Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Tanggungjawab
Fungsi dasar dari prinsip tanggung jawab negara dalam kajian hukum internasional adalah untuk memberikan perlindungan
kepada setiap negara, antara lain dengan cara mewajibkan setiap negara pelanggar membayar ganti rugi kepada negara yang
menderita kerugian yang diakibatkannya.
33
Pertanggungjawaban negara biasanya dilakukan dalam bentuk perbaikan, rehabilitasi
ataupun ganti rugi, dan bentuk pertanggungjawabannya sangat tergantung pada peristiwa yang terjadi.
Dalam praktiknya, negara yang menderita kerugian akan meminta sesuatu yang bersifat satisfaction melalui cara-cara
diplomatis. Disisi lain, apabila suatu negara merasa kehormatannya direndahkan, permohonan maaf resmi dari negara yang melakukan
perbuatan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab negara yang akan dilakukan. Sedangkan kesalahan negara yang menimbulkan
suatu kondisi kerugian dan membutuhkan perbaikan ataupun kompensasi, jalur hukum biasanya akan diajukan kepada badan
arbitrase internasional atau tribunal untuk memutuskan suatu perkara.
34
33
Ibid.
34
Ibid, hlm. 48-49.
Menurut Sharon Williams, ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara
yaitu:
35
2.3.1. Subjective fault criteria
2.3.2. Objective fault criteria
2.3.3. Strict Liability
2.3.4. Absolute Liability
Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya
kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara atau tidak. Dalam konsep
objective fault
criteria ditentukan
melalui adanya
pertanggungjawaban negara yang timbul dari atas suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Namun, negara tersebut
dapat dibebaskan atas suatu tanggung jawab apabila negara tersebut dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau adanya tindakan
pihak ketiga. Lebih lanjut lagi, Konsep strict liability membebani negara
dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan commission atau kelalaian ommission pada yurisdiksinya dan akibat kelalaian atau
35
Sharon Williams, 1984, Public International Governing Trans-boundary Pollution, University of Queensland, hlm. 114-118. Dikutip oleh Marsudi Triatmodjo, hlm. 177.
perbuatan tersebut menyebabkan kerugian bagi negara lain. Akan tetapi dalam konsep ini acts of God, tindakan pihak ketiga atau forcé
majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf exculpate yang
dapat melepaskan Negara dari pertanggungjawabannya. Disisi lain, menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang
dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini negara bertanggung jawab penuh walaupun segala
standar telah dipenuhi.
36
Dalam konteks kerusakan lingkungan, pelaksanaan kegiatan di dalam suatu wilayah negara terhadap lingkungannya merupakan
perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika kegiatan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lainnya the act injuries to
another states maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip
responsibility dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya
pencegahan terhadap suatu aktivitas dengan cara menetapkan standar permisible injury atau ambang batas dari kerusakan
lingkungan. Kerusakan lingkungan environmental injuries dapat pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang timbul dari kegiatan
36
Ibid.
ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan ambang batas atau baku mutu lingkungan.
37
Penetapan permisible injury dilakukan berdasarkan putusan pengadilan internasional, atau penetapan standar perbuatan yang
dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, dan melalui pelaksanaan fungsi pengaturan oleh badan-badan internasional. Sebagian besar
tanggung jawab negara ini didasarkan pada ketentuan larangan injury of one state to another
. Berbeda halnya apabila suatu kerusakan tersebut terjadi di wilayah yang termasuk common
heritage of mankind wilayah-wilayah yang merupakan warisan
bersama umat manusia maka tanggung jawab yang timbul adalah tanggung jawab internasional shared responsibility.
38
Dalam kajian hukum lingkungan internasional, terdapat beberapa prinsip yang diakui dan diatur secara internasional. Salah
satu prinsipnya principles of good neighbourliness yang mengatur kewajiban Negara untuk tidak menganggu kedaulatan Negara lain.
Prinsip selanjutnya yakni preservation and the protection of environment
yang menegaskan tindakan-tindakan apa saja yang perlu diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan
37
Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia
, ed. 2, cet. 1, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 129-137.
38
Ibid.
bagi kondisi yang baik di masa depan. Kemudian preventive principle
yang mengatur terkait upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan.
Pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip diatas akan berimbas kepada penerapan prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi
Stockholm yang menuntut negara pencemar untuk melakukan usaha perbaikan akibat perbuatannya. Pendekatan yang sama ini bisa juga
dilihat dalam Pasal 2 1 dari Konvensi ECE tentang Pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus ikut serta
dalam upaya pencegahan dan mengurangi dampak pencemaran lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap negara adalah
mewujudkan langkah-langkah administratif dan legislatif untuk melindungi
lingkungan sehingga
dapat dikatakan
sebagai pemerintah yang baik.
39
Prinsip lain yang juga dikenal luas adalah kerjasama antara negara untuk mitigasi resiko kerusakan lingkungan lintas batas.
Prinsip ini juga tercantum dalam prinsip ke 24 Deklarasi Stockholm. Lalu ada juga prinsip polluter pays principle yang menekankan pada
prinsip ekonomi dimana negara pencemar atau Penyebab kerusakan
39
Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, 1992, International Law The Environment, Oxford University Press, hlm. 89-93
dituntut untuk membiayai tindakan yang dibutuhkan agar lingkungan kembali pada kondisi semula.
40
Berikutnya adalah prinsip ’balance of interest’ keseimbangan kepentingan pihak-pihak
yang telah dirugikan. Prinsip ini terdapat di dalam Pasal 9 Draft on State Responsibility
. Kemudian ada juga prinsip non-diskriminasi yang mewajibkan negara untuk menanggulangi akibat-akibat yang
diderita oleh Negara lain dengan cara yang sama tanpa membedakan dengan apa yang sudah dilakukan di negaranya.
Berdasarkan prinsip pencemar membayar dan asas strict liability
telah dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang disebut shifting or alleviating the burden of proofs. Penerapan asas
strict liability dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan:
41
2.3.1. Strict liability with contributory negligence defense, yakni
strict liability diterapkan kepada tergugat sepanjang pihak
korban tidak mempunyai andil kesalahan atas timbulnya kerugian, kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu
dibuktikan;
40
M Ramdan Andri GW, Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban
“Liability Theories”, Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan ISSN 0854-7378 Tahun V No. I1999
, hlm. 5..
41
Ibid.
2.3.2. Negligence with contributory negligence defense, yakni
tergugat bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul karena kesalahannya, beban pembuktian ada pada tangan
penggugat; 2.3.3.
Comparative negligence, yakni ganti kerugian akan disesuaikan dengan proporsi dari besarnya andil terhadap
timbulnya kerugian.