Teknik Pengumpulan Data Intensitas

Universitas Sumatera Utara 3.3 Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah individu, benda, atau organisme yang dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian. Istilah lainnya adalah informan, yaitu orang-orang yang memberi respons atau suatu perlakuan yang diberikan kepadanya Idrus, 2009: 91. Untuk penelitian dengan pendekatan studi kasus, jumlah informan ditentukan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan dari penelitian. Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Informan dipilih dan disesuaikan berdasarkan kriteria dan tujuan penelitian yang sebelumnya telah ditentukan. Adapun subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil yang telah bermukim di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota Medan selama kurang lebih 3 tahun. Informan kunci dalam penelitian ini Aidila Fitrah salah seorang warga yang tinggal di lingkungan lokasi penelitian. Pemilihan informan kunci didasarkan pada pengetahuan dan wawasan informan mengenai kondisi sosial dan geografis pada lokasi pelaksanaan penelitian yang hendak diteliti.

3.4 Kerangka Analisis

Kerangka analisis merupakan hasil pemikiran rasional yang merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa Nawawi, 2001: 40. Kerangka analisis juga dipahami sebagai proses mencari dan menyusun secara sistematis keseluruhan data sehingga dapat dengan mudah untuk menganalisisnya. Data yang diperoleh oleh peneliti dari lapangan kemudian akan direduksi. Langkah reduksi data akan menghasilkan data yang memberikan gambaran yang lebih jelas sehingga dapat membantu peneliti dalam pengumpulan informasi yang jelas dan selanjutnya akan mencari data lain jika diperlukan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan peneliti dalam mengumpulkan data. Penelitian ini menggunakan dua metode pengumpulan data yaitu : 1. Data Primer Universitas Sumatera Utara Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama dan tangan pertama di lapangan. Adapun cara untuk mendapatkan data tersebut, yaitu : a. Metode Wawancara Mendalam In-Depth Interview Tipe wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan atau informasi untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancacara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif berbeda. Dengan demikian keabsahan wawancara adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan Bungin, 2008: 108. b. Observasi Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Kegiatan pengamatan secara langsung memiliki tujuan mengetahui kegiatan yang dilakukan objek yang hendak diteliti Ruslan, 2003: 138. 2. Data Sekunder Pada umumnya bahwa data sekunder berbentuk catatan atau laporan dokumentasi oleh lembaga tertentu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan mencari, melihat, membuka dokumen, situs-situs internet research atau buku-buku bersifat ilmiah yang berhubungan dengan penelitian Kriyantono, 2012: 91.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain Moeloeng, 2009: 248. Berdasarkan model teknik analisis data lapangan Miles dan Huberman, peneliti menganalisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 1. Melakukan Reduksi Data Mereduksi artinya ialah merangkum, memilih hal yang pokok, memfokuskan hal yang dianggap penting untuk penelitian. Data yang diperoleh di lapangan memiliki jumlah yang cukup banyak sehingga diperlukan analisis data melalui teknik reduksi. Dengan demikian akan terlihat jelas gambaran dari penelitian yang bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan pengumpulan data selanjutnya bila diperlukan. 2. Penyajian Data Data yang didapatkan dari pengamatan dan metode lainnya akan disajikan dalam bentuk berupa teks naratif, grafik chart, dan lain sebagainya. 3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Kesimpulan yang telah didapat harus didukung oleh data-data yang valid dan konsisten yang ditemukan di lapangan. Kegiatan analisis data ini dimulai dengan mengumpulkan data kemudian dilanjutkan dengan menelaah dan memverifikasi data yang telah terkumpul, baik itu data primer maupun data sekunder. Hasil data yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data akan disusun ke dalam bentuk laporan yang sistematis Sugiyono, 2007: 92. Universitas Sumatera Utara BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pada bab ini peneliti akan memaparkan hasil dan pembahasan yang telah didapatkan selama proses penelitian dilapangan. Adapun hasil yang diperoleh peneliti adalah informasi yang didapatkan dari para informan dengan cara wawancara secara mendalam. Penjabaran hasil dan pembahasan berdasarkan tujuan penelitian untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya, stereotip yang berkembang dalam interaksi komunikasi antarbudaya dan faktor-faktor pembentuknya, serta faktor-faktor yang mendukung terjalinnya hubungan yang harmonis antara masyarakat Etnis Pribumi dan India Tamil di lingkungan Kampung Madras, Kota Medan. Hasil dan pembahasan itu nantinya akan dirangkai dalam bentuk tulisan panjang atau narasi.

4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Madras, yang terletak di Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan. Pada masa kolonial, bangsa Tamil umumnya bermukim di lokasi-lokasi sekitar perkebunan yang berada di Kota Medan dan Sumatera Timur. Namun semenjak kemerdekaan, mereka kebanyakan bermukim di wilayah pusat kota. Komunitas Tamil terbanyak dapat ditemukan di kota Medan, kota Binjai, kota Lubuk Pakam, serta kota Tebing Tinggi. Kampung Madras adalah salah satu pemukiman warga etnis Tamil yang tertua di Kota Medan. Kampung Madras terletak pada kawasan bisnis Jl. K.H. Zainul Arifin, yang pada zaman dahulu bernama Jl. Calcutta. Lokasi dari perkampungan etnis India ini berada di pinggiran Sungai Babura, yakni sungai yang membelah kota Medan, serta merupakan jalur utama transportasi air pada masa lampau. Perkampungan dengan luas kurang lebih 10 hektar ini lebih akbrab di masyarakat kota Medan dengan sebutan “Kampung Keling”. Dahulunya Kampung Madras ini merupakan lahan liar yang tidak berpenghuni. Namun seiiring dengan berkembang pesatnya perkembangan perkebunan tembakau di Tanah Deli, maka di kota Medan pun turut dibuka beberapa daerah perkebunan baru, sehingga munculnya perkampungan- Universitas Sumatera Utara perkampungan baru di sekitar daerah perkebunan tersebut. Kampung Madras mulai terbentuk ketika pemerintah Belanda merasa puas dengan hasil kerja para kuli Tamil dengan dibangunnya Kuil Shri Mahriamman sebagai tempat ibadah bagi kuli-kuli Tamil yang beragama Hindu. Kuil inilah yang menjadi kuil hindu pertama di kota Medan. Selain itu, pemerintah Belanda juga menghadiahkan sebidang tanah di sekitar kuil kepada kuli Tamil yang menikah sebagai tempat tinggalnya. Dan akhirnya kawasan ini pun berkembang menjadi perkampungan bagi warga etnis Tamil, yang pada akhirnya di kenal dengan nama “Kampung Keling”. Setelah kemerdekaan, banyak warga Tamil yang kembali ke kampung halamannya, dan menjual tanah mereka kepada orang-orang pribumi. Namun, juga masih banyak warga Tamil yang bertahan, karena alasan ekonomi yang maju, dan juga adanya ikatan pernikahan. Sejak saat itu, mulailah terjadi pembauran etnis di Kampung Madras. Kampung Madras yang sampai saat ini masih bertahan antara lain yang terletak pada Jl. K.H. Zainul Arifin dan juga sekitar Jalan Teuku Umar. Kampung Madras ini memiliki akses langsung dengan pusat kota Medan, yakni kawasan Kesawan, yang hanya berjarak 1 km. Batas akhir dari Kampung Madras adalah Sungai Babura. Kampung Madras ini termasuk kedalam Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan Polonia. Pada tahun 2008 Pemko Medan resmi mengesahkan nama “Kampung Madras” menggantikan “Kampung Keling”. Hal ini disebabkan oleh kata “keling” yang berkonotasi menghina dan ditujukan kepada orang yang memiliki kulit gelap.

4.1.2 Deskripsi Proses Penelitian

Penelitian berupa wawancara mendalam terhadap informan dilaksanakan pada bulan Februari 2016 hingga Maret 2016. Proses penelitian pertama kali peneliti lakukan untuk melakukan survey lapangan yang mana peneliti mencoba untuk menemui informan kunci yaitu Pak M. Magnoren atau yang akrab disapa Pak Mano. Sebelumnya peneliti mengenal Pak Mano melalui seorang senior yang juga pernah melakukan penelitian di daerah Kampung Madras. Awalnya peneliti mencoba menghubungi beliau via telepon dan mendapatkan respon yang baik dari beliau. Namun karena beliau sedang berada diluar kota untuk waktu yang lama Universitas Sumatera Utara akhirnya peneliti mencoba untuk memulai penelitian secara langsung tanpa ada informan kunci. Pada tanggal 18 Februari 2016, peneliti mencoba melakukan penelitian untuk pertama kalinya. Awalnya peneliti sempat bingung dan hanya berjalan berkeliling di daerah tersebut sambil melihat-lihat bagaimana aktivitas di kawasan tersebut. Dengan bermodalkan bertanya-tanya terhadap warga yang berada disekitar situ akhirnya peneliti berhasil menemui salah seorang penjual jamu dan berbincang banyak mengenai Kampung Madras. Ketika peneliti mencoba untuk meminta Bapak penjual jamu tersebut untuk diwawancarai, beliau menolak dikarenakan tidak mau nama dan identitasnya dituliskan dalam data begitu juga dengan rekaman. Beliau tidak ingin ada rekaman, akhirnya setelah setengah jam berbincang dan membujuk dan beliau tetap tidak mau diwawancarai. Akhirnya peneliti berpamitan dan memutuskan untuk mencoba bertanya kepada warga lain yang ada disekitar kawasan itu. Sama seperti sebelumnya banyak dari warga yang tidak bersedia untuk diwawancarai. Beberapa warga menolak wawancara setelah peneliti menjelaskan maksud dan tujuan wawancara, salah satu dari mereka mengatakan : “Tidak ada hal yang seperti stereotip itu, disini aman-aman saja dan nggak ada yang kayak gitu itu disini.” Beberapa kali mendapat penolakan akhirnya peneliti memutuskan untuk pergi dari kawasan Kampung Madras. Setelah sebelumnya mendapat penolakan dari beberapa calon informan akhirnya selang beberapa hari peneliti menemukan salah seorang informan kunci yang bernama Aidila Fitrah, beliau adalah salah seorang alumni dari Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Beliau juga salah seorang penjual pulsa di kawasan tersebut yang juga merupakan kenalan dari teman peneliti. Pada tanggal 20 Februari 2016 peneliti bersama salah seorang teman menemuinya lalu kami mulai berkenalan dan berbincang-bincang mengenai masyarakat yang tinggal di kawasan Kampung Madras. Setelah lama berbincang akhirnya beliau bersedia untuk membantu peneliti dalam proses wawancara. Tak lama kemudian beliau mengenalkan peneliti dengan informan pertama, yaitu Kak Mila yang merupakan Universitas Sumatera Utara salah seorang pedagang makanan yang cukup lama tinggal dan berdagang di kawasan itu. Berdasarkan metode peneletian kualitatif yaitu pemilihan subjek penelitian secara snowball sampling, layaknya bola salju yang menggelinding terus sampai menjadi bulatan besar. Begitu pula dengan penetuan informan yang dianggap relevan dan kompeten dengan tujuan peneliti. Maka informan selanjutnya peneliti dapatkan dari Kak Mila dan juga Mbak Dila. Dan begitu selanjutnya hingga peneliti mendapatkan empat orang masyarakat Pribumi dan empat orang masyarakat Etnis India Tamil yang ada di Kampung Madras sebagai informan untuk diwawancarai secara mendalam in-depth interview mengenai judul skripsi yang hendak diteliti. Informan pertama yang peneliti temui bernama Mila 23. Wawancara dengan informan pertama dimulai pada hari Rabu 20 Februari 2016 sekitar pukul 20.00 WIB sampai dengan pukul 20.25 WIB. Mbak Dila memperkenalkan peneliti dengan informan yang berjualan tak jauh dari tempat Mbak Dila berjualan pulsa. Ketika sampai disitu peneliti disambut oleh informan yang sedang menggendong bayi kecilnya. Ada juga salah seorang nenek yang cukup ramah dan lucu yang merupakan nenek dari informan. Peneliti lalu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dari wawancara hingga akhirnya Kak Mila bersedia diwawancarai sebagai informan pertama. Pedoman dan daftar pertanyaan wawancara menjadi acuan peneliti dalam melakukan wawancara agar sesuai dengan tujuan dari penelitian. Namun peneliti mewawancarai secara santai agar suasana tidak terlalu kaku. Berbekal handphone sebagai perekam suara dan catatan kecil, akhirnya peneliti memulai wawancara. Proses wawancara dilakukan dengan santai dan tidak kaku. Sambil berbincang sesekali informan melayani pelanggannya dan memasak martabak telur dan roti cane, ada juga yang memesan mie rebus. Peneliti berusaha fleksibel dalam wawancara sehingga tidak mengganggu aktivitas informan sebagai pedagang. Namun selama proses wawancara berlangsung sepertinya informan terlihat tidak leluasa dalam menuturkan jawaban-jawabannya kepada peneliti. Mungkin dikarenakan peneliti berasal dari Etnis Pribumi, sehingga informan sepertinya sedikit menahan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan. Universitas Sumatera Utara Proses wawancara informan kedua dilakukan keesokan harinya yaitu pada tanggal 21 Februari 2016. Informan kedua bernama Ibu Fahmirawati, beliau juga seorang pedagang makanan yang menjual mie goreng dan minuman dingin di kawasan itu. Kedai mie goreng Bu Mira juga hanya beberapa langkah dari kedai martabak milik Kak Mila. Ketika pertama kali mengenalkan diri, peneliti disambut ramah oleh suami informan, kami sedikit berbincang tentang latar belakang peneliti serta pekerjaan beliau sembari menunggu informan yang sedang memasak makanan. Tak lama kemudian Bu Mira datang dan bertanya kepada peneliti tentang kuliah dan tujuan dari wawancara. Suasana di kedai milik Bu Mira terasa sangat hangat, karena disitu ada cucu-cucu beliau yang sedang bermain dan ada juga yang sedang tidur. Suasana semakin hangat tatkala saudara dari informan datang dan sedikit berbincang dengan peneliti. Bu Mira adalah salah satu informan favorit peneliti karena beliau sangat ramah dan humoris serta tidak tertutup dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang peneliti berikan. Beliau memaparkan apa adanya mengenai Etnis India Tamil dan hubungan antarbudaya di kawasan tersebut. Proses wawancara sendiri berlangsung selama 30 menit dimulai pada pukul 20.00 WIB dan berakhir pada pukul 20.30 WIB Informan ketiga adalah Ibu Inis Chintya, beliau adalah seorang pedagang rokok dan makanan ringan di pelataran parkir rumah toko di kawasan Kampung Madras. Sepuluh menit setelah melakukan wawancara dengan Ibu Mira sekitar pukul 20.40 WIB peneliti menemui Bu Inis di kios tempatnya berdagagang yang juga tak jauh dari kedai makan Bu Mira. Sama seperti sebelumnya, peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud wawancara. Dengan senang hati Bu Inis menerima peneliti. Proses wawancara sangat nyaman sesekali beliau tertawa dalam menjawab dan sempat juga bercerita tentang bagaimana ia berjualan dan juga seringnya orang berhutang kepadanya khususnya warga India Tamil di daerah itu. Setelah wawancara selesai beliau juga bercerita tentang anaknya yang baru saja tamat sekolah dan ingin kuliah. Akhirnya peneliti bertukar pikiran mengenai dunia perkuliahan dan bagaimana proses ujian untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Wawancara berlangsung cukup panjang selama kurang lebih 40 menit, hingga akhirnya perbincangan kami sudahi dan peneliti membeli Universitas Sumatera Utara sebungkus rokok lalu berpamitan dengan informan. Sangat menyenangkan bisa mewawancarai orang ramah dan humoris seperti beliau. Informan keempat bernama Wijes Sri, salah seorang wanita keturunan India Tamil yang memiliki usaha toko peralatan olahraga di kawasan Kampung Madras. Peneliti menemui beliau di kedai martabak milik Kak Mila, karena waktu itu sudah pukul 21.10 WIB jadi toko miliknya sudah tutup. Kak Wijes memesan martabak telur dan teh manis dingin ketika hendak diwawancarai. Wawancara berlangsung sambil beliau menyantap makanannya. Kak Wijes sangat ramah dan friendly beliau orang yang senang bercanda. Proses wawancara sangat nyaman dan sesekali ia bercanda dengan sedikit tawa kecil keluar dari mulutnya. Karena sudah terlalu malam akhirnya wawancara pun diakhiri pada pukul 21.40 WIB. Peneliti memutuskan untuk kembali pulang karena sepertinya sudah terlalu malam. kemudian peneliti mendatangi informan sebelumnya untuk berterima kasih serta berpamitan untuk pulang. Pada tanggal 24 Februari 2016 peneliti menemui informan selanjutnya beliau adalah WW, peneliti sengaja merahasiakan nama dan alamat informan dikarenakan konten wawancara dan alasan keamanan. WW lebih nyaman jika dipanggil dengan sebutan Ane artinya abang dalam bahasa Tamil walaupun usianya terbilang lebih muda dari usia peneliti. Sehari-hari ia berjualan makanan khas India di kawasan Komplek Pertokoan Asia Mega Mas. informan tinggal di salah satu lingkungan dengan basis narkoba yang cukup kuat dan masih termasuk dalam kawasan Kampung Madras. Karena alasan kerahasiaan dan privasi narasumber maka peneliti memutuskan untuk tidak mencantumkan nama dan alamat informan. Peneliti menilai perlu mewawancarai WW sebagai informan karena usianya masih muda dan berharap memberikan pandangan yang berbeda mengenai masyarakat Etnis Pribumi di Kampung Madras. Meskipun ia adalah pengguna dan pengedar narkoba di lingkungannya, peneliti berusaha bersikap netral ketika melakukan wawancara dengannya. Informan yang satu ini memiliki kepribadian yang sangat ramah dan sangat terbuka. Bahkan tak ia tak segan untuk menceritakan tentang keseharian dan kegiatan yang ia lakukan di lingkungan tempat ia tinggal. Namun selama proses wawancara berlangsung ia agak berusaha sedikit menahan diri dalam menjawab Universitas Sumatera Utara pertanyaan dari peneliti. Beberapa pertanyaan terkadang ia jawab dengan kata- kata yang dipadukan bahasa non verbal, seperti ketika ingin mengatakan tentang kegiatannya dan masyarakat di lingkungannya yang gemar menggunakan narkoba kemudian ia langsung mengacungkan telunjuknya ke arah temannya. Ia mungkin mencoba menghindari agar temannya tidak mengetahui bahwa dirinya adalah pengguna dan pengeder narkoba di tempat tinggalnya. Wawancara berlangsung selama kurang lebih 45 menit dan peneliti cukup puas dengan jawaban-jawaban yang informan berikan. Akhirnya wawancara pun selesai pada pukul 01.15 WIB kemudian peneliti tak lupa berterima kasih dan berpamitan dengan informan. Peneliti menemui informan ketujuh pada 26 Februari 2016 atau dua hari setelah melakukan wawancara dengan informan sebelumnya. Mbak Dila yang sebelumnya memperkenalkan peneliti dengan masyarakat di kawasan itu kembali bersedia membantu dan menemani proses wawancara pada malam itu. Informan ketujuh bernama Ibu Christafora seorang masyarakat keturunan Etnis India Tamil yang sehari-harinya bekerja sebagai penjahit di lingkungan tempat ia tinggal. Peneliti menemui beliau dirumahnya pada pukul 21.05 WIB. Awalnya peneliti berencana menemui informan pada sore hari, namun karena faktor cuaca yang kurang bagus akhirnya peneliti menunda pertemuan hingga kondisi hujan yang cukup deras mereda. Syukurlah ketika peneliti menemui Bu Chris beliau tidak merasa keberatan meskipun waktu sudah terlalu malam. Di rumahnya yang tidak terlalu besar itu peneliti merasa sangat nyaman karena disambut baik oleh informan dan keluarganya yang sedang bersantai sambil berbincang di ruang tamu. Peneliti dipersilahkan duduk dan memperkenalkan diri sekaligus menjelaskan maksud dan tujuan dari wawancara. Lalu informan pun bersedia untuk diwawancarai pada saat itu. Proses wawancara berlangsung cukup nyaman karena menurut peneliti informan adalah orang yang ramah dan murah senyum. Wawancara berakhir pada pukul 21.30 WIB. Kemudian peneliti berpamitan kepada informan dan keluarganya karena telah memiliki janji wawancara dengan informan yang lain. Proses wawancara kemudian dilanjutkan dengan Ibu Maysarah sebagai informan. Bu Maysarah merupakan seorang ibu rumah tangga yang hampir setiap hari bertemu dan berinteraksi dengan mayarakat Etnis India Tamil yang Universitas Sumatera Utara merupakan tetangganya. Masih pada hari yang sama tepatnya sekitar pukul 22.00 peneliti melakukan wawancara bersama beliau. Beliau juga merupakan Ibu kandung dari Kak Dila yang selama ini membantu peneliti dalam melakukan penelitian di kawasan Kampung Madras. Peneliti menemui beliau ditempat tinggalnya yang masih berada dalam satu lingkungan dengan tempat tinggal Bu Chris, informan sebelumnya. Rumah juga tidak terlalu besar dan terletak di gang- gang kecil yang bercabang. Di lingkungan ini antara saru rumah dan rumah lainnya hanya dibatasi dengan satu lapis dinding sehingga membuat obrolan dirumah lain terdengar juga disini. Ketika peneliti mengucapkan salam dan memasuki rumahnya peneliti merasakan hawa yang cukup sejuk dan tenang. Bu May menyambut peneliti bersama anak-anaknya yang ketika itu tengah sibuk memasang kancing pada sebuah baju kebaya. Peneliti mengawali pertemuan dengan sedikit obrolan ringan agar suasana tidak menjadi kaku ketika wawancara nanti. Tak lama berselang peneliti memulai wawancara dan mengelurkan peralatan wawancara berupa buku catatan, pena, handphone sebagai alat perekam serta pedoman pertanyaan wawancara. Proses wawancara berlangsung dengan nyaman dan santai, informan menjawab semua pertanyaan cukup baik dan jelas. Wawancara berlangsung selama sekitar 40 menit. Setelah peneliti selesai melakukan wawancara dengan informan sebelumnya, peneliti menemui informan selanjutnya yaitu Suci Al Falah. Informan adalah salah seorang alumni mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang saat ini bekerja sebagai freelancer di sebuah perusahaan survey di kota Medan. Peneliti menemui informan di rumahnya ketika ia sedang bersantai sambil menonton televisi bersama keluarga. Kepribadian informan yang cukup bersahabat membuat peneliti tidak canggung ketika melakukan wawancara. Wawancara dimulai sekitar pukul 23.00 WIB dan berakir pada pukul 23.50 WIB. Hari sudah larut malam peneliti pun berpamitan dan berterima kasih kasih kepada informan karena bersedia diwawancarai hingga selarut ini. Dan tak lupa pula peneliti kembali berterima kasih kepada Mbak Dila karena telah membantu peneliti dalam melakukan penelitian dan proses wawancara di kawasan Kampung Madras. Universitas Sumatera Utara 4.1.3 Hasil Wawancara dan Pengamatan 4.1.3.1 Informan yang Berasal dari Etnis India Tamil 4.1.3.1.1 Informan I Nama : Mila Jenis Kelamin : Perempuan TTLUsia : Medan, 09 September 1993 23 Tahun Agama : Islam EtnisSuku : India Tamil Alamat : Jl. T. Cik Di Tiro Belakang Pekerjaan : Pedagang Makanan Informan pertama bernama Mila 23, beliau adalah salah seorang pedagang makanan di pinggiran Jl. KH. Zainul Arifin. Ia menjual berbagai macam makanan seperti martabak telur, roti cane dam juga mie rebus. Ia adalah seorang India muslim, dimana masyarakat muslim Etnis Tamil merupakan minoritas di kawasan tersebut. Peneliti menemui Mila di sela-sela waktu ia sedang berjualan dan berlokasi di warung makanan miliknya. Warung yang ia miliki pun sangat sederhana, hanya terlihat sebuah gerobak dan tenda kecil serta meja dan kursi tempat pelanggannya menyantap makanan. Beliau menetap di kawasan Kampung Madras sejak lahir, selama kurang lebih 23 tahun ia sudah tinggal di kawasan tersebut. Ia menuturkan sejak lahir hingga sekarang kawasan Kampung Madras dihuni oleh beberapa etnis dan suku tetapi mayoritas etnis yang sudah lama bermukim disana diantaranya adalah masyarakat dari Etnis Tamil, Etnis Tionghoa, dan Etnis Pribumi. Ia juga menuturkan bahwa masyarakat pribumi yang tinggal di daerah tersebut didominasi oleh Suku Minang dan Suku Jawa. Keragaman etnis tersebut secara tidak langsung membuat dirinya terbiasa bergaul dengan semua kalangan dan semua etnis. Tidak memandang siapa dia dan darimana dia berasal. “Ya campurlah, ada orang pribumi. Orang pribumi itu ada padang, jawa, lain-lain. Ada juga orang tionghoa disni. Semua sama bang, bergaul sama semua gak pilih-pilih mau dari suku apa juga kita bekawan. ” Universitas Sumatera Utara Kawasan Kampung Madras yang dulunya dikenal sebagai salah satu kampung masyarakat Etnis Tamil tetapi kini sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang Kampung Madras telah dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnis, suku dan latar belakang agama yang berbeda. Hal ini menjadikan Kampung Madras sebagai tempat berinteraksi antar individu dari berbagai golongan. Begitu pun dengan arus informasi dan proses komunikasi yang terjadi menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi secara intens di daerah tersebut. “Ya kalo sering ya hampir setiap hari soalnya jualan kan banyak juga yang beli itu orang pribumi. Kalo tempatnya ya komunikasi seperti biasa sih dirumah sama tetangga. Kalo ada waktu senggang juga kadang ngobrol- ngobrol sama pelanggan” Seperti masyarakat yang hidup bertetangga pada umumnya, konteks komunikasi yang setiap hari dibicarakan oleh Mila lebih banyak membahas tentang hal-hal disekitarnya seperti menu masakan yang hendak dimasak hari ini, maupun juga tentang anak-anak dan terkadang juga membahas usaha yang sedang mereka tekuni untuk memenuhi kebutuhan hidup. Interaksi komunikasi antara Mila dengan masyarakat dari Etnis Pribumi biasanya berlangsung di rumahnya. Tapi tak jarang juga berlangsung di warung makan miliknya. Ia pun menuturkan bahwa tidak pernah ada kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat dari Etnis Pribumi ataupun etnis lain. Karena sejak lahir ia sudah mengenal orang-orang disekitar sini dan sudah terbiasa berinteraksi dengan mereka. “Kalo dengan tetangga ya biasa la gimana orang bertetangga, paling cerita tentang masak, tentang anak, tentang jualan ya kayak biasalah pokoknya. Ngobrol nya ya disini ditempat jualan, di rumah. Kalo di tempat-tempat lain jarang lah. Kalau kesulitan enggak ada sih bang, sama aja. Cuma kan karena dari lahirnya disini makanya ya enggak ada ngebeda-bedain jadi enggak ada kendala komunikasi sama orang pribumi bang. ” Universitas Sumatera Utara Apa yang dituturkan Mila diatas merupakan sedikit gambaran dari hubungan antaretnis yang cukup baik, sebab ia tidak memilih dengan siapa ia berinteraksi serta tidak membeda-bedakan etnis, suku maupun golongan seseorang. Berdasarkan informasi yang ia berikan mengenai stereotip, ia tidak pernah memikirkan hal tersebut. Karena menurutnya masyarakat Etnis Pribumi terlihat sama seperti masyarakat dari etnis lain. Jadi tidak ada stereotip negatif yang berkembang tentang masyarakat Etnis Pribumi di lingkungan tempat ia tinggal, baik itu keluarga, sekolah maupun tempat dimana ia berjualan. Masyarakat Etnis Pribumi di kawasan Kampung Madras dinilai sebagai masyarakat yang cukup baik. Mereka menghormati satu sama lain dan tidak pernah melecehkan ataupun menyudutkan etnis tertentu. Hal inilah yang menurut peneliti merupakan stereotip positif yang berkembang terhadap masyarakat Etnis Pribumi. Lingkungan dan pengalaman menjadi faktor utama terbentuknya stereotip positif sebab selama ia tinggal disana hampir seluruh masyarakat pribumi berperilaku dan bersikap baik yang ditunjukkan dengan tindakan saling menghormati dengan masyarakat Etnis India Tamil. Kuatnya solidaritas antara masyarakat dengan budaya yang berbeda di kampung secara efektif mampu meminimalisir stereotip maupun prasangka negatif antar etnis di kawasan itu. Hampir seluruh masyarakat di daerah tersebut melihat seseorang dari etnis lain sebagai orang biasa, sebagai sesama manusia tanpa harus mengatakan dari etnis mana ia berasal. Semua masyarakat disana telah melebur menjadi masyarakat heterogen dengan nilai toleransi yang tinggi. Namun Mila juga mengatakan kembali lagi kepada individunya. Tidak semua orang sama. Ada yang baik ada juga yang kurang baik, tergantung bagaimana sikap dan perilaku mereka di dalam bermasyarakat. “Gak ada juga bang biasa aja kayaknya bang. Sama kaya yang lain, saling menghargai saling hormat gak saling menyudutkan dan gak saling melecehkan lah. Tergantung orangnya juga. Kalo yang kukenal ya biasa aja sama kayak yang lain. Kayak mana ya bang susah bilangnya. Disini itu kalo ada satu orang bermasalah yang lain mau ikut bantu, dari etnis Universitas Sumatera Utara apa aja juga mau bantu. Misalnya kalo ada yang lagi berduka tetangga kan, ya udah semua ikut gabung ikut bantu. Kemarin ada yang meninggal orang padang. Cuma gak ada yang bilang dia orang padang. Soalnya semua udah berbaur disini. ” Hubungan antar etnis yang terjalin di kawasan tersebut dapat dikatakan sangat harmonis karena hampir tidak pernah ada konflik etnis yang terjadi di kawasan tersebut. Baik itu konflik pribadi yang dialami maupun konflik antar etnis secara luas. Hal ini dapat terwujud dikarenakan masing-masing individu memiliki cara tersendiri dalam menjaga keharmonisan tersebut. Salah satunya menjaga kerukunan beragama yang mana setiap ada masyarakat yang beribadah masyarakat lain harus menghormati dan menghargai dengan cara tidak membuat keributan ataupun hal-hal lain yang dapat mengganggu mereka yang sedang beribadah. “Ya baguslah bang hubungannya. Masuklah antara Etnis Tamil sama Etnis Pribumi semuanya saling menghargai, saling menghormati. Kalo orang itu sembahyang kita tenang gak bikin ribut. Gitu juga pas giliran kita sembahyang orang itu juga menghargai. Pokoknya gak mengganggu saat beribadah, tenang. ” Berdasarkan pemaparan Mila diatas terdapat satu stereotip positif tentang masyarakat pribumi yaitu sikap toleransi dalam beragama. Stereotip tersebut merupakan refleksi dari kerukunan dan keharmonisan yang terjalin antara Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil. Terwujudnya hal tersebut juga didukung karena adanya rasa empati dan simpati antara masyarakatnya. Dan tidak terlepas peran agama dimana pada hari-hari besar keagamaan secara tidak langsung mampu mengumpulkan serta melibatkan masyarakat dari berbagai etnis dalam satu wadah. Salah satunya adalah kegiatan Isra’ Mi’raj, disinilah salah satu wadah berkumpulnya masyarakat dari Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil khususnya mereka yang beragama muslim. Karena menurut Mila jumlah masyarakat Etnis Tamil yang bermukim di kawasan Kampung Madras terbilang cukup sedikit Universitas Sumatera Utara sehingga momen Isra’ Mi’raj dinilai mampu melibatkan masyarakat dari berbagai etnis. Begitu pun ketika ada kemalangan masyarakat bersama-sama mengunjungi rumah duka tanpa memperdulikan etnis dan agama yang dianutnya. “Kalau kegiatan khusus disini jarang bang. Karena kan disini kami udah sedikit. Jadi jarang ada kegiatan khusus kayak gitu disini. Paling ya kegiatan gotong royonglah. Acara keagamaan adalah, cuma jarang. Kayak kami kan keluarga islam ya paling pas ada kegi atan Isra’ Mi’raj. Terus ada kemalangan ya yang kayak gitu-gitulah bang. ” Kerukunan dan keharmonisan tersebut dapat terwujud dikarenakan masyarakatnya mampu menahan dan menjaga diri masing-masing. Mila mengaku ia mampu mempertahankan hubungan baik tersebut dengan cara menghargai orang lain sebagaimana orang tersebut mengharaginya. Ia mengatakan bahwa setiap masyarakat harus mampu menahan diri dan menjaga sikap dan perilaku mereka dengan sopan santun, sehingga menghindari terjadinya gesekan-gesakan antar etnis yang bermukim di kawasan Kampung Madras. “Ya dengan cara menghargai mereka sebagaimana mereka menghargai kita. Gak inilah, istilahnya bisa jaga bicara, sikap, perilaku, sopan santun. Jadi nggak saling mengganggu gitu bang. Harapannya ya semakin lebih baik dan nggak ada yang membeda-bedakan kasta gitu atau apapun itu. ” Mila juga berharap agar hubungan antar etnis yang terjalin kedepannya akan semakin lebih baik tanpa membedakan latar belakang serta embel-embel yang melekat pada mereka. Berdasarkan pengamatan peneliti, Mila melihat masyarakat Etnis Pribumi sama sepertinya tidak ada hal yang berbeda karena pada dasarnya semua orang itu sama, bukan darimana ia berasal tetapi bagaimana sikap dan perilakunya di dalam bermasyarakat. Bagi Mila tidak ada stereotip yang berkembang terhadap masyarakat Pribumi karena sejak lahir ia sudah tinggal disana dan terbiasa berinteraksi dengan semua orang dengan etnis yang berbeda. Universitas Sumatera Utara Hal kecil seperti inilah yang mampu mewujudkan hubungan antarbudaya yang rukun dan harmonis di kawasan Kampung Madras. Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama 23 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa, Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku PadangMinang dan Jawa. Sejak kecil informan sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Pribumi di tempat ia tinggal. Konteks komunikasi seputaran dengan kehidupan sehari-hari dan bertempat di tempatnya berjualan dan juga di rumah bersama dengan tetangga. Tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Pribumi sebab menggunakan bahasa yang sama yaitu Bahasa Indonesia. Dan informan juga memiliki banyak teman yang berasal dari Etnis Pribumi. Terdapat stereotip positif yang berasal dari pengalaman langsung dan melalui lingkungan sekitar. Stereotip tersebut diyakini oleh informan yang mengatakan bahwa masyarakat Pribumi sangat baik serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap Etnis India Tamil. Menurut penuturan informan hubungan antarbudaya maupun hubungan sosial antara Etnis Tamil dan Etnis Pribumi sangat baik hal tersebut ditandai dengan sikap toleransi, saling menghormati dan saling menghargai antara satu sama lain serta dengan tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan latar belakang dan status sosial yang dimiliki.

4.1.3.1.2 Informan II

Data diri informan : Nama : Wijes Sri Jenis Kelamin : Perempuan TTLUsia : Medan 11 Juli 1979 37 Tahun Agama : Hindu EtnisSuku : India Tamil Alamat : Jl. Cik Di Tiro Belakang No. 22B Pekerjaan : Wiraswasta Universitas Sumatera Utara Wijes Sri 37 adalah informaan keempat yang peneliti wawancarai. Peneliti menemui Kak Wijes di warung makanan milik Kak Mila. Ia adalah seorang pemilik salah satu toko sport di kawasan Kampung Madras dan sejak lahir sudah tinggal disana kemudian ia pindah setelah ia menikah pada umur 24 tahun. Walaupun sudah tidak tinggal disana tetapi hampir setiap hari ia berkunjung kerumah ibunya di kawasan Kampung Madras dan waktunya sehari- hari ia habiskan disana karena semua teman dan keluarganya ada di Kampung Madras. “Dari lahir udah disini. Dari tahun 79 disini sampai umur 24 tahun lah disini. Setelah nikah terus pindah lah ke alamat Jl. S. Parman. Tapi kan ibu masih tinggal disini. Jadi sehari- hari waktunya dihabiskan disini.” Ketika masih tinggal dirumah ibunya ia mengatakan bahwa etnis yang ada di lingkungannya di dominasi oleh Etnis Tionghoa, Padang dan Jawa sebagai mayoritas. Tetangga dekatnya dulu adalah masyarakat dari ketiga etnis tersebut, karena itu ia sangat dekat dengan masyarakat yang berbeda etnis di tempat tinggalnya. “Kalo dulu pas kakak masih dirumah sini ya di depan ada Chinese, samping kiri pribumi ada Jawa, di belakang rumah ada Padang. Disini mayoritas pribumi Padang sama Jawa sih.” Kak Wijes adalah orang yang berpikiran terbuka karena ia tidak memilih- memilih teman dalam bergaul meskipun ia berasal dari Etnis Tamil yang beragama Hindu. Bahkan kedua saudari iparnya berasal dari Suku Jawa yang beragama Muslim serta pamannya ada yang beragama Kristen. Karena itu ia sudah terbiasa bergaul semua orang. Ia juga dengan bangga mengatakan bahwa keluarganya adalah keluarga nasional karena terdiri dari orang-orang dengan etnis dan agama yang berbeda. Universitas Sumatera Utara “Pukul rata semua, mau chinese, mau india, mau orang kita pribumi, mau Jawa sama semua campur. Keluarga kita aja ya, abangnya kakak istrinya Jawa “Wong Jowo Muslim”. Adek kakak juga istrinya Jawa muslim juga. Keluarga kita orangnya nasional. Abang kandung mamak kakak aja agamanya Kristen.” Karena semua keluarga dan temannya tinggal di kawasan Kampung Madras sesekali ia sering berkunjung ke warung Kak Mila. Tidak ada waktu khusus baginya untuk berkomunikasi tapi ketika ada waktu luang ia menyempatkan diri untuk berkumpul bersama teman-temannya sambil berbincang dan sesekali melihat kendaraan yang lalu lalang melintas di Jl. KH. Zainul Arifin untuk melepas penat setelah bekerja seharian. Konteks komunikasi yang dibahas bersama teman-teman selalu berbeda dan berganti-ganti tapi tetap sama seperti orang dewasa pada umumnya yang membahas tentang bisnis, dan prospek usaha untuk jangka panjang. “Ya kalo khusus nggak ada. Paling kalo ada waktu kita nongkrong gabung-gabung hilangin suntuk. Nggak ada waktu ya nggak nongkrong. Kadang-kadang kakak suka duduk disini ngilangin suntuk nengok-nengok motor mobil lewat sambil ngobrol. Hal yang umum aja biasa. Yang khusus itu nggak ada sih. Topiknya itu selalu berbeda-beda jadi susah kita bilang. Kalo kayak kita yang orang dewasa ya hal bisnis lah gimana hari esok, prosopek ke depan yang bagus. ” Dalam berkomunikasi dengan masyarakat dari Etnis Pribumi Kak Wijes tidak pernah mengalami kesulitan karena bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Bahkan bahasa asli Tamil ia tidak mengerti karena dari lahir hingga sekarang di keluarganya hanya menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Hal tersebut juga didukung oleh hubungan dekatnya dengan masyarakat Pribumi yaitu dua saudari iparnya yang berasal dari Suku Jawa. Universitas Sumatera Utara “Nggak ada, kita kan bahasa sehari-hari ngomong pakai juga bahasa Indonesia kan. Fasih kan kakak ngomong bahasa Indonesia hehehe. Malah bahasa kakak yang nggak bisa kakak. Kalo dekat banyaklah, adek ipar kakak, kakak ipar kakak, itulah yang keluarga dekat kita.” Karena dalam keluarganya ada berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda Kak Wijes tidak pernah mengenal tentang stereotip maupun prasangka. Bagi dirinya semua orang itu sama meskipun ia berasal dari etnis yang bukan Etnis India Tamil. Ia tidak pernah memandang suatu etnis berdasarkan sifatnya, pekerjaannya maupun latar belakangnya. Sebab ia menganggap semua masyarakat dari etnis lain yang dikenalnya sudah seperti saudara. Hal ini menunjukkan bahwa ada atau tidak adanya stereotip sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar seperti keluarga, tetangga, dan teman sehingga tidak memberi kesempatan kepada stereotip untuk berkembang. “Kalo kakak gini ya selalu berpikiran positif. Gimana ya bagi kakak semuanya itu sama. Jadi nggak adalah. Rasa kakak biasa aja mau Etnis Pribumi, Chinese, India ya semua orang sama aja seperti itu. Mana ada pengaruhnya sama kakak. Mau itu sifatnya, pekerjaannya apapun latar belakangnya kakak rasa sama aja ya. Udah kayak keluarga semuanya. ” Berdasarkan pemaparan Kak Wijes sebelumnya mengenai pandangannya terhadap Etnis Pribumi dapat diamati bahwa kondisi hubungan sosial ditempatnya tinggal terjalin dengan sangat kuat antara dirinya dengan etnis lain. Opini tersebut ditandai dengan kebersamaan yang terjalin antar etnis, dimana ketika umat muslim merayakan lebaran mereka sering mengantarkan makanan kepada masyarakat Etnis Tamil yang bukan muslim. Begitu juga sebaliknya ketika Kak Mila merayakan hari besar agama Hindu ia juga tak lupa mengantarkan makanan kepada masyarakat yang bukan beragama Hindu di daerah itu. Sekali lagi, baginya semua tetangganya sudah seperti saudara meskipun mereka hidup dalam perbedaan dan keragaman. Universitas Sumatera Utara “Kami kebersamaannya kuat.misalnya kayak lebaran ya sama. Kami nanti kalo lebaran kami ngantar makanan ke mereka. Mereka juga sama seperti itu. Udah kayak keluarga semuanya. ” Ia juga menuturkan bahwa masyarakat di tempat tinggalnya memiliki solidaritas yang tinggi antar sesama. Ketika ada kemalangan maupun pesta pernikahan semua masyarakat dari Etnis India Tamil dan Etnis Pribumi berkumpul. Biasanya mereka berkumpul di depan halaman rumah milik Kak Wijes karena cukup luas. Kegiatan masak-memasak biasanya dikerjakan di halamannya, dan dikerjakan oleh masyarakat Tamil dan Pribumi. Kak Wijes dan keluarganya berpikiran sangat terbuka dan menjungjung tinggi pluralisme karena tidak pernah melarang dan membatasi warga lain menggunakan halaman depan rumah milik keluarganya untuk dijadikan sebagai tempat berkumpul. Jika diamati dengan seksama maka secara tidak sadar ada stereotip positif yang dimiliki informan mengenai masyarakat Pribumi yaitu solidaritas dan toleransi yang tinggi, hal ini dapat diketahui melalui pengalaman informan selama ia hidup berdampingan bersama mereka. “Kalo disini ya kadang acara-acara tertentulah. Kayak ini kemarin ada kemalangan ya gabunglah Etnis Pribumi sama Tamil gabung. Kalo ada orang pesta juga gitu. Depan rumah kami kan lebar halamannya jadi siapa aja yang pesta disitu numpang belanjaanya, masak-masaknya disitu. Kami nasional, buat kami semua sama kok. ” Pemikiran dan sikap Kak Wijes dan keluarganya yang menanamkan nilai- nilai pluralisme menjadikan hubungan antarbudaya di lingkungannya jauh dari gesekan-gesekan yang dapat memicu terjadinya konflik. Baik itu konflik pribadi maupun konflik antar etnis yang mengarah kepada perpecahan dan permusuhan di lingkungan tempat tinggalnya. Universitas Sumatera Utara “Kalo kakak nggak pernah sih ngalami yang kayak gitu. Konflik besar gitu enggak ada sih. Enggak pernah ada setahu kakak. Aman-aman aja disini. ” Selain berpikiran terbuka dan plural, salah satu cara Kak Wijes menjaga kerukunan dan keharmonisan antara Etnis Tamil dan Pribumi adalah dengan menanamkan nilai, sikap dan perilaku yang mengimplementasikan kebersamaan. Menurutnya dengan kebersamaan setiap anggota masyarakat mampu menghargai satu sama lain dan menghormati keyakinan dan agama masing-masing. Karena ia merasa semua masyarakat di lingkungannya adalah keluarga sehingga membuatnya nyaman dalam berkomunikasi serta berinteraksi tanpa harus menutup diri dari lingkungan. “Caranya ya dengan kebersamaan lah, jadi dalam kebersamaan itu kita bisa saling menghargai satu sama lain. Menghormati agama masing- masing. Soalnya disini udah kayak keluarga semua sama kakak. Jadi kalau ngobrol apa aja jadinya nyaman, enak, terbuka. Ya kayak gitu- gitulah. Harapan kita ya semoga semua etnis selalu hidup rukun damai kedepannya lebih bagus damai lah. ” Dengan membawa semangat kebersamaan Kak Wijes menaruh harapan yang sangat besar bagi kelanjutan hubungan antarbudaya di kawasan Kampung Madras. Sama seperti informan sebelumnya, ia pun berharap setiap elemen masyarakat agar dapat terus hidup berdampingan tanpa menghilangkan kerukunan dan kedamaian yang sudah terjalin hingga saat ini. Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama 24 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa, Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku PadangMinang dan Jawa. Informan juga tidak pernah memilih-milih dalam bergaul sebab menurutnya semua masyarakat itu sama walaupun berasal dari etnis Universitas Sumatera Utara yang berbeda-beda. Ia biasa berkomunikasi dirumah dan di tempat jualan milik Kak Mila informan I, konteks komunikasi masih seputaran pada kehidupan sehari-hari seperti usaha, keluarga, dan lain sebagainya. Tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi maupun berinteraksi sebab informan memiliki keluarga yang berasal dari Etnis Pribumi yaitu adik dan kakak iparnya yang berasal dari Suku Jawa dan beragama Islam. Tidak ada stereotip negatif tentang masyarakat Etnis Pribumi yang berkembang dalam diri informan. Karena sejak kecil keluarganya telah menanamkan nilai-nilai pluralisme kepadanya dan menurutnya masyarakat di lingkungannya sudah berbaur sehingga mencegah berkembangnya stereotip negatif tersebut. Ada beberapa stereotip positif terhadap masyarakat Pribumi antara lain adalah solidaritas dan toleransi yang tinggi. Stereotip positif ini melekat kuat dan juga tepat. Karena selama ini ia melihat dan mengalami langsung selama ia hidup berdampingan dengan masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya. Hubungan antarbudaya di kawasang Kampung Madras terjalin dengan erat, rukun dan harmonis. Faktor yang mendukung terwujudnya hubungan tersebut dikarenakan kebersamaan antara seluruh etnis yang ada disana. Toleransi, sikap saling terbuka dan pemikiran plural juga menjadi hal penting dalam menjaga kerukunan antarbudaya dan etnis di kawasan Kampung Madras.

4.1.3.1.3 Informan III

Nama : WW Inisial Jenis Kelamin : Laki-Laki TTLUsia : Medan, 28 Juni 1996 20 tahun Agama : Hindu EtnisSuku : India Tamil Alamat : tidak dicantumkan karena alasan keamanan Pekerjaan : Pedagang Makanan Informan selanjutnya berinisial WW 20 ia adalah salah satu anak muda yang tinggal di kawasan Kampung Madras yang sehari-harinya bekerja sebagai asisten masak di sebuah foodtruck yang menjual makanan khas India di kawasan Universitas Sumatera Utara Komplek Pertokoan Asia Mega Mas. Informan sudah 20 tahun tinggal dan menetap di kawasan Kampung Madras. Berbeda dengan lingkungan tempat informan sebelumnya, lingkungan tempat ia tinggal didominasi oleh masyarakat dari Etnis India Tamil dan Suku Jawa, meskipun terdapat beberapa etnis lain yang tinggal disana. “20 tahun lah bang, sejak lahir udah tinggal disini. Kalo di gang aku Jawa sama Hindulah bang. Jawa sama Tamil maksudnya bang. Ada juga suku lain tapi cuma satu dua lah. Dalam bergaul informan juga tidak memilih-milih ia bergaul dengan semua etnis yang ia temui. Interaksi komunikasi dengan masyarakat Etnis Pribumi biasanya ia lakukan ketika malam hari sehabis berjualan, sebab di siang hari ia lebih sering berdiam diri dan tidur dirumah. Interaksi komunikasi dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya biasanya terjadi di simpang jalan di depan gang tempat ia tinggal. Disana ada sebuah pos piket dan disanalah ia dan teman- temannya bertemu dan berkumpul. “Bebas bang mana aja masuk. Enggak juga bang, kadang tidur aja tu, pulang kerja tidur. Paling pas jumpa ajalah gitu. nggak ada lah biasa aja, tentang tentang ini.....jual-jual itu aja...sambil meniru gerakan menggunakan narkoba. Tentang ceweklah paling, tentang kerja, taruhan bola judi, udah itu aja. Seringlah bang tiap malam pulang jualan ini jumpalah itu. Di depan ganglah bang jam segini udah rame itu biasanya. Ada pos jaga piket. ” Mereka biasanya membahas hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan dan praktik narkoba yang ada di lingkungannya. Karena lingkungan tempat tinggalnya merupakan salah satu lingkungan dengan basis narkoba yang cukup kuat. Selain itu mereka juga sering membicarakan tentang pacar, tentang pekerjaan dan juga tentang praktik judi dalam bentuk taruhan sepak bola. Universitas Sumatera Utara Dalam berinteraksi dengan masyarakat dari Etnis Pribumi, informan tidak pernah menemui kesulitan sebab bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia. Ia mengaku sama sekali tidak mengerti bahasa asli Tamil. Hanya saja terkadang teman-temannya sering menggunakan Bahasa Jawa ketika berinteraksi dengan dirinya. Informan mengatakan tidak pernah mengerti dan tidak terlalu mempermasalahkan penggunaan Bahasa Jawa oleh teman-temannya ketika mereka berkumpul. “Nggak ada bang sama sekali nggak ada. Kalo aku sehari-hari pake bahasa Indonesia bang karena bahasa Tamil nggak ngerti. Tapi mereka kadang sering pake bahasa Jawa juga kalau ngomong sama kawan-kawan yang lain. Aku nggak ngerti entah apa yang dibilangnya. Aku biasa aja apa yang diomongin orang itu biar ajalah. ” Informan bercerita bahwa masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya sangat baik kepadanya. Tetapi ia mengatakan di matanya masyarakat Etnis Pribumi di luar lingkungan tempat ia tinggal dinilainya sebagai orang yang suka menghina. Sering ia mendapati masyarakat pribumi yang berkendara dan lewat didepannya menghinanya dengan sebutan “keling”, terutama di tempat ia berjualan. Pernah suatu kali ia sedang membeli rokok lalu ada masyarakat Etnis Pribumi yang lewat dan mengejeknya dengan kata “keling”. Ketika ia berpaling ke arah suara tersebut ia mengatakan sudah tidak melihat orang yang menghinanya dan pergi berlalu. “Di rumahku bagus-bagus aja orangnya bang, nggak kayak di luar-luar sana gayanya aja yang tengik-tengik semua. Di tempat jualan inilah kadang, jumpa lewat keling-keling katanya. Tapi anak-anak luar sini banyak kali nggak kenal-kenal ya kan. Awak beli rokok keling katanya, entah mana orangnya nggak tau awak udah enggak nampak. Jadi awak pun mikirnya orang ini pribumi tukang ngejek pikiran kotor semua bang. Universitas Sumatera Utara Bagi informan stereotip negatif yang menganggap masyarakat pribumi bersikap rasis seperti ini cukup kuat melekat pada dirinya. Hal itu didasarkan pada pengalaman pribadi yang ia alami dan bukan hanya sekali atau dua kali tetapi sangat sering ia mendapat perlakuan seperti itu. Berkembangnya stereotip dan perlakuan rasis yang dilakukan oleh masyarakat Etnis Pribumi di kalangan masyarakat Etnis India Tamil sangat berpotensi memicu konflik antar etnis yang berkepanjangan. Diperlukan kebijaksanaan dari masing-masing individu baik itu dari Etnis India Tamil sebagai objek maupun Etnis Pribumi sebagai subjeknya. Terutama bagi masyarakat Pribumi yang membenarkan stereotip tersebut melalui perilaku dan tindakan yang mereka tunjukkan. Akan tetapi perlakuan seperti itu sudah biasa dialami informan sehingga ia tidak terlalu memperdulikannya. Stereotip tersebut juga tidak mempengaruhi informan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Pribumi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Alasanya karena semua masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya tidak pernah memanggil atau pun menghinanya dengan sebutan “keling”. Mereka sangat menghormatinya dan memanggilnya dengan sebutan Ane artinya abang dalam Bahasa Tamil dan ia senang kalau ada yang memanggilnya seperti itu. “Ya enggaklah bang soalnya didaerah rumahku nggak ada lagi yang manggil kayak gitu. Orang itu manggilnya ane semua. ” Menurutnya masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya sangat berbeda dengan masyarakat Pribumi yang ada di luar. Ia menilai masyarakat Etnis Pribumi orangnya baik-baik, tidak pernah mencuri dan tidak pernah punya pikiran kotor terhadao dirinya. Namun ada satu hal yang berbeda mengenai masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya, hampir rata-rata dari mereka mencari nafkah dengan cara berjualan narkoba. Ia mengaku merasa nyaman tinggal disana karena memiliki kesamaan dengan dirinya yang sehari-harinya juga berjualan narkoba sebagai usaha sampingan. “Bagus-bagus bang. Baguslah pokoknya nggak ada yang nyuri, nggak ada yang punya pikiran kotorlah, paling bandelnya cuma narkoba ajalah. Universitas Sumatera Utara Jawa di gang aku ya inilah bang jual ini lah bang sambil menggunakan bahasa tubuh yang sedang menggunakan narkoba selain itu nggak ada, rata-rata jual itu semua. Orang itu yang masukin barang pun aku dari sini rap kasi orang itu jual. ” Hubungan antarbudaya di lingkungan informan terlihat cukup baik sama seperti di lingkungan lain. Hanya saya faktor yang mempererat hubungan tesebut bukanlah karena perbedaan dan keragaman yang ada melainkan karena semua masyarakat di lingkungannya dekat dengan narkoba. Baik itu pengedar maupun pengguna. Nilai-nilai budaya sepertinya sudah hilang di lingkungan tersebut yang ada hanya nilai-nilai ekonomi yang menurutnya sangat penting. Dan nilai ekonomi tersebut tercermin melalui aktivitas yang melanggar hukum yaitu narkoba. “Bagus bagus aja bang. Baguslah nggak pernah ribut. Kalo yang khusus nggak ada, kalo nggak yang khususnya banyak. Duduk didepan gang itu. Duduk datang masuk ke belakang tempat penjualan narkoba. Paling pas ada kemalangan ramelah. Rame bukan untuk kemalangan tapi kesempatan untuk gini...menirukan cara menggunakan narkoba. Sama inilah bang ngorek paret gotong royong tiap minggu. Yang ngumpulin inilah pak ketua, ketua PP organisasi massa disitu. Orang kita Jawa juga dia. ” Masyarakat berbeda etnis yang ada di lingkungannya hanya berkumpul ketika ada hal-hal yang menyangkut narkoba. Ia juga menuturkan bahkan ketika ada kemalangan banyak masyarakat antar etnis yang berkumpul tetapi bukan hendak melihat keluarga yang sedang mengalami musibah melainkan memanfaatkan kesempatan tersebut sebagi momen untuk menggunakan narkoba tanpa takut harus ketahuan oleh orang lain. Memang ada beberapa kegiatan lain Universitas Sumatera Utara yang melibatkan masyarakat dari Etnis India Tamil dan Etnis Pribumi seperti gotong royong, namun hal tersebut bukanlah faktor utama yang mendukung kerukunan dan keharmonisan hubungan antarbudayanya. Informan juga menuturkan bahwa ia pernah berkonflik dengan masyarakat dari Etnis Pribumi di lingkungannya. Tetapi masalah tersebut bukan dipicu karena perbedaan melainkan karena narkoba. Ia mengatakan pernah ditipu ketika sedang melakukan transaksi narkoba. Barangnya sudah dikasih tetapi duitnya tidak. Hingga saat ini ia sudah melupakan masalah tersebut karena orang yang menipunya sudah menghilang dan tidak pernah terlihat lagi di lingkunngannya. “Pernah bang, masalah br narkoba lah kena tipu, udah dikasi br-nya duitnya nggak dikasi. Nggak ada sampe sekarang mana ada penyelesaian bawa diam ajalah, orangnya udah lari nggak pernah nampak lagi. Ikhlas ajalah bang, mau melapor awak pun kena juga ya kan. ” Di lingkungan tempat informan tinggal sepertinya nilai-nilai dan toleransi antarbudaya tidak menjadi hal yang penting lagi. Sebab lingkungannya telah dipenuhi dengan peredaran narkoba bahkan dirinya juga menjadi korban sekaligus pelaku dalam kegiatan tersebut. Namun ia juga bertutur dalam menjaga hubungan antarbudaya di lingkungannya ia memiliki cara sendiri yaitu dengan tidak terlalu banyak berbicara jika hal tersebut tidak terlalu penting dan juga saling bertegur sapa adalah hal penting baginya dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan di lingkungannya. Ia juga menuturkan di lingkungannya nilai-nilai agama telah pudar baik itu dirinya maupun masyarakat Etnis Pribumi disana, hanya beberapa masyarakat saja yang menurutnya masih memegang teguh nilai-nilai agama dilingkungannya. “Cara baiknya ya biasalah bang nggak banyak-banyak cakap tegur-tegur biasa aja. Kalo kerukunan beragama yaa cemana lah jarang juga nya sholat orang itu. Awakpun juga jarang ke kuil. Paling satu dua adalah yang tua-tua sholat paling sholat. Muda-mudanya nggak pernah bang. Lebaran lah setahun sekali aja orang itu sholat. ” Universitas Sumatera Utara Ketika ditanyakan apa harapannya mengenai keberlangsungan hubungan antarbudaya di lingkungannya, ia mengatakan ingin tetap terus aman dan tidak ada kerusuhan disana. Namun harapannya lebih berorientasi kepada perihal kegiatan ekonomi disana, dalam hal ini adalah kegiatan peredaran narkoba dan obat-obatan terlarang. Karena menurutnya jika itu terjadi maka tidak akan ada kerusuhan ataupun konflik di lingkungannya. Sangat miris jika melihat hal ini melalui kacamata hukum dan kelangsungan generasi bangsa yang akan datang. “Harapannya apa ya bang untuk supaya kencang aja jalan duit. Awak kasih-kasih obat ke orang itu ya kan. Yang penting habisin barang narkoba. Supaya ekonomi disitu bisa lancar, jadi biar nggak ada rusuh- rusuh bisa lebih baguslah hubungannya ya kan. ” Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama 20 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan khususnya di dalam gang tempat ia tinggal. Adalah Etnis India Tamil, dan Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku Jawa yang tinggal disana. Dalam bergaul informan juga tidak memilih-milih, tempat informan biasa berinteraksi dengan masyarakat Etnis Pribumi adalah di pos piket yang ada di depan gang tempat ia tinggal. Hampir setiap hari ia berinteraksi sepulang berjualan, mereka biasanya membahasa perihal transaksi narkoba, pekerjaan, pacar, taruhan bola dan lain sebagainya. Meskipun terkadang ada beberapa masyakat Suku Jawa yang menggunakan bahasa daerah ketika ada dirinya, ia mengatakan hal itu bukanlah menjadi kesulitan baginya untuk berkomunikasi dan ia pun tidak memperdulikan dan mempermasalahkan penggunaan bahasa daerah tersebut. Setelah diamati, ternyata terdapat stereotip yang bersifat negatif terhadap masyarakat Etnis Pribumi menurut informan. Stereotip tersebut adalah masyarakat Pribumi memiliki sikap rasis terhadap masyarakat Etnis India Tamil. Stereotip ini melekat sangat kuat dan diyakini oleh informan. Berdasarkan penuturan informan stereotip ini tepat karena ia mengalami langsung ketika ada masyarakat Etnis Pribumi yang lewat didepannya dan mengatakan “keling” kemudian pergi berlalu Universitas Sumatera Utara begitu saja. Hal ini ia alami bukan hanya sekali namun sudah sangat sering terutama di luar lingkungan tempat ia tinggal. Tetapi stereotip negatif tersebut tidak mempengaruhinya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Pribumi di lingkungan tempat tinggalnya sebab selama ia tinggal disana ia tidak pernah mengalami peristiwa diskriminatif tersebut. Semua masyarakat Pribumi di lingkungannya menghargai dan menghormatinya tanpa melihat warna kulit yang ia miliki. Secara umum hubungan antarbudaya di lingkungannya terjalin dengan cukup baik, namun jika diamati secara detail maka sepertinya sudah tidak ada lagi nilai-nilai kebudayaan yang dianut sebab gang tempat ia tinggal memandang kebudayaan bukanlah hal yang penting. Karena di lingkungannya transaksi narkoba adalah yang utama sebagai faktor pendukung terjalinnya hubungan antarbudaya yang rukun dan harmonis.

4.1.3.1.4 Informan IV

Data diri informan : Nama : Christafora Jenis Kelamin : Perempuan TTLUsia : Medan, 17 Desember 1951 64 tahun Agama : Kristen Katolik EtnisSuku : India Tamil Alamat : Jl. Cik Di Tiro Belakang No. 18.A Pekerjaan : Penjahit Informan selanjutnya adalah Christafora 64, Bu Chris sehari-harinya bekerja sebagai penjahit di lingkungan tempat ia tinggal. Ia sudah tinggal di lingkungan Kampung Madras sejak ia menikah hingga saat ini, ia sudah tinggal disana selama sekitar 45 tahun. Informan menuturkan etnis yang bermukim di lingkungannya mayoritas adalah Etnis Tionghoa, India, dan Pribumi. Untuk Etnis Pribumi sendiri ada Suku Jawa dan PadangMinang. “Kawasan kampung Madras, saya ya dari nikah sampai sekarang sudah 45 tahun tinggal disini kurang lebihlah. Orang Cina ada, orang Indonesia Universitas Sumatera Utara ada, orang kita Batak nggak ada. Pribuminya Padang, Jawa, India juga banyak. Asal lewat saya semua saya ngomongin, semua saya mau gitu pergaulan di kampung ini. “ Dalam pergaulannya sehari-hari, informan tidak pernah memilih-milih dengan etnis maupun suku apa ia bergaul. Informan setiap harinya berinteraksi dan berkomunikasi dengan etnis Pribumi biasanya di pasar ketika sedang berbelanja dan juga di lingkungan tempat tinggalnya. Konteks komunikasinya sendiri membahas tentang hal-hal yang umum seperti memasak, tentang usaha jahitnya, dan juga tentang penyakit-penyakit yang umumnya diidap oleh mereka yang sudah berumur. Tentang apa obatnya, pantangannya dan lain sebagainya. “Saya senang, kalo begitu saya lewat ke pajak, saya jumpa, saya ngomong gitu, enggak pilih. Setiap hari ke pajak sering saya ngobrol. Ya tentang jahit, tentang sakit-sakit kita gini, ya curhat gitu. Tetangga ada juga orang sini biasa ngomong tentang rumah sakit, tentang sakit, obatnya apa, makanannya apa, jangan makan ini, obatnya ini. Sehari-harinya gitu aja. ” Informan juga mengatakan bahwa tidak pernah menemui kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Pribumi. Menurutnya di lingkungannya semua orang sangat baik dan tidak ada yang berpikir negatif antara satu dengan yang lain. Hubungannya dengan masyarakat Pribumi di lingkungannya juga cukup dekat. Hampir semua tetangga kenal dengan beliau dan beliau menganggap semua masyarakat Pribumi di lingkungannya adalah teman. “Enggak ada, enggak ada. Semua baik-baik gitu. Semua baik, nggak ada eceknya cemburu, iri gitu nggak ada. Dekat, hubungannya senang gitu, “lagi ngapain?” gitu. Kayak teman gitu, suka. Nggak mau diam-diam pergi gitu nggak mau, pasti ada becakap, umapama nya “masak apa gini hari?” gitu suka.” Universitas Sumatera Utara Namun ia juga menuturkan bahwa masyarakat Pribumi di lingkungannya saat ini sebagian ada yang tertutup dan aja juga yang terbuka. Berbeda dengan masyarakat Pribumi yang dulu ia kenal hampir sebagian besar dari mereka terbuka dan bergaul dekat dengannya. Sebagian besar dari masyarakat Pribumi yang dulu sudah pindah dari lingkungan tersebut karena menginginkan tempat tinggal yang lebih besar dan lebih nyaman. Menurut informan masyarakat Pribumi di lingkungannya adalah orang-orang yang baik dan suka menolong. Sebab ketika ia ada masalah seperti pertengkaran antar keluarga di rumahnya, masyarakat Pribumi disana mau membantu melerai ketika dimintai tolong olehnya. Begitu pun ketika anak-anaknya masih kecil, mereka mau memperhatikan anaknya ketika ia sedang bekerja dan tidak pernah membeda- bedakan jika anaknya itu adalah anak keturunan Etnis India Tamil. “Yang sekarang ya masing-masing dirumah lah. Kalo nggak penting kali ya tertutup juga, kalo yang nggak penting kali kita pun nggak mau dekat sama yang tertutup gitu. Kita yang bergaul tiap hari ajalah yang kita deket, eceknya gitu. Cuma kalo ada pertengkaran dirumah kita orang itu mau juga dipanggil gitu. Sering ada rusuh dirumah kita masalah anak- anaklah. Orang itu perhatikan, Ibu kan sering kerja gitu orang itu perhatikan sama anak-anak kita. Cuma udah pada nggak ada orang- orang dulu. Pindah, orangtuanya meninggal anak-anaknya yang udah berhasil pindah nyari rumah yang lebih cantik gitu. Beda, orang dulu yang tinggal disini baik-baik, macam Kak Em, anaknya suaminya, semua baik-baik. Mau tau sama anak-anak, kalau anak-anak lagi main terus nangis mau dia perhatian gitu, nggak pilih bangsa lah gitu. Mereka itu baik-baik, ada yang jualan, ada yang jualan nasi kita sering beli. Baiklah, kalo ada apa-apa gitu dirumah kita entah ada kerusuhan gitu tentang anak orang itu dipanggil terus langsung datang gitu. Macam suami dia Universitas Sumatera Utara menunjuk pada tetangganya gitu, kalau dipanggil terus datang, udah kayak saudara gitu, terus nolong gitu. ” Stereotip yang dimiliki oleh informan mengenai Etnis Pribumi merupakan stereotip yang positif dalam hal ini ia menganggap bahwa masyarakat Pribumi itu baik dan suka menolong. Stereotip tersebut melekat cukup kuat pada informan dan dikuatkan dengan pengalaman langsung informan yang selama ini hidup berdampingan dengan masyarakat Etnis Pribumi dari berbagai suku. Berdasarkan penuturan informan hubungan antarbudaya yang terjalin cukup bagus karena selama ia tinggal ia tidak pernah mendengar maupun melihat ada warga yang menceritakan keburukan mengenai warga lain. Sehingga dapat mencegah gesekan-gesekan kecil diantara individu maupun etnis. Kegiatan peringatan hari kemerdekaan menurutnya adalah salah satu kegiatan yang mampu mengumpulkan dan menyatukan warga sebagai satu bangsa karena disitulah masyarakat dari beragam etnis berkumpul dan berinteraksi. Ia pun menuturkan sering mengadakan pesta pernikahan anaknya dan mengundang masyarakat Etnis Pribumi yang ia kenal untuk datang, berkumpul dan berinteraksi satu sama lain. “Bagus, nggak ada yang saling : kamu nggak bagus, dia nggak bagus, nggak ada. Saling tidak pernah nyaci-nyaci gitu. Berkumpul gitu ada, kalo diundang gitu semuanya ngumpul rame-rame seneng senenglah disni. Ibu kan sering bikin pesta, anakku banyak. Semua datang gitu kalo diundang. Sama paling 17 Agustus lah acara anak anak perlombaan ada, tari-tarian juga ada, juga nyanyi nyanyian, dimana-mana disini adalah keramain 17 Agustus, pasang panggunglah mereka ” Informan pernah memiliki konflik pribadi dengan masyarakat Etnis Pribumi yang disebabkan karena ada seseorang yang menceritakan hal negatif tentang dirinya yakni tentang makanan yang tidak halal. Ia menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan dengan berbicara dan mengklarifikasi terkait cerita negatif yang tersebar tentangnya. Namun orang yang bermasalah dengannya merasa tidak pernah mengatakan hal seperti itu dan ia pun sudah ikhlas Universitas Sumatera Utara dan memaafkan tanpa memperpanjang masalah tersebut. Saat ini hubungannya dengan orang tersebut masih baik karena ia sering menyapa setiap kali mereka bertemu. “Masalah apa itu ya masalah-masalah anak, ada kan anakku ulang tahun dia kita undang, terus dibilangnya nggak usahlah pergi kesana makanannya nanti nggak halal gitu. Padahal dari kecil sering mamaknya bikin kayak gitu. Saya dengar melalui dari orang. Terus saya ngomong ginilah ke dia, mana mungkin kita masak nggak halal, masa kita kasih nggak halal. Kamu memang makan tapi kan kita dosanya itu ada di kita. Terus dia bilang “oh nggak adalah Kak, aku nggak ada ngomong gitu”. Oh udahlah, terus aku nggak berdebat lagi. Saya selesaikan dengan pelan-pelan udah. Saya sendiri mulai cakap sama dia ,saya nggak bisa musuh sama orang dek. Padahal dia lebih muda, kita udah tua saya sendiri ngomong sama dia. Saya nggak bisa nggak ngomong sama orang gitu.” Untuk konflik antar etnis di lingkungan tempat ia tinggal tidak pernah terjadi karena menurutnya semua orang disini sudah berbaur dan tidak pernah membeda-bedakan etnis serta memiliki pemikiran positif dan sikap rasis. Karena selama ia tinggal disana ia tidak pernag mendengar ada masyarakat Pribumi yang mengatakan bahwa Etnis India Tamil itu “keling”. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang dialami WW informan V yang seringkali mendapat perlakuan rasis oleh masyarakat Pribumi. “Nggak ada kita nggak pernah dengar gitu membeda-bedakan nggak ada itu. Ada keributan pun orang nggak pernah bilang “Kamu itu keling, nggak ada itu” kita nggak dengerlah. Orang kita juga nggaak mau bilang kayak gitu ya kan. ” Universitas Sumatera Utara Informan memiliki cara sendiri dalam menjaga hubungan, kerukunan dan keharmonisan dengan masyarakat yang berasal dari etnis yang berbeda. Ia mengatakan bersikap ramah, tidak sombong dan tidak tinggi diri adalah cara yang menurutnya efektif. Ia juga tidak terlalu memperdulikan orang lain yang berpikir negatif tentangnya ia tetap menyapa dan berinteraksi dengan mereka baik itu dari etnis lain maupun dari masyarakat sesama Etnis India Tamil. “Saya nggak pernah sombong sama mereka gitu. Nggak pernah saya itu tinggi diri, lagak gitu kalo lewat nggak mau ngomong. Lewat pun kalo kadang ada orang yang nggak seneng sama saya, saya panggil juga, saya senang gitu. Biar mereka nggak senang itu urusan dia, yang penting saya panggil. Ada juga kita punya suku yang nggak senang sama kita, kita lewat kita panggil “oop” ya udah. Terserah respon kamu kayak mana yang penting saya lewat kalo udah manusia itu nampak saya panggil, nggak pernah saya diem aja. Ya mereka nggak senang nggak suka sama saya, saya nggak perduli sama sekali. Yang penting saya lewat saya panggil. Nah diapun bilang “kemana kak?”, “ke gereja” saya bilang gitu. ” Dalam setiap doa yang ia panjatkan kepada Tuhan, informan berharap seluruh masyarakat dapat hidup rukun dan berdampingan. Khususnya dalam kehidupan bertetangga, karena menurutnya tetangga adalah segala-galanya dan keluarga baginya. Ketika ada hal-hal yang mendesak dan membutuhkan bantuan maka tetanggalah yang selalu ada dan bukannya keluarga yang berada jauh dari tempat tinggalnya. “Maunya tiap hari aku berdoa maunya semua rukun, kalau saya berdoa saya tetap meminta begitu. Karena tetangga ini yang famili buat kita. Tetangga itu adalah segala-galanya sama kita. Karena kita juga ada apa- Universitas Sumatera Utara apa kan, saudara dari jauh belum tentu bisa cepat datang, ya tetanggalah. ” Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama sekitar 45 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan di lingkungan tempat ia tinggal antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa dan Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku Minang dan Jawa. Dalam bergaul informan juga tidak memilih-milih, sebab baginya semua tetangganya sudah ia anggap sebagai keluarga. Ia biasanya berinteraksi di sekitar rumahnya dan umumnya membahas tentang kehidupan sehari-hari seperti menu masakan, usaha menjahitnya, penyakit yang diidap oleh orang seusianya dan lain sebagainya. Tidak terdapat kesulitan bagi informan dalam berinteraksi dengan masyarakat Etnis Pribumi sebab menurutnya semua masyarakat memliki pikiran yang positif terhadap masyarakat lain. Selama ia menetap di lingkungannya informan menuturkan bahwa ia meyakini bahwa masyarakat Etnis Pribumi adalah orang yang baik dan suka menolong. Kedua hal ini dapat diasumsikan sebagai setereotip positif yang berkembang dalam diri informan. Stereotip ini melekat kuat dan diyakini oleh informan karena selama hidupnya ia mengalami langsung hal yang berkaitan dengan stereotip tersebut. Berdasarkan pengamatan berdasarkan penuturan informan, hubungan antarbudaya di lingkungannya terjalin dengan cukup baik karena menurutnya tidak ada masyarakat Pribumi maupun masyarakat yang berasal dari etnis lain yang bersikap rasis, berpikir negatif serta membeda-bedakan latar belakang masing-masing. Informan juga berpendapat bahwa hal kecil yang dimulai dari individu seperti sikap ramah, tidak sombong dan tidak tinggi diri dapat menjadi faktor pendukung dalam menjaga hubungan antarbudaya yang rukun dan harmonis. Universitas Sumatera Utara 4.1.3.2 Informan yang Berasal dari Etnis Pribumi

4.1.3.2.1 Informan V

Data diri informan : Nama : Fahmirawati Jenis Kelamin : Perempuan TTLUsia : Medan, 22 April 1966 50 Tahun Agama : Islam EtnisSuku : PadangMinang Alamat : Jl. Taruma Belakang No. 5A Pekerjaan : Pedagang Makanan Informan kedua adalah Ibu Fahmirawati 50, ia juga merupakan seorang pedagang makanan di kawasan Kampung Madras. Berbeda dengan Mila yang menjual makanan khas India, Bu Mira menjual nasi goreng dan juga mie goreng sebagai menu andalannya serta berbagai minuman hangat maupun dingin juga tersedia di warung makan miliknya. Ia menetap di Kampung Madras sejak lahir artinya selama kurang lebih 50 tahun ia sudah tinggal di kawasan tersebut. Dan sedikit banyak ia sudah mengetahui dan mengenal bagaimana keadaan masyarakat di daerah Kampung Madras sejak dulu hingga sekarang. “Semenjak lahir udah tinggal disini. Jadi kurang lebih udah 50 tahun lah tinggal disini. Disini Ada India, Minang, Jawa, Batak. Kebanyakan orang India, Minang, sama Jawa itu dari dulu. Batak itu baru masuk. Sama itu Chinese..Chinese satu lagi. Ya kalau bergaul ya sama siapa aja nggak pernah milih-milih. Cuma lihat-lihat juga lah orangnya. ” Selama ia tinggal di kawasan Kampung Madras, Bu Mira mengatakan ada beberapa etnis mayoritas di kawasan itu diantaranya adalah India, Minang, Jawa, Chinese dan Batak. Jika dilihat sejak zaman ia kecil, Bu Mira mengatakan bahwa Etnis Batak terhitung etnis baru yang mendiami kawasan tersebut. Keragaman etnik di daerah itu menjadikan ia terbiasa bergaul dengan semua orang dari Universitas Sumatera Utara berbagai etnis, tetapi ia selektif dalam bergaul. Buka berdasarkan etnis melainkan ia memilih teman berdasarkan sifat dan perilakunya. Sama seperti penuturan informan pertama, Bu Mira juga tidak punya waktu khusus dalam menyempatkan berkomunikasi dengan Etnis India Tamil. Karena sibuknya aktivitas berjualan serta masing-masing sudah memiliki kesibukan sendiri. Begitupun ketika ia masih muda, sangat jarang ada waktu khusus untuk berkumpul ataupun nongkrong-nongkrong dengan masyarakat dari Etnis India Tamil. Karena peraturan orangtuanya ketika itu sangat ketat, terlebih lagi ia adalah anak perempuan. Jadi tidak pernah diizinkan untuk berkumpul seperti anak-anak muda zaman sekarang. Kalau untuk saat ini ia hanya berkomunikasi di sela-sela waktu berjualan. Terkadang ia datang ke warung mereka ataupun mereka yang mendatangi warungnya. Serta pada waktu hari-hari besar seperti lebaran maupun jika ada kabar duka, disitulah mereka dapat berinteraksi secara intens. “Ya biasa ajalah kalo kita datangi orang itu atau kita yang datangi orang itu gitu aja. Kalo untuk ngumpul-ngumpul gitu soalnya kan ibu jualan jadi sibuk dengan dagangan sendiri lah. Dulu pun gitu juga waktu masih sekolah jarang ngumpul-ngumpul gitu. Soalnya kan orangtua ibu juga ketat. Mana ada kumpul sana, main sana. Palingan pas lagi hari raya. Kalo orang itu hari raya kita datang. Ada yang menikah kita datang. Kunjung mengunjunglah, ada yang meninggal kita juga datang. Tapi kalau untuk gabung-gabung gitu nggak ada. ” Hampir setiap hari ia berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat dari Etnis India Tamil dan biasanya berlangsung di dekat rumah dan di tempat ia berjualan. Konteks komunikasi maupun isi pesan yang dibahas sama seperti orang bertetangga pada umumnya, mereka membahas tentang usaha, tentang anak-anak dan lain sebagainya. Ia juga menuturkan bahwa tidak ada pembahasan yang formal hanya membahas kehidupan sehari-hari dan sedikit bercanda. Tingkat keseringan ia berkomunikasi dengan masyarakat Etnis India Tamil karena hampir Universitas Sumatera Utara seluruh tetangganya rata-rata masyarakat Tamil serta letak rumah yang sangat rapat yang hanya dibatasi oleh sebuah papan secara tidak langsung terkadang membuatnya mengetahui apa yang sedang terjadi di rumah tetangganya. “Komunikasi ya biasa-biasa aja pas jualan gini. Seloroh-seloroh aja enggak ada yang formal kali. Seringnya ya sering hampir setiap hari soalnya kan kita bertetangga. Ngobrol masalah tentang jualannya, tentang anak-anak, banyaklah. Apa lagi ya masalah duit ya namanya curhat itu kalo sebelah-sebelahan ya pasti ada. Ngobrolnya dekat rumah. Orangkan kita sebelah-sebelah. Dari pintu ke pintu ajalah rumahnya kan rapat. Jadi kalo ada tetangga ngomong ya kedengaran kadang-kadang karena dindingnya kan cuma papan. ” Untuk kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat dari Etnis India Tamil Bu Mira memaparkan bahwa hal tersebut ada tetapi tidak semua hanya beberapa orang tertentu saja. Karena menurutnya setiap orang itu memiliki prinsip dan peraturan yang berbeda sehingga membuatnya merasa tidak cocok ketika berkomunikasi ataupun berinteraksi dengan orang tersebut. Terkadang kesulitan berinteraksi juga dikarenakan adanya pertengkaran antara anak yang membuat orangtua menjadi enggan untuk saling berinteraksi. Pada dasarnya tidak sulit untuk berkomunikasi dengan masyarakat Etnis India Tamil karena ia dengan tetangganya tidak pernah mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Namun ia juga memiliki prinsip sendiri dalam bergaul ada batasan-batasan yang menurutnya harus dijaga dalam bergaul, Karena tidak semua orang itu sama dan bisa dekat dengan kita begitupun sebaliknya. Hal terpenting adalah bagaimana kita mengetahui sifat, sikap dan perilaku orang yang bergaul dengan kita. “Kayaknya tengok orangnya juga lah. Tapi kalo sama sebelah rumah ibu gak adalah. Tapi kadang-kadang kan manusia ini lain-lain. Kadang- kadang ada bangsa yang ketat peraturanlah, ada yang inilah nggak cocok, kan biasalah di kampung kan gitu. Kadang-kadang juga karena ada Universitas Sumatera Utara anaknya yang begado. Makanya kita juga kan jangan rapat kali lah sama orang itu. Bergaul itu juga pakai jarak. Prinsip Bu Mira yang menjaga jarak dalam bergaul merupakan salah satu bentuk pencegahan dini dari terjadinya konflik antarbudaya. Dan merupakan sikap preventif untuk meminimalisir serta menghindari gesekan-gesekan yang mungkin dapat terjadi antara dirinya dengan orang lain. Khususnya dengan masyarakat yang berasal dari Etnis India Tamil. Prinsip itu tidak membuatnya mengalami kesulitan dalam berinteraksi ataupun berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Tamil dengan berpegang pada prinsip seperti itu ia bahkan memiliki tetangga yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri. “Ada, sebelah rumah ibu. Ya itu udah seperti saudara orang India Tamil dia. Sama Chinese pun gitu juga udah macam saudara. Sampai sekarang juga masih kayak saudara. ” Berdasarkan pengalaman Bu Mira, ia menceritakan bagaimana masyarakat India Tamil dari dulu hingga sekarang. Dahulu jika memiliki uang masyarakat India Tamil sering berkumpul dan mabuk-mabukan khususnya para pria. Kalau yang wanita sebagian besar dirumah dan jarang keluar serta tertutup. Berbeda dengan masyarakat Tamil saat ini, sudah tidak ada lagi yang mabuk-mabukan sepert saat Bu Mira masih muda. Cerita Bu Mira ini merupakan pemicu terbentuknya stereotip terhadap Etnis India Tamil. Dimana orang Tamil dinilai suka mabuk-mabukan dan wanita dari Etnis Tamil dulunya tertutup dan lebih banyak berdiam diri dirumah. Stereotip ini cenderung menuju ke arah yang negatif, walaupun saat ini sudah tidak ditemui lagi perilaku masyarakat Tamil yang seperti itu.. Stereotip pada dasarnya sangat sulit untuk dihilangkan terlebih stereotip tersebut adalah stereotip negatif. “Kalau itu semua manusia sama lah dek kayaknya. Cuma mereka ini kalo dulu ya, kalo dulu orang india ini nggak kayak india sekarang. Kalo dulu orang india ini kalo dia ada duit kerjanya mabuk-mabuk. Tapi nggak Universitas Sumatera Utara kayak india sekarang. India dulu ya suka mabuk, ngumpul-ngumpul yang laki-laki ya. Kalo perempuannya banyak dirumah. ” Jika dilihat dari pemaparan Bu Mira mengenai stereotip tersebut maka dapat diamati bahwa stereotip tersebut sangat melekat pada diri Bu Mira dan ia meyakini bahwa stereotip tersebut memang benar adanya. Hal tersebut dapat dibuktikan sebab ia melihat secara langsung di lingkungan tempat tinggalnya pada saat itu. Namun ia hanya mengatakan bahwa hal tersebut terjadi di lingkungannya dan tidak mengetahui bagaimana di lingkungan pemukiman Etnis India Tamil yang lain. “Ya dari lingkungan ibu. Makanya kita bisa cakap. Karena orang yang dulu banyak Indianya pemabuk. Di lingkungan ibu ya. Tapi nggak taulah di lingkungan lain. Itu dulu sekarang nggak lagi. Orangnya udah pada pindah-pindah. ” Berkembangnya stereotip mengenai Etnis India Tamil tersebut tak lantas mempengaruhi keinginan dan niat Bu Mira dalam berinteraksi dengan mereka. Karena hal tersebut terjadi di masa lampau, terlebih lagi masyarakat yang mendukung stereotip tersebut saat ini sudah tidak tinggal di kawasan itu dan sudah banyak dari mereka yang pindah ke tempat lain. Sehingga sudah tidak ada lagi masyarakat Etnis Tamil yang sering mabuk-mabukan di daerah tersebut. Ia juga menceritakan bahwa masyarakat Etnis India Tamil sekarang sudah lebih modern dan mengalami peningkatan dari sisi ekonomi jika dibandingkan dengan masyarakat India Tamil pada waktu itu. Banyak dari mereka yang sukses dalam berdagang dan berwirausaha di daerah tempat ia tinggal. “Nggak pengaruh kali karena udah biasa menghadapinya. Kalo sekarang indianya modern. Istilahnya banyaklah yang udah diatas. Dulu dari semua suku india itu ada dibawah. Kalo sekarang udah banyak yang keataslah sikit. Sudah pandai berdagang. Dalam hal ekonomilah Universitas Sumatera Utara pokoknya. Sekarang bukan orang padang aja yang pandai berdagang, orang Ind ia juga banyak.” Stereotip yang melekat dan benar adanya membuat Bu Mira terbiasa dan mengharuskannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya pada masa itu. Karena menurutnya selama mereka minum mereka tidak pernah mengganggu sehingga ia tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Ia menuturkan bahwa sampai saat ini ia masih tetap berhubungan baik dengan salah satu temannya yang ketika itu juga sering mabuk-mabukan. “Biasa aja kita harus pandai bawa dirilah. Dia kan minum nggak mengganggu kita. Dia kan minum untuk dirinya sendiri. Ada juga kok kawan ibu yang dulu kayak gitu, tapi ya kita tetap bekawan, becanda ya becanda seloroh ya seloroh sampe sekarang pun. Eceknya nggak ada inilah. ” Berdasarkan penuturan Bu Mira mengenai kondisi hubungan sosial yang ada di Kampung Madras sepertinya agak sedikit berbeda dengan penuturan informan pertama. Di kawasan ini sebagian masyarakat Tamil ada yang mau bersosialisasi dan ada juga yang tidak. Sebagian terbuka dan sebagian ada yang menutup diri. Seperti ketika ada kemalangan di tempat ia tinggal, tidak semua masyarakat mau membantu tetapi sebagian besar ada juga yang membantu. Menurutnya tidak semua manusia itu sama tetapi selama tidak saling mengganggu hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Bu Mira. “Sosial? Kayaknya ada yang mau bersosial ada yang enggak. Ada yang terbuka ada juga yang tertutup. Misalnya kalo ada orang yang pesta atau meninggal dia mau bantu, tapi ada juga yang nggak mau tau. Nggak semuanya sama. Modelnya siapa lu siapa gua. Dia dia kita kita selama nggak saling mengganggu ya nggak apa-apa. ” Universitas Sumatera Utara Di kawasan Kampung Madras sebenarnya tidak ada kegiatan khusus yang melibatkan masyarakat antara Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil secara langsung. Tetapi kebersamaan antar etnis dapat dilihat pada hari besar ketika ada acara keagamaan yang diselenggarakan di kawasan tersebut. “Nggak ada. Karena orang ini kan orang ini ada acara khusus gitu. Tapi adalah India yang muslim. Kan dia buat acara misalnya 1 Muharram orang itu kan bikin acara, terus bagi-bagi beras atau bagi apa dia manggil yang nggak muslimnya juga gitu. ” Seperti pada tanggal 1 Muharram yang merupakan tahun baru bagi mereka yang beragama Islam. Biasanya masyarakat muslim India Tamil mengadakan acara dan melakukan sedekah dengan membagi-bagikan beras kepada siapa saja yang membutuhkan meskipun mereka yang berasal dari agama dan etnis yang berbeda. Sebagai seorang individu, Bu Mira juga pernah mengalami konflik pribadi dengan salah satu masyarakat Etnis Tamil. Permasalahan umum seperti pertengkaran antara anak dengan anak yang akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan melalui komunikasi yang baik antara dirinya dan orangtua dari anak tersebut tanpa harus berlarut-larut sehingga dapat menciptakan suasana yang nyaman dalam kehidupan bertetangga. “Kalo dulu nggak ada. Tapi kalo sekarang adalah itupun kan karena anak-anak. Ya biasalah anak sama anak begado. Ya kita pisah la, kita ngomong orangtua sama orangtua. ” Bu Mira terlihat sangat khawatir dengan lingkungan Kampung Madras saat ini. Hal ini dikarenakan pernah ada konflik antara anggota masyarakat Etnis Tamil dengan anggota masyarakat Etnis Pribumi. Bukan karena perbedaan yang mereka miliki melainkan dipicu karena maraknya peredaran narkoba di kawasan ini. Universitas Sumatera Utara “Adalah sekarang kan zaman ada yang pro dan ada yang kontra begado- gado itu adalah. Disini kan juga lingkungan narkoba biasalah kawan sama kawan. Soalnya kan narkoba ini bikin emosi orang naik jadi marah lah.” Dulunya jika ada konflik-konflik yang melibatkan antar etnis biasanya diselesaikan dengan cara kekeluargaan melalu mediasi oleh tokoh-tokoh masyarakat yang ada disana. Tetapi karena pada saat itu yang menjadi akar masalahnya adalah narkoba, maka ranah kekeluargaan bukan cara yang tepat mengahdapi konflik seperti itu. Hingga akhirnya pihak berwenanglah yang harus turun tangan dalam menyelesaikan konflik tersebut. “Paling orang-orang tua lah. Tapi pun orangtua juga udah malas ngeladeni anak sekarang. Soalnya kan sekarang banyak anak muda yang udah pakai narkoba. Jadi kalo kita lawan kita juga yang kena. Jadi panggil polisi lah. ” Setelah konflik tesebut terjadi dan segera ditangani pihak yang berwenang keadaan lingkungan Kampung Madras sepertinya tidak berpengaruh secara keseluruhan. Hanya masyarakat yang bertempat di basis-basis narkoba yang tidak menerima kejadian tersebut. Selebihnya tidak mempermasalahkannya karena hal tersebut adalah masalah hukum. “Kalo masyarakat aman-aman aja tapi ya lingkungan narkoba itulah paling yang nggak te rima karena ada polisi itu tadi.” Sebagian dari masyarakat termasuk Bu Mira sangat khawatir karena kejadian itu. Meskipun tidak mempengaruhi hubungan antar etnis tapi tetap saja semua masyarakat harus waspada, menjaga jarak serta berhati-hati dalam bergaul dan memilih teman. Agar tidak terlibat dengan hal-hal yang menyangkut hukum karena bisa berimbas terhadap aktivitas ekonomi di kawasan tersebut. Universitas Sumatera Utara “Ya mengganggulah agak jantungan juga. Kita kan jualan disini kan bisa pula nanti kena sasaran . Kalo hubungan antar etnis ya masih baik-baik aja. Cuma ya itu tadi kita jantungan lihat orangnya juga. Jaga jarak ajalah pokoknya. ” Saling menghormati adalah hal mutlak yang harus dilakukan setiap masyarakat dalam kehidupan multietnis dengan beragam perbedaaan dan pandangan. Hal ini adalah salah satu cara Bu Mira dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan di tempat ia tinggal. Menurutnya saling menghormati itu tidak bisa dilakukan hanya dari satu sisi. Jangan pernah menunggu orang terlebih dahulu menghormati kita, tetap mulailah menghormati mereka terlebih dahulu. “Menghormati, ya tergantung kita juga. Kita menghargai orang itu orang itu juga menghargai kita. Ya misalnya kalo orang itu lagi sembahyang, sembahyangnya di kuil kan. Ya kita hargailah jangan bikin ribut. Begitu juga dengan mereka, pas kita lagi ada adzan orang itu juga harus tenang. Ya saling mengerti lah. ” Beliau sangat yakin karena dengan begitu keharmonisan dapat terwujud. Implementasi dari sikap saling menghormati ia tuturkan ketika sedang beribadah. Masyarakat Etnis Tamil yang beragama Hindu umumnya beribadah di kuil dan sudah sepatutnya masyarakat dari etnis lain tidak mengganggu mereka dengan cara tidak membuat keributan. Begitupun sebaliknya ketika adzan berkumandang masyarakat dari etnis lain juga harus menghargai. Intinya harus ada toleransi dan saling pengertian. Ketika ditanyakan mengenai harapannya terhadap keberlangsungan hubungan antar etnis yang tinggal disini, Bu mira mengatakan kedepannya harus aman dan rukun. Tetapi ia lebih berharap kalau narkoba bisa dibersihkan dari kawasan Kampung Madras. “Ya maunya aman, rukun, kalau bisa dihilangkanlah narkoba ini. Karena keributan itu dari narkoba ini. Karena narkoba emosi orang jadi tinggi. Universitas Sumatera Utara Mengganggu kita lah, soalnya kan asap-asapnya bisa merusak kalo kita hirup. Rokok aja bahaya apalagi asap ganja itu. Pemerintahlah yang harus tanggung jawab, terkadang malah pemerintah itu sendiri yang jualan. Dia juga yang jual dia juga yang nangkap. ” Ia juga menegaskan tentang bagaimana bahaya narkoba bagi pengguna dan bagi orang-orang yang berada disekitarnya. Dan bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam hal ini. Karena berdasarkan kacamata beliau terkadang malah utusan pemerintah yang berseragam aparatlah yang melakukan kegiatan transaksi narkoba di kawasan ini. Karena menurutnya kemungkinan besar narkoba juga dapat menjadi pemicu timbulnya konflik. Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama kurang lebih 50 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa, Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku PadangMinang dan Jawa. Adapun Suku Batak namun masih sedikit yang tinggal di lingkungannya. Informan hampir setiap hari berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis India Tamil. Ia biasa berinteraksi dan berkomunikasi di tempat ia berjualan dan rumahnya, konteks komunikasi sendiri merupakan komunikasi yang non formal karena sehari-hari ia membahas tentang dagangan, keluarga, menu masakan dan lain sebagainya. Ia pun memiliki teman dekat yang berasal dari Etnis India Tamil dan juga Etnis Tionghoa. Baginya tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi karena sehari-hari mereka berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Informan memiliki stereotip negatif terhadap masyarakat Etnis India Tamil yang melekat cukup kuat dan tepat. Karena didasarkan pada pengalaman langsung yang terjadi di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Stereotip tersebut mengenai masyarakat Etnis India Tamil yang suka mabuk-mabukan khususnya bagi kaum pria. Sedangkan kaum wanita lebih banyak berdiam diri di rumah dan tertutup. Namun stereotip negatif tersebut menurut informan sudah tidak terlihat lagi saat ini karena ia sudah tidak pernah lagi melihat masyarakat Etnis India Tamil yang Universitas Sumatera Utara suka mabuk-mabukan di lingkungannya. Selain itu ada juga stereotip positif mengenai masyarakat Etnis India Tamil yang identik dengan berdagang. Hal ini dikuatkan dengan banyaknya masyarakat Etnis India Tamil yang memilih berdagang dalam mencari nafkah, berbeda dengan zaman dulu. Berkembangnya stereotip negatif tadi tak lantas mempengaruhi niat informan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, hanya saja dalam bergaul ia lebih memilih selektif dan menjaga jarak dengan masyarakat Etnis India Tamil. Hubungan sosial dan antarbudaya di kawasan Kampung Madras cukup baik, namun sama seperti lingkungan lain pada umumnya terdapat masyarakat yang terbuka dan ada pula yang tetutup. Pernah ada konflik antara etnis yang berbeda namun hal itu disebabkan karena narkoba sehingga tidak berpengaruh terhadap hubungan harmonis yang telah terjalin di kawasan Kampung Madras. Faktor yang mendukung terjalinnya hubungan baik tersebut adalah dikarenakan masing-masing individu memiliki sikap saling mengahargai, toleransi dan saling mengerti.

4.1.3.2.2 Informan VI

Data diri informan : Nama : Inis Cintia Jenis Kelamin : Perempuan TTLUsia : Medan, 16 Desember 1971 45 Tahun Agama : Islam EtnisSuku : PadangMinang Alamat Kios : Jl. KH. Zainul Arifin Pekerjaan : Pedagang Makanan Dan Minuman Ringan Wawancara peneliti dengan Bu Inis 45 sebagai informan dilakukan di sela-sela kesibukannya berjualan, tepat di depan kios kecilnya yang menjual berbagai makanan ringan, minuman ringan, ada juga rokok. Bu Inis sudah cukup lama mengenal kawasan Kampung Madras sejak ia masih gadis hingga saat ini ia masih berjualan di kios kecil miliknya itu. Jika diperkirakan maka ia sudah berada dan mengenal Kampung Madras sekitar 20 sampai dengan 25 tahun. Dahulu dia hanya membantu ayahnya berjualan di kios tersebut namun hampir setiap hari ia Universitas Sumatera Utara menghabiskan waktunya disana. Saat ini ayahnya telah wafat dan beliau mewarisi kios kecil tersebut. Hari-harinya saat ini lebih banyak dihabiskan di kios kecil miliknya itu. “Kalo jualan ini dari turunan dari bapaknya ibu, lajang lah. Sekarang kan dia udah meningal jadi ibu lah sekarang yang jualan. Tapi kalo dari jaman gadis dulu ibu udah sering bantu bapak jualan disini. Jadi udah lumayan lama lah. Lama kali lah udah disini ” Selama ini beliau mengetahui bahwa daerah Kampung Madras didominasi oleh masyarakat yang berasal dari Etnis India, Tionghoa, Jawa, Padang, dan Mandailing. Dari beberapa etnis yang telah ia sebutkan ia mengatakan Suku Padang adalah yang paling banyak menetap disana diantara etnis maupun suku lainnya. Ia sangat terbuka dalam bergaul dan bersosialisasi. Baginya bergaul tidak perlu memandang dari suku maupun etnis melainkan ia bergaul karena melihat bagaimana individunya itu sendiri. Bahkan jika ia merasa seseorang tidak cocok dengannya meskipun berasal dari suku yang sama ia memilih tidak bergaul dengan orang tersebut. Bu Inis menceritakan ketika masih muda ia memiliki teman akrab dari Etnis India serta Tionghoa dan bukan berasal dari masyarakat pribumi. Tidak hanya dengan wanita, ia juga berteman dekat dengan beberapa pria dati Etnis Tamil. “Cina ada, India, Jawa, Padang, campurlah pokoknya. Padang tapi yang banyak. Mandailing ada juga. Semua gaul. Kalo cocok india ibu bergaul sama india. Tergantung orangnya. Orang padang pun kalo nggak cocok ya ibu nggak mau bergaul. Dulu pas gadis kawan akrab ibu india sama juga ada cina. Teman-teman dekat ada juga India-India macam laki-laki kawan-kawan seloroh gitu juga ada.” Untuk kegiatan interaksi komunikasi dengan Etnis Tamil, Bu Inis sendiri melakukannya hampir setiap hari kecuali hari dimana ia tidak berjualan. Biasanya ia tidak membuka kiosnya pada hari minggu. Biasanya ia dan masyarakat Etnis Universitas Sumatera Utara Tamil di sekitar Kampung Madras berbincang membahasa hal-hal yang umum seperti tentang pendapatan per hari dan sedikitnya pembeli yang datang pada hari tersebut. Mereka tidak pernah membahas hal yang sensitif seperti menceritakan keburukan orang dan lain sebagainya. Terkadang ia juga sesekali bersenda gurau dengan Kak Mila yang warung makanannya tak jauh dari kios miliknya. “Ya kalo jualan ajalah di dekat sini hampir setiap hari kecuali hari minggu ibu nggak jualan. Di sekitar sinilah tempat jualan ini, kadang di tempat jualan si Mila itu yang martabak itu. Kadang juga ditempat jualan yang lain. Paling ya tentang jualan kadang jualan sepi. Masalah-masalah dagang ajalah. Kalo memburuk-burukkan nyeritain orang ya enggaklah. Masalah dagang aja seloroh-seloroh. Tapi kalo serius-serius kali nggak adalah. ” Baginya berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Tamil sangat mudah, tidak ada kesulitan karena bahasa yang digunakan sama seperti bahasa sehari-hari. Tetapi ia juga menuturkan terkadang hambatan dalam berkomunikasi terbesar baginya adalah emosi. Karena ada beberapa masyarakat Etnis Tamil yang sering berhutang di kiosnya dan tak kunjung membayar sehingga membuatnya emosi ketika berinteraksi dengan orang tersebut. Salah satu cara ampuh dalam meredam emosinya adalah dengan memadukannya dengan candaan sehingga orang yang menjadi lawan bicaranya tidak merasa terintimidasi dan tidak membawa hal yang Bu Inis katakan ke dalam hati. “Ya enggak lah, cuma kadang-kadang mau juga macam naik-naik syekh sediki emosit gitu. Karena ada yang sering hutang lama bayar. Dibawa seloroh aja gitu ujung-ujung nya.” Hidup dengan dikelilingi masyarakat Etnis Tamil disekitarnya membuat Bu Inis terbiasa berhubungan dengan masyarakat Tamil. Ia menganggap masyarakat Tamil sama seperti masyarakat pada umumnya. Hal itulah yang membuatnya sangat mengenal Etnis Tamil. Sejak dulu pria Etnis Tamil sering Universitas Sumatera Utara diidentikkan sebagai pemabuk dan disebut “ular”. Stereotip inilah yang berkembang di kalangan masyarakat Pribumi tentang Etnis India Tamil. Berdasarkan penuturan informan sebelumnya yang mengatakan bahwa stereotip mengenai pria dari Etnis India Tamil adalah pemabuk ternyata sama dengan apa yang dituturkan oleh Bu Inis. Namun menurut pendapat Bu Mira sebagai informan kedua, hal itu hanya terjadi pada masa lalu. Ia berpendapat bahwa masyarakat Etnis India Tamil saat ini sudah jarang dan hampir tidak dapat ditemui lagi mereka yang suka mabuk-mabukkan. Stereotip yang mengatakan bahwa orang Etnis Tamil adalah “ular” sudah ada sejak lama. Berdasarkan penuturan Bu Inis sudah banyak orang yang mengetahui stereotip itu. Bahkan Bu Mira pernah bercanda sambil menyindir dengan mengatakan bahwa temannya yang Tamil suka “ngular” dan repons dari masyarakat Tamil itu sendiri terlihat biasa saja. Karena menurutnya stereotip itu sesuai dengan apa yang terjadi. Sebab ia mengalami stereotip tersebut dalam bentuk nyata, bukan hanya sebatas stereotip. “Kayaknya ibu, macamnya, namanya tetangga kebanyakan india ya nggak ada macam biasa aja gitu. Semenjak ibu kecil kan udah ada orang Tamil jadi nggak terkejut lagi biasa aja. Jadi nggak terlalu terkejut gitu. Soalnya kan kadang India ini menyebalkan karena mabuknya, kadang-kadang ularnya ya seperti itulah. Cakap-cakap di mulut lain dengan perbuatannya. Ya namanya kita bergaul sama laki-laki. Laki-laki ya perempuan nggak juga.Udah pasaran udah banyak juga yang bilang India itu kan memang gitu. Kadang pun kan kita kick juga, “ngular” kau sambil bercanda-canda kayak gitu. Orang itu pun biasa aja dibilang gitu, orang dia pun tau dibilang dia suka ngular. Orang udah tau udah pasaran.“ Stereotip “ular” atau “ngular” maksudnya adalah kebiasaan berbohong seseorang dimana perkataan tidak sesuai dengan perbuatan. Dapat juga diartikan Universitas Sumatera Utara sebagai penipu seperti sering mengingkari janji. Bu Inis sendiri mengalami langsung bagaimana stereotip tersebut memang tepat dan benar adanya. Ia bercerita seringnya masyarakat Tamil berhutang di kiosnya dan berjanji akan segera membayar tetapi tak kunjung dibayar dalam waktu yang cukup lama. Awalnya ular atau ngular ini hanyalah bahan candaan, tapi karena seringnya perilaku ditunjukkan maka lama kelamaan menjadi stereotip dan berkembang hingga sekarang. “Ngular ini kan eceknya nipu gitu. Kejadian-kejadian gitu ya pernah lah kayak ingkar janji. Macam masalah orang India ini ngutang gitu, katanya mau dibayar nyatanya nggak...kan dasar ular. Padahal ecek-ecek ajanya seloroh gitu bukan serius. Sebenarnya kan udah dari dulu sering orang ngucapin kata-kata gitu jadi udah terbiasalah orang bilang ngular gitu. Ya biasa aja sih. Kalo perkara ngular orang kita pun suka ngular juga. Orang kita pun banyak gitu ya kan. Tetap bekawan aja biasa aja tetap terbukalah. ” Tetapi stereotip tersebut tidak membuat Bu Inis menahan diri ataupun enggan untuk berhubungan maupun berinteraksi dengan masyarakat Tamil. Berdasarkan penuturannya ia masih tetap berteman dan terbuka dengan orang Tamil. Ia mengatakan semua orang sering berbohong dan menipu bukan hanya orang Tamil. Masyarakat pribumi juga banyak yang penipu bahkan banyak dan lebih parah. “Ya biasalah kaya orang lain sama ajalah. Tapi sekarang lain sama dulu. Kalo sekarang Indianya banyak yang berdagang. Kalo orang-orang India yang senang ya dagangnya yang keren-kerenlah buka ruko jualan toko sari gitu. Kalo yang biasa-biasa ya jualannya mie rebus, martabak, kayak gitu rata-rata India juga India muslim. Namanya muslim ya muslim. India ya India. Sama aja sih sebenarnya kayak yang lain- lain.“ Universitas Sumatera Utara Seiring berjalannya waktu terdapat perubahan paradigma terhadap masyarakat Etnis India Tamil. Jika dulunya kehidupan ekonomi mereka biasa- biasa saja tetapi saat ini sudah banyak masyarakat Tamil yang mencari nafkah dengan berdagang dan berbisnis. Mereka yang tingkat ekoniminya tinggi umumnya membuka toko yang menjual pakaian khas Indian seperti kain Sari. Sedangkan yang tingkat ekonominya biasa saja umumnya berjualan makanan khas India seperti martabak, roti cane dan mie rebus khususnya India Tamil yang beragama muslim. Perubahan paradigma ini menciptakan sebuah stereotip yang menganggap bahwa masyarakat Etnis India Tamil adalah masyarakat yang pandai berdagang dan berbisnis. Stereotip positif ini didapatkan informan melalui penglamannya langsung yang mengamati dari waktu ke waktu selama ia hidup berdampingan dengan mereka. Untuk hubungan antar etnis di Kawasan Kampung Madras sangat baik dan tidak pernah ada gesekan-gesekan antara Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil. Selama ia berjualan di kawasan Kampung Madras Bu Inis juga tidak pernah mendengar ataupun melihat ada konflik antar etnis yang terjadi. Hal tersebut didukung dengan berbaurnya masyarakat dari beragam etnis dan latar belakang dalam sebuah kegiatan. Seperti kegiatan Isra’ Mi’raj yang biasanya diselenggarakan oleh masyarakat Etnis Tamil yang beragama Islam. Meskipun acara tesebut adalah acara umat Islam tetapi yang juga ikut merayakannya adalah masyarakat muslim yang berasal dari Etnis Pribumi. Agama adalah salah satu faktor yang mempererat ikatan antara Etnis Tamil dan Etnis Pribumi di kawasan Kampung Madras. “Hubungan bagus nggak pernah ada rusuh-rusuh disini. Mudah-mudahan aman disini. Disini kan India ada juga yang muslim paling kadang ya pas Isra’ Mi’raj buatnya ya di jalan besar ini. Biasanya itu orang India muslim yang buat. Walaupun India muslim yang buat tapi kan yang datang ya orang kita juga banyak dari macam-macam tapi yang muslim ya. Kalau konflik gitu masalah-masalah gitu ibu nggak tau nggak pernah Universitas Sumatera Utara open-open sebenarnya. Jadi ya menurut ibu nggak adalah selama ibu jualan disini. ” Pada dasarnya Bu Inis adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari konflik pribadi dalam kehidupannya sehari-hari. Ia menuturkan pernah memiliki masalah dengan salah satu anggota masyarakat Etnis Tamil. Penyebabnya adalah karena hutang yang tak kunjung dibayar. Ia sempat memarahi orang itu dan tidak memperbolehkannya berhutang lagi di kiosnya. Namus seiring berlalunya waktu masalah tersebut sudah ia lupakan sebab orang India Tamil yang berkonflik dengannya juga menerima hal itu dan tidak menaruh dendam padanya. Konflik tersebut sama sekali tidak mempengaruhi keduanya dalam berinteraksi. Hingga saat ini ia pun masih berhubungan baik dengan orang itu. Masih saling bertegur sapa dan terkadang sesekali bercanda. “Kalo slek-slek besar nggak ada. Paling ya seloroh-seloroh tegang- tegang urat ada tapi nanti baikan juga. Biasalah namanya orang jualan. Kadang emosi sama yang tukang parkir ini. Sama dia lah yang sering. Karena kan dia suka ngakalin. Kadang nanti ngambil nanti sampai berhari-hari baru dibayarnya. Bapaknya ibu kan pernah gini, dia kan dikasih utang kadang dia suka ngakalin kalo nggak diminta nggak dibayar-bayarnya. Jadi ibu bilang sama bapak dia jangan lagi dikasih utang. Tapi sekarang udah nggak lagi karena ibu marah sama dia. Kan jualan ini untungnya berapalah. Nanti mau dia berhari-hari dibawa lupa. Sama dia aja yang lain nggak ada. Tapi dia ini bangsa nggak dendam. Kayak mana kita marah sama dia, dia tetap mau negur kita. Kadang- kadang kan emosi kita naik gitu. Tapi bagusnya dia nggak dendam pulak. ” Universitas Sumatera Utara Berbeda dengan pengakuan informan sebelumnya, Bu Inis memiliki cara sendiri dalam menjaga kerukunan dan ke harmonisan antarbudaya di tempatnya berjualan. Ia menuturkan masyarakat Etnis India Tamil senang bercanda, ia juga mengatakan candaan dan seloroh adalah sala satu cara jitu dalam menjaga hubungan baik dengan semua orang termasuk dengan masyarakat Etnis Tamil disekitar kios tempatnya berjualan. Karena ia disini hanya mencari nafkah dan tidak pernah berniat mengganggu masyarakat yang berada di lingkungan itu. “Kayak manalah ibu kan hanya sebatas jualan ya kalo orang India kan sering selorohin. Caranya kalo orang itu seloroh ya kita bawa bercanda ajalah sama dia. Ya biasa ajalah. Harapannya ya kalau bisa aman-aman ajalah. Namanya Ibu jualan disini kalo bisa jangan digusurlah jualan ibu. Bagus-bagus ajalah kedepannya saling menghargailah semua yang tinggal sama yang jualan disini. ” Sebagai orang yang sudah lama berjualan di lingkungan itu, Bu Inis hanya berharap agar situasi dan kondisi dapat selalu aman. Dan semua masyarakat bisa saling menghargai satu sama lain. Baik itu mereka yang menetap disana maupun mereka yang hanya menumpang untuk mencari nafkah. Sehingga tidak akan ada potensi konflik yang akan terjadi di masa yang akan datang. Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah berjualan selama kurang lebih 20-25 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa, Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku PadangMinang dan Jawa. Informan juga bergaul dengan semua masyarakat yang menurutnya cocok bergaul dengannya. Ia berinteraksi dengan masyarakat Etnis India Tamil hampir setiap hari kecuali pada hari Minggu, karena ia tidak berjualan pada hari itu. Informan biasa berinteraksi dan berkomunikasi di tempatnya berjualan dengan pelanggan maupun dengan pedagang lain yang ada disekitarnya. Secara teknis tidak ada kesulitan bagi Universitas Sumatera Utara informan dalam berkomunikasi, namun menurutnya hambatan terebut ada ketika ia sedang berada dalam tingkat emosional yang tinggi. Terdapat seterotip negatif dalam diri informan terhadap masyarakat Etnis India Tamil antara lain suka mabuk- mabukan dan suka “ngular” berbohongmenipu. Dalam penuturannya informan lebih menegaskan mengenai stereotip yang mengatakan bahwa masyarakat Etnis India Tamil suka berbohong melekat cukup kuat dan tepat. Hal ini dikarenakan pengalaman langsung yang terjadi pada dirinya serta informasi dari lingkungan sekitar yang ia miliki terkait dengan stereotip tersebut. Namun stereotip negatif tersebut tidak mempengaruhinya dalam berinteraksi dengan masyarakat Etnis India Tamil sebab ia memandang masyarakat Etns India Tamil bukan sebagai suatu etnis melainkan sebagai seorang individu. Selain stereotip negatif terdapat pula stereotip positif yang menurutnya masyarakat Etnis India Tamil saat ini identik dengan berdagang, berbeda dengan zaman dahulu ketika ia masih muda. Dan juga menurutnya masyarakat Etnis India Tamil memiliki toleransi tinggi dan gemar bercanda. Hal ini ia lihat secara langsung dan juga dengan melihat kondisi sekitar saat ini. Berdasarkan pendapat informan hubungan antarbudaya terjalin dengan cukup baik karena dipengaruhi faktor toleransi beragama yang tinggi dari masing- masing etnis yang hidup berdampingan disana. Ia pun berharap agar kedepannya hubungan antarbudaya terjalin dengan harmonis, aman, dan damai sebab ia hanya mencari nafkah di kawasan tersebut.

4.1.3.2.3 Informan VII

Data diri informan : Nama : Maysarah Jenis Kelamin : Perempuan TTLUsia : Galang, 04 Mei 1967 49 tahun Agama : Islam EtnisSuku : Jawa Alamat : Jl. Cik Di Tiro Belakang No. 29 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Universitas Sumatera Utara Informan selanjutnya ialah Maysarah 49 yang sehari-harinya beraktifitas sebagai ibu rumah tangga. Bu May berasala dari Galang dan telah menetap di lingkungan Kampung Madras selama kurang lebih 27 tahun. Ia menetap disana tepat setelah ia menikah dengan suaminya yang telah terlebih dahulu tinggal di lingkungannya saat ini. Informan juga mengatakan ada beberapa etnis yang menetap diantaranya adalah Etnis Tionghoa, India, dan Pribumi yang diwakili Suku Jawa, Minang dan Mandailing. “Kalau ibu sudah sekitar 27 tahun, dari tahun berapa tuh ya sekitar 8788 lah. Ibu sebelumnya di Galang sekolahnya, tamat ke Jakarta habis itu balik ke Medan kerja, berumah tangga. Bapaklah orang lama disini. Cina, India, Pribumi. Pribuminya ada Jawa, Padang, Mandailing ada juga.” Dalam bergaul informan menuturkan bahwa ia tida bergaul begitu dekat dengan masyarakat di sekitar lingkungannya. Hanya orang-orang tertentu yang sering ia ajak untuk berkomunikasi secara intens, baik itu yang berasal dari Etnis India maupun etnis-etnis lain. Ia menuturkan biasanya sering berinteraksi dengan masyarakat Etnis India Tamil adalah ketika sedang berbelanja di pasar dan konteks komunikasinya sendiri seputaran dengan aktifitas yang ia lakukan seperti berbelanja dan menu masakan apa yang hendal dimasak pada hari itu. “Ibu sih kalau misalkan bergaul itu nggak pernah bergaul dekat, ya sekedar kalau kita lewat tegur aja gitu. Ya kalo misalkan teguran semua etnis kalau kita lewat teguran. Yang sering ngobrol orang-orangnya tertentu. Kalaupun dia etns india tertentu orangnya, kalaupun dia etnis india tertentu aja kita mau ngobrol. Kalau pas ketemu aja di pajak. Tapi pas ke pajak dekat sini itu yang sering ketemu. Kalau pajak petisah kan jarang ketemu. Kalau pajak yang disini ibu sekali-sekali. Paling kalau ketemu dipajak ya nanya belanja apa hari ini, masak apa hari ini,yang gitu-gitu aja .” Universitas Sumatera Utara Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis India Tamil mengatakan terdapat kesulitan ketika ia sedang berinteraksi dengan beberapa orang kemudian mereka mencampurkan bahasa India Tamil dalam obrolannya. Ia mengaku ketika hal itu terjadi maka sikapnya adalah dengan pamit pergi karena sebab ia tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan sehingga membuatnya merasa tidak nyaman. “Kalau sekedar berkomunikasi nggak ada, kadang kesulitannya kalau kita lagi ngomong gitu kan ada etnis India, mereka ngobrolnya bukan bahasa Indonesia, dia terus ngobrolnya bahasa India. Kalau dia udah ngomong bahasa India ya ibu tinggalin. Karena kan nggak pakai bahasa Indonesia, karena kan kita nggak tahu apa yang dibicarakannya, entah dia membicarakan kita kan kita nggak tau. Jadi ya Ibu tinggalin aja. ” Informan menuturkan ia tidak memiliki hubungan dekat dengan anggota msyarakat Etnis India Tamil dikarenakan perbedaaan agama. Kedekatannya hanya sebatas interaksi yang tidak terlalu dalam dan ia membatasi interaksi dengan mereka. Khususnya masyarakat Etnis India Tamil yang tidak menganut dan tidak berkeyakinan sama dengan agama yang dianutnya. “Kalo dekat ya tetangga, sekedar kita ngobrol gitu aja tetanggalah, tapi kalo sedekat kita istilahnya makan-makanannya dia, ibu enggak. Ya karena kan ibu nggak mau, selain muslim ibu nggak makan. India muslim ada tapi nggak banyak, lebih banyak yang non muslim. ” Berdasarkan penuturan informan ada beberapa stereotip yang berkembang terhadap Etnis India Tamil di lingkungannya. Stereotip tersbeut sebagian besar memiliki arah yang negatif yaitu mengenai masyarakat Etnis India Tamil yang kasar, suka mabuk- mabukan dan suka “ngular” suka berbohongmenipu. Ia pun menuturkan banyak sekali istilah yang beredar mengenai masyarakat Etnis India Tamil yang berhubungan dengan stereotip negatif tersebut. Universitas Sumatera Utara “Kalo dulu Ibu nggak pernah dengar karena kan ibu baru disini. Paling setelah ada disini, kalau ibu sih kurang cocok. Mereka kadang-kadang terlalu kasar, udah gitu mereka kurang sopan. Ya orang India ini sering berantem-berantem gitu sama tetangga. Nanti mereka kasar maki-maki gitu kan, nah ibu kurang cocok. Udah gitu mereka kurang apa namanya, suka-suka hati aja gitu merasa berkuasa disini. “Udah gitu ada istilah nya orang india ini kalau punya duit tidurnya di paret kalau nggak punya duit tidurnya baru di rumah, ” itu istilah untuk orang India. Kalau misalnya mereka punya duit kan orang itu sering mabuk-mabukan, jadi kalau orang mabuk-mabukan itu kan sering jatuhnya ke paret gitu kan. Jadi kalau nggak punya duit gimana mau mabuk-mabukan tidurnya di rumah lah. Udah gitu ya orang India ini kalau ngomong gitu banyak bohongnya. Ya dibilang ngularnya gitulah, jadi kita pun nggak mau terlalu dekat, nggak mau terlalu berurusan.” Awalnya ia tidak pernah memikirkan tentang stereotip tersebut, namun seiring berjalannya waktu ia melihat langsung di lingkungan sekitarnya bahwa masyarakat Etnis Tamil kasar karena sering bertengkar dengan tetangganya dan berbuat sesuka hati. Stereotip yang menyatakan bahwa masyarakat Etnis India Tamil suka mabuk-mabukan juga sering ia lihat secara langsung. Sehingga membuatnya percaya dan meyakini stereotip tersebut karena hal tersebut bukan hanya sebatas stereotip namun dapat dilihat didalam realita sehari-hari. Begitu pun dengan stereotip yang mengatakan bahwa masyarakat Etnis India Tamil suka berbohong dan menipu, ia cukup meyakini bahwa stereotip itu benar adanya berdasarkan informasi yang ia dengar melalui orang-orang disekitar lingkungan tempat ia tinggal. Pernah suatu kali ia mendengar ada tetangganya yang mendapati telah dibohongi oleh anggota masyarakat Etnis India Tamil, ketika itu mereka bermain jula-jula tetapi salah satu peserta tidak membayar tetapi mengatakan kalau ia sudah membayarkan iuran tersebut. Karena mendengar hal Universitas Sumatera Utara tersebut ia pun tidak mau berurusan terlalu dalam dengan masyarakat Etnis India Tamil. “Ngeliatnya gitu? Sering sering kali. Tiap hari Ibu lihatnya mabuk malah sampe ada yang udah mati lagi. Tapi mereka biasa kalau mabuk gitu yang diganggu keluarganya. Tapi kan kita terganggu sebagai tetangga, Cuma kalau ganggu kita sih enggak. Kalau yang suka bohong gitu nggak pernah kejadian sama Ibu. Karena kita nggak mau berurusan jadi nggak pernah kejadian langsung, cuma kalau orang sini gitu sering kejadian, misalkan dia ikut jula-jula dia bohong, dia bilang udah bayar padahal belum, ngularnya banyaklah nggak tepat janji, banyak cakap. Makanya ibu nggak mau terlalu berurusan dengan orang India.” Beberapa stereotip negatif yang beredar tersebut secara langsung mempengaruhi interaksi komunikasi informan dengan masyarakat Etnis India Tamil. Karena stereotip tersebut ia menutup diri dalam berhubungan dengan masyarakat Etnis India Tamil. Sikap tertutup ini juga ia terapkan kepada anak- anaknya karena menurutnya hal tersebut dapat mempengaruhi anak-anaknya. Ia mengatakan bahwa bergaul dengan masyarakat Etnis India Tamil ada batasannya dan secara langsung ia berusaha mengurangi interaksi karena stereotip tersebut. “Kalau masalah tadi dia tetangga itu mabuk itu mengganggu tapi kalau yang lain-lain ya ibu nggak open, cuma dulu waktu anak-anak ibu kecil ibu nggak mau anak ibu bergaul sama India, Ibu nggak ngasih gitu. Kalau sekedar berkomunikasi ya Ibu nggak apa-apa, misalnya ke pasar gitu kan ya ibu tegur lah seadanya sekedar aja gitu. tapi kalau berurusan yang lain ibu nggak mau gitu. Ada batasannya.” Informan pernah memiliki masalah pribadi dengan salah satu masyarakat Etnis India Tamil. Penyebabnya adalah karena pertengkaran antar anak, ia merasa gerah karena setiap hari anaknya terus diganggu. Akhirnya ia memutuskan untuk Universitas Sumatera Utara menyelesaikannya dengan mendatangi orangtua anak tersebut dan memberikan peringatan dengan gaya berbicara yang cukup kasar. Ia pun menuturkan bahwa hubungannya dengan orang tersebut saat ini biasa saja dan masih saling sapa menyapa. Beberapa kejadian yang ia alami baik itu secara langsung maupun tidak langsung membuatnya menghindari hubungan dan interaksi yang terlalu dalam terhadap masyarakat Etnis India Tamil di lingkungannya. “Ibu sih pernah gitu gara-garanya anak, Cuma kan tadinya ibu nggak peduli karena anak sama anak tapi karena tiap hari anak ibu terus disakitin ya ibu juga emosi. Semenjak ibu ngomong sama dia itu kasar, dia nggak berani lagi. Hubungan ibu biasa-biasa aja sekarang. Karena kan ibu nggak mau terlalu dekat itu tadi, ya paling sama dia cuma tegur- teguran .” Meskipun secara pribadi ia memiliki keengganan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Etnis India Tamil, tetapi secara umum informan melihat bahwa hubungan antarbudaya di lingkungannya terjalin dengan cukup baik. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai kegiatan keagamaan yang sering diadakan. Menurutnya masyarakat Etnis India Tamil memiliki toleransi yang sangat tinggi dalam hal beragama dan bersosial. Tidak pernah menganggu dan mengusik agama lain ketika sedang beribadah. Serta ketika ada salah seorang anggota masyarakat dari etnis Pribumi yang meninggal mereka mau ikut menjenguk dan begitupun sebaliknya. Penuturan informan menandakan bahwa terdapat stereotip yang positif terhadap masyarakat Etnis India Tamil yakni sikap toleransi yang tinggi. “Kalau menurut ibu sih biasa-biasa aja bagus sih, kadang kalau di kuil itu ada acara ya pribumi juga mau ikut makan disana. Ya baguslah bebas mereka toleransinya tinggi. Kalau di kuil itu ada acara kita nggak ada masalah. Kalau kita ada acara juga mereka nggak apa-apa, kalau misalnya ada orang India yang meninggal yang pribumi jenguk. Kalau ada orang pribumi meninggal ya orang Indianya juga jenguk. ” Universitas Sumatera Utara Hubungan antarbudaya yang terjalin di lingkungan tempat informan tinggal didukung dengan berbagai kegiatan sebagai pemersatu etnis, diantaranya adalah perayaan hari kemerdekaan dan juga ada satu kegiatan bersifat formal yaitu program pemerintah yang dulunya bernama LKM atau PNPM saat ini. Satuan tugas ini beranggotakan masyarakat dari berbagai etnis dan budaya yang saling bertukar pikiran dalam mengimplementasikan program yang dicanangkan pemerintah di kawasan Kampung Madras. “17 agustus itu sering ada perlombaan, disitu gabung aja india sama pribumi yang jarang itu orang cina. Disini ada namanya LKM yang PNPM itu perkotaan, ya itu kalau yang formal. Karena anggotanya ada yang India ada yang pribumi. ” Informan memiliki cara dalam menjaga hubungan antarbudaya di lingkungannya dengan bersikap saling tegur-menegur dan membatasi diri dalam berhubungan. Menurutnya gesekan-gesekan antarbudaya dapat dicegah melalui penghindaran individu untuk lebih berurusan dengan individu lain. Ia juga berharap agar tidak ada keributan di lingkungannya sehingga dapat membuatnya merasa tenang dan nyaman untuk tetap tinggal tanpa harus pindah dari kawasan Kampung Madras. “Ya saling tegur-menegur gitu, jadi kalau kita nggak terlalu dekat jadi kan nggak ada masalah gitu ya sekedar aja, menghindarilah gitu. Kalau ibu sih ya jangan ada ribut-ribut, kalau ada ribut ya kita sih maunya pindah dari sini nggak mau dekat dnegan orang india, ya karena itu tadi sifat-sifatnya itu tadi. ” Kesimpulan Kasus Berdasarkan penuturan informan yang telah menetap selama sekitar 27 tahun di kawasan Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan di lingkungan tempat ia tinggal antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa dan Etnis Pribumi yang diwakili oleh Suku Jawa, Minang dan Universitas Sumatera Utara Mandailing. Dalam kesehariannya informan adalah pribadi yang sedikit tertutup dan terkesan cuek dalam pergaulan. Ia bergaul hanya sekedarnya saja dan berhubungan dekat hanya dengan orang-orang tertentu di lingkungannya. Informan tidak terlalu sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis India Tamil. Ia berinteraksi dan berkomunikasi hanya ketika ia sedang berbelanja di pasar dan biasanya membahasa tentang aktifitas di pasar dan menu masakan yang hendak dimasak setelah berbelanja. Menurut informan ia mengaku mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan masyarakat Etnis India Tamil ketika mereka mencampurkan Bahasa India Tamil dalam interaksi dimana dia terlibat di dalamnya. Ada beberapa stereotip yang diyakini informan tentang masyarakat Etnis India Tamil. Stereotip itu lebih banyak mengarah ke arah yang negatif seperti masyarakat Tamil yang kasar, suka mabuk- mabukan dan suka “ngular” berbohongmenipu. Untuk stereotip yang menilai bahwa masyarakat Etnis India Tamil kasar dan suka mabuk-mabukkan melekat kuat dang diyakini oleh informan sebab ia melihat langsung perilaku tersebut hingga saat ini sehingga stereotip tersebut tepat dan benar adanya berdasarkan penuturan informan. Sedangkan mengenai stereotip masyarakat Etnis India Tamil yang suka berbohongmenipu, informan juga meyakini stereotip tersebut tetapi ia tidak mengalami secara langsung melainkan mendengar melalui lingkungan sekitar bahwa ada kasus yang melibatkan masyarakat Etnis Tamil terkait dengan stereotip tersebut. Stereotip negatif yang diyakini informan secara langsung mempengaruhi niatan informan untuk berinteraksi serta berkomunikasi secara lebih mendalam. Informan menjaga jarak dan memberi batas dalam berhubungan dengan masyarakat Etnis India Tamil di lingkungan tempat ia tinggal. Selain beberapa stereotip negatif tersebut terdapat stereotip positif yang diyakini informan terkait dengan masyarakat Etnis India Tamil yang memliki sikap toleransi tinggi. Hal ini ia alami langsung dengan melihat dan merasakan sikap tersebut khususnya toleransi dalam beragama dan beribadah. Untuk hubungan antarbudaya informan menilai terdapat jalinan hubungan yang cukup rukun dan harmonis yang ditunjukkan melalui sikap saling menghargai serta menghormati di dalam beribadah. Hal ini juga dikuatkan melalui Universitas Sumatera Utara kegiatan-kegiatan yang bersifat multietnis seperti adanya satuan tugas LKMPNPM yang dibentuk dengan tujuan membangun dan menjalankan program pemerintah di kawasan Kampung Madras. Satuan tugas tersebut beranggotakan masyarakat dari berbagai etnis yang ada disana dan juga dari berbagai latar belakang profesional yang berbeda-beda pula.

4.1.3.2.4 Informan VIII

Data diri informan : Nama : Suci Al Falah Jenis Kelamin : Perempuan TTLUsia : Medan, 05 September 1990 25 tahun Agama : Islam EtnisSuku : Minang Alamat : Jl. Cik Di Tiro Belakang No. 26 Pekerjaan : Freelancer Survei Publik Informan selanjutnya dan juga merupakan informan terakhir adalah Suci Al Falah 25 yang sehari-harinya bekerja sebagai freelancer sebuah perusahaan survei publik di kota Medan. Informan sudah menetap di Kampung Madras semenja lahir yaitu selama kurang lebih 25 tahun. Ia juga menuturkan ada beberapa etnis yang tinggal disana diantaranya adalah Etnis India yang terbagi dua yaitu India Tamil dan India Punjabi. Kemudian ada Etnis Pribumi yaitu Suku Minang dan Jawa. Dan yang terakhir adalah Etnis Tionghoa yang menurutnya juga cukup banyak memadati kawasan Kampung Madras. “Udah .... dari lahir udah 25 tahun lah. Etnisnya.....India, India itu ada dua Tamil sama Punjabi, Punjabi itu Bengali. Terus kalau pribumi ada Minang ada Jawa tapi mayoritasnya Minang. Kalau Cina ada juga, Cina pun banyak. ” Dalam pergaulan sehari-hari informan mengaku cukup selektif. Ia lebih banyak memilih bergaul dengan masyarakat Etnis Pribumi dibandingkan dengan Etnis Tionghoa yang menurutnya sebagian besar bersifat tertutup sehingga Universitas Sumatera Utara membuatnya tidak terlalu ingin bergaul dengan mereka. Adapun Etnis India Tamil namun tidak dengan semua masyarakat Etnis India Tamil ia mau bergaul. Ia membatasi hanya dengan masyarakat Etnis India Tamil yang beragama Islam yang diajaknya untuk bergaul. Selain masyarakat Etnis India Tamil yang muslim, ia mengatakan hanya berinteraksi dengan mereka seperlunya saja tergantung kebutuhan. “Pilih-pilih juga kalau jujur. Ya pilih-pilihnya mungkin lebih banyak ke Pribumi ya. Kalau Chinese nya lebih banyak sih tutup pintu semua. Jadi nggak bergaul sama Chinese. Tapi dulu waktu kecil-kecil banyak masih mau bergaul sama Chinese tapi udah pada pindah. Kalau Tamil ada juga sih tapi Tamilnya Tamil Islam sih. Cuma lebih banyak Pribumi sih, kadang yang main ke rumah juga Pribumi. Kalau sama Tamil tergantung kebutuhan juga paling kalau ada perlu baru bergaul. Lebih banyak di rumah sih. ” Dalam kehidupan sehari-hari informan menuturkan bahwa ia sangat jarang berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis India Tamil. Interaksi yang ia lakukan hanya sebatas bertegur sapa ketika bertemu. Tidak ada tempat khusus baginya untuk berinteraksi dengan masyarakat Etnis India Tamil, ia pun mengatakan berinteraksi hanya berdasarkan keperluan dan kebutuhan seperti yang ia paparkan tentang interaksinya dengan Kak Wijes informan IV. Mereka berkomunikasi dan berinteraksi hanya sebatas perihal bisnis MLM multi level marketin g yang ditawarkan oleh Kak Wijes dengan memanfaatkan media online maupun telepon genggam dan terkadang sesekali datang ke rumahnya. Sebenarnya dahulu informan cukup sering berinteraksi dengan masyarakat Etnis India Tamil, hal itu ia lakukan ketika masih menjadi guru les yang kebanyakan muridnya berasal dari Etnis India Tamil. Ia pun menuturkan tidak mendapat kesulitan berinteraksi dengan masyarakat Etnis India Tamil jika dipandang melalui perspektif komunikasi itu sendiri. Universitas Sumatera Utara “Nggak terlalu sering sih. Paling kalau lewat tegur-teguran gitu aja sih. Kalau pas keluar nampak di jalan paling. Kalau yang di tengah ini kan ada kak Wijes namanya, yang sebelumnya juga diwawancarain kan. Udah gitu kan dia ada MLM, nah dia itu sering datang ke rumah nawarin MLM-nya suruh gabung. Nanti dia sering itu bbm, chat, nanya gimana perkembangan. Ya sebatas itu sih karena ada kebutuhan itu aja sih. Kalau dulu sih sempat ada hubungan. Karena kan kakak dulu ngajar les udah gitu banyak anak-anaknya India, karena faktor itu aja diluar itu nggak ada.Secara komunikasi nggak ada kesulitan kayaknya ya karena bahasanya kan sama-sama pakai Bahasa Indonesia. ” Berdasarkan penuturan informan ada beberapa stereotip yang berkembang mengenai Etnis India Tamil antara lain adalah mereka dinilai kasar dan juga suka berbohongmenipu. Informan mengatakan hal tersebut didasari dengan pengalamannya yang melihat secara langsung bahwa ada anggota masyarakat dari Etnis India Tamil yang seringkali berkelahi di lingkungannya. Perkelahian tersebut sedikit membuat keributan ketika itu dan mengundang banyak masyarakat di sekitar berbondong-bondong untuk melihat kejadian tersebut. Dan ketika ia melihat yang berkelahi adalah sesama masyarakat Etnis India Tamil. Informan menilai bahwa masyarakat Etnis Tamil adalah masyarakat yang sangat berani menunjukkan ekspresi mereka di depan publik meskipun hal tersebut bersifat negatif. “Ya mungkin pada umumnya ya sama aja sih, suka gimana ya, suka ngajak berantam gitu tetangga. Memang sih kakak nggak pernah terlibat cuma kan kakak sering lihat kan. Nanti kalau ada apa-apa dikit ribut-ribut terus ngeluarin orang satu kampung gitu. Ya apalagi ya....banyak omongnya, banyak bohongnya ya gitu. Pokoknya kita sih jarang cocok aja ke mereka, kalau kakak pribadi sih lebih banyak jarang berhubungan jadi Universitas Sumatera Utara secara kurang tau juga secara pasti gimana merekanya itu. Tahunya dari dari luar aja, misalnya ada yang berantam si anu sama si anu, ditengah- tengah itu udah diramein. Yang berantam itu kan orang India, nanti sama- sama saudara bisa berantem. Ibaratnya kan ngundang tetangga yang lain buat nontonin kayak gitu sih. Orang itu kayaknya lebih senang kalau ngajak berantam kayaknya ada kepuasan tersendiri gitu buat mereka. Makanya kalau ada berantem kan pasti itu orang India jarang ada orang Pribumi. Kalau kita kan pasti ada rasa malu kalau berantam-berantam gitu. Kakak rasa mereka lebih terbuka sih, terbuka dalam mengekspresikan diri mereka, ya kayak gitu. Udah gini kan India itu suka ngular, sampai ada istilahnya kalau jumpa orang India sama ular, kita tembak orang Indianya dulu baru ularnya karena kan orang Indianya bisa pura-pura mati. Karena kan ibaratnya gimana ya banyak bualnya banyak bohongnya. Kalau bisa sih jangan terlalu banyak berhubungan sih lebih dalam sama mereka. ” Mengenai stereotip yang mengatakan bahwa masyarakat Etnis India Tamil suka “ngular” berbohongmenipu informan mendengar dari masyarakat sekitar yang mengatakan seorang masyarakat Etnis Tamil pernah menipu salah satu anggota dari masyarakat Etnis Pribumi di lingkungannya sehingga ia cukup yakin bahwa stereotip tersebut bukan hanya stereotip melainkan sudah menjadi perilaku maupun kebiasaan masyarakat Etnis Tamil itu sendiri. Informan secara tidak langsung mengatakan bahwa tidak semua masyarakat yang berasal dari Etnis India memiliki sifat amupun perilaku seperti itu sebab Etnis India Tamil itu berbeda dengan Etnis India Punjabi. “Kalau kakak sih nggak pernah punya masalah sama Etnis Tamil soalnya kan kakak nggak pernah berhubungan itu aja sih. Kalau langsung Universitas Sumatera Utara bermasalah sih nggak pernah cuma kan melihat apa yang ada. Kita juga memang nggak pernah kejadian secara langsung sih, cuma kan dengar orang kan, ini si anu habis nipuin si anu terus si anu nggak bayar-bayar hutangnya sama si anu kan kedengaran sama kita. Karena kita kan nggak pernah mau berurusan sama mereka gitu aja sih. Nggak pernah percaya juga sih nggak pernah percaya. Tapi orang India disini kan ada Tamil ada Punjabi, Bengali, itu mereka karakternya beda, yang Punjabi itu agak lebih tertutup sih daripada yang Etnis Tamil. ” Selain stereotip negatif ada pula stereotip positif yang berkembang mengenai Etnis India Tamil. Stereotip tersebut adalah sikap toleransi yang tinggi. Menurut informan untuk toleransi beragama masyarakat Etnis Tamil sangat sangat kooperatif. Sebab ketika ada acara keagamaan maupun hari besar mereka saling menghormati dan menghargai apa yang masyarakat lain sedang lakukan. Informan mengatakan jika dapat dinilai maka untuk sikap toleransi tersebut mereka mendapat nilai sembilan dalam skala satu sampai sepuluh. “Kalau yang positif itu mereka toleransinya ada, kita kan juga sering buat acara agama, mereka juga sering ibadah di kuil jadi kita nggak saling ganggu. Sangat toleran lah saya rasa mereka. Jadi kalau satu sampai sepuluh itu sembilan lah. ” Stereotip negatif yang berkembang secara langsung sangat mempengaruhi niat informan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis India Tamil karena berdasarkan pengalaman orang lain ia menilai bahwa stereotip tersebut sesuai dengan kenyataan yang terlihat. Oleh karena itu ia lebih memilih mengantisipasi untuk tidak berhubungan lebih jauh dengan masyarakat yang berasal dari Etnis India Tamil. “Ya berpengaruh dong, ibaratnya kan gini kita udah tau pengalaman orang ini itu kayak gini, ini itu kayak gini yang buruklah. Karena udah tau Universitas Sumatera Utara buruk ya kita pasti lebih antisipasi untuk bisa lebih berhubungan sama mereka. ” Informan juga menuturkan cara ia beradaptasi terkait stereotip negatif yang berkembang tersebut adalah dengan cara menghindar dan mengurangi interaksi serta hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat Etnis India Tamil. Ia juga mengatakan bahwa tidak ingin menuduh tetapi sejauh yang ia ketahui dan temui hampir sebagian besar perilaku masyarakat Etnis India Tamil membenarkan stereotip tersebut. Di samping itu ia juga menilai bahwa tidak semua masyarakat Etnis India Tamil seperti itu pasti masih ada individu-individu baik didalamnya. “Karena kita udah tau pengalaman orang lain kan itu mengurangi kepercayaan kita sama mereka. Ya nggak semua seperti itu, saya yakin sih tidak juga. Cuma sejauh ini yang saya jumpain ya mereka seperti itu. Mungkin ada sih yang nggak seperti itu cuma saya rasa jarang lah kayaknya. Kita nggak mau menuduh sebenernya karena yang bener-bener baik itu pasti ada. Cuma kita kan mengantisipasi supaya nggak terlalu terlibat ambil resiko. Yang baik pasti adalah nggak semuanya seperti itu. ” Untuk hubungan antarbudaya yang terjalin di Kampung Madras, secara pribadi informan menilai hubungan tersebut lebih cenderung mengarah kepada sikap saling cuek. Namun pada kondisi tertentu hubungan antarbudaya dan sosial di lingkungannya terlihat cukup baik. Seperti ketika ada momen kemalangan maupun perayaan pesta pernikahan dimana semua masyarakat dari etnis yang berbeda mau membantu dalam kegiatan masak-memasak di lingkungannnya. Informan juga menuturkan bahwa tidak pernah melihat maupun mendengar ada terjadi konflik etnis di kawasan Kampung Madras sampai saat ini. “Hubungannya lebih ke arah cuek sih kalau menurut kakak, Cuma ada kondisi-kondisi tertentu misalnya ada yang meninggal ada pesta mereka Universitas Sumatera Utara mau bantu, nanti masaknya bareng, mau sih rata-rata. Kalau konflik sih nggak pernah ada. ” Ada beberapa kegiatan yang mendukung terjalinnya hubungan antarbudaya yang baik di Kampung Madras salah satunya ialah dibentuknya satuan tugas LKMPNPM Madras yang juga telah dikemukakan oleh informan sebelumnya. Satuan tugas ini merupakan wadah dimana aspirasi masyarakat disalurkan dan dikelola sendiri oleh masyarakat serta didanai oleh pemerintah. Program kerjanya sendiri mencakup pembangunan infrastruktur, kegiatan sosial dan lain sebagainya. Melalu wadah tersebut masyarakat multietnis disana saling berbaur dan berdiskusi mengenai kelanjutan kawasan Kampung Madras ke depannya. Selain kegiatan formal ada pula kegiatan informal seperti perayaan kemerdakaan yang menjadi salah satu alat dalam mengumpulkan dan mengabungkan masyarakat disana sebagai satu bangsa yang terdiri dari beragam budaya dan latar belakang. “Ada dulu ada namanya LKM Madras, sekarang kan udah jadi PNPM nah PNPM itu anggotanya itu orang Pribumi sama orang India. Kita kayak program bangun infrastruktur terus kegiatan sosial, dananya kan memang PNPM itu hibah dari pemerintah tapi pelaksanaannya kan warga sekitar. Disitu tergabung semua, ya membaur lah. Jadi kalau untuk kerukunan, kerja sama di Kampung Keling ini masih bagus. Saling tolong menolongnya juga bagus. Cuma kan karena berantem-berantemnya itu tadi jadi malas berurusan gitu. Nanti anaknya dimarahin dikit mamaknya udah nyerang gitu kan, jadi kita takut hal itu lebih bagus kita jaga jarak aja sama mereka gitu. Kalau non formalnya paling 17 agustus tapi di Kediri sana ramenya. Kalau jaman saya kecil-kecil dulu ada disini sering malahan.” Universitas Sumatera Utara Dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat multietnis, informan menuturkan saling sapa, saling tegur, tidak membuat masalah, saling menghormati dan saling berbagi adalah beberapa cara yang mutlak harus dilakukan oleh masing-masing elemen masyarakat demi terwujudnya hubungan antarbudaya yang baik. ”Ya kalau ada tetangga disapa, ditegur, jangan cari masalah, dihormati. Mereka beribadah ya dihormati, mereka butuh sesuatu ya dibantu, mereka berlebaran ataupu n kita berlebaran kita berbagi.” Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap di Kampung Madras selama kurang lebih 25 tahun, ada beberapa etnis yang menetap disana. Etnis tersebut antara lain Etnis India Tamil, Etnis India Punjabi, Etnis Tionghoa, dan Etnis Pribumi yang diwakili oleh Suku Minang dan Suku Jawa. Dalam pergaulan sehari-hari informan adalah orang yang cukup selektif sehingga tingkat interaksi dan komunikasinya dengan masyarakat Etnis India Tamil tidak terlalu intens. Ia hanya berinteraksi sekedarnya saja seperti saling menyapa dan tidak mau banyak berbicara jika hal tersebut tidak diperlukan. Informan mengaku tidak bergaul dengan Etnis Tionghoa karena dinilai tertutup. Berbeda dengan Etnis India Tamil, ia memiliki beberapa teman namun hanya terbatas pada Etnis India Tamil yang beragama Islam saja. Secara komunikasi ia tidak mengalami kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Tamil karena masih menggunakan bahasa yang sama yaitu Bahasa Indonesia. Terdapat setereotip negatif yang berkembang tentang masyarakat Etnis Tamil pada diri informan antara lain ialah kasar dan suka “ngular” berbohongmenipu. Untuk setereotip negatif yang pertama ia mengetahuinya melalui pengalaman langsung dengan melihat dan mendengar sehingga ia sangat meyakini kebenaran akan setereotip tersebut. Sedangkan untuk stereotip yang kedua informan banyak mendengar informasi tentang stereotip tersebut dari orang-orang sekitar di lingkungan tempat ia tinggal dan ia pun meyakini bahwa stereotip tersebut memang benar adanya meskipun tidak secara langsung terjadi Universitas Sumatera Utara kepada dirinya. Stereotip tersebut ternyata sangat mempengaruhi niatan informan untuk mau berinteraksi dan berhubungan lebih dekat dengan masyarakat yang berasal dari Etnis India Tamil. Terkait denga stereotip tersebut informan mencoba menyesuaikan diri dengan memilih untuk menghindar dan mengurangi intensitas berhubungan dan berinteraksi jika memang hal tersebut tidak ia perlukan. Sejauh yang ia temui semua masyarakat Etnis India Tamil cenderung membenarkan stereotip tersebut menjadi kenyataan. Namun menurutnya tidak semua masyarakat Etnis India Tamil sesuai dengan stereotip tersebut, mungkin masih ada banyak orang yang baik yang berasal dari Etnis India Tamil. Selain itu ada juga stereotip positif yaitu sikap toleransi yang tinggi yang dinilainya ada pada masyarakat Etnis India Tamil secara keseluruhan. Stereotip ini diyakini informan berdasarkan pengamatan secara langsung dan juga pengalaman pribadi yang ia rasakan. Menurut penuturan informan secara pribadi ia menilai hubungan antarbudaya sudah cukup baik tetapi pada kondisi tertentu seperti saat ada kemalangan maupun ada perta pernikahan semua masyarakat di lingkungannya mau bahu-membahu dan saling membantu dalam kegiatan masak-memasak untuk kebutuhan kegiatan tersebut. Ada pula wadah yang mempersatukan masyarakat multietnis ke dalam satu kesatuan, adalah satuan tugas LKMPNPM Madras yang merupakan fasilitator dalam menjangkau aspirasi masyarakat di Kampung Madras baik itu dalam hal pembangunan infrastruktur maupun berbagai kegiatan sosial yang dapat mempersatukan masyarakat disana. Informan juga menilai beberapa cara dalam mewujudkan kerukunan dan keharmonisan dapat menjadi faktor terciptanya hubungan antarbudaya yang baik, cara tersebut antara lain adalah dengan menunjukkan sikap saling menyapa, saling menghormati dan saling berbagi.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Perkembangan Stereotip

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada sub bab kerangka teori bahwa secara umum stereotip memiliki empat dimensi antara lain: Universitas Sumatera Utara 1. Arah direction, sesuatu yang menunjuk pada arah penilaian, apakah stereotip tersebut positif atau negatif, misalnya disenangi atau tidak disenangi. 2. Intensitas, yaitu menunjuk pada seberapa kuatnya keyakinan seseorang ataupun suatu kelompok terhadap suatu stereotip. 3. Ketepatan, artinya ada stereotip yang betul-betul menggambarkan kebenaran, ada yang setengah benar, dan ada yang sebagian sama sekali tidak tepat.

4. Isi content, yaitu isi dari stereotip itu sendiri, sifat-sifat tertentu

mengenai suatu kelompok. Stereotip mengenai suatu kelompok dapat berbeda-beda dan juga stereotip tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu. Berikut akan dijelaskan perkembangan stereotip antara Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil berdasarkan keempat dimensi stereotip tersebut:

4.2.1.1 Stereotip Masyarakat Etnis India Tamil Terhadap Etnis Pribumi a.

Arah direction Hasil analisis data yang telah diperoleh berdasarkan wawancara terhadap empat informan yang berasal dari Etnis India Tamil di lokasi penelitian secara umum dapat digambarkan bahwa stereotip yang berkembang memiliki dua arah yakni stereotip positif dan stereotip negatif. Dengan adanya stereotip dengan arah yang berbeda ini dapat menjadi faktor pendukung sekaligus faktor penghambat di dalam kelangsungan komunikasi antarbudaya antara masyarakat Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil di Kampung Madras. Berdasarkan penuturan tiga informan terdapat stereotip yang mengarah kepada penilaian yang positif tanpa ada sama sekali stereotip negatif di dalamnya. Adapaun stereotip negatif mengenai masyarakat Etnis Pribumi hanya terdapat dalam penuturan informan ketiga yang menyatakan bahwa masyarakat Etnis Pribumi diluar lingkungannya seringkali berperilaku rasis dengan mengatakan “keling” kepada informan. Dampak daripada stereotip negatif tersebut yang jika diyakini terus-menerus maka dapat berubah menjadi prasangka yang dapat memungkinkan berkurangnya intensitas dan kualitas interaksi diantara kedua Universitas Sumatera Utara etnis. Namun hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Semua masyarakat Etnis Pribumi disana sangat menghormati dan tidak pernah sekalipun berperilaku rasis terhadapnya. Sehingga hal itu tidak terlalu mempengaruhi informan dalam berinteraksi dengan masyarakat Etnis Pribumi hingga saat ini.

b. Intensitas

Intensitas dapat diartikan seberapa kuat dan lemahnya keyakinan seseorang terhadap suatu stereotip. Stereotip negatif masyarakat Etnis India Tamil terhadap masyarakat Etnis Pribumi yang menggambarkan bahwa Etnis Pribumi gemar menghina dan berperilaku rasis ternyata diyakini dengan cukup kuat oleh informan ketiga. Informan sangat meyakini stereotip ini tetapi tidak pernah sekalipun mempengaruhi penilaian dan intensitasnya dalam berinteraksi dengan masyarakat Pribumi. Keyakinan kuat juga ditunjukkan tiga informan lain yang masing-masing memiliki stereotip positif tanpa ada satu pun stereotip negatif mengenai masyarakat Etnis Pribumi. Hal ini dapat membantu dalam memudahkan proses interaksi dan komunikasi antarbudaya sehingga dapat menciptakan komunikasi serta hubungan yang efektif diantara kedua etnis. Lemah dan kuatnya keyakinan terhadap sebuah stereotip tentunya sangat berpengaruh besar terhadap keberlangsungan komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya tidak akan terjadi jika salah satu orang atau keduanya yang terlibat dalam komunikasi memiliki keyakinan yang kuat terhadap stereotip negatif yang dimiliki anggota kelompok, keyakinan yang kuat itu justru hanya akan menjadi penilaian negatif terhadap masing-masing pihak yang terlibat komunikasi. c. Ketepatan Aspek ketepatan ini sangat berpengaruh terhadap intensitas dan arah stereotip karena ketepatan terkait dengan kebenaran akan setereotip itu sendiri. Keyakinan akan semakin kuat terhadap stereotip jika mengandung nilai kebenaran atau pernah terjadi. Matsumoto 1996 mengemukakan bahwa stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita Universitas Sumatera Utara mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta Lubis 2012: 86. Berdasarkan penuturan keempat informan yang menilai bahwa ada stereotip positif dan stereotip negatif mengenai Etnis Pribumi keseluruhan stereotip tersebut memiliki ketepatan sebab keempat informan mengalami dan melihat secara langsung kebenaran daripada stereotip tersebut diantaranya adalah sikap toleran, suka menolong, memiliki solidaritas yang tinggi serta berperilaku rasis. Khusus untuk stereotip positif tersebut sepertinya diyakini tepat karena seringnya mereka melakukan interaksi dengan masyarakat Etnis Pribumi. Sedangkan untuk stereotip negatif, salah satu informan hanya meyakini masyarakat Pribumi diluar tempat tinggalnya yang memiliki perilaku seperti itu.

d. Isi KhususPesan