Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UUPK dan kritikan terhadap UUPK :

e. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 1 Dalam Pasal 5 Ayat 3 : “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.” 2 Dalam Pasal 6 Ayat 1 : “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.” 3 Dalam Pasal 6 Ayat 2 : “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.

f. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UUPK dan kritikan terhadap UUPK :

1 Pasal 1 huruf f : “Hutan adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. 2 Pasal 4 ayat 3 : “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. 3 Dalam Pasal 5 Undang-undang tersebut mengatur tentang status hutan sebagai berikut : 1. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari a. Hutan Negara b. Hutan Hak 2. Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat. 3. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dan Ayat 2 dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. 4. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Artinya hutan adat, hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lain dinyatakan sebagai hutan negara. Menurut Pasal 1 Nomor 4 Undang-undang ini “hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”. Tanah yang tidak dibebani hak atas tanah adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau disebut dengan tanah negara tanah bebas. Akibatnya, Universitas Sumatera Utara negara dapat memberi tanah bebas itu dengan suatu hak kepada suatu subjek hukum. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap objek hak ulayat, sehingga objek hak ulayat menjadi lenyap. Hal ini menjadi salah satu sebab timbulnya konflik agraria yang berkepanjangan. 4 Pasal 34 : “Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada : a masyarakat hukum adat; b lembaga pendidikan; c lembaga penelitian; d lembaga sosial dan keagamaan”. 5 Pasal 37 ayat 1 : “Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya”. 6 Pasal 37 ayat 2 : “Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya”. 7 Pasal 67 ayat 1 : “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : a melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-undang; dan c mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”. Kemudian diatur kriteria mengenai suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, yaitu jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain : a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban rechtgemenschap; b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. Ada wilayah hukum adat yang jelas; Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati d. Masih mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penetapan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat tersebut sebaiknya diterangkan dalam Peraturan Daerah dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pihak ahli hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, tokoh masyarakat yang bersangkutan, serta instansi dari pihak lain yang terkait. 262 262 Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta:LPHI,2005, hal.129 Universitas Sumatera Utara Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tidak secara jelas mengakui hak para warga masyarakat hukum adat untuk membuka hutan ulayatnya dan mengusahakan tanah bekas hutan yang dibukanya. Kata-kata yang digunakan adalah hak masyarakat hukum adat untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku, yang secara tegas disebut terbatas pada mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pernyataan dalam Pasal 68 Undang-Undang ini, setiap orang, jadi bukan hanya warga suatu masyarakat hukum adat saja, berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penerapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dinyatakan, bahwa Pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya. Namun demikian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tidak memberikan solusi mengenai penyelesaian masalah hilangnya hak masyarakat hukum adat 263 8 Pasal 67 Ayat 2 : “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. yang hutan ulayatnya selama orde baru diberikan kepada para pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan HPH. Bahwa dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan oleh pemegang HPH, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas hak ulayat itu “dibekukan”, kenyataannya dihapuskan. Pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya oleh warga masyarakat hukum adat yang ada di belakang rumahnya, yang semula menurut ketentuan hukum adat merupakan haknya, tanpa izin pemegang HPH, menjadi suatu tindak pidana. 9 Pasal 67 Ayat 3 : “Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dan Ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Proses peminggiran terhadap hak-hak masyarakat lokal diyakini sudah terjadi sejak lama dan secara turun-temurun, dimana mereka telah menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan yang ada di sekitarnya. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, mereka telah turun-temurun menggantungkan hidupnya dari hutan, telah menjadi masyarakat asing di tanah kelahirannya leluhurnya sendiri. Dampak yang jelas-jelas terjadi pada masyarakat sekitar hutan sekurang-kurangnya dapat berwujud : 263 Disebabkan karena pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sendiri masih tidak konsisten. Ketidakkonsistenan tersebut dikarenakan belum ada kriteria yang baku mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya di suatu wilayah. Maria S.W Sumardjono, Harmonisasi kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia, makalah, Materi kuliah hukum Sumber Daya Alam, hal.2. Universitas Sumatera Utara a. Peminggiran secara ekonomis yang berwujud : masyarakat lapar tanah tuna kisna karena 80 264 tidak memiliki tanah dan hanya tergantung pada pekerjaan mencari rencek kayu bakar yang semakin sulit untuk mengimbangi tingginya harga bahan kebutuhan pokok, langkanya pekerjaan 265 b. Peminggiran secara sosial yang berwujud terputusnya akses pendidikan, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya, sehingga sering dikeluhkan mahalnya biaya trasnportasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan biaya pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain. dan terbatasnya keahlian yang memaksa mereka hanya tergantung pada hutan di tengah semakin sulitnya bercocok tanam di tengah hutan. Masyarakat miskin atau kantong-kantong kemiskinan di sekitar kawasan hutan yang terus-menerus bertambah, sedangkan lapangan pekerjaan di sekitar hutan sangat tergantung pada musim menanam, musim tebang, dan lain-lain. c. Peminggiran secara politis yang berwujud tidak pernah terserapnya aspirasi politik masyarakat dalam kegiatan demokrasi. d. Peminggiran secara kultural yang berwujud ketertinggalan dari berbagai bentuk informasi ke arah perubahan yang lebih positif. Dampak langsung berwujud banyaknya kasus penjarahan hutan jati, penguasaan secara massal tanah kawasan hutan Perhutani, pembabatan secara massal tanaman jati muda. 266 g. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Propenas Tahun 2000-2004. Dalam Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup sub ke 2 : “Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemeliharaan lingkungan hidup melalui pendekatan keagamaan, adat, dan budaya. h. TAP MPR No. IXMPR2001 tentang Pembaruan Hukum Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat dikeluarkan pada tahun 2001 melalui Ketetapan MPR Republik Indonesia No. IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pasal 4 TAP MPR No. 264 Subadi, Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan, Jakarta: PT Prestasi Pustakarya, 2010, hal.134. 265 Pekerjaan menanam dan tebang kayu, hanya bersifat musiman yang tidak bisa dijadikan handalan dalam penopang hidup Rumah tangga yang permanen. 266 Subadi, ibid, hal.135. Universitas Sumatera Utara IXMPR2001 tersebut menentukan antara lain dalam sub j : “Mengakui, Menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria sumber daya alam” Pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat terdapat dalam berbagai peraturan termasuk Peraturan Daerah PERDA yang menggunakan landasan hukum yang berkaitan dengan kewenangan pembuatan Perda maupun landasan hukum yang berkaitan dengan materi yang diatur dalam Perda tersebut. Contoh beberapa daerah yang mengatur tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat adalah Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Ulayat Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy : Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat. Daerah yang sedang membuat Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Tobelo, Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Halmahera Utara 267 .

i. Undang-undang No. 222009 tentang Minyak dan Gas Bumi serta kritikan terhadapnya.

Dokumen yang terkait

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pertanahan Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

1 129 118

Penyelesaian Sengketa oleh Komisi Informasi atas Informasi yang Diberikan BPOM Terkait Keselamatan Konsumen dalam Mengkonsumsi Suatu Produk

2 70 125

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG POSISINYA TERTUKAR Proses Penyelesaian Sengketa Data Fisik Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Posisinya Tertukar (Mediasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo).

1 10 17

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG POSISINYA TERTUKAR Proses Penyelesaian Sengketa Data Fisik Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Posisinya Tertukar (Mediasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo).

0 4 13

NASKAH PUBLIKASI Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

0 3 17

SKRIPSI Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

0 2 13

PENDAHULUAN Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

1 4 15

PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA PADANG DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HAK MILIK ATAS TANAH.

0 0 6

Eksistensi Pranata Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional

0 0 12