12-01-12, berujuk rasa di sejumlah daerah. Masyarakat mendesak Pemerintah memulihkan hak rakyat, terutama terkait hak atas tanah adat, dan merevisi
undang-undang yang merugikan rakyat. 2.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun.
3. Cara penyelesaian sengketa hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum agraria nasional yang memposisikan
hukum adat sebagai sumber utama pengembangannya melalui salah satu prinsip “keanekaragaman dalam kesatuan hukum”.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan : 1.
Dapat memberikan masukan kepada Pemerintah, terutama Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun dalam pengaturan tanahnya, termasuk penyelesaian
sengketa tanah. 2.
Membuka cakrawala yang lebih luas para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan banyak sistem hukum yang terkait.
3. Sebagai tempat bekerjasamanya sistem-sistem hukum tersebut.
4. Untuk mengurangimenghindari sengketa hak atas tanah adat dan upaya
menyelesaikan konflik hak atas tanah adat. 5.
Kepada Pemerintah Pusat dalam rangka pembuatan peraturan perundang- undangan yang mendukung terwujudnya prinsip keanekaragaman dalam
kesatuan hukum agraria. Hasil penelitian ini diharapkan akan menyajikan penjelasan bagi Pemerintah Pusat bagaimana akibat dari ketidaksinkronan
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundang-undangan bidang sumber daya agraria bagi upaya pemberian kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.
E. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka landasan teori menurut M. Solly Lubis adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori thesis mengenai sesuatu kasus atau
permasalahan problem yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat
kerangka berfikir dalam penulisan.
51
Teori yang akan dijadikan landasan dalam studi ini adalah teori “sistem hukum” dari Lawrence M.Friedman. Sistem hukum dalam suatu masyarakat
merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat tersebut. Menurut Lawrence M. Friedman
52
Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan
setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan, aspek sistem yang berada disini kemarin atau bahkan pada
abad yang terakhir akan berada di situ dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem hukum, kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. , sistem hukum terdiri dari : struktur hukum legal structure, substansi
hukum legal substance dan budaya hukum legal culture, ketiga komponen ini akan menentukan berjalannya suatu hukum dalam masyarakat.
Struktur hukum legal structure adalah lembaga-lembaga atau instansi yang akan menjalankan proses dalam penegakan hukum, semacam kerangka sistem
hukum, ruang lingkup struktur hukum penegak hukum sangat luas, karena mencakup mereka secara langsung atau tidak langsung berkecimpung di bidang
penegakan hukum, namun dalam arti sempit, penegak hukum mencakup mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pengacara dan lembaga
pemasyarakatan.
Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam
sistem itu. Substansi hukum legal substance berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, produk yang dikeluarkan, aturan-aturan
baru yang mereka susun dengan kata lain bagian dari budaya hukum itulah yang menyagkut sistem hukum. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi
51
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hal.80.
52
Lawrence M. Friedman, American Law, New York : W.W Norton and Company, 1984, hal.7.
Universitas Sumatera Utara
penentu jalannya proses hukum.
53
Jadi penekanannya di sini terletak pada hukum yang hidup the living law , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum law books . Hal ini menuju komponen
ketiga dari sistem hukum yaitu budaya hukum. Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan
oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Bagian dari budaya umum itulah
yang menyangkut sistem hukum. Budaya hukum legal culture pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku. Nilai-nilai ini merupakan konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga diikuti, dan apa yang dianggap buruk
sehingga dihindari. Nilai-nilai ini lazimnya merupakan pasangan nilai yang mencerminkan dua keadaan yang ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai yang
berperan dalam penegakan hukum adalah : 1.
Nilai ketertiban dan nilai ketentraman 2.
Nilai jasmaniah kebendaan dan nilai rohaniah keakhlakan 3.
Nilai kelanggengan konservatisme dan nilai kebaruan innovation. Setiap masyarakat, setiap daerah, setiap kelompok, mempunyai budaya
hukum. Mereka memiliki sikap dan pandangan terhadap hukum yang tidak selalu sama. Dengan kata lain ide, pandangan dan sikap masyarakat terhadap hukum
dipengaruhi budaya hukum seperti suku etnik, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kebangsaan, pekerjaan dan pendapatan, kedudukan, kepentingan,
lingkungan agama. Budaya hukum juga dapat berubah akibat pendidikan, modernisasi, teknologi dan masuknya unsur asing dan berbagai pergerakan
pembaharuan seperti pergerakan wanita dan terkandung konsep individualisme.
Bobot keterkaitan penting teori Friedman dengan studi ini terletak pada faktor-faktor berikut :
1. Munculnya perkembangan dan formulasi kebijakan bahan bentuk peraturan dan
penanganan dalam Hukum Tanah Indonesia berlangsung dalam tatanan sosial yang dipenuhi dengan nilai, harapan-harapan orientasi yang berkembang dalam
masyarakat. Kekuatan-kekuatan tersebut saling menentukan dan mempengaruhi.
53
Eggi Sudjana dan Riyanto, Penegakan Hukum Lingkungan dalam Perspektif Etika Bisnis di Indonesia, cetakan pertama, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1999, hal.8.
Universitas Sumatera Utara
2. Reformulasi kebijakan di bidang pertanahan, khususnya pemberian ijin
penggunaan tanah dalam Hukum Tanah Indonesia merupakan puncak pertarungan, perdebatan semata. Pertarungan dan perdebatan tersebut, bisa jadi
disebabkan oleh perbedaan kepentingan, nilai, orientasi dan harapan dari setiap kekuatan politik.
3. Persidangan yang dilakukan oleh judikatif dalam Hukum Tanah Indonesia
merefleksikan dua peristiwa sekaligus; hukum dan politik. Kedua unsur tersebut tercakup dalam konsep Legal Culture. Pilihan ini juga ditopang oleh pemikiran
Frans Magnis Suseno.
54
Aliran idealis pada Mazhab Sejarah, yang diwakili oleh von Savigny, memandang hukum tumbuh dan berlaku dalam masyarakat. Hukum ditemukan tidak
dibuat recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke , hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami pada masyarakat tradisional
ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern. Dikatakan juga bahwa undang-undang tidak berlaku atau tidak diterapkan secara universal. Setiap
masyarakat mengembangkan hukum kebiasaan sendiri, sebagaimana bahasa adat- istiadat dan konstitusi yang khas.
untuk menemukan perasaan masyarakat, maka semua unsur yang relevan dengan tertib hukum harus diperhitungkan. Unsur-unsur itu
adalah nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup, demikian juga hubungan sosial. Dalam konteks ini akan kelihatan apa yang adil dan apa yang
tidak.
55
Hukum mengikuti jiwa rakyat volgeist dari masyarakat tempat hukum itu berlaku, karena itulah maka hukum merupakan produk
budaya suatu bangsa
56
54
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1994, hal.112.
55
Lawrence M. Friedman, Legal Theory, New York: Columbia University, 1967, hal. 211, lihat juga Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Kanisius, 1986, hal.118.
56
P.Purbacaraka dan M.Chaidir Ali, Disiplin Ilmu Hukum, Bandung: P.T Citra Aditya, 1990,hal. 20, lihat juga Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Yoyakarta: Liberty, 1991, hal.34 dan Kurnia
Warman, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk, Jakarta: KITLV, 2010, hal.393.
Universitas Sumatera Utara
Pengaruh pemikiran Savigny ini sangat terasa di Indonesia melalui para ahli hukum Belanda, sehingga melahirkan suatu cabang ilmu hukum yang baru yang dikenal
sebagai hukum adat, dipelopori oleh van Vollenhoven, Ter Haar dan lain sebagainya.
Jadi jelas membicarakan hukum adat, asas-asasnya, konsepsinya, lembaga- lembaganya, dan norma-normanya tidak terlepas dari membicarakan mazhab sejarah
ini. Hukum oleh Roscoe Pound diyakini sebagai suatu alat untuk membangun
masyarakat, dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan antara hukum, dalam artian ketentuan abstrak yang seharusnya berlaku, dengan hukum dalam artian nilai yang
hidup dalam masyarakat sebagai pedoman bertingkah laku
57
Perlu disampaikan lebih dahulu konsep-konsep filosofis yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan makna apa yang terdapat di balik hak atas tanah.
.
1. Globalisme Globalisme sebagai suatu konsep filosofis dapat menunjuk kepada suatu
proses penyebaran sesuatu ke seluruh penjuru dunia yang dikerjakan oleh suatu kekuatan tertentu. Kekuatan dimaksud mengerjakan suatu proses
yang membawa serta warga masyarakat di seluruh penjuru dunia untuk menerima peradaban baru, tidak saja dalam bidang teknologi, tetapi juga
bidang ekonomi, sosial budaya, dan hukum. Dengan begitu ia berisi suatu proses penggantian filsafat yang telah dianut oleh masyarakat tempatan
dengan filsafat luar yang terbawa serta dalam arus globalisasi.
2. Individualisme Individuaalisme sebagai konsep filosofis menggerakkan masyarakat di
seluruh dunia untuk menerima sebuah proses menuju kemajuan material dengan sebuah taruhan berisiko tinggi yang tak dapat terbagi kepada
orang lain. Artinya secara substansial, ada kekuatan yang mengglobalkan suatu ide beserta hasil-hasilnya ke dalam kehidupan materi semua umat
manusia.
3. Hedonisme Hedonisme dimaksud diartikan sebagai faham pencapaian kekayaan,
kekuatan, ketenaran, dan kekuasaan. Artinya, petualangan kearah perbaikan kehidupan manusia dilakukan dengan tujuan menjadikan hidup
mereka serba berkecukupan materi. Fanatisme perjuangan demikian melahirkan sebuah pandangan bahwa tujuan hidup didunia tidak lain
adalah mencari kehidupan bergelimang materi. Faham yang menekankan materi demikian ini biasa disebut materialism materialism, suatu faham
yang memacu mereka untuk berjuang keras untuk memperoleh harta kekayaan dalam jumlah sebanyak-banyaknya
58
.
57
Mas Soebagio dan Slamet Supriatma, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta : Akademika Presindo, 1988, hal. 69.
58
Ade Saptomo, Dibalik Sertifikasi, makalah, Op. Cit. hal. 209.
Universitas Sumatera Utara
Hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari Negara disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain
berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, dimana pemegangnya berhak untuk menggunakan
tanah yang dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain melalui perjanjian dimana satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada
pihak lain.
59
Lahirnya UUPA maka dualisme hukum tanah yang selama ini terjadi menjadi hapus. Bahagian terbesar dari Hukum Barat atas tanah dengan tegas digugurkan dan
dengan tegas pula dinyatakan bahwa Hukum Adatlah sebagai dasar bagi soal-soal agraria.
60
Pengakuan eksistensi hak ulayat hukum adat oleh UUPA merupakan hal yang wajar karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum
terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Konsep interaksi antar hukum, menurut pandangan Moores 1987,
61
“Positivisme hukum membentuk dasar ideologi hukum modern maka sistem hukumnya sudah pasti pula menerapkan pendekatan yang
sentralistis. Peranan negara dalam ranah tatanan normatif sangatlah mendasar, sehingga apa yang sebenarnya kita sebut dengan hukum dalam
prakteknya hanyalah hukum yang diproduksi oleh negara, sementara banyak tatanan normatif non negara lainnya berada di luar cakupan defenisi
hukum. Dengan kata lain, jika
hukum negara dan hukum lokal berinteraksi di dalam lokal sosial sama one social field diduga akan melahirkan empat kemungkinan. Kemungkinan dimaksud
diasumsikan sebagai integrasi integrate, yaitu penggabungan sebagian hukum Negara dan hukum lokal, inkoorporasi incoorporate yaitu penggabungan konflik
conflict yang tidak terjadi penggabungan sama sekali mengingat hukum negara dan hukum lokal dimaksud saling bertentangan, dan menghindar avoidance yaitu salah
satu hukum menghindari keberlakukan hukum yang lain.
posisi hukum negara sangat sentral, sementara posisi hukum lainnya hanyalah pinggiran. Pada titik ini, positivisme hukum
Austinian yang menganggap tidak ada yang melebihi ekspresi kehendak kekuasaan yang berdaulat, mengambil alih posisi”.
62
59
Shodiq Tri Yuliadi, “Hukum Tanah dan Tata Guna Tanah, Hak Milik Atas Tanah”, makalah, Purwokerto: Univ Muhammadiyah, 2010, hal.1.
60
Kosnoe, Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Surabaya: Airlangga University Press, 1979, hal.161.
61
Stardford W.Moorse and Gordon R.Woodman, Indigeneous Law and State, Dordrecht Holland: Faris Publications, 1987, hal.33.
62
Secara umum lihat John Austin, The Province of Yurisrudence Determined and the uses of the study of Yurisprudence, 3rd, London: weidenfeld and Nicholson, 1968 lihat pula Austin, Lecture on Yurisprudence or
the fhilosophy of positive law, London: John Murray, 1875, hal.14. maksudnya menurut aliran positivisme,
“ hukum” adalah peraturan yang dibuat oleh “penguasa” semacam lembaga legislatifDewan Perwakilan Rakyat,
yang berdaulat, yang bersifat tertulis bahkan terkodifikasi seperti undang-undang jadi bukan hukum yang tidak tertulis seperti Hukum Adat.
Universitas Sumatera Utara
Apapun bentuk kekuasaan itu, bisa dikatakan memiliki personalitas hukum masing-masing warga negara, dan dalam kenyataannya; memiliki hukum itu sendiri.
Namun ini adalah dilema definisi hukum itu sendiri, karena kriteria positivistik seperti itu secara otomatis akan menciptakan batasan yang tidak mungkin diterapkan pada
institusi hukum. Kalau validitas hukum hanya berasal dari negara maka semua tradisi normatif, kebiasaan, ajaran agama dan tatanan lainnya yang terdapat di dalam
masyarakat tentu akan dianggap berada di luar cakupan hukum.
Kenyataannya, hukum harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki validitas polisentris, validitas hukum tidak hanya terbatas pada tindakan, aturan dan
keputusan pengadilan di mana peran negara tidak bisa dihindari seperti biasa ditemukan dalam logika realisme hukum, tapi harus diperluas agar mencakup
norma-norma sosial apapun yang teramati, yang diciptakan dan dipertahankan di dalam sebuah komunitas atau dalam asosiasi apapun di tengah-tengah masyarakat.
Kalau masalahnya seperti itu, meski ini adalah fenomena universal, maka hukum bisa diejawantahkan dalam berbagai cara. Inilah yang bisa dipahami dari tokoh-tokoh
lama “aliran hukum polisentris” semisal Ehrlich, Malinowski, Gurvitch, Hoebel, Gluckman, Bohannan, Pospisil, dan lain-lain.
63
Secara sosiologis, hukum tidak tertulis senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, perlu dicatat asumsi-asumsi sebagai berikut.
Bagi mereka, meski dalam beberapa hal peran negara tidak bisa dihindari, hukum negara bukanlah satu-satunya “fakta
normatif” karena di sana ada hukum-hukum lainnya selain hukum negara modern.
1. Hukum tidak tertulis pasti ada karena hukum tertulis tidak akan mungkin
mengatur semua kebutuhan masyarakat yang perlu diatur dengan hukum. 2.
Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial yang cepat, peranan hukum tidak tertulis lebih menonjol dari hukum tertulis.
3. Yang menjadi masalah adalah mana yang merupakan hukum tidak tertulis yang
dianggap adil.
64
Pandangan pluralistik mengenai hukum semacam itu bukannya tidak logis, terutama jika dipandang dari perspektif budaya dan dimensi sosio-antropologis.
Pemahaman tentang hukum sebagai institusi budaya dan tradisi memungkinkan munculnya defenisi yang lebih bersifat open-ended, sehingga bisa, yaitu dari negara
dan non negara, sakral atau sekuler. Dengan begitu, istilah “hukum” dengan
63
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008, hal.7.
64
Rehngena Purba , Hukum Adat dalam Yurisprudensi, Majalah Hukum Nasional No. 2 Tahun 2006, ISSN 0216 – 0227, BPHN, Departemen Hukum dan HAM RI, hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
sendirinya bisa diterapkan kepada bermacam ragam norma sosial yang diproduksi oleh tatanan normatif, dan norma apapun dipertahankan dalam bidang-bidang
kehidupan masyarakat bisa dianggap mencerminkan manifestasi hukum. Akibatnya, kebenaran fenomena hukum tidak hanya dipahami dalam hal keragaman bentuknya,
tapi juga keragaman sumbernya. Agama dan adat kebiasaan serta institusi negara sendiri bisa sama-sama diterima sebagai produsen hukum, dan tatanan yang
dihasilkannya bisa berdampingan dalam interaksi dan kompetisi satu sama lain. Keadaan seperti ini juga membukakan kemungkinan terjadinya asimilasi dan
penggabungan antara elemen-elemen hukum itu melalui berbagai cara. Jadi hukum negara tidak akan bekerja efektif kalau tidak sesuai dengan konteks sosialnya.
Di samping teori “sistem hukum” itu teori yang dipergunakan sebagai alat pendekatan dalam kerangka mencari dan merumuskan penyelesaian sengketa hak atas
tanah adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional di Kabupaten Simalungun adalah teori yang dikemukakan oleh Griffith tentang “pluralisme hukum”.
65
Pluralisme adalah merupakan ciri hukum dalam masyarakat modern, yaitu adanya hukum negara di satu sisi, dan sisi lain adanya juga berbagai bentuk sistem
pengaturan yang beroperasi dalam masyarakat. Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimana hukum yang beraneka ragam itu secara bersama-sama
mengatur berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat sehari-hari.
66
Dalam konteks apa orang memilih aturan-aturan tertentu atau gabungan dari berbagai aturan-aturan tertentu dan dalam konteks apa memilih pola dan mekanisme
penyelesaian sengketa tertentu. Yang dimaksudkan dengan kemajemukan hukum legal pluralism adalah suatu situasi dimana dapat ditemukan dua atau lebih sistem
hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Sampai saat ini sudah banyak konsep dan atribut mengenai pluralisme hukum yang diajukan oleh para ahli. Para legal pluralist pada masa permulaan 1970 – an
mengajukan konsepsi pluralisme hukum yang meskipun agak bervariasi, namun pada dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-
sama berada dalam lapangan sosial yang sama.
67
Seperti yang dikemukakan oleh Sally Engle Merry, pluralisme hukum “is generally defined social field”, dan konsep
klasik dari Griffith, yang mangacu pada adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial “By legal pluralism mean the presence in a social field of more
than one legal order”.
68
Selanjutnya Griffith
69
65
Sulystyowati Irianto, Perempuan diantara Berbagai pilihan hukum studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta warisan melalui proses penyelesain sengketa, disertasi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal.57.
membedakan pula adanya dua macam pluralisme
hukum yaitu weak legal pluralism pluralisme hukum yang lemah, dan strong legal
66
Runtung, disertasi, Op Cit, hal. 25.
67
Ibid, hal.38.
68
Ibid
69
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pluralism pluralisme hukum yang kuat. Menurut Griffith pluralisme hukum yang lemah adalah bentuk lain dari sentralisme hukum, karena meskipun mengakui adanya
pluralisme hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sedangkan hukum-hukum yang lain disatukan dalam hirarki di bawah hukum negara. Pluralisme
hukum yang kuat menurut Giffith merupakan produk dari para ilmuan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang
terdapat di semua kelompok masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan
sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain.
70
Semua sistem hukum yang ada diakui dalam masyarakat dan beroperasi dalam kerangka hukum formal sistem
Hukum Barat, sistem Hukum Islam, sistem Hukum Adat. Penerapan hukum adat beserta lembaganya diakui selama tidak bertentangan dengan kebijakan publik dan
hukum alam
71
Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa secara teoritis Indonesia lebih cenderung menganut weak legal pluralism atau state law pluralism. Dengan catatan
bahwa pengakuan dan pengadopsian hukum adat tidak hanya ditempuh melalui perundang-undangan, tetapi juga melalui yurisprundensi.
dalam pengertian sempit ini state law pluralism, paling tidak dua sistem hukum yang masing-masing bersifat otonom, hidup berdampingan dan
berinteraksi dalam peristiwa-peristiwa tertentu, ini ditandai dengan dominasi hukum negara terhadap hukum adat.
72
Pandangan lain adalah teori Semi Autonomous Social Field SASF dari Sally Falk Moore.
Griffith memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat, antara lain teori
living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif, yang dikontraskan dengan hukum negara.
Sehubungan dengan teorinya tersebut Moore
73
“...merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dan untuk sebagian otonom itu dapat menghasilkan peraturan-peraturan dan adat kebiasaan
serta simbol-simbol yang berasal di dalam, tapi di lain pihak bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan
kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bidang sosial yang semi otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat
aturan-aturan dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya, tapi sekaligus juga berada dalam suatu kerangka
acuan sosial yang lebih luas yang terdapat dan memang dalam
70
Ibid.
71
J.C Bekker, JMT Labuschagne, LP Vorster, Introduction to legal Pluralism in South Africa, London: Butter Worths, 2003, hal.343.
72
Maria S.W Sumardjono, Tanah dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta: Penerbit Buku kompas, 2009, hal.57.
73
Sally Falk Moore, “Hukum dan Perubahan Sosial”, terjemahan Sulistyowati Irianto dkk, dalam T.O Ihromi Ed, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal.150.
Universitas Sumatera Utara
kenyataannya mempengaruhi dan menguasainya, kadang-kadang karena dorongan dari dalam, kadang-kadang atas kehendaknya sendiri.”
Konsep pluralisme hukum berkembang tidak lagi menonjolkan dikotomi
antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi lain. Pada tahap ini konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada “a variety of interacting,
competing normative orders each mutually influencing. The emergence and operation of each other’s rules, processes and institution “
74
Frans von Benda-Beckman
75
Pada tahap perkembangan ini akhir 1990-an terdapat variasi pandangan, yang ditunjukkan oleh adanya konsep pluralisme hukum yang tidak didasarkan pada
mapping yang dibuat sendiri, setiap melihatnya pada tatanan individu yang menjadi subjek dari pluralisme hukum tersebut.
salah seorang ahli yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan ini. dikatakan bahwa tidak cukup untuk sekedar
menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum. Namun yang lebih pantas adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman
hukum tersebut, bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut saling berinteraksi mempengaruhi satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem
hukum yang beragam itu secara bersama-sama dalam lapangan kajian tertentu.
76
“legal pluralisme in general may be defined as the state of affairs in which a category of social relations is within the field of operation of
two or more bodies of legal norms. Alternatively, if it is viewed not from above in the process of mapping the legal universe but rather from the
perspective of the individual subjek of law, legal pluralism may be said to exist whenever a person is subject to more than one body of law.”
Lihatlah bagaimana Gordon Woodman mengajukan konsepnya.
Jadi sebenarnya bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat terhadap tanahwilayah yang diambil alih pemerintah misalnya untuk
kawasan hutan atau pertambangan bisa dilihat sebagai perwujudan dari strong legal pluralism pluralisme hukum kuat.Pada sisi lainnya, aturan-aturan dari luar
masyarakat hukum adat kebijakan kehutanan, dan lain sebagainya.hukum negara mencoba memberlakukan diri dalam lapangan sosial tersebut secara bersamaan,
sehingga hal ini menggambarkan situasi Semi-Autonomous Social Fields SASF, yang oleh Falk Moore dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengatur diri sendiri
komunitas self regulating dalam lapangan sosial tertentu terlihat otonom. Namun, otonominya tidak bersifat total karena masih dipengaruhi oleh aturan atau hukum dari
74
Roderick A. Macdonald Kleinhans,Martha-Marie,”What is a Critical Legal Pluralism”, Canadian Journal of Law and Society,vol 12 no.2 1997, hal.25-27
75
Frans Von Benda Beckmann, “Some Comperative Generalizations about the Differential Use of State and Falk Institutions of Dispute Settlemet”, dalam Antony Allot dan Gordon Woodman ed, People’s Law and
State Law. The bellagio Papers, Dordrecht: Faris Publications, 1990, hal.2.
76
Ibid
Universitas Sumatera Utara
luar lapangan sosial tersebut.
77
Persinggungan antar hukum hukum adat dengan hukum negara bukan hanya melahirkan kontradiksi atau pertentangan, namun juga
melahirkan hubungan inkorporasi penggabungan sebagian aturan sebuah sistem hukum ke dalam sistem hukum lainnya dan penghindaran salah satu sistem hukum
menghindari keberlakuan sistem hukum lainnya.
78
Terjadinya pengakuan dan legimitasi masing-masing sebagai hukum, tetap melahirkan suatu hukum baru
reflective of law, dengan demikian efektiflah berlakunya hukum itu dalam satu sistem hukum yang memberikan rasa aman bagi semua masyarakat tanpa dirasakan
sifat diskriminatifnya,
79
“Gunther melihat dan menyebutnya sebagai refleksi baru, berkembang sebagai akibat krisis hukum dalam menampung perkembangan sosial.
Sehingga terbentuk integrasi dalam pertentangan bidang-bidang kehidupan yang ada. Lebih lanjut disebutkannya, untuk mencapai integrasi dalam
diferensiasi antara kehidupan hukum sosial dengan kehidupan hukum fungsional harus dibiarkan terrefleksi sebagai suatu yang tidak
dipertentangkan . ditumbuhkan sebagai bagian atau sub-sub sistem, untuk mengikat satu sistem hukum yang baru. Di sinilah fungsi hukum dapat
digunakan sebagai rasionalitas substantif sehingga menimbulkan rasionalitas refleksifnya hukum tersebut. Peranan refleksif ini akan
mendamaikan ketegangan yang melekat antara fungsi dan pelaksanaan. Sesuai dengan batas-batas internalnya”
bahkan membentuk satu dedikasi hukum yang tinggi, yakni kesediaan dan kerelaan untuk mematuhi hukum sepenuh hati dari masyarakatnya.
Dalam posisi seperti ini,
80
Diharapkan hasil dari refleksi itu akan melahirkan harmonisasi dalam pelaksanaan
81
. Harmonisasi menunjukkan perhatian seimbang untuk menciptakan koordinasi serta penyesuaian di antara dua posisi yang berbeda. Selanjutnya, kata
harmonisasi juga akan membawa penyesuaian dan pencocokan antara dua posisi yang berbeda, karena tidak ada kebutuhan untuk mewujudkan harmonisasi di antara posisi
yang sama
82
Ada empat alasan mengapa harmonisasi diperlukan, 1.
Karena keadaan darurat, 2.
Tidak wajar untuk meninggalkan undang-undang yang sudah ada,
77
Ibid
78
Ibid
79
M.Yamin, Perkembangan Hukum Adat di Indonesia: studi mengenai refleksi gadai tanah di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, disertasi, Medan: PPS.USU, 2002, hal.58.
80
Gunter Teubner, Dilemma of law in the Welfare State dalam Yamin, disertasi, ibid.
81
Utari MB, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-Sama Dengan Hukum Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syariah
dan Nasabahnya di Indonesia, disertasi, Medan: SPS.USU 2006, hal.30-34.
82
Mohammad Hashim Kamali. “Shariah and Civil law”, International Conference on Harmonisation of Shariah and Civil law, Kuala Lumpur 20-21 oktober 2003.
Universitas Sumatera Utara
3. Terdapat dua peraturan perundang-undangan mempunyai ruang lingkup
yang sangat luas, 4.
Beberapa aspek dari dua undang-undang yang berbeda mempunyai persamaan dari segi materi dan tata caranya.
83
Harmonisasi hukum bisa dicapai dalam tingkatan yang berbeda sedikitnya dengan 3 tiga cara
84
1. Adalah pengaruh dari aparatur yang ada yang melahirkan pendekatan antara dua
sistem hukum melalui perjanjian yang dibuat atau keputusan yang dikeluarkan di mana kedua sistem hukum yang berbeda tersebut dapat berjalan secara bersama-
sama. :
2. Bertambahnya kecenderungan peraturan perundang-undangan nasional yang lahir
sedikit atau banyak secara spontan mendekatkan satu sistem hukum dengan lainnya berdasarkan analisis perbandingan.
3. Harmonisasi juga bisa dicapai dengan melahirkan satu peraturan perundang-
undangan nasional yang secara efektif menyatukan materi dari 2 dua sistem hukum yang berbeda. Harmonisasi diterapkan untuk bidang-bidang hukum
khusus dan umum dari negara yang memiliki beberapa sistem hukum yang berbeda dengan tujuan untuk memfasilitasi transaksi-transaksi antara warga
negaranya atau penduduknya
85
Pengarang lain telah mendeskripsikan proses harmonisasi sebagai suatu proses yang mana dampak dari suatu tipe transaksi di dalam suatu sistem hukum
83
Muhammad Amanullah,”Approaches To Methodology of Harmonisation: Principles to Be Followed in Harmonisation of Shari’ah and Man-Made Law”, International Conference on Harmonisation of Shari’ah and
Civil Law 2, Kuala Lumpur 29-30 Juni 2005, hal.6.
84
Arthur Hartkamp ed., Towards an European Civil Code London: Kluwer Law International, 1998, hal.173-174.
85
Boodman Martin, The myth of Harmonization of Laws, Canadian Report on The Subjektif “Harmonization of Private Law Rules Between Comman and Civil Law Jurisdictions” Presented to the XIIIth
International Congress Comparative Law, Montreal Canada, August, 1990, hal.702.
Universitas Sumatera Utara
diletakkan sedekat mungkin terhadap dampak transaksi yang sejenis berdasarkan sistem hukum lain.
86
Selanjutnya dikatakan, bahwa harmonisasi menggambarkan suatu konsep yang fleksibel yang mewujudkan serangkaian tindakan yang mungkin beranekaragam
sesuai konteks yang mana suatu isu diberlakukan. Dalam suatu konteks, harmonisasi dapat berarti hukum yang relevan dari yurisdiksi yang terlibat dicirikan oleh suatu
tingkat yang tinggi kemiripannya dalam prinsip-prinsip dasar akan tetapi ketentuannya tidak detil. Hasilnya adalah bahwa seseorang terbiasa dengan hukum di
dalam satu yurisdiksi dapat dengan mudah memahami hukum dari yurisdiksi lain dan menyesuaikannya tanpa kesulitan.
87
Gagasan dasar dari harmonisasi adalah bahwa memungkinkan negara dari juridiksi yang berbeda berinteraksi terutama dalam transaksi yang terjadi secara
langsung di antara dua juridiksi.
88
Namun demikian perlu untuk diketahui bahwa ada suatu kondisi di mana harmonisasi tidak perlu dilakukan. Dalam keadaan di mana
undang-undang sudah tidak jelas lagi kabur maka harmonisasi tidak perlu dilakukan.
89
Berdasarkan kondisi di atas, maka teori harmonisasi hukum yang menyatakan bahwa harmonisasi bisa dicapai salah satunya dengan melihat pengaruh dari aparatur
yang ada yang melahirkan pendekatan antara dua sistem hukum melalui perjanjian yang dibuat atau keputusan yang dikeluarkan di mana kedua sistem hukum yang
berbeda tersebut dapat berjalan secara bersama-sama, dalam konteks di atas merupakan teori yang berkaitan erat untuk melihat telah terjadi suatu harmonisasi
pelaksanaan antara hukum adat dan hukum agraria mengenai pertanahan.
Dalam hal penguasaan atau menguasai tanah dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis, penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum
dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihak`i. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki
disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasai secara fisik atas tanah tersebut, tanah tidak dikuasai secara fisik, tapi oleh pihak lain tanpa hal ini pemilik
tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.
Dengan demikian pengertian atau istilah yang dikenal dalam masyarakat umum pada saat ini adalah penguasaan hak bawah dan atas. Penguasaan hak bawah
atas tanah adalah penguasan yuridis, artinya mempunyai bukti-bukti kepemilikan
86
Ibid, hal.703.
87
Ibid., hal.703-704.
88
www.ilpf.orgeventsjurisdictionpresentationsclifpr.htm. ”UNCITRAL and The Goal of Harmonization of law, diakses tanggal 2 agustus.and the Goal of Harmonization of Law”.diakses tanggal 2
agustus 2005.
89
Abdul Aziz Bari, “Harmonization of Laws:A Survey of The Issues, Approaches and Methodology Involved”, International Confreence of Harmonisation of Shari’ah and Civil Law 2, International Islamic
University Malyasia, Kuala Lumpur, 29-30 June 2005, hal.22.
Universitas Sumatera Utara
berupa sertifikat atau bukti lain. Kemudian juga ada yang dikuasai secara fisik adapula yang tidak dikuasai secara fisik, sedangkan penguasaan hak atas tanah adalah
penguasaan fisik, artinya seseorang menggarap atau menguasai tanah secara legal maupun ilegal.
2. Konsep
Konsepsikonsep adalah merupakan defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly
Lubis.
90
Kritis, Adapun defenisi operasional dari berbagai istilah tersebut di bawah ini
adalah sebagai berikut:
91
1. Adanya keterbukaan dari sistem hukum adat itu sendiri terhadap pengaruh luar.
bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisisan. Pandangan kritis dimaksudkan, berusaha melihat, menemukan kesalahan atau kekeliruan
terhadap sistem hukum pertanahan nasional maksudnya hasil penelitian ini menunjukkan, agar hukum adat dan hukum negara bisa bekerja sama dalam
pengaturan ‘pertanahan’ dalam rangka pembangunan hukum agraria yang beragam dalam kesatuan, dibutuhkan setidaknya empat kondisi yaitu :
2. Adanya pengakuan dari hukum negara terhadap eksistenssi hukum adat.
3. Adanya kemauan politik dari pemerintah untuk mengakomodasi nilai-nilai yang
terkandung dalam hukum adat dalam pelaksanaan pembangunan. 4.
Adanya desentralisasi pengaturan sumber daya agraria.
92
Sengketa terjadi karena terdapat situasi dimana satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan segera muncul ke permukaan
apabila terjadi conflict of interest. Pada umumnya di dalam kehidupan bermasyarakat ada beberapa cara menyelesaikan konflik yakni proses penyelesaian sengketa yang
ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui pengadilan litigasi dan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan non litigasi.
Penyelesaian melalui jalur pengadilan bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, maka penyelesaian di luar pengadilan justru yang diutamakan
adalah perdamaian dalam mengatasi sengketa yang terjadi di antara yang bersengketa dan bukan mencari pihak yang benar atau salah.
90
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Op.Cit., hal.80.
91
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2007, hal.601.
92
Kurnia Warman,,Hukum Agraria, op cit, hal.351.
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa non litigasi atau alternative yang lebih dikenal dengan istilh Alternatif Dispute Resolution ADR diatur dalam Undang-undang Nomor 9
tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan cara ini digolongkan dalam media non litigasi yaitu
merupakan konsep penyelesaian konflik atau sengketa yang kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan satu solusi terhadap konflik atau sengketa yang
bersifat win win solution. ADR dikembangkan oleh para praktisi hukum dan akademisi sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses pada
keadilan
93
Hak Atas Tanah Adat adalah hak-hak atas tanah menurut hukum adat. Terdapat 2 dua jenis hak atas tanah adat : hak komunal yaitu hak persekutuan
hukum adat beserta warganya dan hak perseorangan dari para warga persekutuan hukum adat. Hak persekutuan beserta warganya sebutannya bermacam-macam.
Istilah lainnya juga adalah hak purba. .
Di berbagai wilayah di Hindia Belanda terdapat lingkungan berbagai hak purba yang dipisahkan oleh wilayah tak bertuan yang luas. Di bagian lain terdapat
wilayah yang hampir tak ada sebidang pun yang termasuk dalam hak purba. Di satu tempat hak purba kuat di lain tempat lemah sesuai dengan kemajuan
dan kebebasan usaha pertanian penduduknya. Apabila hak purba sudah sangat lemah dengan sendirinya hak perorangan akan berkembang. Rumusannya : hak purba dan
hak perorangan berhubungan kembang-kempis, mulur-mungkret, desak-mendesak, batas-membatasi tiada henti. Apabila hak purba kuat maka hak perorangan lemah dan
sebaliknya
94
Hak atas tanah sebagai suatu hubungan hukum didefinisikan sebagai “hak atas permukaan bumi yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk
menggunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi” Pasal 4. Hal itu mengandung arti bahwa hak atas tanah itu di
samping memberikan wewenang juga membebankan kewajiban kepada pemegang haknya.
.
95
Hukum tanah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu
sistem.
96
Hukum tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.
97
93
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 4
94
Happy Warsito, Hak-hak Keagrariaan Adat dalam Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Globalisasi, disertasi, Semarang : Undip, 2005, hal. 124.
95
Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Op.Cit., hal.128.
96
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Op.Cit, hal.16.
97
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak
mempunyai buku-buku kepemilikan secara otentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis
98
Ciri-ciri Tanah Hukum Adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan
menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun temurun
masih berada di lokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat,
dan bahasa daerah sesuai dengan daerah yang ada di Negara Republik Indonesia. karena seperti kita ketahui hukum
adat mencerminkan kultur tradisional dan aspirasi mayoritas rakyatnya . Hukum ini berakar dalam perekonomian subsistensi serta kebijakan paternalistik, kebijakan yang
diarahkan pada pertalian kekeluargaan.
Hukum Tanah Adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti
otentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak agrarische eigendom, milik yasan, hak atas druwe atau hak atas druwe desa, pesini, Grant Sultan, landerijenbezitrecht,
altijddurende erfpacht, hak usaha atas tanah bekas partikelir, fatwa ahli waris, akte peralihan hak, dan surat segel di bawah tangan, dan bahkan ada yang telah
memperoleh sertifikat serta surat pajak hasil bumi Verponding Indonesia dan hak- hak lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hukum adat tersebut, serta masih diakui
secara internal maupun eksternal.
Selain hak-hak tersebut di atas masih terdapat hak-hak tanah adat sesuai dengan perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan sebagai berikut: Hak sawah
menurut hukum adat Aceh, Hak Atas Tanah di Batak yaitu Hak Atas Huta, Tanah Kesain dan Tanah Merimba, Hak Atas Tanah di Minangkabau, Hak Atas Tanah di
Bengkulu, Hak Atas Tanah di Sulawesi Utara, Hak Atas Tanah di Jawa yaitu Tanah Yasan, Tanah Pekulen, Tanah gogolan, Hak Gaduh atas tanah dan Petuk sebagai
bukti.
Ciri-ciri tanah hukum adat masa kini adalah tanah-tanah yang dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat adat dan masyarakat di daerah pedesaan
maupun di daerah perkotaan, sesuai dengan daerah, suku dan budaya hukumnya kemudian secara turun temurun atau telah berpindah tangan kepada orang lain dan
mempunyai bukti-bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau dikuasai sendiri dan atau dikuasai orangbadan hukum.
Secara ringkas ciri-ciri tanah hukum adat masa kini ialah: 1.
Ada masyarakat, Badan Hukum PemerintahSwasta. 2.
Masyarakat di daerah pedesaan atau perkotaan.
98
B. F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: PT. Toko
Universitas Sumatera Utara
3. Turun temurun atau telah berpindah tangan atau dialihkan.
4. Mempunyai bukti pemilikan berupa girik, verponding Indonesia, petuk, ketitir,
sertifikat, fatwa waris, penetapan pengadilan, hibah, akta peralihan, surat di bawah tangan, dan lain-lain.
5. Menguasai secara fisik, berupa Masjid, Kuil, Gereja, Pura, Candi, danau, patung,
makam, sawah, ladang, hutan, rumah adat, gedung, sungai, gunung dan lain-lain. Dengan demikian dari 2 dua jenis defenisi Hukum Adat, Masa Lampau dan
Hukum Adat Masa Kini, menggambarkan adanya perubahan mendasar sebagian besar dalam hukum yang hidup di masyarakat kaitannya dengan kepemilikan tanah
dari yang tidak tertulis menjadi tertulis. Maksud penulis di sini sebagian besar adalah karena dimungkinkan bukti kepemilikan atas sebidang tanah tersebut masih dikenal
atau dianut tanpa bukti tertulis. Misalnya di daerah Tapanuli Utara Suku Batak masih ditemukan bukti pemilikan tanah tersebut hanya disebutkan dalam perkawinan
seorang anak perempuan diberikan oleh orang tuanya, misalnya sebidang tanah sawah atau tanah darat kepada si wanita yang dinikahkan tanpa ada tertulis yang disebut
“Ulos nasora Buruk”secara letterlijk artinya ulos yang tidak pernah burukrusak tetapi secara faktual maksudnya tanah atau sawah.
Demikian juga apabila seorang wanita yang telah menikah dan mempunyai anak yang datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk beradat, maka anak cucu
dari wanita ini dapat juga diberikan semacam harta benda berupa sawah atau tanah darat, yang disebut juga “Ulos Nasora Buruk”. Jadi inilah salah satu penyebab wanita
di daerah Tapanuli Utara Suku Batak tidak lagi memperoleh harta warisan setelah orang tuanya meninggal. Namun demikian apabila masih ada wanita dari si pewaris
belum menikah maka si wanita tersebut juga akan memperoleh bagian dari kakak lelaki tertua dalam keluarganya, setelah ia menikah. Pengertian “Ulos Nasora Buruk”
ini adalah pemberian harta benda berupa tanah.
Sistem adalah : sesuatu yang terdiri atas sejumlah unsur atau komponen yang selalu saling memengaruhi dan saling terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa
asas.
99
St.Munadjat Danusaputro
100
Gunung Agung Tbk, 2005, hal.67.
menyatakan bahwa sistem merupakan satu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya, dengan
memiliki tujuan secara pasti.
99
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni,1991, hal.56.
Universitas Sumatera Utara
Hukum adalah suatu gejala yang dari dirinya sendiri menghendaki sistematisasi.
101
Jadi hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam mata sistem sistem hukum pertanahan nasional.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan
Dalam penelitian ini diawali dengan pendekatan normatif doctrinal, yaitu pendekatan yang mengacu pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum
lainnya yang bersifat sekunder. Ini terlihat pada Bab II yang mendeskripsikan status hukum hak atas tanah adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional.
Lahirnya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA memberikan harapan baru, angin segar bagi rakyat
Indonesia karena akan ada perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah di alam kemerdekaan yang lebih dikenal dengan program land reform ternyata gagal.
Diperparah lagi dengan dilahirkannya UU Sektoral antara lain UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Minerba yang mengakibatkan “permasalahan” seperti sengketa
tanah. Penelitian ini mengkritisi pandangan kritis terhadap Sistem Hukum Pertanahan Nasional antara lain tentang UU sektoral itu sendiri.
Pendekatan berikutnya adalah sejarah
102
“Penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sesuatu hal sampai menyusun laporannya
secara historis tentang kabupaten Simalungun serta Hak Atas Tanah Adat di kabupaten Simalungun, yang masih
merupakan hak milik huta maupun hak milik marga.
103
100
St.Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku V: Sektoral jilid 5 Dalam Pencemaran Lingkungan Melandasi Sistem Hukum Pencemaran, Bandung: Bina Cipta, cetakan kelima,1986, hal.6.
. Oleh karena itu guna mendapatkan hasil yang mempunyai nilai validitas yang tinggi serta dapat
101
Bruggink J.J.H, Rechts Reflecties, Grondbeggripen Uit de Rechtstheorie, Refleksi tentang Hukum, Terjemahan B. Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, cetakan ketiga, 1996, hal.137.
102
Frederick G.Kempin dalam Edy Ikhsan, Pergeseran Hak tanah komunal dalam Pluralisme Hukum dalam Perspektif Socio-legal, disertasi, Medan:FH USU, 2013, hal.32 mengatakan : ada 6 enam sebab kita
memerlukan kajian sejarah hukum. Pertama, untuk menunjukkan bahwa hukum yang kita hadapi sekarang ini tidaklah suatu yang unik Persoalan dasar adalah abadi. Umpanya, golongan minoritas selalu lemah bila
berhadapan dengan kekuasaan. Kedua, untuk meluruskan kesalahan anachronism yang diterapkan pada sejarah, artinya menerapkan metode, konsep dan nilai sekarang kepada masalah-masalah masa lalu. Mempelajari sejarah,
seseorang harus memberikan kritiknya dalam konteks waktu, dan harus berpikir dalam pola pendahulu kita, bukan berdasarkan pikiran kita sekarang. Ketiga, untuk menunjukkan kekuatan ekonomi dan kepentingan-kepentingan
komersil dalam pertumbuhan hukum. Ekonomi dan kebutuhan komersil tidak hanya mendorong perubahan hukum, tetapi perubahan hukum kemudian dapat menimbulkan konsekwensi ekonomi dan komersil. Keempat,
menunjukkan hukum adalah instrument dari standard etik yang dominan. Pergeseran etik dalam kenyataannya dijalankan oleh hukum, misalnya perbudakan bergeser kepada kebebasan, diskriminasi ke non diskriminasi dll.
Kelima, untuk menunjukkan bagaimana sulitnya mengadakan komrpomi antara stabilitas stability dan perubahan change. Dan yang terakhir, sejarah hukum menunjukkan adanya saling ketergantungan antara hak-hak hukum
dan prosedur hukum.
103
Cholid Narbuko, H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta : Bumi Aksara, 2002, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode penelitian yang tepat. Metode penelitian yang tepat juga diperlukan untuk memberikan pedoman serta
arah dalam mempelajari dan memahami objek yang diteliti, Sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan yang telah direncanakan.
Di dalam penelitian termasuk penelitian hukum, dikenal berbagai macam atau jenis dan tipe penelitian. Terjadinya perbedaan jenis penelitian itu berdasarkan sudut
pandang dan cara meninjaunya, dan pada umumnya suatu penelitian sosial termasuk penelitian hukum dapat ditinjau dari segi sifat, bentuk, tujuan dan penerapan dari
sudut disiplin ilmu. Penentuan jenis atau macam penelitian dipandang penting karena ada kaitan erat antara jenis penelitian itu dengan sistematika dan metode serta analisa
data yang harus dilakukan untuk setiap penelitian. Hal demikian perlu dilakukan guna mencapai nilai validitas data yang tinggi, baik data yang dikumpulkan maupun hasil
akhir penelitian yang dilakukan
104
Kemudian dilanjutkan dengan pendekatan yuridis empiris non doctrinal dalam melihat bagaimana penetapanpelaksanaannya melalui suatu penelitian lapangan yang
dilakukan secara sosiologis dengan wawancara, observasi sehingga diperoleh kejelasan tentang hal yang diteliti.
.
Data primer dalam rangka untuk melihat perilaku hukum dari praktek penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi.
Sebagai suatu penelitian hukum empiris yang menggunakan data primer, cara penelitian ini dapat juga mengikuti sebagian cara penelitian ilmu sosial. Lahirnya
pendekatan penelitian hukum empiris sosio legal research merupakan konsekuensi dari ilmu hukum yang memang bersifat terbuka, sehingga interaksi antara ilmu
hukum dengan ilmu-ilmu terutama ilmu sosial merupakan suatu keniscayaan
105
Metode pendekatan di atas digunakan karena mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berhubungan dengan cara penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi,
yang juga mencakup bidang yuridis yaitu peraturan-peraturan perundangan yang mengatur tata cara pelaksanaannya dan penyelesaian sengketa yang timbul.
.
Penyelesaian sengketa hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun diawali dengan Tipologi Sengketa Pertanahannya, faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan
sebagaimana tercantum dalam Bab III Studi ini.
2. Jenis, Sifat, dan Teknik Penelitian
Penulisan metodologi penelitian disertasi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan penelitian yuridis normatif, bahan atau materi penelitian, alat
penelitian dan analisis hasil. Penelitian disertasi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan hukum yuridis normatif. Metode penelitian kualitatif
dimaksudkan bahwa hasil analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan
104
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 1991, hal. 7
105
B.Z. Tamanaha, Realistic Socio Legal Theory : Pragmatizm and a Social Theory of Law, England : Clarendon Press Oxford University, 1999, hal. 129.
Universitas Sumatera Utara
angka-angka melainkan data yang dianalisis dilakukan secara mendalam dan holistik.
106
Selain hal-hal di atas, juga dilakukan penelitian yang bersifat yuridis empiris. Penelitian hukum normatif doctrinal dan yuridis empiris non-doctrinal adalah
untuk mengetahui atau mengenal tipologi sengketa pertanahan serta faktor-faktor penyebab sengketa hak atas tanah adat dan upaya penyelesaiannya serta kenyataan-
kenyataan yang berkembang di lapangan.
Jadi bahan atau materi penelitian disertasi ini diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Oleh karena penelitian ini lebih menekanan
sifat kualitatif dan gabungan yuridis normatif serta yuridis empiris, maka bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.
107
Data sekunder lainnya adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan berupa Putusan Pengadilan mengenai penyelesaian sengketa hak atas tanah adat,
penyelesaian Sengketa Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional BPN kabupaten Simalungun, Penyelesaian Sengketa Tanah secara musyawarah mufakat oleh
masyarakat adat kabupaten Simalungun dan dokumen-dokumen consesie.
Dari penelitian lapangan juga diperoleh data primer dari para responden dan informan penelitian yakni tokoh-tokoh adat, camat, lurah yang bertindak sebagai mediator
dalam penyelesaian sengketa tanah tersebut. Penguasaan bahasa daerah, bahasa Simalungun membuat peneliti lebih familiar akrab dengan para responden
masyarakat adat Simalungun, sehingga data yang diharapkan benar-benar bisa didapatkan lebih tepat dan akurat.
Lokasi penelitian disertasi ini adalah daerah kabupaten Simalungun, dua desa dari kab.Simalungun atas dan 2 dua desa dari kab.Simalungun bawah, karena
daerah ini memiliki frekuensi sengketa tanah, tetapi dalam perjalanan proses penelitian ditemukan 2 dua desa nagori dimana tidak pernah terjadi sengketa
tanah.
Dalam rangka penelitian lapangan, ada dua macam wawancara yang dilakukan dengan membedakan karakternya yakni informan dan responden. Informan
adalah orang yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan mengenai pandangan dan penyelesaian sengketa hak atas tanah adat.
108
Untuk menentukan sampel dalam penelitian ini dipergunakan teknik non probability sampling yaitu purposive sampling, artinya tidak semua populasi
dijadikan sampel melainkan dipilih beberapa subyek penelitian berdasarkan sifat-sifat tertentu dan tujuannya yang berhubungan dengan obyek penelitian.
106
Anton J Kuzel dalam Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Kajian Terhadap Pelaksanaan Jaminan Fidusia dalam Putusan Pengadilan di Sumatera Utara, disertasi, Medan : PPS
USU , 2002, hal.42-43.
107
Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:Rajawali Pers, 1990, hal.39.
108
Djariaman Damanik, salah seorang informan yang selalu berdiskusi tentang apa saja mengenai “Simalungun”. Beliau adalah salah seorang anak dari Raja Damanik, yang beristrikan anak boru dari Raja
Silampuyang. Djariaman Damanik juga hasil didikan Belanda Mr in the rechten, mantan ketua PT di Medan dan Denpasar.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan teknik tersebut, diperoleh subjek penelitian yang meliputi para pihakmasyarakat yang terlibat dalam sengketa tanah,Bagian kasus dan Penyelesaian
Sengketa Pertanahan : kantor BPN, Pengadilan Negeri Pematangsiantar, Pengadilan Negeri Simalungun, Camat, Lurah, tokoh-tokoh adat setempat.
Sebagai alat penelitian untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder dipakai studi dokumen, kuesioner dan wawancara. Data primer diperoleh dengan
menggunakan alat penelitian berupa kuesioner dan wawancara. Studi dokumen dilakukan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier serta data tentang penyelesaian sengketa. Bahan ataupun dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.
Kuesioner disusun dalam bentuk kombinasi yang bersifat tertutup dan terbuka, yang ditujukan kepada responden penelitian. Caranya daftar kuesioner
dikirimkan terlebih dahulu kepada responden dengan tujuan agar pertanyaan- pertanyaan dapat dijawab dengan benar. Wawancara dilakukan terhadap responden
dan informan. Untuk mempermudah mendapatkan data yang mendalam dipersiapkan pedoman wawancara. Melalui wawancara ini dapat dilengkapi dengan kekurangan
pengisian kuesioner.
Kegiatan akhir dari penelitian ini adalah melakukan tahap analisis hasil penelitian. Data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, tertier serta
didukung oleh data primer dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian lapangan dalam wujud angka hanya merupakan data pendukung dari data sekunder yang dituangkan dalam tabel frekuensi. Data kualitatif
dianalisis dengan menghubungkan kepada unsur-unsur yuridis dan ditafsirkan dengan menggunakan metode penafsiran ilmu hukum. Dari hasil analisis kualitatif dengan
metode yuridis normatif dan dukungan data kuantitatif tersebut, yang kemudian ditafsirkan menurut penafsiran ilmu hukum diharapkan dapat memberikan
pemecahan masalah penelitian yang akurat tentang perkembangan penyelesaian sengketa hak atas tanah adat.
G. Asumsi
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan asumsi sebagai berikut di bawah ini :
1. Status hukum hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun mengalami “ancaman
kepunahan” akibat politik hukum, maupun politik ekonomi oleh kebijakan Pemerintah yang menempatkan pemilik modal kuat sebagai aktor dominan dalam
pembangunan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
2. Fungsi sosial hak milik atas tanah yang dirumuskan dalam teks normatif-
positivistik ius constitutum dalam aktualisasinya berubah ke fungsi individual, maka fungsi sosial sebagai norma positif ius constitutum tidak pernah terealisasi
sebagai perilaku aktual dan bahkan memicu lahirnya sengketa, dengan kata lain “kebijakan” yang dibuat keliru memahami konsep “hak menguasai dari negara”
yang dianut UUPA. Artinya Negara bukan “memiliki” seperti tafsiran asas domein verklaring, tetapi hanya mengatur peruntukan penggunaan tanah semata-
mata demi kesejahteraan rakyatmasyarakat Indonesia. 3.
Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Kabupaten Simalungun pada umumnya, disamping penyelesaiannya melalui litigasi tapi juga non litigasi alternatif.
Namun tidak memberi kepastian hukum karena tidak dituangkan dalam suatu bukti tertulis bukti otentik, namun hanya memberikan ganti rugi, dengan dasar
kesepakatan antara kedua belah pihak musyawarah mufakat.
H. Sistematika Penulisan