Informan VI Informan yang Berasal dari Etnis India Tamil .1 Informan I

Universitas Sumatera Utara suka mabuk-mabukan di lingkungannya. Selain itu ada juga stereotip positif mengenai masyarakat Etnis India Tamil yang identik dengan berdagang. Hal ini dikuatkan dengan banyaknya masyarakat Etnis India Tamil yang memilih berdagang dalam mencari nafkah, berbeda dengan zaman dulu. Berkembangnya stereotip negatif tadi tak lantas mempengaruhi niat informan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, hanya saja dalam bergaul ia lebih memilih selektif dan menjaga jarak dengan masyarakat Etnis India Tamil. Hubungan sosial dan antarbudaya di kawasan Kampung Madras cukup baik, namun sama seperti lingkungan lain pada umumnya terdapat masyarakat yang terbuka dan ada pula yang tetutup. Pernah ada konflik antara etnis yang berbeda namun hal itu disebabkan karena narkoba sehingga tidak berpengaruh terhadap hubungan harmonis yang telah terjalin di kawasan Kampung Madras. Faktor yang mendukung terjalinnya hubungan baik tersebut adalah dikarenakan masing-masing individu memiliki sikap saling mengahargai, toleransi dan saling mengerti.

4.1.3.2.2 Informan VI

Data diri informan : Nama : Inis Cintia Jenis Kelamin : Perempuan TTLUsia : Medan, 16 Desember 1971 45 Tahun Agama : Islam EtnisSuku : PadangMinang Alamat Kios : Jl. KH. Zainul Arifin Pekerjaan : Pedagang Makanan Dan Minuman Ringan Wawancara peneliti dengan Bu Inis 45 sebagai informan dilakukan di sela-sela kesibukannya berjualan, tepat di depan kios kecilnya yang menjual berbagai makanan ringan, minuman ringan, ada juga rokok. Bu Inis sudah cukup lama mengenal kawasan Kampung Madras sejak ia masih gadis hingga saat ini ia masih berjualan di kios kecil miliknya itu. Jika diperkirakan maka ia sudah berada dan mengenal Kampung Madras sekitar 20 sampai dengan 25 tahun. Dahulu dia hanya membantu ayahnya berjualan di kios tersebut namun hampir setiap hari ia Universitas Sumatera Utara menghabiskan waktunya disana. Saat ini ayahnya telah wafat dan beliau mewarisi kios kecil tersebut. Hari-harinya saat ini lebih banyak dihabiskan di kios kecil miliknya itu. “Kalo jualan ini dari turunan dari bapaknya ibu, lajang lah. Sekarang kan dia udah meningal jadi ibu lah sekarang yang jualan. Tapi kalo dari jaman gadis dulu ibu udah sering bantu bapak jualan disini. Jadi udah lumayan lama lah. Lama kali lah udah disini ” Selama ini beliau mengetahui bahwa daerah Kampung Madras didominasi oleh masyarakat yang berasal dari Etnis India, Tionghoa, Jawa, Padang, dan Mandailing. Dari beberapa etnis yang telah ia sebutkan ia mengatakan Suku Padang adalah yang paling banyak menetap disana diantara etnis maupun suku lainnya. Ia sangat terbuka dalam bergaul dan bersosialisasi. Baginya bergaul tidak perlu memandang dari suku maupun etnis melainkan ia bergaul karena melihat bagaimana individunya itu sendiri. Bahkan jika ia merasa seseorang tidak cocok dengannya meskipun berasal dari suku yang sama ia memilih tidak bergaul dengan orang tersebut. Bu Inis menceritakan ketika masih muda ia memiliki teman akrab dari Etnis India serta Tionghoa dan bukan berasal dari masyarakat pribumi. Tidak hanya dengan wanita, ia juga berteman dekat dengan beberapa pria dati Etnis Tamil. “Cina ada, India, Jawa, Padang, campurlah pokoknya. Padang tapi yang banyak. Mandailing ada juga. Semua gaul. Kalo cocok india ibu bergaul sama india. Tergantung orangnya. Orang padang pun kalo nggak cocok ya ibu nggak mau bergaul. Dulu pas gadis kawan akrab ibu india sama juga ada cina. Teman-teman dekat ada juga India-India macam laki-laki kawan-kawan seloroh gitu juga ada.” Untuk kegiatan interaksi komunikasi dengan Etnis Tamil, Bu Inis sendiri melakukannya hampir setiap hari kecuali hari dimana ia tidak berjualan. Biasanya ia tidak membuka kiosnya pada hari minggu. Biasanya ia dan masyarakat Etnis Universitas Sumatera Utara Tamil di sekitar Kampung Madras berbincang membahasa hal-hal yang umum seperti tentang pendapatan per hari dan sedikitnya pembeli yang datang pada hari tersebut. Mereka tidak pernah membahas hal yang sensitif seperti menceritakan keburukan orang dan lain sebagainya. Terkadang ia juga sesekali bersenda gurau dengan Kak Mila yang warung makanannya tak jauh dari kios miliknya. “Ya kalo jualan ajalah di dekat sini hampir setiap hari kecuali hari minggu ibu nggak jualan. Di sekitar sinilah tempat jualan ini, kadang di tempat jualan si Mila itu yang martabak itu. Kadang juga ditempat jualan yang lain. Paling ya tentang jualan kadang jualan sepi. Masalah-masalah dagang ajalah. Kalo memburuk-burukkan nyeritain orang ya enggaklah. Masalah dagang aja seloroh-seloroh. Tapi kalo serius-serius kali nggak adalah. ” Baginya berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Tamil sangat mudah, tidak ada kesulitan karena bahasa yang digunakan sama seperti bahasa sehari-hari. Tetapi ia juga menuturkan terkadang hambatan dalam berkomunikasi terbesar baginya adalah emosi. Karena ada beberapa masyarakat Etnis Tamil yang sering berhutang di kiosnya dan tak kunjung membayar sehingga membuatnya emosi ketika berinteraksi dengan orang tersebut. Salah satu cara ampuh dalam meredam emosinya adalah dengan memadukannya dengan candaan sehingga orang yang menjadi lawan bicaranya tidak merasa terintimidasi dan tidak membawa hal yang Bu Inis katakan ke dalam hati. “Ya enggak lah, cuma kadang-kadang mau juga macam naik-naik syekh sediki emosit gitu. Karena ada yang sering hutang lama bayar. Dibawa seloroh aja gitu ujung-ujung nya.” Hidup dengan dikelilingi masyarakat Etnis Tamil disekitarnya membuat Bu Inis terbiasa berhubungan dengan masyarakat Tamil. Ia menganggap masyarakat Tamil sama seperti masyarakat pada umumnya. Hal itulah yang membuatnya sangat mengenal Etnis Tamil. Sejak dulu pria Etnis Tamil sering Universitas Sumatera Utara diidentikkan sebagai pemabuk dan disebut “ular”. Stereotip inilah yang berkembang di kalangan masyarakat Pribumi tentang Etnis India Tamil. Berdasarkan penuturan informan sebelumnya yang mengatakan bahwa stereotip mengenai pria dari Etnis India Tamil adalah pemabuk ternyata sama dengan apa yang dituturkan oleh Bu Inis. Namun menurut pendapat Bu Mira sebagai informan kedua, hal itu hanya terjadi pada masa lalu. Ia berpendapat bahwa masyarakat Etnis India Tamil saat ini sudah jarang dan hampir tidak dapat ditemui lagi mereka yang suka mabuk-mabukkan. Stereotip yang mengatakan bahwa orang Etnis Tamil adalah “ular” sudah ada sejak lama. Berdasarkan penuturan Bu Inis sudah banyak orang yang mengetahui stereotip itu. Bahkan Bu Mira pernah bercanda sambil menyindir dengan mengatakan bahwa temannya yang Tamil suka “ngular” dan repons dari masyarakat Tamil itu sendiri terlihat biasa saja. Karena menurutnya stereotip itu sesuai dengan apa yang terjadi. Sebab ia mengalami stereotip tersebut dalam bentuk nyata, bukan hanya sebatas stereotip. “Kayaknya ibu, macamnya, namanya tetangga kebanyakan india ya nggak ada macam biasa aja gitu. Semenjak ibu kecil kan udah ada orang Tamil jadi nggak terkejut lagi biasa aja. Jadi nggak terlalu terkejut gitu. Soalnya kan kadang India ini menyebalkan karena mabuknya, kadang-kadang ularnya ya seperti itulah. Cakap-cakap di mulut lain dengan perbuatannya. Ya namanya kita bergaul sama laki-laki. Laki-laki ya perempuan nggak juga.Udah pasaran udah banyak juga yang bilang India itu kan memang gitu. Kadang pun kan kita kick juga, “ngular” kau sambil bercanda-canda kayak gitu. Orang itu pun biasa aja dibilang gitu, orang dia pun tau dibilang dia suka ngular. Orang udah tau udah pasaran.“ Stereotip “ular” atau “ngular” maksudnya adalah kebiasaan berbohong seseorang dimana perkataan tidak sesuai dengan perbuatan. Dapat juga diartikan Universitas Sumatera Utara sebagai penipu seperti sering mengingkari janji. Bu Inis sendiri mengalami langsung bagaimana stereotip tersebut memang tepat dan benar adanya. Ia bercerita seringnya masyarakat Tamil berhutang di kiosnya dan berjanji akan segera membayar tetapi tak kunjung dibayar dalam waktu yang cukup lama. Awalnya ular atau ngular ini hanyalah bahan candaan, tapi karena seringnya perilaku ditunjukkan maka lama kelamaan menjadi stereotip dan berkembang hingga sekarang. “Ngular ini kan eceknya nipu gitu. Kejadian-kejadian gitu ya pernah lah kayak ingkar janji. Macam masalah orang India ini ngutang gitu, katanya mau dibayar nyatanya nggak...kan dasar ular. Padahal ecek-ecek ajanya seloroh gitu bukan serius. Sebenarnya kan udah dari dulu sering orang ngucapin kata-kata gitu jadi udah terbiasalah orang bilang ngular gitu. Ya biasa aja sih. Kalo perkara ngular orang kita pun suka ngular juga. Orang kita pun banyak gitu ya kan. Tetap bekawan aja biasa aja tetap terbukalah. ” Tetapi stereotip tersebut tidak membuat Bu Inis menahan diri ataupun enggan untuk berhubungan maupun berinteraksi dengan masyarakat Tamil. Berdasarkan penuturannya ia masih tetap berteman dan terbuka dengan orang Tamil. Ia mengatakan semua orang sering berbohong dan menipu bukan hanya orang Tamil. Masyarakat pribumi juga banyak yang penipu bahkan banyak dan lebih parah. “Ya biasalah kaya orang lain sama ajalah. Tapi sekarang lain sama dulu. Kalo sekarang Indianya banyak yang berdagang. Kalo orang-orang India yang senang ya dagangnya yang keren-kerenlah buka ruko jualan toko sari gitu. Kalo yang biasa-biasa ya jualannya mie rebus, martabak, kayak gitu rata-rata India juga India muslim. Namanya muslim ya muslim. India ya India. Sama aja sih sebenarnya kayak yang lain- lain.“ Universitas Sumatera Utara Seiring berjalannya waktu terdapat perubahan paradigma terhadap masyarakat Etnis India Tamil. Jika dulunya kehidupan ekonomi mereka biasa- biasa saja tetapi saat ini sudah banyak masyarakat Tamil yang mencari nafkah dengan berdagang dan berbisnis. Mereka yang tingkat ekoniminya tinggi umumnya membuka toko yang menjual pakaian khas Indian seperti kain Sari. Sedangkan yang tingkat ekonominya biasa saja umumnya berjualan makanan khas India seperti martabak, roti cane dan mie rebus khususnya India Tamil yang beragama muslim. Perubahan paradigma ini menciptakan sebuah stereotip yang menganggap bahwa masyarakat Etnis India Tamil adalah masyarakat yang pandai berdagang dan berbisnis. Stereotip positif ini didapatkan informan melalui penglamannya langsung yang mengamati dari waktu ke waktu selama ia hidup berdampingan dengan mereka. Untuk hubungan antar etnis di Kawasan Kampung Madras sangat baik dan tidak pernah ada gesekan-gesekan antara Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil. Selama ia berjualan di kawasan Kampung Madras Bu Inis juga tidak pernah mendengar ataupun melihat ada konflik antar etnis yang terjadi. Hal tersebut didukung dengan berbaurnya masyarakat dari beragam etnis dan latar belakang dalam sebuah kegiatan. Seperti kegiatan Isra’ Mi’raj yang biasanya diselenggarakan oleh masyarakat Etnis Tamil yang beragama Islam. Meskipun acara tesebut adalah acara umat Islam tetapi yang juga ikut merayakannya adalah masyarakat muslim yang berasal dari Etnis Pribumi. Agama adalah salah satu faktor yang mempererat ikatan antara Etnis Tamil dan Etnis Pribumi di kawasan Kampung Madras. “Hubungan bagus nggak pernah ada rusuh-rusuh disini. Mudah-mudahan aman disini. Disini kan India ada juga yang muslim paling kadang ya pas Isra’ Mi’raj buatnya ya di jalan besar ini. Biasanya itu orang India muslim yang buat. Walaupun India muslim yang buat tapi kan yang datang ya orang kita juga banyak dari macam-macam tapi yang muslim ya. Kalau konflik gitu masalah-masalah gitu ibu nggak tau nggak pernah Universitas Sumatera Utara open-open sebenarnya. Jadi ya menurut ibu nggak adalah selama ibu jualan disini. ” Pada dasarnya Bu Inis adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari konflik pribadi dalam kehidupannya sehari-hari. Ia menuturkan pernah memiliki masalah dengan salah satu anggota masyarakat Etnis Tamil. Penyebabnya adalah karena hutang yang tak kunjung dibayar. Ia sempat memarahi orang itu dan tidak memperbolehkannya berhutang lagi di kiosnya. Namus seiring berlalunya waktu masalah tersebut sudah ia lupakan sebab orang India Tamil yang berkonflik dengannya juga menerima hal itu dan tidak menaruh dendam padanya. Konflik tersebut sama sekali tidak mempengaruhi keduanya dalam berinteraksi. Hingga saat ini ia pun masih berhubungan baik dengan orang itu. Masih saling bertegur sapa dan terkadang sesekali bercanda. “Kalo slek-slek besar nggak ada. Paling ya seloroh-seloroh tegang- tegang urat ada tapi nanti baikan juga. Biasalah namanya orang jualan. Kadang emosi sama yang tukang parkir ini. Sama dia lah yang sering. Karena kan dia suka ngakalin. Kadang nanti ngambil nanti sampai berhari-hari baru dibayarnya. Bapaknya ibu kan pernah gini, dia kan dikasih utang kadang dia suka ngakalin kalo nggak diminta nggak dibayar-bayarnya. Jadi ibu bilang sama bapak dia jangan lagi dikasih utang. Tapi sekarang udah nggak lagi karena ibu marah sama dia. Kan jualan ini untungnya berapalah. Nanti mau dia berhari-hari dibawa lupa. Sama dia aja yang lain nggak ada. Tapi dia ini bangsa nggak dendam. Kayak mana kita marah sama dia, dia tetap mau negur kita. Kadang- kadang kan emosi kita naik gitu. Tapi bagusnya dia nggak dendam pulak. ” Universitas Sumatera Utara Berbeda dengan pengakuan informan sebelumnya, Bu Inis memiliki cara sendiri dalam menjaga kerukunan dan ke harmonisan antarbudaya di tempatnya berjualan. Ia menuturkan masyarakat Etnis India Tamil senang bercanda, ia juga mengatakan candaan dan seloroh adalah sala satu cara jitu dalam menjaga hubungan baik dengan semua orang termasuk dengan masyarakat Etnis Tamil disekitar kios tempatnya berjualan. Karena ia disini hanya mencari nafkah dan tidak pernah berniat mengganggu masyarakat yang berada di lingkungan itu. “Kayak manalah ibu kan hanya sebatas jualan ya kalo orang India kan sering selorohin. Caranya kalo orang itu seloroh ya kita bawa bercanda ajalah sama dia. Ya biasa ajalah. Harapannya ya kalau bisa aman-aman ajalah. Namanya Ibu jualan disini kalo bisa jangan digusurlah jualan ibu. Bagus-bagus ajalah kedepannya saling menghargailah semua yang tinggal sama yang jualan disini. ” Sebagai orang yang sudah lama berjualan di lingkungan itu, Bu Inis hanya berharap agar situasi dan kondisi dapat selalu aman. Dan semua masyarakat bisa saling menghargai satu sama lain. Baik itu mereka yang menetap disana maupun mereka yang hanya menumpang untuk mencari nafkah. Sehingga tidak akan ada potensi konflik yang akan terjadi di masa yang akan datang. Kesimpulan Kasus Berdasarkan pemaparan informan yang telah berjualan selama kurang lebih 20-25 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa, Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku PadangMinang dan Jawa. Informan juga bergaul dengan semua masyarakat yang menurutnya cocok bergaul dengannya. Ia berinteraksi dengan masyarakat Etnis India Tamil hampir setiap hari kecuali pada hari Minggu, karena ia tidak berjualan pada hari itu. Informan biasa berinteraksi dan berkomunikasi di tempatnya berjualan dengan pelanggan maupun dengan pedagang lain yang ada disekitarnya. Secara teknis tidak ada kesulitan bagi Universitas Sumatera Utara informan dalam berkomunikasi, namun menurutnya hambatan terebut ada ketika ia sedang berada dalam tingkat emosional yang tinggi. Terdapat seterotip negatif dalam diri informan terhadap masyarakat Etnis India Tamil antara lain suka mabuk- mabukan dan suka “ngular” berbohongmenipu. Dalam penuturannya informan lebih menegaskan mengenai stereotip yang mengatakan bahwa masyarakat Etnis India Tamil suka berbohong melekat cukup kuat dan tepat. Hal ini dikarenakan pengalaman langsung yang terjadi pada dirinya serta informasi dari lingkungan sekitar yang ia miliki terkait dengan stereotip tersebut. Namun stereotip negatif tersebut tidak mempengaruhinya dalam berinteraksi dengan masyarakat Etnis India Tamil sebab ia memandang masyarakat Etns India Tamil bukan sebagai suatu etnis melainkan sebagai seorang individu. Selain stereotip negatif terdapat pula stereotip positif yang menurutnya masyarakat Etnis India Tamil saat ini identik dengan berdagang, berbeda dengan zaman dahulu ketika ia masih muda. Dan juga menurutnya masyarakat Etnis India Tamil memiliki toleransi tinggi dan gemar bercanda. Hal ini ia lihat secara langsung dan juga dengan melihat kondisi sekitar saat ini. Berdasarkan pendapat informan hubungan antarbudaya terjalin dengan cukup baik karena dipengaruhi faktor toleransi beragama yang tinggi dari masing- masing etnis yang hidup berdampingan disana. Ia pun berharap agar kedepannya hubungan antarbudaya terjalin dengan harmonis, aman, dan damai sebab ia hanya mencari nafkah di kawasan tersebut.

4.1.3.2.3 Informan VII