uang yang sama. Sehingga resiko gejolak nilai valuta dapat dihindari. Meskipun untuk itu tersedia apa yang disebut dengan currency hedging.
3. Prinsip Perbandingan Antara Pinjaman dan Modal
Disini maksudnya adalah harus ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal. Jika pinjamannya terlalu besar disebut
perusahaan yang high gearing. Sebaliknya jika pinjamannya kecil dibandingkan dengan modalnya disebut low gearing. Pos permodalan
yang akan didapat oleh perusahaan tidaklah fixed, yaitu dalam bentuk dividen, sementara biaya terhadap suatu pinjaman yaitu dalam bentuk
bunga relatif tetap. Karena itu kelangsungan suatu perusahaan akan terancam jika antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal tidak
reasonable. 4.
Prinsip Perbandingan Antara Pinjaman dan Aset Alternatif lain untuk menekan resiko dari suatu pinjaman adalah dengan
memperbandingkan antara besarnya pinjaman dengan aset, yang juga dikenal dengan gearing ratio.
E. Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit merupakan kesepakatan para pihak, dengan demikian maka bentuknya juga tergantung kepada para pihak yang mengikatkan dirinya
dalam perjanjian. Suatu perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, asalkan pada pokoknya telah memenuhi syarat-syarat dalam membuat perjanjian
sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Praktek yang lazim pada
Universitas Sumatera Utara
masyarakat sekarang dalam membuat perjanjian kredit adalah secara tertulis. Hal ini dikarenakan dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan
sebagai alat pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Akan berbeda apabila perjanjian dibuat secara tertulis yang mana lebih memudahkan para pihak
dalam mengingat isi perjanjian termasuk mengenai hak dan kewajiban para pihak. Namun bagaimanapun, perjanjian kredit yang dibuat secara lisan tetap diakui
sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dapat dibuktikan dengan baik oleh para pihak.
Sutarno berpendapat bahwa dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis mengacu pada pasal 1 ayat 11 UU Perbankan. Meskipun dalam pasal itu tidak ada
penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun dalam organisasi bisnis modern dan mapan untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur
dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit
harus tertulis. Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit dalam bentuk tertulis adalah Instruksi Presidium Kabinet No. 15EKIN101966 tanggal
10 Oktober 1966, yang didalamnya menegaskan : “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan
debitur atau antara Bank Sentral dengan Bank-Bank lainnya”. Juga dalam Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No.
Universitas Sumatera Utara
031093UPKKPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang pada intinya berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat suatu perjanjian kredit.
23
Dalam penjelasan pasal 8 ayat 2 huruf a UU Perbankan, ditentukan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat
dalam bentuk perjanjian tertulis. Dalam pasal 21 Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan telah ditentukan bentuk perjanjian kredit, yaitu secara
tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh Bank Indonesia dan sesuai dengan kelaziman di dunia perbankan. Setiap perjanjian kredit yang dibuat wajib memuat
sekurang-kurangnya
24
: 1.
Identitas kreditur dan debitur secara benar, lengkap, dan jelas; 2.
Tujuan penggunaan kredit; 3.
Jumlah uang dan jenis mata uang tertentu; 4.
Jangka waktu perjanjian; 5.
Besar dan tata cara perhitungan bunga; 6.
Jaminan kredit; 7.
Hak dan kewajiban kreditur dan debitur; 8.
Syarat-syarat penarikan kredit; 9.
Hal-hal yang menimbulkan kewajiban materiil bagi debitur; dan 10.
Pernyataan debitur bahwa debitur telah mengerti dan meyetujui isi perjanjian kredit.
Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang
23
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2003, hal. 99
24
Pasal 12 Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan
Universitas Sumatera Utara
mudah mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian ktedit termasuk salah satu jenisbentuk akta yang dibuat sebagai alat
bukti. Dalam praktek bank dan juga dalam kamus hukum ada dua bentuk perjanjian kredit yang tertulis, yaitu :
1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dinamakan akta di bawah
tangan. Akta di bawah tangan ini sesuai pasal 1874 KHPerdata adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan
pejabat yang berwenang pejabat umum untuk dijadikan alat bukti. Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat di antara para pihak
sendiri dikategorikan sebagai akta di bawah tangan. Jadi akta di bawah tangan dapat dibuat oleh siapa saja, bentuknya bebas, terserah bagi para
pihak yang membuat dan tempat membuatnya dimana saja diperbolehkan. Suatu perjanjian kredit antara bank dengan nasabah juga dapat dibuat
dengan akta di bawah tangan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata. Yang terpenting bagi
akta di bawah tangan itu terletak pada tandatangan para pihak, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1876 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan akta di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri
tandatangannya. Kalau tanda tangan sudah diakui, maka akta di bawah tangan berlaku sebagai bukti sempurna seperti akta otentik bagi para pihak
yang membuatnya. Sebaliknya jika tanda tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tandatangan maka pihak yang mengajukan akta
Universitas Sumatera Utara
di bawah tangan itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tandatangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang
memungkiri. Selama tanda tangan terhadap akta di bawah tangan masih dipersengketakan kebenarannya, maka tidak mempunyai banyak manfaat
yang diperoleh bagi pihak yang mengajukan akta di bawah tangan. 2.
Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris, yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Menurut pasal 1868 KUHPerdata, akta
otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang- undang yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai yang berkuasa
pegawai umum untuk itu, tempat dimana akta dibuatnya. Perjanjian kredit saat ini lazimnya sudah menggunakan akta notaril. Yang menyiapkan dan
membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh para pihak dan
kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam bentuk akta otentik. Pemberian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta
otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit
modal kerja termasuk di dalamnya kredit yang diberikan kepada kontraktor, dan kredit sindikasi.
Melihat kedua macam akta tersebut, pada prakteknya hampir semua perjanjian kredit antara bank dengan debiturnya dibuat dalam bentuk akta otentik.
Alasan utamanya tentu demi menjamin legalitas dari perjanjian itu, sebab kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna.
Universitas Sumatera Utara
Selain dari bentuk-bentuk di atas, sebagai suatu bentuk perkembangan dari perjanjian tertulis, maka dalam perjanjian kredit bank dikenal pula istilah kontrak
baku standard form atau standaart contract. Perjanjian kredit dalam bentuk kontrak baku yaitu suatu bentuk perjanjian yang dibuat dan disiapkan oleh salah
satu pihak dalam hal ini biasanya oleh pihak bank dalam bentuk ketentuan- ketentuan tertentu yang kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk
ditandatangani. Pihak yang disodori perjanjian hanya mempunyai dua pilihan, menerima dalam bentuk membubuhkan tandatangan atau menolak perjanjian,
yang saat ini lazim disebut dengan semboyan “take it or not”. Poin-poin perjanjian dibuat oleh pihak bank untuk kemudian diberikan kepada nasabah
debitur untuk diterima sebagai perjanjian yang mengikat keduanya. Praktek ini sudah diberlakukan hampir pada semua perjanjian, tidak hanya kredit, meski
keabsahannya sampai saat ini masih dipertentangkan.
F. Sahnya Perjanjian Kredit