Informan II Informan yang Berasal dari Etnis India Tamil .1 Informan I

Universitas Sumatera Utara Hal kecil seperti inilah yang mampu mewujudkan hubungan antarbudaya yang rukun dan harmonis di kawasan Kampung Madras. Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama 23 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa, Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku PadangMinang dan Jawa. Sejak kecil informan sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Pribumi di tempat ia tinggal. Konteks komunikasi seputaran dengan kehidupan sehari-hari dan bertempat di tempatnya berjualan dan juga di rumah bersama dengan tetangga. Tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Pribumi sebab menggunakan bahasa yang sama yaitu Bahasa Indonesia. Dan informan juga memiliki banyak teman yang berasal dari Etnis Pribumi. Terdapat stereotip positif yang berasal dari pengalaman langsung dan melalui lingkungan sekitar. Stereotip tersebut diyakini oleh informan yang mengatakan bahwa masyarakat Pribumi sangat baik serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap Etnis India Tamil. Menurut penuturan informan hubungan antarbudaya maupun hubungan sosial antara Etnis Tamil dan Etnis Pribumi sangat baik hal tersebut ditandai dengan sikap toleransi, saling menghormati dan saling menghargai antara satu sama lain serta dengan tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan latar belakang dan status sosial yang dimiliki.

4.1.3.1.2 Informan II

Data diri informan : Nama : Wijes Sri Jenis Kelamin : Perempuan TTLUsia : Medan 11 Juli 1979 37 Tahun Agama : Hindu EtnisSuku : India Tamil Alamat : Jl. Cik Di Tiro Belakang No. 22B Pekerjaan : Wiraswasta Universitas Sumatera Utara Wijes Sri 37 adalah informaan keempat yang peneliti wawancarai. Peneliti menemui Kak Wijes di warung makanan milik Kak Mila. Ia adalah seorang pemilik salah satu toko sport di kawasan Kampung Madras dan sejak lahir sudah tinggal disana kemudian ia pindah setelah ia menikah pada umur 24 tahun. Walaupun sudah tidak tinggal disana tetapi hampir setiap hari ia berkunjung kerumah ibunya di kawasan Kampung Madras dan waktunya sehari- hari ia habiskan disana karena semua teman dan keluarganya ada di Kampung Madras. “Dari lahir udah disini. Dari tahun 79 disini sampai umur 24 tahun lah disini. Setelah nikah terus pindah lah ke alamat Jl. S. Parman. Tapi kan ibu masih tinggal disini. Jadi sehari- hari waktunya dihabiskan disini.” Ketika masih tinggal dirumah ibunya ia mengatakan bahwa etnis yang ada di lingkungannya di dominasi oleh Etnis Tionghoa, Padang dan Jawa sebagai mayoritas. Tetangga dekatnya dulu adalah masyarakat dari ketiga etnis tersebut, karena itu ia sangat dekat dengan masyarakat yang berbeda etnis di tempat tinggalnya. “Kalo dulu pas kakak masih dirumah sini ya di depan ada Chinese, samping kiri pribumi ada Jawa, di belakang rumah ada Padang. Disini mayoritas pribumi Padang sama Jawa sih.” Kak Wijes adalah orang yang berpikiran terbuka karena ia tidak memilih- memilih teman dalam bergaul meskipun ia berasal dari Etnis Tamil yang beragama Hindu. Bahkan kedua saudari iparnya berasal dari Suku Jawa yang beragama Muslim serta pamannya ada yang beragama Kristen. Karena itu ia sudah terbiasa bergaul semua orang. Ia juga dengan bangga mengatakan bahwa keluarganya adalah keluarga nasional karena terdiri dari orang-orang dengan etnis dan agama yang berbeda. Universitas Sumatera Utara “Pukul rata semua, mau chinese, mau india, mau orang kita pribumi, mau Jawa sama semua campur. Keluarga kita aja ya, abangnya kakak istrinya Jawa “Wong Jowo Muslim”. Adek kakak juga istrinya Jawa muslim juga. Keluarga kita orangnya nasional. Abang kandung mamak kakak aja agamanya Kristen.” Karena semua keluarga dan temannya tinggal di kawasan Kampung Madras sesekali ia sering berkunjung ke warung Kak Mila. Tidak ada waktu khusus baginya untuk berkomunikasi tapi ketika ada waktu luang ia menyempatkan diri untuk berkumpul bersama teman-temannya sambil berbincang dan sesekali melihat kendaraan yang lalu lalang melintas di Jl. KH. Zainul Arifin untuk melepas penat setelah bekerja seharian. Konteks komunikasi yang dibahas bersama teman-teman selalu berbeda dan berganti-ganti tapi tetap sama seperti orang dewasa pada umumnya yang membahas tentang bisnis, dan prospek usaha untuk jangka panjang. “Ya kalo khusus nggak ada. Paling kalo ada waktu kita nongkrong gabung-gabung hilangin suntuk. Nggak ada waktu ya nggak nongkrong. Kadang-kadang kakak suka duduk disini ngilangin suntuk nengok-nengok motor mobil lewat sambil ngobrol. Hal yang umum aja biasa. Yang khusus itu nggak ada sih. Topiknya itu selalu berbeda-beda jadi susah kita bilang. Kalo kayak kita yang orang dewasa ya hal bisnis lah gimana hari esok, prosopek ke depan yang bagus. ” Dalam berkomunikasi dengan masyarakat dari Etnis Pribumi Kak Wijes tidak pernah mengalami kesulitan karena bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Bahkan bahasa asli Tamil ia tidak mengerti karena dari lahir hingga sekarang di keluarganya hanya menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Hal tersebut juga didukung oleh hubungan dekatnya dengan masyarakat Pribumi yaitu dua saudari iparnya yang berasal dari Suku Jawa. Universitas Sumatera Utara “Nggak ada, kita kan bahasa sehari-hari ngomong pakai juga bahasa Indonesia kan. Fasih kan kakak ngomong bahasa Indonesia hehehe. Malah bahasa kakak yang nggak bisa kakak. Kalo dekat banyaklah, adek ipar kakak, kakak ipar kakak, itulah yang keluarga dekat kita.” Karena dalam keluarganya ada berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda Kak Wijes tidak pernah mengenal tentang stereotip maupun prasangka. Bagi dirinya semua orang itu sama meskipun ia berasal dari etnis yang bukan Etnis India Tamil. Ia tidak pernah memandang suatu etnis berdasarkan sifatnya, pekerjaannya maupun latar belakangnya. Sebab ia menganggap semua masyarakat dari etnis lain yang dikenalnya sudah seperti saudara. Hal ini menunjukkan bahwa ada atau tidak adanya stereotip sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar seperti keluarga, tetangga, dan teman sehingga tidak memberi kesempatan kepada stereotip untuk berkembang. “Kalo kakak gini ya selalu berpikiran positif. Gimana ya bagi kakak semuanya itu sama. Jadi nggak adalah. Rasa kakak biasa aja mau Etnis Pribumi, Chinese, India ya semua orang sama aja seperti itu. Mana ada pengaruhnya sama kakak. Mau itu sifatnya, pekerjaannya apapun latar belakangnya kakak rasa sama aja ya. Udah kayak keluarga semuanya. ” Berdasarkan pemaparan Kak Wijes sebelumnya mengenai pandangannya terhadap Etnis Pribumi dapat diamati bahwa kondisi hubungan sosial ditempatnya tinggal terjalin dengan sangat kuat antara dirinya dengan etnis lain. Opini tersebut ditandai dengan kebersamaan yang terjalin antar etnis, dimana ketika umat muslim merayakan lebaran mereka sering mengantarkan makanan kepada masyarakat Etnis Tamil yang bukan muslim. Begitu juga sebaliknya ketika Kak Mila merayakan hari besar agama Hindu ia juga tak lupa mengantarkan makanan kepada masyarakat yang bukan beragama Hindu di daerah itu. Sekali lagi, baginya semua tetangganya sudah seperti saudara meskipun mereka hidup dalam perbedaan dan keragaman. Universitas Sumatera Utara “Kami kebersamaannya kuat.misalnya kayak lebaran ya sama. Kami nanti kalo lebaran kami ngantar makanan ke mereka. Mereka juga sama seperti itu. Udah kayak keluarga semuanya. ” Ia juga menuturkan bahwa masyarakat di tempat tinggalnya memiliki solidaritas yang tinggi antar sesama. Ketika ada kemalangan maupun pesta pernikahan semua masyarakat dari Etnis India Tamil dan Etnis Pribumi berkumpul. Biasanya mereka berkumpul di depan halaman rumah milik Kak Wijes karena cukup luas. Kegiatan masak-memasak biasanya dikerjakan di halamannya, dan dikerjakan oleh masyarakat Tamil dan Pribumi. Kak Wijes dan keluarganya berpikiran sangat terbuka dan menjungjung tinggi pluralisme karena tidak pernah melarang dan membatasi warga lain menggunakan halaman depan rumah milik keluarganya untuk dijadikan sebagai tempat berkumpul. Jika diamati dengan seksama maka secara tidak sadar ada stereotip positif yang dimiliki informan mengenai masyarakat Pribumi yaitu solidaritas dan toleransi yang tinggi, hal ini dapat diketahui melalui pengalaman informan selama ia hidup berdampingan bersama mereka. “Kalo disini ya kadang acara-acara tertentulah. Kayak ini kemarin ada kemalangan ya gabunglah Etnis Pribumi sama Tamil gabung. Kalo ada orang pesta juga gitu. Depan rumah kami kan lebar halamannya jadi siapa aja yang pesta disitu numpang belanjaanya, masak-masaknya disitu. Kami nasional, buat kami semua sama kok. ” Pemikiran dan sikap Kak Wijes dan keluarganya yang menanamkan nilai- nilai pluralisme menjadikan hubungan antarbudaya di lingkungannya jauh dari gesekan-gesekan yang dapat memicu terjadinya konflik. Baik itu konflik pribadi maupun konflik antar etnis yang mengarah kepada perpecahan dan permusuhan di lingkungan tempat tinggalnya. Universitas Sumatera Utara “Kalo kakak nggak pernah sih ngalami yang kayak gitu. Konflik besar gitu enggak ada sih. Enggak pernah ada setahu kakak. Aman-aman aja disini. ” Selain berpikiran terbuka dan plural, salah satu cara Kak Wijes menjaga kerukunan dan keharmonisan antara Etnis Tamil dan Pribumi adalah dengan menanamkan nilai, sikap dan perilaku yang mengimplementasikan kebersamaan. Menurutnya dengan kebersamaan setiap anggota masyarakat mampu menghargai satu sama lain dan menghormati keyakinan dan agama masing-masing. Karena ia merasa semua masyarakat di lingkungannya adalah keluarga sehingga membuatnya nyaman dalam berkomunikasi serta berinteraksi tanpa harus menutup diri dari lingkungan. “Caranya ya dengan kebersamaan lah, jadi dalam kebersamaan itu kita bisa saling menghargai satu sama lain. Menghormati agama masing- masing. Soalnya disini udah kayak keluarga semua sama kakak. Jadi kalau ngobrol apa aja jadinya nyaman, enak, terbuka. Ya kayak gitu- gitulah. Harapan kita ya semoga semua etnis selalu hidup rukun damai kedepannya lebih bagus damai lah. ” Dengan membawa semangat kebersamaan Kak Wijes menaruh harapan yang sangat besar bagi kelanjutan hubungan antarbudaya di kawasan Kampung Madras. Sama seperti informan sebelumnya, ia pun berharap setiap elemen masyarakat agar dapat terus hidup berdampingan tanpa menghilangkan kerukunan dan kedamaian yang sudah terjalin hingga saat ini. Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama 24 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa, Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku PadangMinang dan Jawa. Informan juga tidak pernah memilih-milih dalam bergaul sebab menurutnya semua masyarakat itu sama walaupun berasal dari etnis Universitas Sumatera Utara yang berbeda-beda. Ia biasa berkomunikasi dirumah dan di tempat jualan milik Kak Mila informan I, konteks komunikasi masih seputaran pada kehidupan sehari-hari seperti usaha, keluarga, dan lain sebagainya. Tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi maupun berinteraksi sebab informan memiliki keluarga yang berasal dari Etnis Pribumi yaitu adik dan kakak iparnya yang berasal dari Suku Jawa dan beragama Islam. Tidak ada stereotip negatif tentang masyarakat Etnis Pribumi yang berkembang dalam diri informan. Karena sejak kecil keluarganya telah menanamkan nilai-nilai pluralisme kepadanya dan menurutnya masyarakat di lingkungannya sudah berbaur sehingga mencegah berkembangnya stereotip negatif tersebut. Ada beberapa stereotip positif terhadap masyarakat Pribumi antara lain adalah solidaritas dan toleransi yang tinggi. Stereotip positif ini melekat kuat dan juga tepat. Karena selama ini ia melihat dan mengalami langsung selama ia hidup berdampingan dengan masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya. Hubungan antarbudaya di kawasang Kampung Madras terjalin dengan erat, rukun dan harmonis. Faktor yang mendukung terwujudnya hubungan tersebut dikarenakan kebersamaan antara seluruh etnis yang ada disana. Toleransi, sikap saling terbuka dan pemikiran plural juga menjadi hal penting dalam menjaga kerukunan antarbudaya dan etnis di kawasan Kampung Madras.

4.1.3.1.3 Informan III