PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA TERHADAP ASAP LINTAS BATAS NEGARA PASCA RATIFIKASI ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

(1)

HAZE POLLUTION

TESIS

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata 2

Program Studi Ilmu Hukum

Diajukan Oleh: Yordan Gunawan

201401070017

Kepada:

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA DESEMBER 2016


(2)

HAZE POLLUTION

TESIS

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata 2

Program Studi Ilmu Hukum

Diajukan Oleh: Yordan Gunawan

201401070017

Kepada:

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA DESEMBER 2016


(3)

ii

ASAP LINTAS BATAS NEGARA PASCA RATIFIKASI

ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

Diajukan Oleh: Yordan Gunawan

201401070017

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Dr. M. Nur Islami, S.H., M.Hum.

Pembimbing II,


(4)

iii

ASAP LINTAS BATAS NEGARA PASCA RATIFIKASI

ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

Diajukan Oleh: Yordan Gunawan

201401070017

Tesis ini telah dipertahankan dan disahkan di depan Dewan Penguji Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Tanggal 23 Desember 2016

Yang terdiri dari

Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. Ketua Tim Penguji

Dr. M. Nur Islami, S.H, M.Hum. Anggota Tim Penguji

Sunarno, S.H., M.Hum. Anggota Tim Penguji Mengetahui

Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(5)

iv Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Yordan Gunawan

NIM : 201401070017

Judul Tesis : Pertanggungjawaban Indonesia Terhadap Asap Lintas

Batas Negara Pasca Ratifikasi Asean Agreement On

Transboundary Haze Pollution

Dengan ini menyatakan bahwa tesis ini adalah asli, belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatau Perguruan Tinggi. Dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tegas telah dicantumkan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila di kemudian hari terdapat ketdakbenaran, maka saya bersedia menerima sanksi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Yogyakarta, 30 Juni 2016

Yordan Gunawan 201401070017


(6)

v

Man Jadda wa-Jada

(Siapa yang bersungguh-sungguh, ialah yang akan sukses!)

Man Shobaro Zhofiro

(Barangsiapa yang sabar, maka ia akan beruntung)

Man qolla shidqu qolla shodiiqquhu

(Barangsiapa yang sedikit kejujurannya, maka sedikit pula temannya)

Tesis ini penulis persembahkan terkhusus untuk:

1. Papi Sarbini Djamaluddin Raden Gunawan (Alm.) dan Mami Hj.

Nur’aini Sarbini Djamaluddin;

2. Bapak H. Slamet Riyadi dan Ibu Hj. Kinaah Setinahati;

3. Istri tercinta Nur Aini Rakhmawati, S.Kom, M.Sc. Eng, Ph.D;

4. Putri-putri tersayang Syifa Aisha “Keyra” Keyrani Gunawan dan

Irelanda Sophia “Nanaz” Auliasyahnaz Gunawan;

5. Kakak-kakak tercinta: Ir. Yanuar Gunawan, Barbara Gunawan, S.E,

M.Si., Akt., Imelda Israwati Gunawan, S.P. dan Zulkarnain Gunawan, S.E.


(7)

vi

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang luar biasa kepada penulis, hingga mampu menyelesaikan penulisan tesis ini dengan baik. Penulisan

thesis yang berjudul Pertanggungjawaban Indonesia Terhadap Asap

Lintas Batas Negara Pasca Ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ini dapat terselesaikan berkat bantuan materiil maupun immaterial dari berbagai pihak yang tidak dapat satu persatu penulis sampaikan. Namun, penulis ingin sekali menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang teah membantu penyelesaian tesis ini dengan, antara lain:

1. Ibu Dr. Hj. Yenni Widowaty, S.H., M.Hum., Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

2. Bapak Dr. Muhammad Nur Islami, S.H., M.Hum. selaku Dosen

Pembimbing I;

3. Bapak H. Sunarno, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II;

4. Bapak Professor Dr. H. Bambang Cipto, MA, selaku Rektor

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;

5. Bapak Dr. H. Gunawan Budiyanto, M.P, selaku wakil Rektor


(8)

vii

Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;

7. Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H, LL.M. dan Prof. Dr.. Hikmahanto

Juwana, S.H., LL.M. selaku narasumber yang telah banyak membantu kesempurnaan informasi tesis ini;

8. Dosen-Dosen FH UMY yang selalu menyemangati penulis: Dr.

Iwan Satriawan, Pak M. Endrio Susila, Pak Nasrullah, Dr. Muchammad Ichsan, Dr. M. Khaeruddin Hamsin, Bu Isti’anah ZA, Bu Fadia Fitriyanti, Bu Dewi Nurul Musjtari, Pak M. Haris Aulawi, Pak Bagus Sarnawa, dan Dr. Martino Sardi. Terima kasih sekali lagi Bapak/Ibu semua atas doanya selalu;

9. Andika Putra, Harry Abdul Hakim, Eka Widi Astuti, Falah Al

Ghozali, Andi Agus Salim, Noviyanti, Mufidah Haulah Ramrainy Dean Adams, Dania Amareza Pratiwi, Andi Rifky, yang selalu membantu penulis dalam aktifitas belajar mengajar, pencarian data, pencarian referensi dan semua kelengkapan-kelengkapan lainnya yang memudahkan penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini, di sela-sela pekerjaan yang sangat menumpuk;

10. Partner di ONE Law Firm, Rizaldy Anggriawan serta para Associates yang luar biasa: Andi Pramawijaya Sar, Bagus Priyo


(9)

viii

banyak hal yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu dalam penyelesaian tesis ini.

11. Teman-teman di Magister Ilmu Hukum yang banyak menjalani suka

duka menjalani perkuliahan, Mas Arief, Syafi’I, Pak Fahri, Bu Yusma, dan Mbak Mita.

12. Bu Susi dan Mas Umam yang memberikan banyak sekali informasi

perkuliahan, maturnuwun atas kesabaran panjenengan berdua.

“Tiada gading yang tak retak”, tentu saja karya kecil ini masih memerlukan banyak perbaikan di sana-sini, hingga menjadi karya yang jauh lebih baik.

Yogyakarta, 19 Desember 2016


(10)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Keaslian Penelitian ... 10

1.6 Landasan Teori ... 16

1.6.1. Teori Kerjasama Internasional ... 16

1.6.2. Teori Pertanggungjawaban Negara ... 21

1.6.3. Teori Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai ... 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hukum Lingkungan Internasional ... 27

2.2 Pengertian Tanggungjawab Negara ... 29

2.3 Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Tanggungjawab Negara ... 32

2.4 Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan ... 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 42

3.2 Sumber Data ... 42

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 44


(11)

x

4.1.1. Sejarah Pencemaran Asap Lintas Batas di Asia Tenggara ... 47 4.1.2. Penyebab dan Dampak Polusi Asap Lintas batas

di Asia Tenggara... 56

4.1.3. Penjelasan Umum ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution dan Peratifikasian oleh Indonesia ... 74

4.2 Kebijakan ASEAN dan Pemerintah Indonesia terhadap

Pencemaran Asap Lintas Batas di Asia Tenggara ... 88 4.2.1 Tantangan Pengaturan Pencemaran Asap

Lintas Batas ... 88 4.2.2 Kebijakan Indonesia terhadap Pencemaran Asap

Lintas Batas ... 94

4.3 Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Pencemaran Asap

Lintas Batas ... 102 4.3.1 Tanggung Jawab Negara Indonesia atas

Pencemeran Asap Lintas Batas dalam

Perspektif Hukum Internasional ... 102 4.3.2 Tanggung Jawab Indonesia atas Pencemaran

Asap Lintas Batas Pasca Ratifikasi AATHP ... 117

4.3.3 Komitmen Indonesia terhadap Zero Burning

Policy ... 134

4.4 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pencemaran

Asap Lintas Batas dalam Perspektif Hukum

Internasional dan ASEAN ... 144 4.4.1. Penyelesaian Sengketa Pencemaran Asap Lintas

Batas dalam Hukum Internasional... 144 4.4.2. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara

Damai (Diplomatik)... 159 4.4.3. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara

Hukum... 165 4.4.4. Pilihan Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Hukum Pencemaran Asap Lintas Batas dalam

Kerangka ASEAN ... 169

4.5 Penyelesaian Sengketa Asap Batas Lintas Negara

di Masa Datang ... 183 4.5.1. Penyelesaian Melalui Mahkamah Arbitrase


(12)

xi BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ... 198 5.2 Saran ... 202 DAFTAR PUSTAKA ... 205 LAMPIRAN


(13)

xii

Tabel 1 Taksiran Kebakaran Hutan 1997-2013 ... 50

Tabel 2 Korban Jiwa Bencana Asap 2015 ... 68

Tabel 3 Kerugian Ekonomi Singapura Akibat Polusi Asap 1997 ... 73


(14)

xiii

Gambar 1 Selimut Asap di Asia Tenggara ... 49 Gambar 2 Perubahan Vegetasi Sebelum (a) dan Sesudah (b)

Kebakaran Juni 2013 di Provinsi Riau ... 52 Gambar 3 Lintasan Massa Udara dari Lokasi Kebakaran


(15)

xiv

Lampiran 1 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

Lampiran 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2014

Tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary

Haze Pollution (Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas)


(16)

xv

sudah terjadi sejak tahun 1997, namun hingga kini masalah haze pollution

ini tetap menjadi agenda penting di ASEAN. Kebakaran hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah yang paling berkontribusi

dalam pencemaran asap Malaysia dan Singapura. ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution adalah bentuk insiatif dan upaya dari ASEAN untuk meningkatkan kerjasama ditingkat regional dan sub regional secara terkoordinir yang berupa kesepakatan negara anggota ASEAN untuk penyelesaian masalah polusi asap lintas batas tersebut. Indonesia sebagai salah satu negara yang “mengekspor” asap ke Negara -negara ASEAN justru merupakan -negara yang paling akhir meratifikasi AATHP tersebut. Dengan adanya ratifikasi, tentu saja menimbulkan impilkasi hukum yang harus dipatuhi oleh Indonesia sendiri. Oleh karena polusi asap yang terus terjadi di Asia Tenggara dan belum dapat tertangani secara maksimal, konsep tanggung jawab negara menjadi isu penting yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan menggunakan Teori Kerjasama Internasional, Teori Pertanggungjawaban Negara dan juta teori Penyelesaian Sengketa Damai, tulisan ini digunakan untuk menelaah bagaimana pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas batas Negara pasca ratifikasi AATHP? Dan bagaimana mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN setelah ratifikasi AATHP? Selanjutnya adalah, bagaimana konsep

pertanggungjawaban dan mekanisme di masa datang dalam transboundary

haze pollution? Hasil penelitian menujukkan bahwasannya pasca ratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia tidak lagi dapat dituntut karena telah polusi

asap telah menjadi tanggungjawab bersama (Shared Responsibility).

Selain itu, penelitian ini juga mendapatkan kesimpulan bahwa tanggung jawab bersama berarti Indonesia harus bertanggung jawab bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam mengatasi polusi asap lintas batas. dalam konteks penyelesaian sengketa pencemaran asap lintas batas berdasarkan pasal 27 AATHP dan apabila dikemudian hari terdapat sengketa yang muncul, para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan masalah melalui konsultasi dan negosiasi. Namun jika konsultasi dan negosiasi telah ditempuh dan ternyata gagal, para pihak dapat menggunakan alternatif penyelesaian sengketa dengan menggunakan Majelis Arbitrase Internasional.

Kata kunci : AATP, Ratifikasi, Pertanggungjawaban Negara, Indonesia Arbitrase Internasional


(17)

(18)

xv

sudah terjadi sejak tahun 1997, namun hingga kini masalah haze pollution

ini tetap menjadi agenda penting di ASEAN. Kebakaran hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah yang paling berkontribusi

dalam pencemaran asap Malaysia dan Singapura. ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution adalah bentuk insiatif dan upaya dari ASEAN untuk meningkatkan kerjasama ditingkat regional dan sub regional secara terkoordinir yang berupa kesepakatan negara anggota ASEAN untuk penyelesaian masalah polusi asap lintas batas tersebut. Indonesia sebagai salah satu negara yang “mengekspor” asap ke Negara -negara ASEAN justru merupakan -negara yang paling akhir meratifikasi AATHP tersebut. Dengan adanya ratifikasi, tentu saja menimbulkan impilkasi hukum yang harus dipatuhi oleh Indonesia sendiri. Oleh karena polusi asap yang terus terjadi di Asia Tenggara dan belum dapat tertangani secara maksimal, konsep tanggung jawab negara menjadi isu penting yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan menggunakan Teori Kerjasama Internasional, Teori Pertanggungjawaban Negara dan juta teori Penyelesaian Sengketa Damai, tulisan ini digunakan untuk menelaah bagaimana pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas batas Negara pasca ratifikasi AATHP? Dan bagaimana mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN setelah ratifikasi AATHP? Selanjutnya adalah, bagaimana konsep

pertanggungjawaban dan mekanisme di masa datang dalam transboundary

haze pollution? Hasil penelitian menujukkan bahwasannya pasca ratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia tidak lagi dapat dituntut karena telah polusi

asap telah menjadi tanggungjawab bersama (Shared Responsibility).

Selain itu, penelitian ini juga mendapatkan kesimpulan bahwa tanggung jawab bersama berarti Indonesia harus bertanggung jawab bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam mengatasi polusi asap lintas batas. dalam konteks penyelesaian sengketa pencemaran asap lintas batas berdasarkan pasal 27 AATHP dan apabila dikemudian hari terdapat sengketa yang muncul, para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan masalah melalui konsultasi dan negosiasi. Namun jika konsultasi dan negosiasi telah ditempuh dan ternyata gagal, para pihak dapat menggunakan alternatif penyelesaian sengketa dengan menggunakan Majelis Arbitrase Internasional.

Kata kunci : AATP, Ratifikasi, Pertanggungjawaban Negara, Indonesia Arbitrase Internasional


(19)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah bagaimana kehidupan akan lebih baik kedepannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan dan lingkungan adalah hal yang tidak dipisahkan. Bruce Mitchell mengatakan pengelolaan sumber daya lingkungan akan mengalami

empat situasi pokok, yaitu (a) perubahan (change); (b) kompleksitas

(complexity); (c) ketidakpastian (uncertainty); (d) konflik (conflict).1 Disisi lain, Emil Salim mengatakan bahwa sungguh pun pembangunan telah berjalan ratusan tahun di dunia, namun baru pada permulaan tahun tujuh puluhan, dunia mulai sadar dan cemas akan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sehingga mulai

menanganinya secara sungguh-sungguh sebagai masalah dunia.2

1

Bruce Mitchell dkk, 2000, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 1.

2

Emil Salim, 1995, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara Sumber Widya, Cetakan 10, Jakarta, hlm. 11.


(20)

Masalah lingkungan global merupakan refleksi masyarakat internasional atas adanya pembangunan yang mengakibatkan

kerusakan dan pencemaran lingkungan. Meadows memberikan

laporan berbagai masalah yang menimpa banyak Negara di dunia

dalam sebuah laporannya yang berjudul The Limits to Growth, suatu

laporan kepada The Club of Rome (Project on the Predicament of

Mankind). Publikasi tersebut yang merupakan laporan pertama

kepada The Club of Rome (1972) mengemukakan tentang adanya 5

(lima) faktor pokok yang menentukan, dan pada akhirnya membatasi pertumbuhan di planet bumi, yaitu “… pollution, agriculture production, natural resources, industrial production, and pollution”.3

Dewasa ini, masalah lingkungan yang terjadi di suatu Negara atau kawasan tertentu tidak hanya berdampak kepada negara itu sendiri, ttetapi juga berpengaruh pula pada negara atau kawasan lain. Kebanyakan masalah lingkungan yang bersifat lintas Negara ini adalah masalah pencemaran lingkungan. Salah satu contoh nyata dari masalah diatas adalah masalah kebakakaran hutan di Indonesia, dimana Kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan,

3

Donella H. Meadows et al, 1974, The Limits to Growth, A Signet Book, Potomac Associates Book 2nd ed, New York, hlm. xi.


(21)

tidak hanya berdampak kepada Indonesia sebagai negara sumber kebakaran hutan, tetapi dampaknya juga dapat dirasakan oleh

Malaysia dan Singapura.4

Menyadari bahwa masalah ini bukan hanya masalah satu negara sendiri, namun juga menjadi masalah bagi negara tetangga, maka negara yang terdapat di kawasan atau regional tertentu perlu melakukan suatu perjanjian atau kerja sama sebagai upaya untuk menemukan solusi dan mengatasi masalah lingkungan tersebut.

Dalam menyikapi hal ini, ASEAN sebagai salah satu organisasi kawasan yang telah dirintis kurang lebih 30 tahun telah menyepakati beberapa kerja sama di berbagai bidang kegiatan, di antaranya kerja sama politik, ekonomi dan budaya, termasuk bidang kerja sama di bidang lingkungan hidup. Salah satu bentuk komitmen ASEAN terhadap isu lingkungan hidup, maka pada tanggal 30 April 1 Mei 1981 di Manila diadakan pertemuan pertama para Menteri Lingkungan Hidup yang berhasil merumuskan kerangka kerja sama

ASEAN dalam bidang lingkungan yang dituangkan dalam Manila

Declaration on the ASEAN Environment yang bertujuan untuk:5

4

Supriadi, 2010, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetakan ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 42.

5

Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Edisi Ketiga, Surabaya, hlm. 47.


(22)

“To ensure the protection of the ASEAN environment and the sustainability of its natural resources so that it can sustain continued development with the aim of eradicating poverty and attaining the highest possible quality of life of the people of the

ASEAN countries.”

Lebih lanjut lagi pada Tahun 2002, dalam upaya ASEAN untuk mencegah polusi asap melalui kerangka kerja sama telah

disepakati sebuah perjanjian regional ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution. Pembuatan AATHP ini adalah bentuk komitmen ASEAN untuk menyudahi permasalah kabut asap yang setiap tahunnya terjadi di wilayah Asia Tenggara.

Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia dan Singapura meminta kepada Indonesia untuk dapat segera menyelesaikan masalah Kebakaran hutan di negaranya. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa Kebakaran hutan tersebut telah mengakibatkan adanya polusi asap yang menimbulkan kerugian bagi kedua Negara tersebut. Sektor ekonomi, pariwisata dan kesehatan merupakan sektor yang paling terkena dampak oleh polusi kabut asap dari Indonesia, bahkan Malaysia mengecam Indonesia karena tidak mampu mengatasi masalah asap dan Indonesia harus membayar kompensasi akibat


(23)

asap.6 Kerugian sosial ekonomi dan ekologis yang timbul oleh kebakaran hutan cukup besar, bahkan dalam beberapa hal sulit untuk diukur dengan nilai Rupiah. Kerugian yang harus ditanggung oleh Indonesia akibat kebakaran hutan tahun 1997 dulu diperkirakan mencapai 5,96 trilyun Rupiah atau 70,1% dari nilai PDB sektor kehutanan pada tahun 1997. Malaysia yang juga terkena mengalami kerugian 300 juta Dolar Amerika di sektor industri dan pariwisata, sedangkan Singapura mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di

sector pariwisata.7

Seperti yang diketahui, polusi asap akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip “Sic utere tuo ut alienum non laedes”, yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan Negara

lain.8 Disisi lain, pencemaran asap ini juga telah bertentangan

dengan prinsip good neighbourliness9, yang menyatakan bahwa

kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain.

6

Kuala Lumpur Suara Karya Online,

http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=118116, diakses pada tanggal 17 Maret 2015, jam 14.12 WIB.

7Portal Penelitian Universitas Andalas, “Dampak Kebakaran Hutan di Wilayah Sumatera

Barat dan Riau Terhadap Perubahan Iklim (Climate Change)”,

http://lp.unand.ac.id/?pModule=news&pSub=news&pAct=detail&detail=210, diakses pada tanggal 18 Maret 2015, jam 13.36 WIB.

8

J.G, Starke, 1992, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 546 9


(24)

Pencemaran kabut asap lintas batas di Asia Tenggara sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1997, namun hingga kini

masalah haze pollution ini tetap menjadi agenda penting di ASEAN.

Kebakaran hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah yang paling berkontribusi dalam pencemaran asap Malaysia dan Singapura. Pencemaran kabut asap mengakibatkan berbagai macam masalah. Tidak hanya masalah lingkungan seperti deforestisasi, tetapi juga menganggu sektor transportasi darat laut

dan udara di Indonesia dan juga Negara tetangga.10

Dalam rangka menyelesaikan permasalahan kabut asap tersebut, maka pada tahun 1995 ASEAN melakukan perundingan

kerjasama dalam bentuk ASEAN Cooperation Plan on

Transboundary Pollution.11 Kemudian diikuti dengan Regional Haze Action Plan di tahun 1997. Lalu kemudian pada tahun 2002 ASEAN

mengesahkan The ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (AATHP) yang bertujuan untuk mencegah dan memantau pencemaran asap lintas batas Negara yang berasal dari kebakaran

10

Metro TV, http://metrotvnews/0706, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, jam 08.23 WIB.

11

Why Indonesia must ratify the ASEAN haze pollution treaty, http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/14/why-indonesia-must-ratify-asean-haze-pollution-treaty.html, diakses pada tanggal 17 Maret 2015, jam 15.47 WIB.


(25)

hutan dan lahan. Tujuan ini secara ekplisit termaktub di dalam Pasal 2 AATHP:

“The objective of this Agreement is to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, through concerted national efforts and intensified regional and international co-operation. This should be pursued in the overall context of sustainable development and in

accordance with the provisions of this Agreement.”

Sebelum tahun 2014, Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang belum ratifikasi AATHP. Sehingga setiap pertemuan

dalam membahas Transboundary haze pollution ASEAN, Indonesia

selalu dihadapkan dengan pertanyaan terkait ratifikasi AATHP oleh Indonesia. Akibatnya setiap pertemuan, Indonesia hanya hadir sebagai pengamat yang tidak memiliki hak suara. Hal ini pada akhirnya akan menyulitkan Indonesia dan ASEAN dalam rangka menyelesaikan masalah kabut asap di Asia Tenggara. Melalui Sidang Paripurna DPR 16 September 2014 akhirnya ratifikasi

AATHP.12 Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat

yang diperoleh Indonesia melalui ratifikasi AATHP, maka pada akhir periode DPR RI 2009-2014, RUU tentang Pengesahan AATHP disetujui oleh Indonesia.

12

Indonesia Ratifikasi soal Asap Lintas Batas,

http://sains.kompas.com/%20%20read/2014/09/17/20032011/Indonesia.%20%20Ratifika si.soal.Asap.Lintas.Batas, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, jam 14.56 WIB.


(26)

Terlepas dari alasan yang menyebabkan Indonesia menjadi negara peratifikasi terakhir AATHP, pengesahan UU tentang Pengesahan AATHP merupakan langkah maju bagi Indonesia untuk menunjukkan keseriusan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Permasalahan asap yang selama ini memojokkan

Indonesia sebagai negara pencemar (source state) sebagian tanggung

jawabnya akan menjadi tanggung jawab bersama negara-negara

ASEAN.13

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka sekiranya sangat penting sekali mengkaji dan menelaah bagaimana pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas batas Negara pasca ratifikasi AATHP? Dan bagaimana mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN setelah ratifikasi AATHP? Selanjutnya adalah, bagaimana konsep pertanggungjawaban dan mekanisme di

masa datang dalam transboundary haze pollution?

13

Teddy Prasetiawan, 2014, Implikasi Ratifikasi AATHP Terhadap Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia, Info Singkat, Vol. VI, No. 19/I/P3DI/Oktober/2014, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 11.


(27)

1.3 Tujuan Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas batas negara pasca ratifikasi AATHP. Di sisi lain, penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN. Selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan untuk membuat konsep pertanggungjawaban dan mekanisme di masa datang dalam transboundary haze pollution

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademis

Manfaat akademis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian dapat dijadikan rujukan bagi upaya pengembangan Ilmu Hukum, dan berguna juga untuk menjadi referensi bagi mahasiswa, peneliti, dan ilmuwan yang melakukan kajian atau penelitian terhadap tanggung


(28)

jawab Indonesia terhadap asap lintas batas Negara pasca ratifikasi AATHP.

1.4.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran terhadap

pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan

pertanggung jawaban Indonesia pasca ratifikasi AATHP. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dalam mengetahui mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian yang mengangkat tema mengenai konsep

Pertanggungjawaban Negara dan Transboundary Haze Pollution

sudah pernah ada sebelumnya tetapi sepanjang penelurusan

kepustakaan di perpustakaan dan juga melalui dunia cyber, belum

ditemukan judul penelitian PERTANGGUNGJAWABAN

INDONESIA TERHADAP ASAP LINTAS BATAS NEGARA


(29)

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION, sehingga penelitian ini memenuhi kaedah keaslian penelitian.

Adapun beberapa judul penelitian yang terkait dengan tema diatas yang pernah ada sebelumnya, antara lain:

1.5.1. Penelitian mengenai ”Pertanggungjawaban Indonesia

Dalam Penyelesaian Kasus Transboundary Haze Pollution

Akibat Kebakaran Hutan Indonesia Berdasarkan Konsep

State Responsibility” oleh Dinarjati Eka Puspita Sari S.H. M.Hum dan Agustina Merdekawati S.H Tahun 2007 yang membahas terkait bentuk pertanggungajawaban Indonesia dalam penyelesaian kasus pencemaran asap lintas batas

berdasarkan konsep state responsibility dan mengenai

langkah-langkah yang dapat Indonesia lakukan dalam upaya menghindari tuntutan yang timbul atas masalah Kebakaran hutan di Indonesia. Hasil pembahasan dari

penelitian ini mengungkapkan bahwa rejim

pertannggungjawaban negara yang berlaku adalah rejim liability, kriteria pertanggungjawaban dengan konsep strict liability, tanggung jawab murni ada pada pemerintah Indonesia, jenis pemulihan atas kerugian didasarkan pada kesepakatan para pihak. Sedangkan upaya Indonesia


(30)

meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution merupakan salah satu upaya yang dapat Indonesia lakukan untuk menghindari konflik dengan negara tetangga akibat pencemaran asap lintas batas tersebut.

1.5.2. Penelitian mengenai “Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial

dalam Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014

(No. 24 of 2014) Akibat Kabut Asap dari Kebakaran Hutan di Indonesia” oleh M. Triatmodjo yang mempermasalahkan terkait bentuk pertanggungjawaban Indonesia dalam pencemaran kabut asap lintas batas Negara di Asia

Tenggara dan problematika penerapan yurisdiksi

ekstrateritorial didalam Singapore Transboundary Haze

Pollution Act 2014 (No. 24 of 2014). Hasil pembahasan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa Pembentukan aturan Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014(No. 24 of 2014) telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum

internasional berdasarkan prinsip yurisdiksi

kewarganegaraan pasif (passive personality

principle), yurisdiksi proteksi (protective principle), dan

berdasarkan yurisdiksi teritorial objektif (


(31)

dari pemberlakuan aturan ini adalah dalam penerapan aturan hukum tersebut karena terbentur dengan kedaulatan negara yang dimiliki Indonesia. Sebagaimana yang

dinyatakan oleh Mahkamah Internasional (International

Court of Justice) dalam opininya dalam Kasus Lotus (Lotus

Case). Bahwa suatu negara dapat melaksanakan

kekuasaannya di luar wilayahnya selama jika: (1) permissive rule yang berasal dari kebiasaan internasional (international costumary law); dan (2) permissive rule yang berasal dari suatu konvensi. Kedua kriteria ini belum dipenuhi oleh Singapura dalam rangka menegakkan aturan nasionalnya, karena penegakan secara unilateral akan mengalami hambatan jika harus berhadapan dengan yurisdiksi dari negara-negara lain. Singapura bisa menerapkan aturan tersebut dengan menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, misalnya dengan kesepatakan ekstradisi yang telah lama di usung oleh pemerintah Indonesia dan Singapura dalam rangka penegakan kasus korupsi yang kerap kali “melarikan diri” ke Singapura tersebut. Namun sayangnya, kesepatan tersebut hingga kini belum memiliki titik temu. Jalur lain yang bisa ditempuh


(32)

Singapura adalah dengan menjalin Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Indonesia

1.5.3. Penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Negara terhadap

Pencemaran Lingkungan Transnasional” oleh Deni Bram Tahun 2011. Penelitian ini terkait perbedaan konsep pertanggungjawaban Negara menurut hukum transnasional dan hukum lingkungan internasional terhadap isu pencemaran asap lintas batas dan mekanisme penyelesaian

sengketa pencemaran lingkungan yang bersifat

transnasional, lebih lanjut lagi, penelitian membahas terkait pertanggungjawaban Indonesia atas kasus pencemaran asap

apabila locus delicti nya berada dalam yurisdiksi negara

Indonesia. Hasil pembahasan dari penelitian ini yaitu pertama, keberadaan hukum lingkungan internasional sebagai salah satu cabang dari hukum internasional turut pula membawa pemberlakuan prinsip tanggung jawab negara dalam beberapa kasus hukum lingkungan internasional.

Kedua, mekanisme penyelesaian hukum lingkungan internasional yang tersedia adalah pemberlakuan prinsip


(33)

dari negara yang mengalami kerugian yang merupakan suatu bentuk absorpsi hukum lingkungan internasional terhadap keberlakuan prinsip utama dalam hukum internasional tersebut.

Ketiga, berdasarkan teori pertanggungjawaban negara yang

terdapat pada Draft Article on Responsibility of State for

Internationally Wrongful Act yang dirilis oleh International Law Comission pada akhir 2002, maka pemerintah Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban atas pencemaran kabut asap yang terjadi. Sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari pertanggungjawaban Indonesia adalah reparasi yang wajib dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada negara tercemar seperti keadaan semula baik kerugian yang berifat materiil hingga kepada kerugian imateriil.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya dimana fokus kajian dalam penelitian sebelumnya umumnya membahas tentang bentuk pertanggungjawaban negara

menghadapi Transboundary Haze Pollution dalam hukum

internasional secara umum, sedangkan dalam penelitian ini


(34)

AATHP oleh Indonesia dan bentuk penyelesaian sengketa yang dapat digunakan apabila timbul sengketa antara Indonesia sebagai Negara pencemar dan Negara tercemar kedepannya menurut hukum internasional di ASEAN.

1.6 Landasan Teori

1.6.1. Teori Kerjasama Internasional

Kerjasama internasional muncul karena keadaan, kebutuhan, kemampuan serta potensi dari suatu negara yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan suatu negara bekerjasama dengan negara lainnya agar dapat memenuhi

kepentingan nasionalnya di luar negeri14. Kerjasama

internasional dapat dilakukan jika suatu negara sekurang-kurangnya memiliki dua syarat utama, yaitu adanya keharusan menghargai kepentingan masing-masing negara yang terlibat bekerjasama serta adanya keputusan bersama Negara-negara yang melakukan kerjasama dalam mengatasi

setiap persoalan yang timbul dalam perjanjian tersebut15.

14

Sjamsumar Dam dan Riswandi, 1995, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang,

Perkembangan, dan

Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15 15


(35)

Menurut pendapat James E. Dougherty dan Robert

L. Pfaltzgraff kerjasama atau cooperation dapat muncul

dari kesepakatan masing-masing individu terhadap kesejahteraan bersama atau sebagai akibat persepsi

kepentingan sendiri.16 Kunci dari perilaku yang mengarah

pada kerjasama terletak pada kepercayaan masing-masing pihak (masing-masing negara) bahwa pihak lain juga akan melakukan kerjasama, dimana masalah utama yang muncul dari perilaku ini adalah kepentingan nasional masing-masing negara. Bila mengarah pada persamaan kepentingan nasional maka kerjasama yang diinginkan akan tercapai.

Hal ini didukung dengan adanya asumsi yang bersumber pada pelaksanaan politik luar negeri yang mengatakan bahwa baik persoalan maupun sasaran tertentu tidak mungkin dicapai hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Kerja sama akan diusahakan apabila manfaat yang diperoleh diperkirakan akan lebih besar

daripada konsekuensi-konsekuensi yang harus

ditanggungnya. Oleh sebab itu keberhasilan kerjasama

16

Dougherty E, Jamesdan Pfaltzgraff, Jr LRobert, Contending Theories of International

Relatins: A

Chomprehensive Survey 4th.Ed. Addison Wesley Longman,New York, 1997, hlm. 418-419


(36)

dapat diukur dari perbandingan besarnya manfaat yang

dicapai terhadap konsekuensi yang ditanggung17. Dalam

kajian hubungan internasional setidaknya ada empat bentuk

kerjasama yang diketahui, yaitu:18

1.6.1.1. Kerjasama Global

Adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam satu wadah yang

mampu mempersatukan cita-cita bersama

merupakan dasar utama bagi kerjasama global. Sejarah kerja sama global dapat ditelusuri kembali mulai dari terbentuknya kerja sama multilateral seperti yang diperlihatkan oleh perjanjian Westphalia (1648) dan merupakan akar dari kerjasama global.

1.6.1.2. Kerjasama Regional

Kerjasama Regional merupakan kerjasama antar negara-negara yang secara geografis letaknya berdekatan. Kerjasama tersebut bisa dalam bidang pertahanan tetapi bisa juga dibidang lain

17

Drs. R. Soeprapto, Hubungan Internasional”Sistem,Interaksi dan Perilaku”, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 181

18


(37)

seperti pertanian, hukum, kebudayaan dan lain sebaginya. Menurut Dr. Budiono, kerjasama regional baik yang berbentuk organisasi atau bukan, pada waktu sekarang ini mendapatkan masalah yang cukup rumit dan kompleks.

Adapun yang menentukan terwujudnya

kerjasama regional selain kedekatan geografis, kesamaan pandangan dibidang politik dan

kebudayaan juga perbedaan struktur

produktivitas ekonomi. Kerjasama regional merupakan salah satu alternatif yang dapat dipergunakan dalam mengatasi kemiskinan dan kebodohan.

1.6.1.3. Kerjasama Fungsional

Kerjasama fungsional, permasalahan atau pun metode kerjasamanya menjadi semakin kompleks disebabkan oleh semakin banyaknya organisasi

kerjasama yang ada.Walaupun terdapat

kompleksitas dan banyak permasalahan yang dihadapi dalam masalah kerjasama fungsional baik dibidang ekonomi maupun sosial, untuk


(38)

pemecahannya diperlukan kesepakatan dan

keputusan politik. Kerjasama fungsional

berangkat dari pragmatisme pemikiran yang mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada masing-masing mitra dalam kerjasama. Dengan demikian kerjasama fungsional tidak mungkin terselenggara apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk mendukung suatu fungsi yang spesifik yang diharapkan darinya oleh yang lain. Adapun

kendala yang dihadapi dalam kerjasama

fungsional terletak pada ideologi politik dan isu-isu wilayah.

1.6.1.4. Kerjasama Ideologis

Pengertian ideologi menurut Vilfredo Pareto, adalah alat dari suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan.Dalam hal perjuangan atau kerjasama ideologi batas-batas teritorial tidaklah relevan.

Berbagai kelompok kepentingan berusaha


(39)

berbagai kemungkinan yang terbuka dalam forum yang global.

Lebih jauh lagi, dalam kerjasama Internasional, hal tersebut dapat didasari suatu perjanjian, namun apabila belum ada perjanjian, kerjasama dapat dilakukan atas dasar

hubungan baik berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity

principle). Dalam penulisan thesis ini, penulis mengaitkan teori ini dengan kerjasama yang dilakukan antara Negara Indonesia dan Negara tetangga dibawah bendera ASEAN dalam upaya penanganan pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara pasca ratifikasi AATHP oleh Indonesia.

1.6.2. Teori Pertanggungjawaban Negara

Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hakhaknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak itu. Apabila kewajiban internasional ini dilanggar sehingga merugikan pihak lain,


(40)

maka lahirlah tanggung jawab negara. Itulah sebabnya mengapa hukum internasional melembagakan kewajiban

tersebut sebagai prinsip yang fundamental19.

Menurut Karl Zemanek, pertanggungjawaban negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara internasional, yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru

terhadap korban.20

Lebih lanjut lagi, pertanggungjawaban oleh negara biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional. Negara dikatakan bertanggungjawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan wilayah negara lain, menyerang negara lain, menciderai perwakilan diplomatik

19

Lihat Pasal 2 Draft Articles on State Responsibility yang menyatakan bahwa “every

state is subject

to the possibility of being held to have commited an internationally wrongful act entailing

its national

responsibility”, dikutip dari Marina Spinedi et.al (ed), United Nations Codification of

State

Responsibility, Oceana Publications, Inc., New York, 1987, hlm. 32 20

Karl Zemanek, Responsibility of States: General Principles, dalam Rudolf L.

Bindshdler, et.

al., Encyclopedia of Public International Law, 10, State Responsibility of States,

International Law

and Municipal Law,Jilid ke-10, Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.V., 1987, hlm. 363.


(41)

negara lain atau memperlakukan warga asing dengan seenaknya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara berbeda-beda kadarnya tergantung pada kewajiban yang

diembannya atau besar kerugian yang telah ditimbulkan.21

Dalam konteks hukum lingkungan, timbulnya tanggung jawab negara didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan lingkungan tanpa mengenal batas negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang memadai untuk

kesehatan dan kesejahteraan dirinya teori

pertanggungjawaban negara menyatakan bahwa suatu negara bertanggung jawab kepada negara lain bilamana tindakan yang terjadi di negaranya menyebabkan kerugian bagi negara lain tersebut.

21

Jawahir Thontowi, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, Refika Aditama, hlm. 194


(42)

Dalam penulisan thesis ini, penulis mengaitkan teori ini dengan bentuk tanggung jawab yang diemban Indonesia setelah meratifikasi AATHP dan upaya-upaya hukum apa saja yang harus Indonesia penuhi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara.

1.6.3. Teori Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai

Permanent Court International of Justice dalam

sengketa Mavrommatis Palestine Concession 1924 telah

mendefiniskan pengertian sengketa yaitu “disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two person”22. Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah situasi ketika dua Negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Meskipun terkadang sengketa internasional ini hanya melibatkan dua atau lebih Negara

22

Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta, Sinar Grafika, hlm.2


(43)

yang bersengkata, namun dapat dipastikan bahwa sengketa tersebut dapat mengancam perdamaian dan ketertiban internasional.

Sehingga peran hukum internasional dalam

penyelesaian sengketa internasional itu sendiri adalah memberikan cara penyelesaian sengketanya melalui hukum internasional yang berlaku, sehingga tidak akan merusak sendi-sendi perdamaian yang sudah ada.

Huala Adolf dalam bukunya menjelakan bahwa hukum internasional membagi sengketa internasional

menjadi dua, yakni sengketa politik (political or

non-justiciable dispute) dan sengketa hukum (legal or judicial dispute). Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatur dua bentuk penyelesaian sengketa internasional, yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan penggunaan kekerasan. Dalam pasal 33 Piagam PBB

menyebutkan Perundingan (Negotiation), Penyelidikan

(Enquiry), Mediasi (Mediation), Konsiliasi (Conciliation)

dan Arbitrase (Arbitration) sebagai cara-cara damai dalam


(44)

Dalam penulisan tesis ini, penulis mengaitkan teori ini dengan mekanisme penyelesaian sengketa damai yang dapat Indonesia piih apabila kedepannya ada sengketa antar anggota ASEAN yang diakibatkan oleh pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara.


(45)

27 2.1 Hukum Lingkungan Internasional

Hukum dan lingkungan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dalam kajian yang lebih jauh lagi, hukum lingkungan telah masuk kedalam sendi-sendi internasional, hal ini terjadi ketika pembangunan mengarah kepada kerusakan lingkungan dan dan dibarengi dengan kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya menjaga lingkungan tersebut. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, hukum lingkungan internasional adalah keseluruhan kaedah, azas-azas, lembaga-lembaga, dan proses-proses yang mewujudkan

kaedah tersebut dalam kenyataan.23 Hukum atau keseluruhan kaedah

dan azas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan azas yang terkadung dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan hidup, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat Negara-negara termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan Negara, diwujudkan

23

Mochtar Kusuma Atmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Binacipta, Bandung, hlm. vii.


(46)

dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan

proses kemasyarakatan internasional.24

Perkembangan hubungan internasional dan hukum

internasional selama beberapa dekade terakhir ini telah

mendefinisikan langkah maju dari hukum yang hanya saling hidup berdampingan dan aturan hukum yang abstain menuju kerja sama hukum yang positif, yaitu dengan negara-negara menjadi lebih bergantung satu sama lain dalam dunia yang semakin kompleks dengan masalah lingkungan dan sosialnya. Peningkatan jumlah isu-isu internasional membutuhkan peraturan internasional dan kerjasama untuk dapat mengaturnya, dan bidang hukum lingkungan internasional adalah salah satu isu kunci dari perkembangan isu saat ini.25

Hukum lingkungan internasional adalah salah satu cabang

ilmu yang mulai berkembang sejak tahun 60-an, United Nations

Conference on the Human Environment yang lebih dikenal dengan Konferensi Stockholm yang diadakan di Stockholm pada tahun 1972 merupakan konferensi dengan isu lingkungan hidup internasional yang pertama kali dilaksanakan. Konferensi Stockholm merupakan

24

Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional: Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm. 1.

25Jurgen Friedrich, 2013, International Environmental “soft law”, New York, Springer, hlm. 1


(47)

titik balik dalam perkembangan politik lingkungan hidup

internasional.26 Konferensi Stockholm melahirkan konsep “Hanya

Ada Satu Bumi” (Only One Earth).

Penting untuk menyadari bahwa hukum lingkungan internasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum publik internasional. Prinsip-prinsip hukum publik internasional seperti kewajiban untuk bernegosiasi dengan itikad baik, prinsip

bertetangga baik dan pemberitahuan (notification), dan tugas untuk

menyelesaikan sengketa secara damai juga berlaku pada hukum lingkungan internasional. Pada saat yang sama, pengembangan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional dan konsepnya dapat mempengaruhi perkembangan prinsip-prinsip di bidang

hukum internasional.27

2.2 Pengertian Tanggungjawab Negara

Tanggung jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh

26

John Baylis, Steve Smith, 2005, The Globalization of World Politics (3rd ed), Oxford University Press, hlm. 454-455.

27

United Nation Environment Programme, Training Manual on International Environmental Law, Division of Environmental Policy & Law, Kenya, hlm. 24.


(48)

pihak lain.28 Dalam kajian hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul akan timbul apabila suatu Negara telah melanggar atau menganggu batas-batas wilayah Negara baik langsung ataupun tidak langsung dan perbuatan tersebut telah merugikan Negara lain. Dalam praktiknya pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional saja. Sehingga bias dikatakan, apabila suatu perbuatan negara yang merugikan negara lain tetapi

perbuatan tersebut tidak dikategorikan melanggar hukum

internasional, maka perbuatan tersebut tidak menimbulkan pertanggungjawaban. Salah satu contoh konkritnya adalahperbuatan negara menolak seorang warga negara asing yang masuk ke dalam

wilayah negaranya.29

State responsibilities atau pertanggungjawaban negara mengandung kewajiban dari suatu negara untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan dari sebuah serangan yang dilakukan dalam wilayah yurisdiksinya dan melawan anggota lainnya dari

komunitas internasional.30 Sehingga dapat dikatakan bahwa, adanya

28

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 1006.

29

F, Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan UAJ Yogyakarta, hlm. 77. 30

Joseph P Harris, 1935, Introduction to the Law of Nations, McGraw Hill Series Inc., Political Science, New York, hlm. 133.


(49)

konsep pertanggungjawaban negara adalah bentuk perlindungan hukum dalam konteks internasional dan upaya sadar untuk mencegah suatu kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik.

Salah satu prinsip yang diakui dan dilindungi oleh hukum internasional adalah prinsip kedaulatan negara, dimana setiap negara berhak untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu di dalam yuridiksinya. Akan tetapi dalam konteks hubungan internasional, setiap negara harus dan wajib menghormati serta mengakui kedaulatan negara. Namun kedaulatan tersebut bukanlah tidak ada batasnya, dimana setiap negara dalam menikmati hak kedaulatannya berkewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut.

Suatu Negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakannya yang melawan hukum akibat perbuatan dan kelalaiannya. Latar belakang adanya tanggung jawab di dalam hukum internasional adalah bentuk upaya sadar masyarakat internasional untuk dapat hidup berdampingan, dimana setiap negara bebas menikmati haknya namun dibarengi dengan kewajiban untuk menghormati hak-hak negara lain. Sehingga, setiap perbuatan atau kelalaian yang menimbulkan hilangnya hak negara lain, mewajibkan Negara tersebut untuk memperbaiki kondisi atau keadaan tersebut.


(50)

2.3 Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Tanggungjawab Negara

Aktivitas negara dalam menjalankan hubungan internasional kadangkala tidak dapat terhindar dengan resiko timbulnya konflik dan kesalahan. Sehingga dibutuhkan suatu konsep dimana, ketika negara tersebut melakukan kesalahan, negara tersebut berkewajiban memulihkan atau memperbaiki kesalahannya. Dewasa ini, konsep pertanggungjawaban negara terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Para ahli hukum internasional mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip

fundamental hukum internasional.31

Prinsip tanggung jawab negara lahir dari kewajiban

internasional yang bersifat primer (primary rules of obligation),

yakni suatu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban suatu negara. Setiap negara yang menyandang hak tertentu adalah juga merupakan subjek yang mendukung kewajiban tertentu pula. Kewajiban ini merupakan sisi lain dari hak yang diberikan oleh

hukum.32

31

M.N. Shaw, 1986, International Law, edisi 2, Butterworths, London, hlm. 466, dalam Ian Brownlie, 1979 Principles of Public International Law, Oxford University Press, hlm. 431, seperti dikutip oleh Huala Adolf, 1996, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 174.

32

Arif, 2000, Pencemaran Transnasional Akibat Kebakaran Hutan di Indonesia dalam Hubungannya dengan Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara, Tesis Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 47.


(51)

Fungsi dasar dari prinsip tanggung jawab negara dalam kajian hukum internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada setiap negara, antara lain dengan cara mewajibkan setiap negara pelanggar membayar ganti rugi kepada negara yang

menderita kerugian yang diakibatkannya.33 Pertanggungjawaban

negara biasanya dilakukan dalam bentuk perbaikan, rehabilitasi ataupun ganti rugi, dan bentuk pertanggungjawabannya sangat tergantung pada peristiwa yang terjadi.

Dalam praktiknya, negara yang menderita kerugian akan

meminta sesuatu yang bersifat satisfaction melalui cara-cara

diplomatis. Disisi lain, apabila suatu negara merasa kehormatannya direndahkan, permohonan maaf resmi dari negara yang melakukan perbuatan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab negara yang akan dilakukan. Sedangkan kesalahan negara yang menimbulkan suatu kondisi kerugian dan membutuhkan perbaikan ataupun kompensasi, jalur hukum biasanya akan diajukan kepada badan

arbitrase internasional atau tribunal untuk memutuskan suatu

perkara.34

33

Ibid.

34


(52)

Menurut Sharon Williams, ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara

yaitu:35

2.3.1. Subjective fault criteria

2.3.2. Objective fault criteria

2.3.3. Strict Liability

2.3.4. Absolute Liability

Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya

kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk menetapkan

adanya pertanggungjawaban negara atau tidak. Dalam konsep objective fault criteria ditentukan melalui adanya pertanggungjawaban negara yang timbul dari atas suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Namun, negara tersebut dapat dibebaskan atas suatu tanggung jawab apabila negara tersebut

dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau adanya tindakan

pihak ketiga.

Lebih lanjut lagi, Konsep strict liability membebani negara

dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan (commission) atau

kelalaian (ommission) pada yurisdiksinya dan akibat kelalaian atau

35

Sharon Williams, 1984, Public International Governing Trans-boundary Pollution, University of Queensland, hlm. 114-118. Dikutip oleh Marsudi Triatmodjo, hlm. 177.


(53)

perbuatan tersebut menyebabkan kerugian bagi negara lain. Akan

tetapi dalam konsep ini acts of God, tindakan pihak ketiga atau forcé

majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf (exculpate) yang dapat melepaskan Negara dari pertanggungjawabannya. Disisi lain,

menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang

dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam

konsep ini negara bertanggung jawab penuh walaupun segala

standar telah dipenuhi.36

Dalam konteks kerusakan lingkungan, pelaksanaan kegiatan di dalam suatu wilayah negara terhadap lingkungannya merupakan perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika kegiatan tersebut

menimbulkan kerugian bagi negara lainnya (the act injuries to

another states) maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip responsibility dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya pencegahan terhadap suatu aktivitas dengan cara menetapkan

standar permisible injury atau ambang batas dari kerusakan

lingkungan. Kerusakan lingkungan (environmental injuries) dapat

pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang timbul dari kegiatan

36


(54)

ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan

ambang batas atau baku mutu lingkungan.37

Penetapan permisible injury dilakukan berdasarkan putusan

pengadilan internasional, atau penetapan standar perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, dan melalui pelaksanaan fungsi pengaturan oleh badan-badan internasional. Sebagian besar tanggung jawab negara ini didasarkan pada ketentuan larangan injury of one state to another. Berbeda halnya apabila suatu

kerusakan tersebut terjadi di wilayah yang termasuk common

heritage of mankind (wilayah-wilayah yang merupakan warisan bersama umat manusia) maka tanggung jawab yang timbul adalah

tanggung jawab internasional (shared responsibility).38

Dalam kajian hukum lingkungan internasional, terdapat beberapa prinsip yang diakui dan diatur secara internasional. Salah

satu prinsipnya principles of good neighbourliness yang mengatur

kewajiban Negara untuk tidak menganggu kedaulatan Negara lain.

Prinsip selanjutnya yakni preservation and the protection of

environment yang menegaskan tindakan-tindakan apa saja yang perlu diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan

37

Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, ed. 2, cet. 1, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 129-137.

38


(55)

bagi kondisi yang baik di masa depan. Kemudian preventive principle yang mengatur terkait upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan.

Pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip diatas akan berimbas kepada penerapan prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi Stockholm yang menuntut negara pencemar untuk melakukan usaha perbaikan akibat perbuatannya. Pendekatan yang sama ini bisa juga dilihat dalam Pasal 2 (1) dari Konvensi ECE tentang Pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus ikut serta dalam upaya pencegahan dan mengurangi dampak pencemaran lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap negara adalah mewujudkan langkah-langkah administratif dan legislatif untuk

melindungi lingkungan sehingga dapat dikatakan sebagai

pemerintah yang baik.39

Prinsip lain yang juga dikenal luas adalah kerjasama antara negara untuk mitigasi resiko kerusakan lingkungan lintas batas. Prinsip ini juga tercantum dalam prinsip ke 24 Deklarasi Stockholm.

Lalu ada juga prinsip polluter pays principle yang menekankan pada

prinsip ekonomi dimana negara pencemar atau Penyebab kerusakan

39

Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, 1992, International Law & The Environment, Oxford University Press, hlm. 89-93


(56)

dituntut untuk membiayai tindakan yang dibutuhkan agar

lingkungan kembali pada kondisi semula.40 Berikutnya adalah

prinsip ’balance of interest’ keseimbangan kepentingan pihak-pihak

yang telah dirugikan. Prinsip ini terdapat di dalam Pasal 9 Draft on

State Responsibility. Kemudian ada juga prinsip non-diskriminasi yang mewajibkan negara untuk menanggulangi akibat-akibat yang diderita oleh Negara lain dengan cara yang sama tanpa membedakan dengan apa yang sudah dilakukan di negaranya.

Berdasarkan prinsip pencemar membayar dan asas strict

liability telah dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang

disebut shifting or alleviating the burden of proofs. Penerapan asas

strict liability dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan:41

2.3.1. Strict liability with contributory negligence defense, yakni

strict liability diterapkan kepada tergugat sepanjang pihak korban tidak mempunyai andil kesalahan atas timbulnya kerugian, kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu dibuktikan;

40

M Ramdan Andri GW, Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban (“Liability Theories”), Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan ISSN 0854-7378 Tahun V No. I/1999, hlm. 5..

41


(57)

2.3.2. Negligence with contributory negligence defense, yakni tergugat bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul karena kesalahannya, beban pembuktian ada pada tangan penggugat;

2.3.3. Comparative negligence, yakni ganti kerugian akan

disesuaikan dengan proporsi dari besarnya andil terhadap timbulnya kerugian.

2.4 Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan

Eksploitasi hutan yang berlebihan demi lahan perkebunan,

pembersihan lahan dengan metode (land clearing) oleh

perusahaan-perusahaan dengan cara pembakaran hutan secara terbuka demi menekan biaya produksi merupakan salah satu penyebab terjadinya Tranboundary Haze Pollution atau yang lebih dikenal juga sebagai polusi kabut asap. Kebakaran hutan yang menghasilkan polusi asap tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara tempat terjadinya kebakaran, namun juga menyebabkan kerugian pada negara lain. Sejak tahun 1997, kebakaran hutan telah menjadi peristiwa tahunan yang sudah merugikan negara secara ekonomi dan aspek lainnya.


(58)

Pada kurun waktu 1997-1998 saja, kebakaran hutan telah

mengakibatkan kerugian negara sebesar 3 Milyar Dollar Amerika.42

Transboundary haze pollution sejatinya telah melanggar hak-hak warga negara yang telah dijamin konstitusi dan juga hukum internasional. Seperti hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang tertera dalam prinsip 21 deklarasi Stockholm, hak mengajukan gugatan, hak atas perlakuan yang sama dan juga yang tidak kalah

penting adalah hak anak cucu bagi lingkungan yang baik kelak.43

Besarnya dampak negatif yang dihasilkan oleh polusi asap terhadap lingkungan, telah menggerakkan Negara-negara di ASEAN untuk mengesahkan sebuah perjanjian lingkungan hidup yang bertujuan untuk mengendalikan pencemaran polusi asap di Asia

Tenggara yaitu The ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (AATHP).44 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ditandatangani tanggal 10 Juni tahun 2002 di Kuala

Lumpur, Malaysia. Pada saat itu negara-negara yang

menandatangani adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia,

42 “WWF desak Indonesia ratifikasi perjanjian asap”, http://www.bakornaspb.go.id/website/index.php?option=com_content&task=view&id=1 691&Itemid=120, diakses pada tanggal 3 April 2015, jam 10.28 WIB.

43

Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, 1992, International Law & the Environment, Oxford, hlm. 190-214

44 “Sekretariat ASEAN” diakses dari Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas, 3 April 2015, jam 11.56 WIB.


(59)

Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Pada dasarnya, perjanjian ini menekankan kembali kepada Deklarasi ASEAN 8 Agustus 1967 yang menjadi titik awal kerjasama regional diantara negara-negara ASEAN. Dalam beberapa poin, perjanjian ini juga mengingat kembali pada pertemuan di Kuala Lumpur mengenai Lingkungan dan Pembangunan yang menyatakan perlunya pencegahan polusi lintas batas Negara, dan

juga sebagai tidak lanjut ASEAN Cooperation Plan on

Transboundary Pollution yang khusus membahas mengenai polusi lintas batas negara, dan menetapkan prosedur dan mekanisme kerjasama diantara negara ASEAN dalam pencegahan dan mitigasi

kebakaran hutan dan kabut asap.45

45


(60)

42 3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bersumber dari studi kepustakaan. Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif eksplanatoris karena menggambarkan sekaligus memberikan data seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya dengan maksud terutama untuk memperkuat teori sebelumnya dan menyusun konsep baru yang di

bangun dari penelitian ini.46

3.2 Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan atau studi literatur. Dari sudut tipe-tipenya, maka data sekunder dapat dibedakan antara data sekunder yang bersifat pribadi dan data sekunder yang bersifat publik. Data sekunder yang bersifat pribadi seperti surat-surat dan

46

Soejono, H. Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 56.


(61)

buku harian serta data pribadi yang tersimpan di lembaga tempat yang bersangkutan bekerja. Data sekunder yang bersifat publik adalah antara lain data arsip, data resmi, dan data lain yang dipublikasikan misalnya peraturan internasional. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer,

sekunder, dan tersier.47

Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah berbagai peraturan perundang-undangan nasional dan instrument lain yang menjadi sumber Hukum Internasional terkait dengan pembahasan tesis ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berbagai literatur, yaitu buku, artikel, media massa, makalah serta jurnal ilmiah yang terkait dengan masalah yang tengah dibahas. Sedangkan, bahan hukum tersier yang digunakan adalah antara lain ensiklopedia, kamus, dan berbagai bahan yang dapat memberikan petunjuk serta penjelasan mengenai bahan hukum primer maupun sekunder.

Selain alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan, penulis juga melakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait dengan judul tesis penulis. Wawancara yang dilakukan kepada

47

Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hlm. 52.


(1)

tomary international law. Unlike state immunity, which has been developed largely by domestic legislation and domestic courts, state responsibility is pre-eminently an area of international law developed by state practice and international judgments, of which numerous examples are re-ferred to in the ILC’s Commentary on the Articles. (Aust, 2012: 377.)

The emergence of state responsibility for environmental based on the existence of the actions or activities committed in the territory of a country or in under the supervision of the country that carry consequences detrimental to the environment without knowing the limits of the state. Under international law, the State’s responsibility in terms of international environmental law in particular haze transboundary pollution problems, be arranged in a number of international regulations, such as the Stockholm Declaration of 1972, the 1992 Rio Declaration, the Biodiversity Convention, and the Climate Change Convention, and equipped with the principles of interna-tional environmental law which have been mentioned above.

In Draft Articles on State Responsibility adopted by the International Law Commission (ILC),

(Draft Articles Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, International Law

Commis-sion, 2001), stated in article 1 that “Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State”. So, each acts or omissions prohibited by international law bring international responsibility for the country. ILC draft is not binding as an instrument of international law because it has not been established as a legal product. However, the binding strength of the ILC Draft is not seen as an instrument of its shape, but of their contents. ILC Draft can be used as an additional source and binding as customary law International. (Dixon, 1996: 219.)

In addition, the State liability forms stipulated in the draft articles of the ILC. Compensation or reparation stipulated in article 31. Compensation forms can be:

a. Restitution (Article 35): the obligation to restore the situation to normal harmed. b. Compensation (Article 36): indemnity obligation in the form of material or money c. Satisfaction (Article 37): regret, a formal apology.

In the case of transboundary haze pollution, the aggrieved state can be sued by the Govern-ment of Indonesia for a number of international conventions have also been ratified by Indone-sia, such as the Biodiversity Convention and the Climate Change Convention and the ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources, 1985, in which the Indone-sian have ratified, which contains a provision that the state may be exploiting their natural re-sources, but is obliged to ensure that the activity does not cause damage to other countries in the region (state responsibility). Provision has even become customary international law (customary international law) and binds all civilized countries, even been applied since 1941 in the Trail Smelter case (U.S. vs. Canada).

In addition, the above provisions have also been adopted in the Act (Act) No. 32 of 2009 on the Protection and Management of the Environment. Therefore, there is no legal reason that


(2)

could liberate Indonesia from liability if the injured sued the state of Indonesia. Indonesian re-sponsibility reinforced by Indonesia’s own national law because Law No. 4/1999 on Forestry and Government Regulation (PP) No. 4/2001 on Forest Fire and PP No. 45/2004 on the Protection of Forests expressly prohibits the burning of forests. (Syarif, 2005).

To prove whether or not the Indonesian compensation be held, to be seen as a kind of loss caused by an act of the State which may be active (an act) or inaction (omission). Active action means action taken deliberately by the State apparatus which later became the responsibility of the State. While the State apparatus acts of omission are not taking any action, but because of the lack of action resulted in a loss for the other country.

Country contaminated by the pollution caused by the haze can certainly hold Indonesia. They must prove that the haze pollution into their territory is the failure of the Indonesian authorities in dealing with the haze. It could have foundered because what happens is instead of letting Indonesian officials (omission) of haze pollution, but because of the inability of authorities in Indonesia to handle completely. The inability of the action is not allowed. The inability of the action is already done but not sufficient.

Since a fairly large forest fires that occurred in 1982 which was then followed by a series of forest fires the next few years, actually has implemented several measures, both anticipatory (the prevention) as well as overcome by Indonesia.

D. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollut ion (AATHP) and I ndonesia 1. Background AATHP

The ASEAN Haze Agreement recognizes that transboundary haze pollution which result from land and/or forest fires should be mitigated through concerted national efforts and interna-tional cooperation. The Agreement comprehensively addresses all aspects of fire and haze includ-ing prevention, emphasizinclud-ing the underlyinclud-ing causes, monitorinclud-ing, and mitigation. An ASEAN Transboundary Haze Pollution Control Fund has been established to implement the Agreement. The Government of the ten ASEAN Member Countries signed the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution on 10 June 2002 in Kuala Lumpur, Malaysia. The Agreement is the first regional arrangement in the world that binds a group of contiguous states to tackle transboundary haze pollution resulting from land and forest fires. It has also been considered as a global role model for the tackling of transboundary issues.

The Agreement requires the Parties to the Agreement to:(i) cooperate in developing and implementing measures to prevent, monitor, and mitigate transboundary haze pollution by con-trolling sources of land and/or forest fires, development of monitoring, assessment and early warning systems, exchange of information and technology, and the provision of mutual assis-tance; (ii) respond promptly to a request for relevant information sought by a State or States that are or may be affected by such transboundary haze pollution, with a view to minimize the conse-quence of the transboundary haze pollution; and (iii) take legal, administrative and/ or other


(3)

measures to implement their obligations under the Agreement.

The study concludes that there are 7 (seven) of AATHP institutional implications, as follows: (1) human resource capacity building and equipment in disaster management of land and forest fires in Indonesia through a help of mechanisms and technical cooperation, (2) the improvement of information and data of management of land and forest fires in Indonesia are more effective through mechanisms of monitoring, reporting and communication with the ASEAN Centre, (3) the development of clarity of duties and functions of institutions in disaster management of land and forest fires in Indonesia through designation and establishment NFP (National Focal Point), NMC (National Monitoring Centre) and CA (Competent Authorities), (4) AATHP implicated in promoting the manufacture of Disaster Management SOP forest fires in Indonesia, (5) the devel-opment of the ASEAN Centre to facilitate cooperation and coordination between the Parties in the disaster relief efforts of forest and land fires in Indonesia, (6) Improvement of the develop-ment application Clearing Without Fuel (coal-fired plant) in the absence of guarantee that the Indonesian through legislative, administrative and other relevant measures will be taken to pre-venting land clearing by burning and technical cooperation between the Parties to further pro-mote coal-fired plant, and (7) promoting a more adequate allocation of funds in disaster manage-ment of land and forest fires in Indonesia. (Saraswati et. al., 2010)

2. The Impact of AATHP Ratification for Indonesia

AATHP consists of 32 articles and an attachment. Here are discussed the most important part of the deal that has an influence on Indonesian. (Saraswati et. al., 2010)

1. Article 2: The purpose of this agreement is to prevent and to monitor trans boundary haze pollution caused by forest fires which should be done with the national efforts within regional and international cooperation;

2. Article 3: Principles. The principle of state responsibility, the Preventive Principle, precaution-ary principle, principles of safe development, and the principle of co-operation with all stake-holders including local communities, NGOs, farmers and private companies;

3. Article 4: General Obligations

a. Cooperate in the prevention of transboundary air pollution caused by forest fire monitor-ing efforts includmonitor-ing development, a system of early warnmonitor-ing, exchange of information and technology and give each other support,

b. When transboundary haze pollution occurs from a state, to respond immediately and in-form the state or states affected or will be affected by air pollution is to minimize the consequences.

c. Legislative and administrative efforts to implement the obligations under this agreement; d. Article 5: the existence of ASEAN center created to facilitate cooperation and coordina-tion among the parties in managing the impacts of haze pollucoordina-tion. When a country de-clares a state of emergency, they may request assistance to ASEAN Centre;


(4)

e. Article 16: technical and research cooperation including exchange of information, experts, technology and tools. Provide training, education and awareness campaigns about the im-pact of the development of air pollution on health and the environment; and

Article 27: Settling international disputes through peaceful means is a cardinal principle of the law of the United Nations (UN). An international dispute, irrespective of its nature, can be resolved peacefully either by diplomatic means, such as negotiation, use of good offices, media-tion, conciliation or by judicial means, such as arbitration or litigation through court of law. (Hamid, 2012: 375). Moreover, one of the purposes of the UN as stated in Article 1 of UN Charter is to bring about peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law. (Hamid, 2012: 375.) States are under an obligation to settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered. (Wallace and Martin-Ortega, 2012: 333) Various rules of international law can be stated about the principles of international dispute resolution such as the principle of good faith, the principle of the prohibition of the use of violence in settling disputes, the principle of freedom of choice means of dispute resolution, the principle agreement of the parties, and the principles of international law concerning independence sovereignty and territorial integrity of states. (Adolf, 2004: 15-18). Likewise, in international law perspective, the case of forest fires in particular, the best dispute resolution can be used is direct diplomatic path and avoid the use of violence. (Malanczuk, 2007: 275)

Based on the explanation above, by ratifying the AATHP, Indonesia will get the most benefit, as follows: (Malanczuk, 2007: 275)

1. Indonesian human resources and funds can utilize provided under this agreement. Transboundary haze pollution is considered as a problem shared by the members of ASEAN. For Indonesia certainly beneficial considering the limitations and the inability to resolve itself; 2. From the perspective of state responsibility, Indonesia will avoid potential compensation held by neighboring countries. This is because of the haze problem is a problem of all members of ASEAN:

Indonesian budget will be collected from a variety of sources that can be used to cope with forest fires. Without any ratification, we will also release funds to extinguish the fire, but by ratifying the funds that could be used would be greater. With AATHP, fire prevention can be implemented together with other ASEAN countries. Indonesia also benefited because it will be host to a meeting of ASEAN on the agreement as well as being the center of activity for the reduction of haze pollution in ASEAN.

The Indonesian government’s first act was to ratify the treaty, because Indonesia is in need of assistance and cooperation of ASEAN countries to extinguish forest fires. From the beginning to the end of the forest fire prevention, Indonesian resources and require substantial funds that he


(5)

cannot bear alone. The problem of illegal logging and other environmental issues should be discussed later after Indonesia ratified the treaty.

V. CONCLUSION AND SUGGESTION

A. Conclusion

In international law, state liability arising in that country harming another State, and is lim-ited only to acts that violate international law. When seen, in fact Indonesia has made every effort they can to prevent and mitigate pollution caused by forest fire haze. This is clearly not an act of active state and also cannot be categorized as an act of allowing, given the efforts have been done. In addition, the President has apologized to Malaysia and Singapore as a form of responsi-bility, though only as a moral responsibility.

Most of these problems can be overcome only, if Indonesia ratified the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution is. When seen, the actual ratification of the deal more advan-tages than disadvanadvan-tages to the Indonesian national interests and policies. Example Indonesia can benefit from technical assistance and funds in tackling forest fires. And also, Indonesia no longer be prosecuted because it was a shared responsibility of the ASEAN countries, despite the appearance of haze pollution originating from Indonesia.

B. Sug gest ion

1. The government should provide outreach to the community the importance of maintaining forests both economic and conservation benefits. It should also be emphasized continually that the areas adjacent to the forest during the dry season is very sensitive and prone to fires. 2. Law enforcement indiscriminately for land and forest burning. In other words should be given exemplary punishment for arsonists clear to both individuals and companies. For ex-ample, by giving a high administrative penalty, revocation of operating licenses, and so would be expected with such a deterrent effect arsonists make forests and land.

3. The government should also issue a policy on corporate responsibility towards the concession in case of fire. Companies must be responsible and penalized in case of forest fire in conces-sions.

4. Cooperating with neighboring countries in tackling haze terror. Because of the real terror of haze arising from land and forest fires are not only the responsibility of the Indonesian gov-ernment.

REFERENCE

Books and Journals

Adolf, Huala, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika. Aust, Anthony, 2012, Handbook of International Law, Cambridge University Press, New York.


(6)

Birnie, Patricia, et. al., 2009, International Law and the Environment, Oxford University Press, New York.

Breau, Susan, 2011, International Law, Oxford University Press, New York.

Hamid, Abdul Ghafur, 2012, Public International Law, Sweet and Maxwell Asia, Malaysia.

Dixon, Martin, 1996, Textbook on International Law, Third Edition, Blackstone Press Limited.

Jan, Mohammad Naqib Ishan, 2008, Principles of Public International Law, IIUM Press, Malaysia.

Jan, Mohammad Naqib Ishan, 2013, International Dispute Settlement Mechanisms, IIUM Press,

Malaysia.

Ibrahim, Jhonny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media

Laode Syarif, Menggantang Asap Indonesia, Opini Kompas, August 15, 2005

Malanczuk, Peter, 2007, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Routledge.

Murphy, Sean D., 2012, Principles of International Law, Second Edition, Thomson Reuters, United States of America.

O’Brien, John, 2011,International Law, Cavendish Publishing, New York.

Samekto, Adji, 2009, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Saraswati, Nanda et. al., 2010, Transboundary Haze Pollution dalam Perspektif Hukum Lingkungan

Internasional: Kasus Indonesia dan ASEAN, Makalah Hukum Kebijakan Lingkungan, Pasca Sarjana FH UI, Jakarta

Wallace, Rebecca MM and Olga Martin-Ortega, 2012, International Law, Sweet and Maxwell,

London.

Yusof, M. Sabri, 2000, International Environmental Law, International Law Book Services, Malay-sia.

Legislat ion

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002.

Draft Articles Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, International Law Com-mission

I nt ernet Link