Masyarakat Hukum Adat Simalungun

Batakspiegel hal. 28 dan juga “diadvokasi” betogen oleh banyak penulis- penulis van Dijk, hal. 196, menurut pendapat Kooreman, adalah tidak benar sama sekali J. Tideman. Perkara tanah Silampuyang dengan Sumatera Rubber Marihat, tahun 1919. Van Dijk berkata demikian: bahwa sebenarnya “raja-raja itulah” yang jadi pemilik dari hutan-hutan woeste gronden, juga dari semua tanah alle gronden. Sementara “de Batakspiegel” mengedepankan, bahwa sang raja malah mempunyai hak mencabut hak menguasai sawah dari seseorang, karena alasan kekurangan tanah, dan menyerahkannya kepada orang lain. Mungkin hal-hal serupa itu pernah terjadi, tetapi kejadian serupa itu tergolong sebagai “penyalahgunaan kekuasaan raja”. Adatrechtbundel IX mencatat dengan singkat dan tegas: Adat Batak asli murni tidak mengenal sama sekali hak-hak publik penguasaan atas tanah, kecuali yang dimiliki oleh Stam Clan Marga dan berdasarkan kuasanya itu dilaksanakan oleh “Partongah” Stamhoofd. Itulah sebabnya, maka setiap kaula atau warga persekutuan hukum adat bebas untuk memilih sebidang tanah di lingkungan hak ulayat persekutuan hukum bagi usaha pertaniannya, sedangkan seorang asing, harus terlebih dahulu meminta ijin dari “Partongah” kepala persekutuan hukum, dan kemudian membayar sejenis “bunga tanah” Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: penjualan tanah dilarang, dan jual gadai tanah hanya dapat ditolerir, namun jual gadai tersebut biasanya berujung pada jual beli tanah. Hak-hak “penduduk asli” sudah demikian menipis, sehingga orang yang menjual tanahnya karena pindah desa, tetap punya hak untuk menebus kembali tanahnya, dengan syarat bahwa ia tetap memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap desa walaupun ia sudah menjadi warga desa lain.

2. Masyarakat Hukum Adat Simalungun

Sebelum membicarakan apa yang disebut dengan hak atas tanah adat Simalungun perlu diketahui subjek 239 239 Pasal 2 ayat 2 PMNAKBPN No.51999, Kriteria adanya Hak Ulayat maka etnis Simalungun sebagai si Pukkah Huta Pakon si Mada Talun Pembuka Kampung dan Pemilik Tanah Ulayat, Syamsudin Manan Sinaga, Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Simalungun, Makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat Simalungun, Fakultas Hukum Universitas Simalungun dan Yayasan Pelpem GKPS, Pematangsiantar, 15 Desember 2012. dari hak tersebut yaitu masyarakat adat persekutuan hukum adat. Dikenal 2 konsep besar yang sering diterjemahkan sama yaitu Indigenous peoples pribumi maupun tribal peoples suku bangsa. Pada jaman Hindia Belanda terdapat istilah ‘inlanders’ yang diterjemahkan sebagai Bumi Putera berdasarkan Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling, dimuat dalam Staatsblad tahun 1855 Nomor 1 jo 2 yang membagi penduduk Hindia Belanda dalam golongan : Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putera. Penggolongan ini memperbaiki apa yang ada dalam Regelment op het beleid op Regering van Nederland Indie. Golongan pertama Universitas Sumatera Utara dan kedua tunduk pada sistem hukum Eropa sedangkan golongan Bumi Putera tunduk pada hukum adat mereka kecuali apabila diinginkan lain. Yang dimaksudkan adalah orang-orang setempat inlanders, natives, indigenous yang tunduk pada hukum adat mereka masing-masing. 240 Pada awalnya Perserikatan Bangsa Bangsa mengartikan indigenous people sebagai: “Descendents of those who inhabited in a country or a geographical region at the time when people of different cultures or ethnic region arrived, the new arrival later becoming dominant through conquest, occupation, settlement or other means” Yang dimaksudkan adalah kaum Indian di seluruh kawasan Amerika dari Kanada sampai Chili, Maori di Selandia Baru, Aborigin di Australia dan suku Sami di Eropa Utara Nordik. International Labour Organization mengadakan konvensi tentang indigenous people pada 1957, dan yang terakhir diperbaiki pada 1989 yang cakupannya lebi luas dari aspek ketenagakerjaan karena termasuk juga aspek-aspek : anti diskriminasi, perlindungan tradisi dan budaya. Pasal 1 1.b Konvensi International Labour Organization Nomor 169 Tahun 1989 241 masyarakat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai bangsa pribumi yang penetapannya didasarkan pada asal-usul keturunan mereka di antara penduduk lain yang mendiami suatu negara atau suatu wilayah geografis di mana suatu negara terletak, pada waktu terjadi penaklukan atau penjajahan atau penerapan batas-batas Negara yang baru tanpa menilik pada status hukum mereka, dan masih tetap memiliki sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka. merumuskan bahwa Indigenous People adalah: Hal ini diartikan bukan hanya kaum Indian, Maori, Aborigin dan Sami, namun juga tribal groups yang dalam konteks Indonesia termasuk ‘suku terasing’. Demikian juga pendapat dari Amnesti Internasional. Pasal 1 1.a Konvensi mengistilahkan tribal people sebagai : 240 Sandra Moniaga, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia:Tanggung Jawab Negara, Peran Institusi Nasional Masyarakat Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1998, hal.135. Kosakata masyarakat adat juga merupakan sebutan tandingan terhadap berbagai sebutan yang merendahkan, seperti suku terasing, masyarakat terbelakang, dan perambah hutan, yang digunakan secara resmi oleh pemerintah, Arianto Sangaji, Kritik terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia dalam Jamie S.Davidson, David Henley, Sandra Moniaga, Adat Dalam Politik Indonesia, Jakarta:KITLV, YOI, 2010, hal.347. 241 Sebutan masyarakat adat cenderung merupakan terjemahan dari indigenous people dan atau tribal people, sesungguhnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang dalam perbincangan internasional. ILO, sebuah badan antar pemerintahan dengan struktur tripartit yang terdiri atas perwakilan pemerintah, pengusaha-pengusaha nasional dan organisasi-organisasi buruh sudah menaruh perhatian dengan isu pekerja asli indigenous worker sejak 1920an. Sekitar tiga decade kemudian ILO memperkenalkan perjanjian pertama tentang “indigenous and tribal population” dikenal dengan konvensi ILO 107. Konvensi ini direvisi menjadi konvensi ILO 169 yang dikeluarkan pada tahun 1989 Kingsburry dalam Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniagra, Adat Dalam Politik Indonesia,ibid, hal. 348. Universitas Sumatera Utara “mereka yang berdiam di negara-negara merdeka di mana kondisi-kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di negara tersebut, dan yang statusnya diatur seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.” Dari rumusan ini jelas terdapat warga Indonesia yang dapat dikategorikan baik sebagai indigenous maupun tribal people. 242 Menurut peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Petanahan Nasional No.5 Tahun 1999 PMNAKBPN No.5 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1, angka 3, “Masyarakat Hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya, sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.” Ada 4 empat elemen yang membentuk masyarakat adat tersebut, yaitu : a. Sekelompok orang yang masih terikat dengan spiritualitas nilai-nilai sikap dan perilaku tertentu dan yang membedakan mereka sebagai kelompok sosial terhadap kelompok sosial yang lain. b. Wilayah hidup tertentu yang di dalamnya ada tanah, hutan, laut dan SDA lainnya yang bukan semata-mata diperlakukan sebagai barang produksi sehari-hari sumber mata pencaharian, tetapi menjadi bagian utuh dari sistem religi dan sosial budaya kelompok sosial tersebut. c. Praktek-praktek yang berbasis pada pengetahuan kearifan tradisional yang terus menerus diperkaya dikembangkan sesuai kebutuhan keberlanjutan hidup mereka. d. Aturan dan tata kepengurusan hidup bersama hukum dan kelembagaan adat yang berkembang sesuai dengan sistem nilai bersama yang diterima dan berlaku di dalam kelompok sosial tersebut. 243 Masyarakat hukum adat adat rechtsgemeenschap, Belanda oleh pakar-pakar hukum adat Belanda pada umumnya diterima secara umum atau kenyataan di hampir 242 Stephanus Djuweng dan Sandra Moniaga, Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk. Apakah Masih Punya Tempat di Indonesia? Kata Pengantar Konvensi International Labour Organization 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Berkembang, Jakarta:ELSAM dan LBBT, 1994, hal.135. 243 Abdon Nababan, Masyarakat Adat Dalam Disain Hubungan Pusat-Daerah : Peluang dan Tantangan untuk mengembalikan otonomi asli komunitas adat, dalam P.Panggabean, Pemberdayaan hak MAHUDAT Masyarakat Hukum Adat Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, Jakarta : Permata Aksara, 2011, hal.55. Pertanyaan Abdon tentang hal ini : lembaga mana yang sah mewakili masyarakat adat? Bagaimana mereka mendapatkan dan mempertahankan keabsahan tersebut? Bagaimana mereka menghasilkan keputusan yang mengikat ke dalam dan ke luar? Apakah pranata adat yang ada saat ini masih menyediakan norma dan mekanisme untuk menangani berbagai permasalahan yang muncul saat ini? Bagaimana keputusan-keputusan ini ditegakkan? Bagaimana posisi dan relasi komunitas adat ini dengan struktur administrasi Negara dan pihak-pihak luar non Negara seperti perusahaan atau Organisasi Non-Pemerintah ORNOP. Universitas Sumatera Utara seluruh Indonesia. Khususnya di daerah-daerah di mana hukum adat masih berlaku, dalam hal ini di Kabupaten Simalungun 244 Sejarah sebelum dan sesudah pemerintahan Belanda berkuasa di Simalungun, kita mengenal Sistem Harajaan dalam pemerintahan Zelfbesturende Landschappen = Swapraja Raja Marompat, yang kemudian dimekarkan pada tahun 1907 menjadi Raja Napitu: Siantar, Tanah Jawa, Pane, Dolok Silau, Raya, Poerba, dan Silimakuta. . Potret susunan pemerintahan tradisional di kerajaan-kerajaan itu boleh dikatakan sama, sebagai contoh sifatnya bertingkat dan berlapis: 245 Harajaan Siantar dengan pemekarannya : Harajaan Bandar dan Harajaan Sidamanik berasal dari satu leluhur Partiga-tiga Sipunjung, bermarga Damanik. Dalam hukum adat kedudukannya setaraf, juga mengenai pertanahan berkaitan dengan masyarakat hukum adatnya. Pembagian struktur pemerintahan Landschaap Siantar dan Distrik Partuanon Bandar dan Sidamanik di samping Siantar Proper, adalah ciptaan Pemerintahan Hindia Belanda dalam rangka uniformisasi restrukturisasi pemerintahan swapraja di Simalungun. Menurut hukum adat yang berlaku di Kerajaan Siantar, bertalian dengan “adatrecht-gemeenschappen”, terdapat Masyarakat Hukum adat yang bertingkat atau berlapis: 1. Lapis Atas: Urung Siantar 2. Lapis Tengah: Partuanon Sipolha, Silampuyang, Dolok Malela, dan lain-lain 3. Lapis Bawah: Huta Naga Huta, Siantar Urusan pertanahan secara internal, cukup diselesaikan oleh Pemerintahan Huta atau Desa, namun apabila ada urusannya dengan pihak luar bukan kaulawarga masyarakat hukum adat, maka diurus oleh lapis yang lebih tinggi, misalnya Pemerintahan Partuanon Lapis Tengah. Bila urusannya tidak terselesaikan oleh Pemerintahan Partuanon, maka akhirnya diangkat persoalannya pada masyarakat hukum adat Lapis Atas, yakni Kepala Urung Landschaap atau pemerintahannya. Dengan demikian, ada semacam “check and balances” di antara pemerintahan masyarakat hukum yang berlapis-lapis itu. Pertanyaan mungkin timbul lagi: “Kenapa di Simalungun terdapat masyarakat hukum yang berlapis itu?” Untuk dapat memberi penjelasan, menurut sejarah 244 Masyarakat Hukum Adat Simalungun adalah warga masyarakat asli Simalungun karena kesamaan tempat tinggal territorial dan atau atas dasar keturunan genealogis yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat Simalungun, Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Adat Simalungun, makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat Simalungun”, op cit. 245 Djariaman Damanik, Op Cit, hal.128. Universitas Sumatera Utara pertumbuhan atau perkembangan kerajaan Partuanon masing-masing Urung Landschaap. Misalnya, bagaimana sejarah pembentukan Harajaan Siantar, Bandar dan Sidamanik. Perlu diingat, Harajaan Siantar memiliki sejarah pembentukannya sendiri sejak asal mulanya sampai pada pemekarannya menjadi tiga urung landschaap: Siantar, Bandar, dan Sidamanik. 246 Partuanon Silampuyang yang bermarga Saragih, juga mempunyai sejarah pembentukannya yang khas. Partuanon Silampuyang menurut sejarahnya, lebih dahulu ada atau eksis, sebelum pembentukan atau pendirian Harajaan Siantar, kira- kira akhir abad XV. Untuk pengetahuan lebih jelas, baik untuk dibaca: “Verhandeling tanah partuanon Silampuyang yang diberikan menjadi erfpacht Perkebunan Marihat oleh Raja Siantar, Tuan Riahkadim Tuan Waldemar Damanik pada tahun 1919”. Pendirian Tuan Silampuyang bahwa, yang berhak menentukan status tanah dalam lingkaran masyarakat Hukum Adat Silampuyang adalah dirinya, bukan Raja Siantar semata-mata, akhirnya diakui atau dibenarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda dahulu. Keputusannya : Perkampungan Silampuyang dan tanah-tanah keperluan rakyatnya dikembalikan sebagian kepada Tuan Silampuyang. Pertimbangannya dapat diduga, karena di Kerajaan Siantar berlaku Masyarakat Hukum Adat berlapis. Jadi, berbeda masyarakat hukum adat di Siantar dengan di Tapanuli. Di Siantar, hampir sama dengan masyarakat hukum adat yang ada di Penyabungan dan di Sipirok, berbeda dengan masyarakat hukum adat di Toba, yang titik sentralnya heavy-nya berada di Huta atau Desa. Dalam perkembangan terakhir, kadang-kadang Huta pun tidak lagi merupakan Masyarakat Hukum Adat di Simalungun. Jadi yang tinggal kemudian adalah Masyarakat Hukum Partuanon Parbapaan dan masyarakat Hukum Urung landschaap atau Partuanon Banggal.

3. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun

Dokumen yang terkait

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pertanahan Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

1 129 118

Penyelesaian Sengketa oleh Komisi Informasi atas Informasi yang Diberikan BPOM Terkait Keselamatan Konsumen dalam Mengkonsumsi Suatu Produk

2 70 125

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG POSISINYA TERTUKAR Proses Penyelesaian Sengketa Data Fisik Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Posisinya Tertukar (Mediasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo).

1 10 17

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG POSISINYA TERTUKAR Proses Penyelesaian Sengketa Data Fisik Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Posisinya Tertukar (Mediasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo).

0 4 13

NASKAH PUBLIKASI Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

0 3 17

SKRIPSI Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

0 2 13

PENDAHULUAN Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

1 4 15

PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA PADANG DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HAK MILIK ATAS TANAH.

0 0 6

Eksistensi Pranata Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional

0 0 12