Komitmen Indonesia terhadap Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Pencemaran Asap Lintas
meningkat. Hampir setiap musim kemarau di Indonesia pada beberapa tahun trakhir ini sering mengalami
kebakaran, khusunya di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan.
Kebakaran hutan di Indonesia disebabkan karena adanya kesalahan sistemik dalam pengelolaan hutan secara
nasional. Dalam praktek konservasi lahan, penyiapan atau pembersihan atau pembukaan lahan oleh perusahaan
dilakukan dengan cara membakar. Metode land clearing dengan cara membakar tersebut lebih dipilih daripada
metode lain karena dinilai paling murah dan efisien. Faktor ekonomi dan ketidak tersediaan teknologi yang memadai
menjadi latar belakang kenapa metode ini lazim dilakukan, meskipun dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode
ini terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya. Saat ini kasus kebakaran hutan telah menjadi
perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial
bagi pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon serta
bagi keanekaragaman hayati. Untuk mengurangi berbagai
dampak daripada Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas, Negara anggota ASEAN menyadari bahwa adanya
kebutuhan untuk memperkuat kebijakan nasional dan strategi untuk mencegah dan mengurangi kebakaran hutan
dan lahan yang berdampak terciptanya kabut dan asap. ASEAN kemudian mengambil inisiatif dan langkah untuk
meningkatkan kerjasama ditingkat regional, sub-regional serta nasional secara terkoordinir dalam upaya pengambilan
kebijakan terhadap permasalahan lingkungan lintas batas. Ketika kabut asap mulai menyebar ke beberapa negara
anggota, itu menjadi fokus dari beberapa instrumen lingkungan ASEAN.
Pada tahun 2015 Indonesia secara efektif telah mengikatkan dirinya dengan Agreement on ASEAN
Transboundary Haze Pollution AATHP sebagai bentuk komitmen dalam mengatasi asap lintas batas terkhususnya
dalam menangani pembakaran hutan atau pembukaan lahan dengan cara dibakar. Hal tersebut seharusnya diikuti
dengan komitmen
dan itikad
baik dalam
mengimplementasikan isi perjanjian tersebut. Bekerjasama antar negara ASEAN dalam mencegah terjadinya asap
lintas batas, negara yang bertanggungjawab atas kebakaran harus merespon dengan cepat apabila terjadi kebakaran
hutan atau lahan hingga mentransformasikan isi perjanjian tersebut ke dalam hukum nasional, sehingga penyebab
terjadinya kebakaran lahan yang menyebabkan asap lintas batas dapat ditekan dan diminimalisir.
Inkonsistensi Indonesia dalam mentransformasikan AATHP kedalam hukum nasional saat ini cukup nampak
dibuktikan bahwa hingga saat ini Indonesia belum menyelaraskan hukum nasional dengan kewajiban yang
seharusnya mengikat seiring telah diratifikasinya AATHP khususnya yang berkaitan dengan larangan pembakaran
lahan atau hutan sebagai upaya pembukaan lahan. Hal tersebut dapat kita lihat dengan masih berlakunya Undang-
undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPLH, dimana Undang-undang tersebut masih memberikan izin terhadap
pemilik lahan atau pelaku usaha perkebunan untuk dapat membuka lahan land clearing dengan cara membakar.
Pada dasarnya membuka lahan dengan cara membakar hutan merupakan hal yang secara tegas dilarang
dalam undang-undang, yakni diatur dalam Pasal 69 ayat 1 huruf h UU PPLH yang berbunyi
: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan melakukan pembukaan lahan dengan
cara membakar”. Namun yang sangat disayangkan adalah di
ketentuan pasal lainnya ada ketentuan yang mengizinkan pembukaan lahan dengan cara membakar dengan catatan
diperbolehkannya membakar lahan dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal
2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai
pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Disisi lain terdapat beberapa peraturan teknis
sebagai turunan atas Undang-undang Perkebunan dan UUPLH yang menunjukan bahwa inkonsistensi Indonesia
semakin nyata terhadap komitmen untuk menekan terjadinya kebakaran hutan atau lahan sehingga dapat
meminimalisir terjadinya bencana asap. Tidak hanya Undang-undang
Perkebunan dan
Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup saja yang
memiliki pertentangan dengan komitmen Indonesia terhadap asap lintas batas yang telah di perjanjikan di
AATHP melainkan masih ada peraturan dibawahnya seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan peraturan di
tingkat daerah. Negara melalui instrumen hukumnya seakan
mendukung dengan adanya mekanisme pembakaran dalam pembukaan
lahan perkebunan,
dimana UUPPLH
memberikan izin untuk pembukaan lahan dengan cara dibakar seluas dua hektar dan diperparah lagi di beberapa
pemerintahan daerah menerbitkan Pergub yang semakin membuat ketidak jelasaan komitmen negara dalam
mengurangi asap lintas batas semakin nyata, seperti aturan lain soal membuka lahan dengan cara membakar dapat kita
lihat dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan
Pencemaran danatau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan danatau Lahan
“Permen LH 102010”. Pasal 4 ayat 1 Permen LH No.10 Tahun 2010:
“Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 dua
hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.”
Meskipun pembakaran lahan ini tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang,
danatau iklim kering namun tetap saja negara membenarkan cara pembakaran lahan sebagai metode land
clearing. Sejalan dengan UU Perkebunan, UU PPLH, dan Permen LH 102010. Pertaturan Gubernur Kalimantan
Tengah No. 15 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No 52 Tahun 2008
tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang menjadi turunan
peraturan diatasnya masih memperkokoh dan mendukung adanya pembukaan lahan dengan cara membakar.
Kewenangan pemberian izin dengan luas lahan di bawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:
4.3.3.1. Camat, untuk luas lahan di atas 2 Ha sampai
dengan 5 Ha; 4.3.3.2.
LurahKepala Desa, untuk luas lahan di atas 1 Ha sampai dengan 2 Ha; dan
4.3.3.3. Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 Ha
Pergub tersebut mengalami kemunduran dalam memberikan komitmen atas pencegahan akan terjadinya
bencana asap akibat pembakaran lahan. Sebelumnya, ada Pergub Kalteng No. 52 tahun 2008 tentang Pedoman
Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang dulunya pemerintah daerah
memiliki kewenangan memberikan izin pembukaan lahan dengan cara membakar dengan cakupan luas diatas 2,5
Hektar dan yang dibawah luas tersebut diberikan kewenangan kepada Camat hingga ketua RT sesuai
ketentuan, namun seiring telah dirubahnya Pergub tersebut pada tahun 2010 seolah lebih mempermudah perizinan
pembukaan lahan dengan cara membakar yang dibuktikan dengan semakin tidak ketatnya pemberian perizinan.
Dapat kita lihat bahwa peraturan yang ada saat ini tidak berpihak kepada pencegahan bencana asap, dengan
hadirnya negara yang telah membenarkan kegiatan pembukaan lahan dengan cara membakar dengan masih
berlakunya peraturan-peraturan tersebut. Hingga saat ini Peraturan Perundang-undangan tersebut belum di sesuaikan
dengan isi AATHP, dari hal itu juga kita dapat melihat bahwa Indonesia masih berat hati untuk memberikan
komitmen yang penuh terhadap zero burning policy dalam pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan
perladangan. Tanggung jawab Pemerintah Indonesia terkait
pengendalian kabut asap tidak hanya kepada publik dalam negeri saja tetapi juga kepada negara lain terutama Negara
Peserta AATHP sebagai bukti pelaksanaan asas itikad baik atau good faith. Salah satu konsekuensi yang harus
Indonesia terima setelah meratifikasi AATHP dalam perspektif hukum internasional adalah negara memiliki
kewajiban untuk membentuk produk hukum yang seharusnya melarang pembakaran lahan sebagai metode
land clearing karena Indonesia telah terikat dan
mengikatkan dirinya kepada AATHP dan memiliki tanggung jawab dalam mengimplementasikan isi dari
perjanjian. Namun hal tersebut seolah-olah hanya harapan kosong yang diberikan oleh Indonesia kepada each party
dalam perjanjian tersebut. Maka sudah seharusnya Indonesia mentransformasikan perjanjian tersebut kedalam
hukum positif yang lebih mampu mendukung terciptanya zero burning policy
. Peraturan Perundang-undangan yang telah ada
terbukti tidak mampu mengurangi penyebab terjadinya bencana asap yang merugikan banyak pihak termasuk
negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia dibuktikan dengan terjadinya kebakaran lahan gambut pada tahun 2015
yang disebut-sebut kebakaran lahan terparah yang pernah dialami oleh Indonesia. sebab oleh itu Indonesia sudah
harus mencari jalan keluar dalam menentukan metode land clearing yang lebih aman, efektif dan efisien selain dengan
cara land fires atau membakar. Seluruh produk hukum yang berkaitan dengan
pembakaran lahan harus dikaji dan dipertimbangkan kembali untuk dilakukan amandemen terhadap Undang-
undang tersebut dan secara otomatis peraturan dibawahnya akan ikut menyesuaikan dengan Peraturan Perundang-
undangan diatasnya, karena bukan tidak mungkin peluang tersebut disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan secara nyata bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar telah menimbulkan dampak
negatif yang luar biasa bagi banyak pihak terdampak.