berupa sertifikat atau bukti lain. Kemudian juga ada yang dikuasai secara fisik adapula yang tidak dikuasai secara fisik, sedangkan penguasaan hak atas tanah adalah
penguasaan fisik, artinya seseorang menggarap atau menguasai tanah secara legal maupun ilegal.
2. Konsep
Konsepsikonsep adalah merupakan defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly
Lubis.
90
Kritis, Adapun defenisi operasional dari berbagai istilah tersebut di bawah ini
adalah sebagai berikut:
91
1. Adanya keterbukaan dari sistem hukum adat itu sendiri terhadap pengaruh luar.
bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisisan. Pandangan kritis dimaksudkan, berusaha melihat, menemukan kesalahan atau kekeliruan
terhadap sistem hukum pertanahan nasional maksudnya hasil penelitian ini menunjukkan, agar hukum adat dan hukum negara bisa bekerja sama dalam
pengaturan ‘pertanahan’ dalam rangka pembangunan hukum agraria yang beragam dalam kesatuan, dibutuhkan setidaknya empat kondisi yaitu :
2. Adanya pengakuan dari hukum negara terhadap eksistenssi hukum adat.
3. Adanya kemauan politik dari pemerintah untuk mengakomodasi nilai-nilai yang
terkandung dalam hukum adat dalam pelaksanaan pembangunan. 4.
Adanya desentralisasi pengaturan sumber daya agraria.
92
Sengketa terjadi karena terdapat situasi dimana satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan segera muncul ke permukaan
apabila terjadi conflict of interest. Pada umumnya di dalam kehidupan bermasyarakat ada beberapa cara menyelesaikan konflik yakni proses penyelesaian sengketa yang
ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui pengadilan litigasi dan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan non litigasi.
Penyelesaian melalui jalur pengadilan bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, maka penyelesaian di luar pengadilan justru yang diutamakan
adalah perdamaian dalam mengatasi sengketa yang terjadi di antara yang bersengketa dan bukan mencari pihak yang benar atau salah.
90
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Op.Cit., hal.80.
91
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2007, hal.601.
92
Kurnia Warman,,Hukum Agraria, op cit, hal.351.
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa non litigasi atau alternative yang lebih dikenal dengan istilh Alternatif Dispute Resolution ADR diatur dalam Undang-undang Nomor 9
tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan cara ini digolongkan dalam media non litigasi yaitu
merupakan konsep penyelesaian konflik atau sengketa yang kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan satu solusi terhadap konflik atau sengketa yang
bersifat win win solution. ADR dikembangkan oleh para praktisi hukum dan akademisi sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses pada
keadilan
93
Hak Atas Tanah Adat adalah hak-hak atas tanah menurut hukum adat. Terdapat 2 dua jenis hak atas tanah adat : hak komunal yaitu hak persekutuan
hukum adat beserta warganya dan hak perseorangan dari para warga persekutuan hukum adat. Hak persekutuan beserta warganya sebutannya bermacam-macam.
Istilah lainnya juga adalah hak purba. .
Di berbagai wilayah di Hindia Belanda terdapat lingkungan berbagai hak purba yang dipisahkan oleh wilayah tak bertuan yang luas. Di bagian lain terdapat
wilayah yang hampir tak ada sebidang pun yang termasuk dalam hak purba. Di satu tempat hak purba kuat di lain tempat lemah sesuai dengan kemajuan
dan kebebasan usaha pertanian penduduknya. Apabila hak purba sudah sangat lemah dengan sendirinya hak perorangan akan berkembang. Rumusannya : hak purba dan
hak perorangan berhubungan kembang-kempis, mulur-mungkret, desak-mendesak, batas-membatasi tiada henti. Apabila hak purba kuat maka hak perorangan lemah dan
sebaliknya
94
Hak atas tanah sebagai suatu hubungan hukum didefinisikan sebagai “hak atas permukaan bumi yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk
menggunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi” Pasal 4. Hal itu mengandung arti bahwa hak atas tanah itu di
samping memberikan wewenang juga membebankan kewajiban kepada pemegang haknya.
.
95
Hukum tanah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu
sistem.
96
Hukum tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.
97
93
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 4
94
Happy Warsito, Hak-hak Keagrariaan Adat dalam Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Globalisasi, disertasi, Semarang : Undip, 2005, hal. 124.
95
Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Op.Cit., hal.128.
96
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Op.Cit, hal.16.
97
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak
mempunyai buku-buku kepemilikan secara otentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis
98
Ciri-ciri Tanah Hukum Adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan
menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun temurun
masih berada di lokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat,
dan bahasa daerah sesuai dengan daerah yang ada di Negara Republik Indonesia. karena seperti kita ketahui hukum
adat mencerminkan kultur tradisional dan aspirasi mayoritas rakyatnya . Hukum ini berakar dalam perekonomian subsistensi serta kebijakan paternalistik, kebijakan yang
diarahkan pada pertalian kekeluargaan.
Hukum Tanah Adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti
otentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak agrarische eigendom, milik yasan, hak atas druwe atau hak atas druwe desa, pesini, Grant Sultan, landerijenbezitrecht,
altijddurende erfpacht, hak usaha atas tanah bekas partikelir, fatwa ahli waris, akte peralihan hak, dan surat segel di bawah tangan, dan bahkan ada yang telah
memperoleh sertifikat serta surat pajak hasil bumi Verponding Indonesia dan hak- hak lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hukum adat tersebut, serta masih diakui
secara internal maupun eksternal.
Selain hak-hak tersebut di atas masih terdapat hak-hak tanah adat sesuai dengan perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan sebagai berikut: Hak sawah
menurut hukum adat Aceh, Hak Atas Tanah di Batak yaitu Hak Atas Huta, Tanah Kesain dan Tanah Merimba, Hak Atas Tanah di Minangkabau, Hak Atas Tanah di
Bengkulu, Hak Atas Tanah di Sulawesi Utara, Hak Atas Tanah di Jawa yaitu Tanah Yasan, Tanah Pekulen, Tanah gogolan, Hak Gaduh atas tanah dan Petuk sebagai
bukti.
Ciri-ciri tanah hukum adat masa kini adalah tanah-tanah yang dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat adat dan masyarakat di daerah pedesaan
maupun di daerah perkotaan, sesuai dengan daerah, suku dan budaya hukumnya kemudian secara turun temurun atau telah berpindah tangan kepada orang lain dan
mempunyai bukti-bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau dikuasai sendiri dan atau dikuasai orangbadan hukum.
Secara ringkas ciri-ciri tanah hukum adat masa kini ialah: 1.
Ada masyarakat, Badan Hukum PemerintahSwasta. 2.
Masyarakat di daerah pedesaan atau perkotaan.
98
B. F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: PT. Toko
Universitas Sumatera Utara
3. Turun temurun atau telah berpindah tangan atau dialihkan.
4. Mempunyai bukti pemilikan berupa girik, verponding Indonesia, petuk, ketitir,
sertifikat, fatwa waris, penetapan pengadilan, hibah, akta peralihan, surat di bawah tangan, dan lain-lain.
5. Menguasai secara fisik, berupa Masjid, Kuil, Gereja, Pura, Candi, danau, patung,
makam, sawah, ladang, hutan, rumah adat, gedung, sungai, gunung dan lain-lain. Dengan demikian dari 2 dua jenis defenisi Hukum Adat, Masa Lampau dan
Hukum Adat Masa Kini, menggambarkan adanya perubahan mendasar sebagian besar dalam hukum yang hidup di masyarakat kaitannya dengan kepemilikan tanah
dari yang tidak tertulis menjadi tertulis. Maksud penulis di sini sebagian besar adalah karena dimungkinkan bukti kepemilikan atas sebidang tanah tersebut masih dikenal
atau dianut tanpa bukti tertulis. Misalnya di daerah Tapanuli Utara Suku Batak masih ditemukan bukti pemilikan tanah tersebut hanya disebutkan dalam perkawinan
seorang anak perempuan diberikan oleh orang tuanya, misalnya sebidang tanah sawah atau tanah darat kepada si wanita yang dinikahkan tanpa ada tertulis yang disebut
“Ulos nasora Buruk”secara letterlijk artinya ulos yang tidak pernah burukrusak tetapi secara faktual maksudnya tanah atau sawah.
Demikian juga apabila seorang wanita yang telah menikah dan mempunyai anak yang datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk beradat, maka anak cucu
dari wanita ini dapat juga diberikan semacam harta benda berupa sawah atau tanah darat, yang disebut juga “Ulos Nasora Buruk”. Jadi inilah salah satu penyebab wanita
di daerah Tapanuli Utara Suku Batak tidak lagi memperoleh harta warisan setelah orang tuanya meninggal. Namun demikian apabila masih ada wanita dari si pewaris
belum menikah maka si wanita tersebut juga akan memperoleh bagian dari kakak lelaki tertua dalam keluarganya, setelah ia menikah. Pengertian “Ulos Nasora Buruk”
ini adalah pemberian harta benda berupa tanah.
Sistem adalah : sesuatu yang terdiri atas sejumlah unsur atau komponen yang selalu saling memengaruhi dan saling terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa
asas.
99
St.Munadjat Danusaputro
100
Gunung Agung Tbk, 2005, hal.67.
menyatakan bahwa sistem merupakan satu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya, dengan
memiliki tujuan secara pasti.
99
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni,1991, hal.56.
Universitas Sumatera Utara
Hukum adalah suatu gejala yang dari dirinya sendiri menghendaki sistematisasi.
101
Jadi hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam mata sistem sistem hukum pertanahan nasional.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan