Semasa Orde Baru, kebijkan politik ekonomi, justru menimbulkan ketimpangan dan ketidakmerataan penguasaan tanah. Hal ini dibuktikan dengan
adanya penguasaan tanah berskala besar oleh sejumlah perusahaan dan pemilik modal besar.
D. Tipologi dan Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan di
Kabupaten Simalungun
Semenjak zaman Pemerintahan Hindia Belanda secara empirik terjadi konflik kepentingan antara pihak perkebunan Negara dan swasta di satu pihak dan
pedesaan di Simalungun sekitarnya di pihak lain. Rakyat pedesaan di sekitar perkebunan menuntut pengembalian sebagian areal perkebunan produktif yang
sempadan berdekatan dengan tanah pedesaan mereka
349
Berbagai alasan dipakai rakyat pedesaan dalam menuntut hak-haknya, antara lain kekurangan lahan pertanian mereka, sebagai sumber penghidupan satu-satunya.
Mereka merujuk kepada hak-hak historis rakyat otokton kerajaan-kerajaan Simalungun tempo doeloe, di mana dalam Perjanjian Erfpachtkonsesi atas tanah
ulayat Partuanon dahulu, ada klausul, bahwa bila rakyatpenduduk berkembang dan bertambah jumlahnya, maka ada kemungkinan pengembalian tanah perkebunan
kepada ulayat Partuanon, demi penghidupan dan eksistensi masyarakat desa. .
Pada tahun 1930
350
Masyarakat desa di Simalungun sebagian besar masih menggantungkan penghidupannya dari hasil-hasil pertanian tradisional. Persoalan timbul, bagaimana
supaya masyarakat ini diberdayakan untuk mencari penghidupan di bidang atau sektor perekonomian yang lain, atau bagaimana supaya teknik dan metode pertanian
dapat lebih diintensifkan. Jadi mereka tidak semata-mata “landhonger” haus akan tanah dalam iklim reformasi, tapi mereka menginginkan kualitas penghidupan yang
lebih layak. , ada tuntutanpermohonan seorang Partuanon Tuan
Silampuyang kepada pemerintahan kolonial Belanda di Bogor. Tuan Silampuyang berhasil untuk menerima kembali sebagian dari tanah ulayatnya dari Perkebunan
Marihat waktu itu. Sebab, sesuai dengan prinsip dan pandangan hidup masyarakat desa pada umumnya di Indonesia, juga di lingkungan masyarakat Simalungun, “tanah
dan air yang masuk dalam hak ulayat Partuanon, adalah untuk menegakkan eksistensi dari masyarakat hukum itu sendiri”.
Sekelumit sejarah hubungan antara Perkebunan Besar dengan rakyat Pedesaan:
349
Pembukaan tanah perkebunan besar pada masa Hindia Belanda selalu menimbulkan sengketa antara pengusahaonderneming dengan rakyat.Hal ini disebabkan tanah perkebunan baru berada dalam kawasan hutan
yang dikuasai oleh rakyat dengan hak-hak adat.Domein verklaring telah melitigimasi Negarapemerintah untuk memiliki tanah-tanah yang kemungkinan besar berada dalam kawasan hak ulayat Pribumi kerapkali dituduh telah
melanggar hak erfacht, yang dirumuskan dalam bentuk tuduhan memakai tanah tanpa izin atau secara liar wilde ocupatie.Terhadap hal-hal yang demikian,pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan Ordonantie
tanggal 7 Oktober 1937, Achmad Sodiki, Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat,makalah, Focus Group UKP-PPP 28 Pebruari 2012,hal.1.
350
Hasil wawancara dengan masyarakat setempat Silampuyang yang telah diolah.
Universitas Sumatera Utara
1. Zaman kolonial Belanda : kepentingan rakyat sekitar perkebunan “subordinated”
kepada kepentingan perkebunan maskape-maskape. Semua kegiatan berorientasi kepada kepentingan kolonial.
2. Zaman kemerdekaan Indonesia sampai ke regim Orde Baru, masa transisi, bahwa
kepentingan rakyat banyak dikedepankan, sebab rakyat Indonesia bukan saja yang hidup di lingkungan perkebunan, tapi keseluruhannya sama; rakyat pedesaan dan
komunitas perkebunan sama equal pentingnya, namun “fokusnya” masih pada masyarakat perkebunan sebagai faktor penting dalam memperoleh devisa Negara
oleh konglomerat. Sengketa pertanahan dalam hal penerapan UUPA khusus pelaksanaan
pendaftaran tanah juga terjadi. Padahal dalam PP 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
351
Pendaftaran tanah diperlukan bagi pemegang hak atas tanah karena dengan demikian akan lebih mudah untuk dapat membuktikan hak atas tanahnya dan bagi
pihak lainnya dapat memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang mungkin menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan,
jo Permenag No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
352
351
Pembuktian Hak Lama Pasal 24 PP Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
tetapi belum lengkapnya informasi mengenai status penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah present land tenure and present land use, akan dapat menghambat
1 Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan
yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk
mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
2 Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan
selama 20 dua puluh tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan- pendahulunya, dengan syarat:
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desakelurahan yang bersangkutan ataupun pihak
lainnya.
352
Tunggal Hadi dalam Yulia Mirwati, Konflik-konflik, op cit, hal 107.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan cita-cita hukum pertanahan yang jelas dirintis sejak Indonesia merdeka.
353
Kritikan terhadap sistem pendaftaran tanah sebagai suatu sub sistem
hukum tanah nasionalis, secara substansi masih mengalami berbagai kelemahan baik terkait dengan hukum adat yang pluralistik sebagai sumber utama peraturan
pelaksanaan yang belum sepenuhnya diatur serta kondisi pemilikan tanah yang belum diadministrasikan secara tertib. Kondisi dimaksud meliputi berbagai aspek yang dapat
dikemukakan antara lain :
1. Masih adanya kekurangan hukum, di mana undang-undang hak milik atas
tanah dan peraturan pemerintah tentang terjadinya hak milik menurut hukum adat, serta jenis-jenis tanah hak milik adat sebagaimana diamanatkan UUPA
belum diterapkan. 2.
Terdapat konflik norma antara nilai dasar yang diatur dalam Pasal 56 UUPA tidak diimplementasikan sepenuhnya dalam peraturan konversi hak-hak
lama yang merupakan nilai implementatif. Secara normatif, adanya penyakit hukum dan konflik norma yang terdapat antara nilai fundamental dengan
nilai implementatif, berimplikasi timbulnya kesenjangan implementasi dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, terutama konversi tanah-tanah
bekas hak adat. 3.
Hukum Adat yang pluralistik maka berpotensi menimbulkan kesenjangan substansi, terlebih dengan banyaknya jenis dan sebutan tanah hak milik
menurut adat di masing-masing daerah wilayah adat. 4.
Secara juridis dogmatik sistem publikasi negatif, mengandung kelemahan dimana sertifikat sebagai produk pendaftaran tanah menghasilkan kepastian
353
Parlindungan dalam Yulia Mirwati, ibid.
Universitas Sumatera Utara
hukum relatif karena terbuka untuk dibatalkan jika ada pihak lain dapat membuktikan sebagai pemilik sebenarnya.
Permenag No.5 Tahun 1999 pada hakikatnya, memberikan kesempatan bagi pemegang hak atas tanah ulayat adat melakukan perbuatan pemberian hak baru atas
tanah, yang akan berwujud dengan hak pakai dan hak bangunan, dengan pembatasan jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu yang diberikan terhadap hak pakai dan
hak guna usaha khusus keperluan pertanian dan keperluan lain, maka hak tersebut hapus kembali kepada hak ulayat masyarakat hukum adat Pasal 4 ayat 2.
Berdasarkan data lapangan didapatkan Daftar Permasalahan Sengketa Konflik Pertanahan Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Sejak Tahun 2009 sd
2012 sebagai berikut
354
354
Observasi dan wawancara dengan H. Badrus Salim Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun dan Heru Pramono Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara Pertanahan, 9 – 14 April 2012
:
Universitas Sumatera Utara
No A. Subjek B. Obyek
A. POKOK PERMASALAHAN