Pilihan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hukum
oleh seluruh negara-negara anggota ASEAN pada 2008 dan berlaku enter into force pada 15 Desember 2008. Oleh
karena itu, Piagam ASEAN merupakan dasar hukum yang penting untuk melihat kepatuhan negara-negara anggota
ASEAN terhadap perjanjian kerjasama yang telah mereka sepakati.
ASEAN bukan lagi sebagai sebuah organisasi kerjasama antar pemerintah atau intergovernmental yang
longgar seperti ketika pertamakali dibentuk namun merupakan sebuah
‟rule-based‟ organisasi, organisasi yang didasarkan pada aturan hukum yang mengikat.
170
Di dalam Piagam ASEAN diatur secara jelas personalitas hukum
legal personality ASEAN dan kedudukan hokum legal positioning
dari lembaga ASEAN untuk mengimbangi kerjasama ASEAN yang semakin berkembang, bervariasi,
dan intens. Piagam mengatur secara rinci tujuan dan prinsip-prinsip dari ASEAN. Piagam juga menetapkan
mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas untuk
170
Pada bagian Preamble dari Piagam ASEAN disebutkan keputusan untuk „establish
through this Charter the legal and institutional framework for ASEAN dan pada
ditegaskan lagi dalam pasal 2 h Piagam tentang prinsip ASEAN yaitu adherence to the rule of law, good governance, the principles of democracy and constitutional
government , lihat Piagam ASEAN
antisipasi jika terjadi perbedaan penafsiran atas isi Piagam dan perjanjian ASEAN lainnya.
Menurut Piagam, negara-negara anggota ASEAN wajib menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai
dengan cara yang tepat waktu melalui dialog, konsultasi, dan negosiasi.
171
Negara anggota yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa mereka dengan menggunakan
good offices , konsiliasi, atau mediasi dalam batas waktu
yang disepakati. Sekretaris Jenderal ASEAN dalam kapasitas secara ex-officio dapat memberikan good offices,
konsiliasi, atau mediasi atas permintaan negara-negara anggota yang bersengketa.
Pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat sangat mungkin diberikan oleh Piagam ASEAN,
termasuk arbitrase, yang dibentuk untuk sengketa yang berkenaan dengan penafsiran atau penerapan Piagam
ASEAN dan instrumen-instrumen ASEAN yang lain.
172
Sedangkan untuk sengketa yang tidak terselesaikan maka sengketa tersebut wajib dirujuk kepada KTT ASEAN untuk
171
Pasal 25 Piagam ASEAN
172
Dicantumkannya arbitrasi di dalam Piagam ASEAN ini menunjukkan bahwa di lingkup ASEAN dimungkinkan bentuk penyelesaian sengketa internasional secara hukum
atau quasi judicial selain penyelesaian sengketa secara diplomatic.
diambil keputusannya.
173
Selain mengatur mengenai prosedur,
cara-cara, dan
pembentukan mekanisme
penyelesaian sengketa yang berkenaan dengan penafsiran dan penerapannya, Piagam juga mengatur mengenai
kepatuhan negara-negara anggota terhadap temuan, rekomendasi, atau keputusan yang dihasilkan dari
mekanisme penyelesaian sengketa.
174
Hal ini diserahkan kepada Sekretaris Jenderal ASEAN yang dibantu oleh
Sekretariat ASEAN atau lembaga ASEAN lainnya yang ditunjuk. Mereka harus memberikan laporan kepada KTT
mengenai hal ini. Selain itu, Dalam ASEAN pun terdapat pengaturan
penyelesaian sengketa yang termuat dalam the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia TAC
yang ditandatangani di Bali, 24 Februari 1976. Bab IV TAC
Pasal 13-17 memuat pengaturan mengenai pnyelesaian sengketa secara damai. Dalam hal penyelesaian hukum
pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara, terdapat beberapa mekanisme atau prosedur penyelesaian sengketa
173
Pasal 26 Piagam ASEAN: when a dispute remains unresolved after the application of the preceding provisions of this Charter, this dispute shall be referred to the ASEAN
Summit for its decision.
174
Pasal 27 1 Piagam ASEAN
yang bisa digunakan apabila terjadi masalah hukum kedepannya, dan telah dikenal negara-negara anggota
ASEAN, meliputi: 4.4.4.1.
Penyelesaian Sengketa Secara Diplomatis Pasal 13 TAC mensyaratkan negara-
negara anggota untuk sebisa mungkin dengan iktikad baik mencegah timbulnya sengketa di
antara mereka. Namun apabila sengketa tetap lahir dan tidak mungkin dicegah maka para pihak
wajib menahan diri untuk tidak menggunakan ancaman kekerasan. Pasal ini selanjutnya
mewajibkan para pihak untuk menyelesaikannya sengketa secara diplomatis seperti negosiasi,
mediasi dan konsiliasi. Pasal 13 TAC berbunyi: The High
Contracting Parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising.
In case disputes on matters directly affecting them should arise, especially disputes likely to
disturb regional peace and harmony, they shall refrain from the threat or use of force and shall
at all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations.
Penyelesaian sengketa secara diplomatis pun merupakan salah satu langkah awal yang
harus dijalankan oleh Indonesia sebagai Negara Penyebab kabut asap dan Negara-negara tetangga
yang tekena dampak kabut asap tersebut, sesuai dengan pasal 27 AATHP tentang penyelesaian
sengketa yang berbunyi “Any dispute between Parties as to the interpretation or application of,
or compliance with, this Agreement or any protocol thereto, shall be settled amicably by
consultation or negotiation ”.
Melalui ketentuan
pasal tersebut,
memungkinkan para pihak bersengketa untuk menyelesaikan
sengketa mereka
melalui konsultasi ataupun negosiasi, hal ini juga sesuai
dengan ketentuan 2010 Protocol to the ASEAN Charter on Dispute Settlement Mechanism
yang mensyaratkan penyelesaian sengketa secara
damai terlebih dahulu dalam berbagai masalah di
lingkup ASEAN, termasuk penyelesaian hukum pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara.
Dalam penyelesaian sengketa secara diplomatis yang dalam hal ini mediasi, konsiliasi
dan good offices, sebuah Negara ataupun organisasi internasioan dapat menawarkan diri
untuk memediasikan ataupun menawarkan good offices,
dalam konteks Asia Tenggara, Negara- negara anggota ASEAN dan ASEAN sendiri
memiliki peran penting dan dapat ikut serta dalam penyelesaian sengketa secara diplomatis.
4.4.4.2. Penyelesaian Sengketa Melalui the High Council
Manakala negosiasi secara langsung oleh para pihak gagal, penyelesaian sengketa masih
dimungkinkan dilakukan oleh the High Council Pasal 14 TAC. Pasal 14 TAC berbunyi : To
settle disputes through regional process, the High Contracting Parties shall constitute, as a
continuing body, a High council comprising a Representative at ministerial level from each of
the High contracting parties to take cognizance
of the existence of disputes or situations likely to disturb regional peace and harmony.
The Council terdiri dari setiap negara
anggota ASEAN. Apabila sengketa timbul maka The
Council akan memberi rekomendasi
mengenai cara-cara penyelesaian sengketanya. The High Council
juga diberi wewenang untuk memberikan jasa baik, mediasi, penyelidikan
atau konsiliasi, apabila para pihak menyetujuinya Pasal 15 dan 16 TAC.
Pasal 15 TAC berbunyi: In the event no solution is reached through direct negotiations,
the High Council shall take cognizance of the dispute or the situation and shall recommend to
the parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation,
inquiry or conciliation. The High council may however offer its good offices, or upon agreement
of the parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation,
inquiry or conciliation. The high Council may
however offer its good offices, or upon agreement of the parties in dispute, constitute itself into a
committee of mediation, inquiry or conciliation. When deemed necesarry, the High Council shall
recommend appropriate measures for the prevention of a deterioration of the dispute or the
situation. Pasal 16 TAC berbunyi : The foregoing
provision of this Chapter shall not apply to a dispute unless all the parties to the dispute agree
to their application to that dispute. However this shall not preclude the other High Contracting
Parties not party to the dispute from offering all possible assistance to settle the said dispute.
Parties to the dispute should be well disposed of towards such offers of assistance
4.4.4.3. Penyelesaian Sengketa Melalui Mahkamah
Internasional International Court of Justice Meskipun terdapat mekanisme di atas,
TAC tidak menghalangi para pihak untuk menempuh cara atau metode penyelesaian
sengketa lainnya yang para pihak sepakati sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat 1
Piagam PBB Pasal 17 TAC. Dalam praktik, para pihak yang bersengketa lebih cenderung
untuk menyelesaikan sengketanya secara hukum. Misalnya penyelesaian sengketa sesuai dengan
Pasal 17 TAC, yaitu penyelesaian sengketa ke Mahkamah Internasional ICJ. Contoh langkah
seperti ini misalnya adalah sengketa Indonesia- Malaysia mengenai status kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan, atau antara Malaysia-Singapura mengenai status kepemilikan Pulau Batu Puteh.
Pasal 17 TAC berbunyi: Nothing in this Treaty shall preclude recourse to the modes to
peaceful settlement contained in Article 33 1 of the Charter of the United Nations. The High
Contracting parties which are parties to a dispute should be encouraged to take initiatives
to solve it by friendly negotiations before resorting to the other procedures provided for in
the Charter of the United Nations.
Namun, Negara
umumnya enggan
menggunakan Mahkamah
Internasional International
Court of
Justice untuk
penyelesaian sengketa mereka. Alasan di balik keengganan ini dikarenakan proses
yang memakan waktu dan karakter litigasi yang tidak
pasti. Disisi lain, Pemerintah juga enggan kehilangan kontrol atas kasus yang tidak dapat
diselesaikan dan terikat pada putusan yang tidak sesuai dengan kemauan dan kepentingan negara-
negara bersengketa.
175
Penyelesaian hukum kabut asap melalui Mahkamah Internasional bukanlah hal yang tidak
mungkin, namun menimbang pengalaman buruk Indonesia dan beberapa kelemahan penyelesaian
sengketa melalui Mahkamah Internasioanl, pilihan penyelesaian ini mungkin akan menjadi
pilihan yang terakhir sepanjang prosedur yang lain tidak dapat memberikan kepastian dan
175
Elli Louka, 2006, International Environmental Law: Fairness, Effectiveness, and World Order, Cambridge University Press,
hlm. 57
menyelesaikan sengketa apabila terdapat masalah kabut asap kedepannya.
4.4.4.4. Penyelesaian melalui Arbitrase
Perkembangan ASEAN di tahun 1990-an membawa
tuntutan dan
tantangan baru,
khususnya bagi Negara-negara yang kurang berkembang dari ASEAN yang menghadapi isu-
isu perkembangan berkelanjutan dan manajemen lingkungan. Lebih lanjut lagi, dengan adanya
ASEAN memberikan kesempatan bagi setiap negera untuk terikat dalam sebuah kawasan yang
bergerak kearah kerangka kerja institusional yang lebih kuat dan komitmen dalam upaya
perlindungan lingkungan, mitigasi dan adaptasi. Meskipun ASEAN telah sampai pada proses
regionalism, namun saat ini ASEAN tetap menghadapi beberapa tantangan dalam masalah
lingkungan apalagi terkait dengan masalah pencemaran asap lintas batas, diantara tantangan
tersebut adalah kurangnya kepatuhan, minimnya sanksi, perbedaan politik atas sumber daya alam
versus prioritas ekonomi, dan keterbatasan finansial dan kapasitas sumber daya manusia.
Tantangan-tantangan dalam
penanggulangan pencemaran
asap tersebut
apabila tidak dapat ditangani dengan segera, akan berimbas kepada hubungan baik Negara-negara
di ASEAN pada umumnya, dan Indonesia dan beberapa Negara tetangga pada khususnya. Hal
ini diperparah dengan fakta bahwa Indonesia sebagai negara dengan sumber kebakaran hutan
utama di Asia Tenggara belum mampu mencegah serta memberikan Kebijakan yang optimal dalam
upaya penanggulangan asap lintas batas tersebut. Ditambah lagi dengan bukti bahwa, pencemaran
asap lintas batas ini sudah cukup lama tidak tertangani, dengan dimulainya pada tahun 1997,
pencemaran asap sudah cukup mampu menjadi alasan-alasan beberapa negara tetangga untuk
melakukan tuntutan kepada Indonesia untuk segera mengatasi kebakaran hutan diwilayahnya.
Meskipun dengan
asumsi bahwa,
tanggung jawab penanggulan asap bukan lagi hanya menjadi kewajiban indonesia, namun telah
menjadi tannggung jawab bersama negara-negara di ASEAN, hal ini tidak menutup kemungkinan
akan terjadi konflik ataupun sengketa yang lahir dari masalah lingkungan lintas batas tersebut.
Pengalaman-pengalaman beberapa
negara setidaknya bisa kita jadikan contoh bagaimana
kemudian mekanisme
yang tepat
untuk digunakan dalam upaya menyelesaikan sengketa
tersebut. seperti yang dijelaskan sebelumnya, setidaknya ada berbagai macam mekanisme yang
dapat dipakai dalam menyelesaikan sengketa internasional, seperti mediasi, konsiliasi dan
melalui mahkamah Internasional. Selain daripada mekanisme tersebut, ada
satu mekanisme lagi yang dapat Indonesia dan negara ASEAN lain gunakan apabila terjadi
sengketa terkait pencemaran asap lintas batas, yaitu arbitrase. Berbeda dengan konsiliasi dan
mediasi, dimana
penyelesaian sengketa
menggunakan arbitrase mengarah ke keputusan mengikat dan sifatnya lebih fleksibel daripada
penyelesaian melalui mahkamah internasional. Badan arbitrase terdiri dari para arbriter yang
biasanya ditunjuk oleh para pihak tetapi yang tidak tunduk pada kepentingan mereka.