggak ada yang nyuri, nggak
ada yang punya pikiran kotorlah, paling bandelnya cuma narkoba ajalah.
Universitas Sumatera Utara
Jawa di gang aku ya inilah bang jual ini lah bang sambil menggunakan bahasa tubuh yang sedang menggunakan narkoba selain itu nggak ada,
rata-rata jual itu semua. Orang itu yang masukin barang pun aku dari sini rap kasi orang itu jual.
” Hubungan antarbudaya di lingkungan informan terlihat cukup baik sama
seperti di lingkungan lain. Hanya saya faktor yang mempererat hubungan tesebut bukanlah karena perbedaan dan keragaman yang ada melainkan karena semua
masyarakat di lingkungannya dekat dengan narkoba. Baik itu pengedar maupun pengguna. Nilai-nilai budaya sepertinya sudah hilang di lingkungan tersebut yang
ada hanya nilai-nilai ekonomi yang menurutnya sangat penting. Dan nilai ekonomi tersebut tercermin melalui aktivitas yang melanggar hukum yaitu
narkoba. “Bagus bagus aja bang. Baguslah nggak pernah ribut. Kalo yang khusus
nggak ada, kalo nggak yang khususnya banyak. Duduk didepan gang itu. Duduk datang masuk ke belakang tempat penjualan narkoba. Paling pas
ada kemalangan ramelah. Rame bukan untuk kemalangan tapi kesempatan untuk gini...menirukan cara menggunakan narkoba. Sama
inilah bang ngorek paret gotong royong tiap minggu. Yang ngumpulin inilah pak ketua, ketua PP organisasi massa disitu. Orang kita Jawa
juga dia. ”
Masyarakat berbeda etnis yang ada di lingkungannya hanya berkumpul ketika ada hal-hal yang menyangkut narkoba. Ia juga menuturkan bahkan ketika
ada kemalangan banyak masyarakat antar etnis yang berkumpul tetapi bukan hendak melihat keluarga yang sedang mengalami musibah melainkan
memanfaatkan kesempatan tersebut sebagi momen untuk menggunakan narkoba tanpa takut harus ketahuan oleh orang lain. Memang ada beberapa kegiatan lain
Universitas Sumatera Utara
yang melibatkan masyarakat dari Etnis India Tamil dan Etnis Pribumi seperti gotong royong, namun hal tersebut bukanlah faktor utama yang mendukung
kerukunan dan keharmonisan hubungan antarbudayanya. Informan juga menuturkan bahwa ia pernah berkonflik dengan masyarakat
dari Etnis Pribumi di lingkungannya. Tetapi masalah tersebut bukan dipicu karena perbedaan melainkan karena narkoba. Ia mengatakan pernah ditipu ketika sedang
melakukan transaksi narkoba. Barangnya sudah dikasih tetapi duitnya tidak. Hingga saat ini ia sudah melupakan masalah tersebut karena orang yang
menipunya sudah menghilang dan tidak pernah terlihat lagi di lingkunngannya. “Pernah bang, masalah br narkoba lah kena tipu, udah dikasi br-nya
duitnya nggak dikasi. Nggak ada sampe sekarang mana ada penyelesaian bawa diam ajalah, orangnya udah lari nggak pernah nampak lagi. Ikhlas
ajalah bang, mau melapor awak pun kena juga ya kan. ”
Di lingkungan tempat informan tinggal sepertinya nilai-nilai dan toleransi antarbudaya tidak menjadi hal yang penting lagi. Sebab lingkungannya telah
dipenuhi dengan peredaran narkoba bahkan dirinya juga menjadi korban sekaligus pelaku dalam kegiatan tersebut. Namun ia juga bertutur dalam menjaga hubungan
antarbudaya di lingkungannya ia memiliki cara sendiri yaitu dengan tidak terlalu banyak berbicara jika hal tersebut tidak terlalu penting dan juga saling bertegur
sapa adalah hal penting baginya dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan di lingkungannya. Ia juga menuturkan di lingkungannya nilai-nilai agama telah
pudar baik itu dirinya maupun masyarakat Etnis Pribumi disana, hanya beberapa masyarakat saja yang menurutnya masih memegang teguh nilai-nilai agama
dilingkungannya. “Cara baiknya ya biasalah bang nggak banyak-banyak cakap tegur-tegur
biasa aja. Kalo kerukunan beragama yaa cemana lah jarang juga nya sholat orang itu. Awakpun juga jarang ke kuil. Paling satu dua adalah
yang tua-tua sholat paling sholat. Muda-mudanya nggak pernah bang. Lebaran lah setahun sekali aja orang itu sholat.
”
Universitas Sumatera Utara
Ketika ditanyakan apa harapannya mengenai keberlangsungan hubungan antarbudaya di lingkungannya, ia mengatakan ingin tetap terus aman dan tidak
ada kerusuhan disana. Namun harapannya lebih berorientasi kepada perihal kegiatan ekonomi disana, dalam hal ini adalah kegiatan peredaran narkoba dan
obat-obatan terlarang. Karena menurutnya jika itu terjadi maka tidak akan ada kerusuhan ataupun konflik di lingkungannya. Sangat miris jika melihat hal ini
melalui kacamata hukum dan kelangsungan generasi bangsa yang akan datang. “Harapannya apa ya bang untuk supaya kencang aja jalan duit. Awak
kasih-kasih obat ke orang itu ya kan. Yang penting habisin barang narkoba. Supaya ekonomi disitu bisa lancar, jadi biar nggak ada rusuh-
rusuh bisa lebih baguslah hubungannya ya kan. ”
Kesimpulan Kasus
Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama 20 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan khususnya
di dalam gang tempat ia tinggal. Adalah Etnis India Tamil, dan Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku Jawa yang tinggal disana. Dalam bergaul informan
juga tidak memilih-milih, tempat informan biasa berinteraksi dengan masyarakat Etnis Pribumi adalah di pos piket yang ada di depan gang tempat ia tinggal.
Hampir setiap hari ia berinteraksi sepulang berjualan, mereka biasanya membahasa perihal transaksi narkoba, pekerjaan, pacar, taruhan bola dan lain
sebagainya. Meskipun terkadang ada beberapa masyakat Suku Jawa yang menggunakan bahasa daerah ketika ada dirinya, ia mengatakan hal itu bukanlah
menjadi kesulitan baginya untuk berkomunikasi dan ia pun tidak memperdulikan dan mempermasalahkan penggunaan bahasa daerah tersebut.
Setelah diamati, ternyata terdapat stereotip yang bersifat negatif terhadap masyarakat Etnis Pribumi menurut informan. Stereotip tersebut adalah masyarakat
Pribumi memiliki sikap rasis terhadap masyarakat Etnis India Tamil. Stereotip ini melekat sangat kuat dan diyakini oleh informan. Berdasarkan penuturan informan
stereotip ini tepat karena ia mengalami langsung ketika ada masyarakat Etnis Pribumi yang lewat didepannya dan mengatakan “keling” kemudian pergi berlalu
Universitas Sumatera Utara
begitu saja. Hal ini ia alami bukan hanya sekali namun sudah sangat sering terutama di luar lingkungan tempat ia tinggal. Tetapi stereotip negatif tersebut
tidak mempengaruhinya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Pribumi di lingkungan tempat tinggalnya sebab selama ia
tinggal disana ia tidak pernah mengalami peristiwa diskriminatif tersebut. Semua masyarakat Pribumi di lingkungannya menghargai dan menghormatinya tanpa
melihat warna kulit yang ia miliki. Secara umum hubungan antarbudaya di lingkungannya terjalin dengan
cukup baik, namun jika diamati secara detail maka sepertinya sudah tidak ada lagi nilai-nilai kebudayaan yang dianut sebab gang tempat ia tinggal memandang
kebudayaan bukanlah hal yang penting. Karena di lingkungannya transaksi narkoba adalah yang utama sebagai faktor pendukung terjalinnya hubungan
antarbudaya yang rukun dan harmonis.
4.1.3.1.4 Informan IV