Tanggung Jawab Indonesia atas Pencemaran Asap

ekonomi, peningkatan jumlah masalah dari setiap isu tersebut membutuhkan aturan inernasional dan kerjasama internasional yang baik. 126 Fakta bahwa masalah lingkungan yang salah satunya polusi udara tidak berhenti pada batas nasional mungkin tampak jelas, tetapi pada awalnya polusi udara dikategorikan sebagai masalah lokal yang akan diatasi dengan hukum nasional. Namun seiring waktu, setelah masalah pencemaran lingkungan lintas batas mendapat perhatian dunia, banyak kalangan yang menganggap masalah lingkungan lintas batas polusi asap sebagai masalah internasional 127 . “Transboundary air pollution is defined as anthropogenic introduction of substances or energy into the atmosphere from a physical origin situated wholly or in part within the national jurisdiction of one state that has adverse effects in the area under the jurisdiction of another state. Transboundary air pollution is an insidious problem because airborne contaminants are both difficult to measure and to trace” 126 Jurgen Friederich, 2013, International Environm ental Law “Soft Law”, Springer, hlm.1 127 Ved Nanda and George Rock Pring, 2013, International environmental law and policy for the 21st century, Boston, Martinus Nijhof Publisher, hlm.332 Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, kawasan Asia menghadapi masalah polusi udara yang sangat menghkhawatirkan. Kombinasi pertumbuhan industri yang cepat, krisis ekonomi, ketergantungan pada bahan bakar fosil, kebakaran hutan, dan lemahnya penegakan hukum menjadi alasan mengapa polusi asap lintas batas di Asia sangat memprihatinkan dan tetap berlanjut. 128 Terlebih lagi, Kebakaran hutan sudah menjadi masalah klasik yang menyebabkan polusi udara di Asia, padahal dalam banyak kesempatan, fungsi hutan sudah diakui sebagai penyerap karbon, bahkan, hutan juga berfungsi sebagai penyedia ekosistem lokal, regional dan global yang berharga mulai dari kualitas air, pengendalian banjir, stabilitas tanah dan keanekaragaman hayati 129 . Namun sebaliknya, hutan dikawasan Asia pada umumnya dan kawasan Indonesia pada khususnya telah diekploitasi secara besar-besaran sehingga menghilangkan fungsi hutan tersebut dan menyebabkan berbagai macam masalah yang berakar pada isu Kebakaran hutan tersebut. 128 Ibid, hlm.348 129 Simon Butt et all, 2015, Climate Change and Forest Governance: Lessons from Indonesia , New York, Routledge, hlm.1 Lebih lanjut lagi, prinsip pertanggungjawaban negara sebagai salah satu prinsip utama dalam hukum internasional pada intinya memuat kewajiban negara yang memberikan dampak kepada negara lain untuk melakukan suatu reparasi kepada negara yang dirugikan dan mengembalikan kondisi negara yang bersangkutan seperti semula. Keberadaan hukum lingkungan internasional sebagai salah satu cabang dari hukum internasional turut pula membawa pemberlakuan dari prinsip tanggung jawab negara dalam beberapa kasus hukum lingkungan internasional seperti yang dapat ditemui. Secara detail, tanggung jawab negara menurut A Dictionary of Law adalah “The obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal obligation under international law” 130 Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa tanggung jawab negara untuk melakukan perbaikan reparation timbul ketika suatu negara melakukan kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional. 130 Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, 2002, hlm 477 Seiring dalam perkembangan perspektif masyarakat internasional yang menganggap bahwa lingkungan hidup adalah suatu kesatuan internasional wholeness tanpa adanya batas administratif, keberadaan prinsip pertanggungjawaban negara mulai tergeser dengan prinsip Common But Differentiated Responsibility yang menekankan pada tanggung jawab secara bersama-sama yang didasari oleh suatu pertanggungjawaban hukum oleh negara tertentu. Hal ini merupakan suatu antithesis dari prinsip pertanggungjawaban negara yang berada pada ranah hukum internasional pada umumnya sehingga menafikan adanya suatu tanggung jawab hukum dari negara tertentu. Namun , seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan Negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Bila dilihat, sebenarnya Indonesia telah melakukan segala upaya yang mampu dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi polusi asap akibat kebakaran hutan. Hal ini jelas bukan merupakan tindakan aktif negara dan juga tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan pembiaran, mengingat upaya-upaya telah dilakukan. Upaya pemerintah Indonesia sekarang menanggulangi kebakaran hutan sudah membaik namun keterbatasan dana dan personil serta luasnya skala kebakaran, menyebabkan Indonesia sekali lagi tidak berdaya. Indonesia memerlukan bantuan, tidak hanya menanggulangi kebakaran hutan dengan pengerahan personil dari ASEAN, tetapi juga pencegahan, yakni dengan membuat aturan hukum yang efektif menghukum pembakar hutan. Sebagian dari masalah ini bisa ditanggulangi ketika Indonesia menjadi bagian dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ini. Bila dilihat, sebenarnya ratifikasi kesepakatan tersebut lebih banyak keuntungannya daripada kerugiannya terhadap kepentingan dan kebijakan nasional Indonesia 131 Salah satunya adalah negara pencemar dapat memanfaatkan bantuan kerja sama dalam menerapkan langkah untuk mencegah memonitor, termasuk dalam identifikasi, mengontrol intensitas minimalisasi kebakaran, 131 Akbar Kurnia Putra, loc it. hlm. 207 pertukaran informasi teknologi, serta penyediaan bantuan timbal balik. Seperti yang dicantumkan dalam Pasal 4 1 yang meganggap bahwa, transboundary haze pollution dianggap sebagai masalah bersama oleh para anggota ASEAN. Segala potensi yang ada di negara anggota ASEAN, termasuk dana yang dialokasi dapat dimanfaatkan untuk menangani masalah asap. Dengan membentuk semacam badan pusat ASEAN Centre. Yang merupakan badan koordinasi bagi ASEAN yang difungsikan khusus sebagai fasilitas dalam penanganan masalah kabut asap. Hal ini pun senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana 132 , bahwa dengan meratifikasi AATHP Indonesia dapat terhindar dari tuntutan hukum Internasional dalam masalah polusi asap lintas batas negara ini. Berdasarkan prinsip pertanggungjawaban negara state responsibility Indonesia dapat dituntut negara lain untuk mengganti rugi yang terkena dampak asap akibat pembakaran hutan di 132 Professor Hikmahanto Juwana adalah Guru Besar dan Pakar Hukum Internasional Publik dari Universitas Indonesia, Jakarta. Indonesia. 133 Untuk itu, pasca ratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia tidak lagi dapat dituntut karena telah menjadi tanggungjawab bersama Shared Responsibility, Tanggung jawab bersama berarti Indonesia harus bertanggung jawab bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam mengatasi polusi asap lintas batas. Meskipun munculnya polusi asap berasal dari Indonesia. Selain itu, dalam AATHP penanganan polusi asap tidak menjadikan hukum nasional di Indonesia berubah sebagai akibat dari ratifikasi perjanjian 134 . Namun, Sigit Riyanto menyatakan bahwa pasca ratifikasi AATHP, Indonesia justru lebih memiliki beban berat dan berkewajiban menerapkan dan memenuhi isi-isi dari perjanjian tersebut. Termasuk mengambil langkah- langkah nasional dan lokal 135 untuk memberikan dampak positif terhadap rmasyarakat, langkah-langkah tersebut 133 Interview dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2016, pukul 15.30 WITA di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan. 134 Antara News, “Ratifikasi Perjanjian Soal Asap Indonesia Diuntungkan” http:www.antaranews.comprint1164938450 135 Paul R. Williams, 2000, International Law and the Resolution of Central and East European Transboundary Environmental Dispute, Newyork, Macmillan Press Ltd, hlm.220 bersifat Kebijakan domestik dan kerjasama antar Negara, diantaranya pertama, penguatan manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu isu penting dalam upaya pencegahan kebakaran hutan, seperti yang kita tahu, hutan yang tdak dimiliki negara, idealnya dikelola oleh masyarakat lokal, berdasar pada fakta tersebut, masyarakat lokal dapat melihat dan mengawasi secara langsung pengelolaan hutan. Sehingga apabila ada diantara mereka tertangkap tangan ataupun terindikasi melakukan pembukaan lahan ataupun pembakaran hutan, pelakunya dapat dengan mudah ditangkap dan dihukum. Bahkan, di komunitas lokal yang masyarakatnya punya kedekatan emosional, masyarakt dapat menerapkan sanksi sosial bagi siapa saja yang merusak hutan. Dalam penguatan manajemen masyarakat lokal, yang menjadi masalah adalah penumbuhan kesadaran masyarakat akan bahayanya metode babat-bakar misalnya. Untuk meningkatkan kesadaran mereka, salah satu upaya yang tepat adalah melalui pendidikan dan pemberian informasi. Pemberian informasi atau pendidikan bisa dijadikan sebagai salah satu langkah untuk menghasilkan pemahaman jangka panjang, pemberian informasi tersebut tidak hanya diberikan kepada masyarkat saja, tetapi juga kepada perusahaan dan siapa saja yang memungkinkan untuk menyebabkan Kebakaran hutan. Informasi tersebut dapat berupa bahaya metode babat-bakar atupun metode alternatif dalam pembukaan lahan perkebunan. Lebih lanjut lagi, informasi ini dapat disebarkan melalui media massa ataupun dari mulut ke mulut masyarkat lokal. Untuk menjadikannya efektif, yang terpenting adalah membuat informasi terbeut mudah dimengerti, kredibel, memotivasi dan menarik perhatian masyarakat. Kedua, pemberlakuan insentif dan reward, Kebijakan ini didasarkan fakta bahwa, kebanyakan perusahan yang melakukan pembakaran hutan adalah upaya untuk menghemat biaya. Insentif dalam bentuk peraturan, pajak, penghargaan, dan sebagainya berfungsi untuk memperbaiki persepsi sesat ini. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran dan juga mengubah persepsi bahwa membakar adalah metode yang murah dan efektif. Imbalan dan bantuan dapat diberikan kepada pihak yang mengikuti aturan yang berlaku,atau mereka yang bersedia untuk melakukan metode pembukaan lahan selain dari metode babat-bakar. Misalnya, masyarakat pedesaan dapat menerima dana atau imbalan lain jika kebakaran hutan sudah tidak terjadi lagi didaerah mereka dalam beberapa tahun tertentu dan memberikan imbalan bagi siapa saja yang melakukan pelaporan adanya pelanggaran dalam pengelolaan hutan. Dilain sisi, Perusahaan kecil contohnya, bisa menerima dana pemerintah dan subsidi di bidang penerapan teknologi, pelatihan dan konsultasi dalam pengelolaan kehutanan. Ketiga, penguatan aturan dan penegakan hukum merupakan salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia, faktanya, banyak aturan yang sudah dibuat Indonesia namun lemah dalam tahap implementasinya, sehingga satu langkah yang tepat adalah penguatan sistem hukum dan melakukan penegakan hukum kepada siapa saja yang telah melanggar dan melakukan pembakaran hutan. Di sisi lain, Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan ketat terhadap pelaku Kebakaran hutan, salah satunya sanksi pidana yang diatur dalam UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, namun praktik mafia peradilan ditenggarai masih menjadi salah satu kendala mengapa para pembakar hutan tidak dihukum berat, sehingga penguatan aturan dan penegakan hukum sudah selayaknya menjadi fokus pencegahan Kebakaran hutan kedepannya. Lebih lanjut lagi, negera berkewajiban untuk bekerjasama dengan anggota-anggota ASEAN lainnya, dalam upaya pemenuhan perjanjian, salah satunya seperti yang diamanatkan pasal 4 1 AATHP: “Co-operate in developing and implementing measures to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land andor forest fires which should be mitigated, and to control sources of fires, including by the identification of fires, development of monitoring, assessment and early warning systems, exchange of information and technology, and the provision of mutual assistance.” 136 Jelas kiranya bahwa, dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan dan polusi asap, setiap anggota ASEAN yang juga merupakan pihak dari AATHP berkewajiban untuk bekerja sama dalam pengembangan dan penerapan 136 Pasal 4, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution langkah-langkah pasti untuk mencegah dan memonitor polusi asap sebagai akibat dari kebakaran hutan. Terlebih lagi untuk mengidentifikasi sumber kebakaran hutan, menerapkan sistem tanggap bencana dan pertukaran informasi dan teknologi. Kewajiban tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab Indonesia semata, tetapi juga bagi negara-negara lainnya. Namun yang harus digarisbawahi, Indonesia sebagai sumber utama kebakaran hutan dan polusi asap, seharusnya bertanggung jawab penuh untuk menerapkan dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang ada dalam pasal AATHP, sebagai bagian upaya dan komitmen Indonesia menyudahi polusi asap di Asia Tenggara. Lebih lanjut lagi, dalam konteks kerjasama mengatasi kebakaran hutan dan polusi asap di Asia Tenggara, Indonesia dan negera-negara lainnya sudah seharusnya merujuk kepada ketentuan yang diatur dalam AATHP, namun ada alternatif lain yang dapat digunakan oleh Indonesia dan ASEAN untuk menangani masalah lingkungan yang berkepanjangan ini. Salah satu solusinya adalah mengubah pola pikir negara-negara ASEAN terhadap isu polusi asap dengan membingkai isu ini sebagai sebuah “bencana” yang harus diselesaikan secara bersama- sama melalui kerjasama penanggulan bencana dan tanggap darurat. Seperti yang disampaikan Prof. Koh Kheng Lian dari National University of Singapore 137 , perubahan paradigma dan pola pikir negara-negara ASEAN akan berpengaruh besar dalam upaya penyelesaian masalah kabut asap ini, hal ini didasarkan kepada fakta bahwa semua negara-negara di ASEAN telah meratifikasi ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response AADMER tahun 2005 yang telah berlaku sejak 24 Desember 2009 setelah diratifikasi oleh semua anggota ASEAN. Hal ini menjadi menarik, ketika Indonesia sudah meratifikasi AADMER, tetapi di lain sisi Indonesia membutuhkan waktu 12 tahun untuk meratifikasi AATHP, salah satu alasan yang mendasar mengapa Indonesia membutuhkan waktu yang lama untuk meratifikasi perjanjian ini adalah adanya persepsi bahwa AATHP akan 137 Koh Kheng Liong, 15 Juni, Clear Agreement for ASEAN Tackle Haze, http:www.straitstimes.comopinionclear-agreement-for-asean-to-tackle-haze, 19.45 digunakan sebagai alat untuk menyalahkan Indonesia akibat polusi asap tersebut. Sehingga, lambatnya ratifikasi oleh Indonesia dianggap sebagai upaya “defensif’ Indonesia untuk mempertahankan “kedaulatannya”, dan persepsi ini pada tataran yang selanjutnya, mengubah paradigma Indonesia, bahwa setiap bantuan yang diberikan oleh anggota ASEAN sebagai sebuah penghinaan terhadap kewibaan Indonesia. Padahal, seharusnya Indonesia bisa mengambil kesempatan dari setiap bantuan anggota-anggota ASEAN sebagai wujud komitmen Indonesia bahwa ASEAN sebagai sebuah komunitas mampu bergerak bersama-sama untuk menyelesaikan masalah polusi asap yang sudah berkepanjangan tersebut. Munculnya AADMER didasari oleh terjadinya bencana tsunami pada tahun 2004 yang memberikan dampak luar biasa bagi Indonesia dan negara-negara lainnya. Ketika bencana tsunami terjadi, Indonesia tidak sekalipun mengedepankan isu kedaulatannya, dikarenakan banyak negara yang memberikan bantuannya kepada Indonesia, termasuk Singapura. Apabila kita merujuk pada AADMER, polusi asap sangat cocok disandingkan dengan definisi “bencana”, yang berbunyi “a serious disruption of the functioning of a community or a society causing widespread human, material, economic or environmental losses ”. Seperti yang kita tahu bahwa polusi asap telah memberikan dampak yang luar biasa bagi Indonesia dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Filipana, Brunei Darusalam bahkan Thailand. Kerugian yang dihasilkan oleh polusi asap ini sudah tidak terbantahkan lagi, dari kerugian ekonomi, kesehatan, bahkan kerusakan lingkungan. Sejalan dengan hal tersebut, AADMER bertujuan untuk mengurangi dampak bencana bagi ekonomi, sosial dan lingkungan negara-negara anggota AADMER. Selanjutnya, didalam pasal 4 a AADMER disebutkan bahwa, setiap pihak dalam perjanjian harus bekerja sama dalam mengembangkan langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengurangi dampak bencana. Pasal 4 juga menyatakan bahwa ketika bencana cenderung menimbulkan dampak bagi negara-negara anggota lainnya, para pihak harus segera menanggapi permintaan informasi yang diminta oleh negar-negara yang sedang atau mungkin akan terpengaruh oleh bencana tersebut, hal ini dilakukan sebagai upaya meminimalisasi dampak bencana tersebut. Pada saat yang sama, AADMER juga mewajibkan para pihak untuk segera menanggapi permintaan bantuan oleh pihak lain yang terkena bencana. Dalam hal ini Malaysia, Singapura dan Indonesia adalah pihak yang terkena dampak polusi asap dan melalui perjanjian ini setiap pihak wajib untuk menangapi permintaan bantuan ketika dibutuhkan. Apabila kita cermati, AADMER berjalan lebih jauh dari AATHP, di satu sisi, AATHP terbatas hanya dalam lingkup pencegahan dan monitoring kabut, dan hal tersebut sangat bergantung kepada masing- masing negara untuk mengoperasionalkannya atau tidak. Di sisi lain, AADMER mengambil pendekatan holistik dalam pengurangan risiko bencana dan memiliki mekanisme yang efektif, yang meliputi manajemen bencana sebelum, selama dan setelah bencana itu terjadi. Dalam upaya menyudahi polusi asap di Asia Tenggara, negara-negara ASEAN harus bekerjasama dalam semangat komunitas yang terintegrasi. Seperti yang kita tahu, ASEAN sesungguhnya sudah memiliki cetak biru dalam ASEAN Political-Security Community 2025, salah satu isinya adalah menyetujui ketika ASEAN sudah terintegrasi. Cetak biru politik-keamanan sudah memberikan jalan bagi angotanya untuk meningkatkan pendekatan kerjasama, termasuk dalam upaya menangani polusi asap yang dikategorikan sebagai bencana. Sehingga tugas Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya adalah mewujudkan cetak biru APSC, tujuan AATHP dan AADMER kedalam aksi nyata mengatasi bencana asap di Asia Tenggara.

4.3.3 Komitmen Indonesia terhadap

Zero Burning Policy Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah masalah yang pelik. Pada tahun 2015 adalah merupakan bencana asap terparah sepanjang sejarah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh gangguan terhadap sumber daya hutan yang terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat. Hampir setiap musim kemarau di Indonesia pada beberapa tahun trakhir ini sering mengalami kebakaran, khusunya di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan di Indonesia disebabkan karena adanya kesalahan sistemik dalam pengelolaan hutan secara nasional. Dalam praktek konservasi lahan, penyiapan atau pembersihan atau pembukaan lahan oleh perusahaan dilakukan dengan cara membakar. Metode land clearing dengan cara membakar tersebut lebih dipilih daripada metode lain karena dinilai paling murah dan efisien. Faktor ekonomi dan ketidak tersediaan teknologi yang memadai menjadi latar belakang kenapa metode ini lazim dilakukan, meskipun dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode ini terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya. Saat ini kasus kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati. Untuk mengurangi berbagai