Undang-undang No. 222009 tentang Minyak dan Gas Bumi serta kritikan terhadapnya.

IXMPR2001 tersebut menentukan antara lain dalam sub j : “Mengakui, Menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria sumber daya alam” Pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat terdapat dalam berbagai peraturan termasuk Peraturan Daerah PERDA yang menggunakan landasan hukum yang berkaitan dengan kewenangan pembuatan Perda maupun landasan hukum yang berkaitan dengan materi yang diatur dalam Perda tersebut. Contoh beberapa daerah yang mengatur tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat adalah Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Ulayat Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy : Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat. Daerah yang sedang membuat Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Tobelo, Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Halmahera Utara 267 .

i. Undang-undang No. 222009 tentang Minyak dan Gas Bumi serta kritikan terhadapnya.

1 Pasal 34 Ayat 1 : “Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam Wilayah Kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 2 Pasal 34 Ayat 2 : “Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara : a jual beli, tukar-menukar, ganti-rugi yang layak; b pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara”. 3 Penjelasan Pasal 34 Ayat 2 : “Yang dimaksudkan dengan pengakuan dalam ketentuan ini adalah pengakuan atas adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum adat yang bersangkutan”. Pengaturan perundang-undangan dalam bidang energi dan sumber daya mineral di Indonesia juga mengalami beberapa kali pengaturan. Pertama kali Undang- undang yang mengatur bidang pertambangan adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 267 Adonia Ivonne Laturette, Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional, disertasi, Surabaya : Unair, 2011, hal. 131. Universitas Sumatera Utara 1959 tentang Pembatalan Hak-hak Pertambangan. Kemudian pada tahun 1961, diundangkan Undang-Undang No. 11 tahun 1961 tentang Tambahan Atas Lampiran Undang-undang No. 10 Tahun 1959, dengan pertimbangan masih ada hal-hal pertambangan yang diberikan sebelum tahun 1949 dan hingga tanggal 25 April 1959 tidak atau belum dikerjakan serta masih termasuk dalam daftar hak-hak pertambangan yang dibatalkan. Kemudian pada tahun 1967 regulasi pertambangan diperkuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Sampai sebelum memasuki Tahun 1971, segala bidang usaha pertambangan menggunakan Undang-undang No. 11 Tahun 1967. Barulah pada tahun 1971 dibentuklah Undang-undang yang lebih spesifik yaitu Undang-undang No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang kemudian dicabut dengan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 268 Kritikan terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Undang-undang Minerba ini sebagai pengganti Undang-undang No. 11 Tahun 1967 itu tak ubah seperti ular berganti kulit. Undang-undang ini dinilai sarat dengan kepentingan melindungi perusahaan tambang, pemegang Kontrak Karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, sehingga makin melenggangkan sistem keruk cepat dan jual murah bahan tambang Indonesia. . Perkembangan terbaru dalam bidang pertambangan mineral dan batubara adalah telah diundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-undang Minerba yang efektif sejak 12 Januari 2009. 269 Menurut Jatam Jaringan Advokasi Tambang, setidaknya ada 6 enam masalah yang utama dalam Undang-undang Minerba : 1. Tidak ada peluang untuk melakukan kaji ulang dan negosiasi terhadap Kontrak Karya 2. Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini menguatkan ego sentral, melalui lahirnya Wilayah Pertambangan 3. Undang-undang ini tidak menempatkan pentingnya menjaga dan melindungi perairan pesisir laut 268 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum Yogyakarta : Pusaka Yustisia, 2010, hal. 34. 269 Ibid, hal. 53-54 Universitas Sumatera Utara 4. Undang-undang ini menggunakan pendekatan administratif dalam proses perijinannya sehingga tidak efektif untuk menangani dampak pencemaran lingkungan\ 5. Mempercepat kerusakan sarana dan prasarana umum karena Undang- undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membolehkan untuk dimanfaatkan menjadi Sarana Pertambangan 6. Terjadi Kontradiktif dengan Undang-undang Lingkungan Hidup yang mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan 270 Menurut hasil survei tahunan konsultan independen Pricewaterhouse Cooper PwC terhadap sektor pertambangan Indonesia, Undang-undang Minerba dinilai memperburuk iklim investasi. Hasil ini disampaikan Technical Advisor PwC bidang pertambangan Saeha Winzenried 271 Survei juga menyebutkan Undang-undang Minerba merupakan kemunduran dibandingkan sistem Kontrak Karya dan menghambat perkembangan sektor pertambangan dan peraturan kehutanan, duplikasi dan kontradiksi antara peraturan pemerintah pusat dan daerah serta ketidakadilan divestasi kepemilikan asing dan penutupan tambang dinilai merugikan pebisnis. Banyak proyek dan rencana investasi pertambangan yang dijadwalkan mulai tahun ini tertunda, akibat sistem KK diganti. Kendati industri pertambangan mencatat hal keuangan yang bagus ketika lojakan harga komoditas pada 2007 2008, pengeluaran eksplorasi untuk proyek baru sangat rendah. Pemerintah bahkan gagal menarik investasi baru pada masa keemasan harga komoditas sebab masalah yang menghambat investasi baru sulit diselesaikan. 270 Ini menimbulkan masalah bagi masyarakat adat yakni : 1. Hak veto mereka tidak diakui karena hanya memiliki 2 pilihan yakni ganti rugi sepihak atau memperkarakan ke Pengadilan. Bahkan penduduk lokal beresiko dipidana setahun atau denda Rp. 100 juta jika menghambat kegiatan pertambangan. 2. Kawasan lindung dan hutan adat yang diakui oleh masyarakat hukum adat akan terancam karena alih fungsinya bisa dilaksanakan setelah ada izin dari pemerintah, H.P Panggabean, Inkonsistensi Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, khususnya dalam hal pemberdayaan hak masyarakat Hukum Adat, Seminar MHA, 6 Agustus 2012, Hermina Hall Darma Agung, Medan 271 Hasil Survei PwC, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Perburuk Iklim Investasi Tambang” http : www.tekmira.esdm.go.id currentissues?p=1759 Universitas Sumatera Utara Investor pertambangan nasional lebih memilih untuk mengeluarkan biaya tetapi tidak bersedia menanamkan modal, hingga saat ini belum ada jaminan, sebagian besar masalah yang menghambat pertambangan dapat diselesaikan melalui Undang-undang Minerba 272 Berikut diuraikan beberapa hal yang bersifat kontroversi setelah diundangkannya UU Minerba : . 1. Adanya kontradiksi pada Pasal Peralihan Dalam Pasal 169 a UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan : “Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan dan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak perjanjian”. Namun butir b menyebutkan : “Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 satu tahun sejak Undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan Negara.” Pada Pasal 169 a, Kontrak Karya KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang ini akan tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak maupun perjanjian, sementara pada pasal b, disebutkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B harus disesuaikan paling lambat 1 tahun setelah Undang-undang diberlakukan kecuali terkait penerimaan negara. Aturan Peralihan pada hakikatnya memberikan kepastian hukum. Ketentuan tersebut membingungkan, di satu sisi mengakui dan menghormati jangka waktu kontrak perjanjian, akan tetapi di sisi lain substansi kontrak perjanjian disesuaikan dengan Undang-undang baru, artinya ketentuan peralihan memaksa para pihak untuk mengubah kontrak perjanjian 2. Sistem kontrak perjanjian diganti dengan sistem perizinan Hampir semua wilayah yang mengandung batu bara nyaris sudah dibagi habis oleh sejumlah Konglomerasi melalui PKP2B itu. 273 272 Ibid 273 H. Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 2005, hal. 57. Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 35, Usaha pertambangan dilakukan dalam tiga bentuk : a. Izin Usaha Pertambangan IUP b. Izin Pertambangan Rakyat IPR c. Izin Usaha Pertambangan Khusus IUPK Dalam Pasal 36, IUP terdiri dari 2 tahap : 1 IUP eksplorasi : penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. 2 IUP operasi produksi : kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. 3. Pendapatan Negara dan Daerah Dalam pasal 129 UU Minerba ditegaskan bahwa : a. Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar 4 empat persen kepada pemerintah dan 6 enam persen kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi. b. Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur sebagai berikut : 1 Pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1 satu persen 2 Pemerintah kabupaten kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5 dua koma lima persen, dan Universitas Sumatera Utara 3 Pemerintah kabupaten kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2,5 dua koma lima persen Dengan adanya ketentuan ini, investor mau tidak mau harus membayar 10 kepada pemerintah dari keuntungan bersih usahanya. Tidak ada peluang negosiasi atas jumlah yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Tentu saja hal ini memberikan keuntungan kepada pemerintah dan sekali lagi memperkuat posisi pemerintah sebagai regulator. 4. Kewajiban reklamasi dan pascatambang Pasal 100 UU Minerba : 1 Pemegang IUP dna IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. 2 Menteri, Gubernur, atau BupatiWalikota sesuai dengan kewenangannya dapat menerapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Artinya pelaku usaha tidak diberi kewajiban tuntas dan tanggung jawab penuh untuk menyelesaikan masalah lingkungan yang ditimbulkannya. 274 Sebenarnya ketentuan ini bermaksud memberikan jaminan perlindungan lingkungan dan ekosistem yang diakibatkan oleh kegiatan usaha pertambangan. Namun adanya klausula bahwa investor wajib memberikan dana jaminan reklamasi dan pascatambang yang dapat digunakan oleh pihak ketiga jika investor tidak melakukan kewajibannya memberikan peluang kepada invenstor untuk bersikap “cuek” apatis terhadap kewajiban tersebut 275 274 Pandangan Fraksi PAN mengenai RUU Minerba ; http : www.pme-indonesia.com opinion? Id=8 . Seharusnya kewajiban pemberian dana tersebut disertai dengan sanksi apabila investor tidak melakukan reklamasi dan pascatambang. Dengan ketentuan Pasal 100, akan memungkinkan investor untuk tidak melakukan kewajibannya karena Universitas Sumatera Utara pemerintah akan menunjuk pihak ketiga untuk menggantikan investor melakukan kewajibannya. 5. Pasal 91 UU Minerba : “Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal ini jelas merugikan masyarakat. Dibebaskannya perusahaan tambang dalam menggunakan sarana publik maka yang akan dirugikan bukan hanya masyarakat melainkan pemerintah daerah. Sebagai ilustrasi, seperti di Kalimantan Selatan, jalan yang seharusnya digunakan oleh 8 ribu kendaraan per hari, bias dilewati hingga 9 ribu lebih kendaraan, dan jumlah itu yang paling banyak adalah truk-truk pengangkut batu bara. Sebanyak 27 dua puluh tujuh persen jalan-jalan yang dilewati oleh truk batu bara menjadi rusak berat. Belum lagi efek pemakaian jalan tersebut, bisa menimbulkan kecelakan atau infeksi saluran pernafasan akut ISPA. Artinya Undang-undang ini memberi ruang terhadap keburukan-keburukan, dan yang menanggung biaya adalah masyarakat lokal dan APBD. Hal ini berarti pula UU Minerba tidak punya sensitivitas terhadap masalah. 276 j. Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan 277 Pasal 35 Ayat 6 : “Dalam hal tanah yang digunakan pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik terdapat tanah ulayat dan yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada, penyelesaiannya dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai peraturan perundang- undangan di bidang pertanahan dengan memerhatikan ketentuan hukum adat setempat.” 275 H.P. Panggabean, Op Cit, hal 11. 276 Nida Sa’adah, “UU Minerba dan BatuBara : Melanggengkan Sistem Keruk Cepat dan Jual Murah Bahan Tambang Indonesia; http : syabab.comindex. php? option = com_concent view = article catid = 33 3Aopini id = 561 3 AUU-mineral-dan-batubara-melanggengkan-sistem-keruk-cepat-dan-jual-murah- bahan-tambang-indonesia itemid = 62 277 Mahkamah Konstitusi telah menjelaskan, hak menguasai Negara yang tercantum dalam Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 sebagai berikut, dengan Putusan MK dalam pengujian UU Ketenagalistrikan : Bukan dalam makna Negara harus memiliki, melainkan Negara hanya merumuskan kebijakan beleid, melakukan pengaturan regelandaad, melakukan pengurusan bestuurdaad, melakukan pengelolaan beheersdaa, melakukan pengawasan toetzichthourdesdaad, Andi Muttaqinh, op cit, hal.266. Universitas Sumatera Utara

k. Undang-undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan kritikan terhadapnya :

Dokumen yang terkait

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pertanahan Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

1 129 118

Penyelesaian Sengketa oleh Komisi Informasi atas Informasi yang Diberikan BPOM Terkait Keselamatan Konsumen dalam Mengkonsumsi Suatu Produk

2 70 125

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG POSISINYA TERTUKAR Proses Penyelesaian Sengketa Data Fisik Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Posisinya Tertukar (Mediasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo).

1 10 17

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG POSISINYA TERTUKAR Proses Penyelesaian Sengketa Data Fisik Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Posisinya Tertukar (Mediasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo).

0 4 13

NASKAH PUBLIKASI Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

0 3 17

SKRIPSI Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

0 2 13

PENDAHULUAN Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

1 4 15

PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA PADANG DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HAK MILIK ATAS TANAH.

0 0 6

Eksistensi Pranata Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional

0 0 12