Seringkali penyelesaian sengketa secara administratif tersebut kurang memuaskan para pihak, sehingga oleh yang bersangkutan diajukan ke badan
peradilan. Permasalahan atau sengketa pertanahan menjadi salah satu dari kebijakan
bidang pertanahan yang memperoleh perhatian yang sungguh. Sebagaimana disinyalir oleh MPR bahwa pengelolaan pertanahan selama ini masih belum dapat
menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi konsiderans Menimbang huruf e Tap MPR No. IX MPR 2001. Oleh karena itu arah kebijakan pembaruan agrarian
meliputi pula penyelesaian sengketa pertanahan.
C. Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan
Timbulnya sengketa pertanahan secara umum disebabkan : 1.
Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal, domestik maupun internasional.
Ini menyebabkan masalah kesenjangan sosial. Pengambilalihan dan pengelolaan kebun seringkali diikuti pula dengan segala budaya kebun yang dibangun oleh
pemilik kebun lama, yaitu semata-mata mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Tetapi kurang memperhatikan masyarakat
sekelilingnya. Ini tercermin dari masih adanya indikasi besarnya gaji antara pucuk pimpinan kebun dengan buruh seperti langit dan bumi. Kebun lalu menjadi tempat
yang eksklusif dari lingkungan sekitarnya. Kebun lalu menjadi semacam “enqlave” kemewahan di tengah-tengah kemiskinan rakyat di sekitar kebun. Akibatnya tidak
ada rasa memiliki masyarakat di sekitar kebun terhadap keamanan dan lestarinya perkebunan tersebut. Penyakit yang dihadapi oleh hukum : penyebab sertifikat
yang dipermasalahkan adalah aparat pelaksana pemohon hak, juga lingkungan strategis seperti pemilikan tanah menurut adat yang jenis serta kriterianya belum
diterapkan, serta kultur masyarakat yang majemuk. Kondisi psikologis dan sosiologis seorang aparat yang terefleksi dalam wujud kemampuan dan integritas
serta komitmen, menentukan kualitas hasil kerja dan kinerjanya di sisi lain, aspek- aspek psikologis dari pemohon hak tanah, antara lain sifat jujur, rasa tanggung
jawab, taat hukum. Kebun dianggap kurang bermanfaat bagi rakyat sekitarnya, sehingga rakyat cepat terpancing melakukan tindakan yang dikategorikan
melanggar hukum, misalnya ada bagian tertentu dari areal kebun yang sengaja tidak ditanami untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air bebouwhihj
clausul, pemilik kebun sudah dianggap menelantarkan tanah dan hal ini menjadi alasan untuk menduduki tanah secara paksa.
2. Watak otoriternya negara dalam penyelesaian kasus agraria.
336
336
Menyangkut Masyarakat Adat, ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan : a.
Masyarakat adat selalu pada posisi minoritas dalam kehidupan politik suatu Negara.
Universitas Sumatera Utara
3. Berubahnya strategi dan orientasi pembangunan sumber-sumber daya agraria yang
dimulai dari strategi agraria yang populis membangun masyarakat sosialis menjadi strategi agraria yang kapitalistik dan diintegrasikannya masyarakat
Indonesia sebagai bagian dari sebuah perkembangan kapitalisme internasional. Proses kehilangan tanah dislandowning process yang terjadi karena kebutuhan
lahan untuk industri baik untuk pabrik maupun perumahan dan lapangan golf serta bentuk konversi peruntukan tanah lainnya terus berlanjut hingga sekarang
337
Akibatnya lapar tanah akan semakin akut akan terjadi penanaman sampai ke puncak- puncak gunung yang akan dengan susah payang dibendung oleh Pemerintah,
demikian ramalam E.de Vries.
338
Sengketa pertanahan di Sumatera Utara mempunyai karakteristik tersendiri dengan daerah lain. Penyebab terjadinya sengketa dan konflik pertanahan antara lain
faktor klasik, faktor yuridis-teknis, faktor politik, faktor historis, faktor reformasi, faktor spekulasi dan faktor instansi lain.
a. Faktor klasik adalah berhubungan dengan terbatasnya ketersediaan tanah sedang kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk semakin meningkat sehingga
kebutuhan akan tanah juga semakin meningkat, ketimpangan antara peningkatan kebutuhan manusia dengan keterbatasan ketersediaan akan tanah sering
menimbulkan benturan kepentingan di tengah-tengah masyarakat ditambah dengan adanya gejala “lapar tanah” yang menyebabkan banyak kelompok
menduduki tanah orang lain tanpa hak, yang pada gilirannya menimbulkan konflik dengan melibatkan massa yang besar.
b. Faktor yuridis-teknis berkaitan dengan belum terdaftarnya seluruh bidang tanah yang ada, misalnya untuk Sumatera Utara, bidang tanah yang terdaftar sampai
dengan data tahun 2006 baru sekitar 20,16, sehingga belum tercipta kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh
masyarakat. Oleh karena belum terciptanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, maka timbullah gejala penguasaan dan pengusahaan atas bidang-bidang
b. Penyelenggaraan Negara umumnya memiliki pandangan yang terlalu disederhanakan terhadap persoalan dengan
berbagai heteregonitas dan keberagaman budaya. c.
Tuntutan otonomi yang muncul dari kelompok-kelompok yang di-subordinasi dalam struktur kekuasaan d.
Konflik itu semakin intensif dan mengeras ketika Negara semakin otoriter, yang meminimalkan perbedaan pluralistis itu.
e. Dominasi satu etnis dalam masyarakat multietnis dalam praktek kekuasaan
f. Terjadi “kolonialisme domestik”, penjajahan oleh bangsa sendiri, Abdon Nababan, Kekuatan masyarakat adat
nusantara dalam konteks berbangsa dan bernegara di Negara kesatuan republik Indonesia, makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat SImalungun”, loc cit.
337
Achmad Sodiki, Empat Puluh Tahun Masalah Dasar Hukum Agraria, Pidato Penyuluhan, 17 Juni 2000, hal. 4.
338
E. De. Vries, Masalah-masalah Petani Jawa, terjemahan Ny. P.S Kusuma Sutjo, Jakarta Bhratara, 1972, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
tanah oleh pihak-pihak tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, seperti pendudukan atau pengklaiman atas suatu bidang tanah oleh seseorang kelompok
orang yang belum tentu berhak atas tanah yang bersangkutan.
c. Faktor politik terkait juga dengan permasalahan pertanahan yang muncul dari keadaan yang disebabkan oleh belum terciptanya kepastian hukum tersebut juga
adanya keterlibatan pihak Pemerintah Daerah dan DPRD setempat untuk menangani sengketa dan konflik pertanahan dengan menerbitkan kebijakan yang
cenderung memihak masyarakat, sebab yang terjadi kemudian adalah benturan kepentingan antara pihak masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang tidak
jarang diikuti dengan kepentingan lain di luar ketentuan hukum, seperti kepentingan politik dan juga tidak tertutup kemungkinan dengan melibatkan
kepentingan lain seperti ekonomi, sosial dan budaya, dan hankam
339
d. Faktor historis .
340
Dipihak lain perusahaan perkebunan Belanda mengalami perkembangan penguasaan tanahnya sejak masa pendudukan Jepang yang mentolerir
penggarapan rakyat pada areal perkebunan kemudian berlanjut pada zaman kemerdekaan dan berlangsung sampai tahun 1980-an. Oleh karena penggarapan
terus berlangsung, Pemerintah menerbitkan ordonantie Onrechmatige Occupatie van Gronden Stb. 1948-10, namun penggarapan tetap tidak dapat dibendung,
sehingga Pemerintah mengambil kebijakan membentuk Tim Khusus yang hasilnya mengeluarkan sebagian areal perkebunan guna dibagikan kepada rakyat
, berkaitan dengan sejarah perkebunan di daerah Simalungun ini khususnya, Sumatera Utara pada umumnya yang pada mulanya
tanah-tanah yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan perkebunan adalah bekas hak konsesi yang diberikan oleh para Raja Raja Silampuyang, Raja Siantar kepada
Pengusaha Perkebunan Eropah Belanda, Inggris. Berdasarkan akar sejarah tersebut, maka marak tuntutan dari Kerajaan Silampuyang dan daerah lain seperti Serdang
serta masyarakat organisasi adat Melayu yang mengklaim seluruh tanah bekas perkebunan milik Belanda seluas 250.000 Ha yang terbentang antara Sei Ular
Kabupaten Deli Serdang dan Sei Wampu Kabupaten Langkat disebut sebagai tanah adat ulayat etnisnya dan menuntut dikembalikan kepada mereka. Pembukaan
areal baru HGU seringkali memunculkan masalah reclaiming yakni tuntutan kembalinya hak adat kepada pemegang HGU. Seringkali memang batas tanah ulayat
dan tanah negara bebas tidak jelas, sebagaimana apa yang terjadi pada masyarakat Hindia Belanda Stb 1937-560. Ketidakpedulian terhadap kehidupan masyarakat
adat hanyalah akan menuai badai sengketa di kemudian hari.
339
Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Provinsi Sumatera Utara, Makalah pada Kuliah Bedah Kasus Hukum pada Fakultas Hukum UNPAB Medan, 27-6-2003,
hal. 1.
340
Kebijaksanaan Negara masa lalu. Eksistensi Hukum Adat dalam Pasal 131 IS tetap saja tidak melindungi hak-hak adat, seperti hak ulayat, sehingga timbul sengketa batas antara wilayah hukum adat dengan
wilayah konsesi perkebunan. Pemerintah dianggap melanggar wilayah hukum adat hak ulayat, Karl J.Pelzer, Planters against Peasant, Martinus Nijhoff,1982, memberikan gambaran bagaimana pengusahaan perkebunan
ordeneming yang dirintis Niewhuin-huis di Sumatera Utara memperoleh tanah konsesi dari Sultan Deli yang menjadi melanggar hak ulayat rakyat sehingga menimbulkan pemberontakan.
Universitas Sumatera Utara
diikuti dengan pemberian kartu tanda penggarapan. Tanah yang dibagikan tersebut tidak diikuti dengan pendaftaran tanahnya, belakangan dengan berbekal
kartu garapan yang lama, rakyat mengklaim tanah-tanah garapannya diambil alih kembali oleh perusahaan perkebunan, sehingga dituntut kembali melalui
Pemerintah.
e. Faktor reformasi, dalam hal ini sengketa dan konflik pertanahan pada areal perkebunan kembali mencuat ke permukaan seiring dengan era reformasi, pada
saat itu akibat dari krisis ekonomi telah mengakibatkan badan hukum yang menguasai memiliki tanah perkebunan belum dapat mempergunakan lahannya
sesuai dengan peruntukannya, sedangkan di sisi lain bertambahnya penduduk serta berkurangnya kesempatan kerja pada sektor-sektor industri juga diikuti
dengan timbulnya gejala “lapar tanah” di kalangan masyarakat yang tidak mempunyai lahan, ditambah lagi statemen Presiden RI Abdurahman Wahid Gus
Dur ketika itu yang menyatakan sebanyak 40 areal PTPN akan dibagikan kepada rakyat karena PTPN banyak merampas tanah rakyat, maka terjadilah
pendudukan dan penggarapan di atas tanah pihak lain dan kemudian diajukan penuntutan kembali reclaiming action atas tanah-tanah perkebunan yang
didasarkan berbagai alasan, seperti : 1 Mengklaim semua tanah perkebunan sebagai bagian dari tanah hak ulayat
etnisnya; 2 Mengaku bahwa dahulu pernah mempunyai hak atas tanah perkebunan tetapi
dikuasai kembali oleh pihak perkebunan tanahnya dilindungi undang-undang; 3 Menuntut ganti kerugian dari perusahaan perkebunan karena tanah masyarakat
masuk ke dalam areal perkebunan; 4 Alasan ekonomi sekedar memenuhi kebutuhan hidup;
5 Berspekulasi dengan menggarap tanah untuk mencari untung
341
Kritikan terhadap “Negara” RI
. Memperhatikan semakin maraknya sengketa pertanahan yang terjadi di
negeri tercinta Indonesia ini, Negara telah melakukan “pembiaran” terjadinya sengketa dimana-mana sampai memakan korban bisa Pemerintah, swasta atau
perseorangan hanya berorientasi kepada keberuntungan laba.
Sepanjang sejarahnya di Indonesia dan hasil studi yang dilakukan oleh banyak peneliti dan pengamat terkait dengan sengketa pertanahan, ada asumsi yang
menyebutkan “Negaralah” sesungguhnya yang menjadi sumber sengketa agraria karena Negara telah gagal menjadi mediator dan fasilitator pada saat terjadinya
pelepasan tanah, bahkan secara sistematis dan terencana berada di belakang pengusaha pada saat pelepasan tanah dengan menggunakan aparat bersenjata.
342
341
Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Sengketa Pertanahan dan Upaya Penyelesaiaannya di Provinsi Sumatera Utara, Makalah yang disampaikan kepada Kepala BPN RI pada saat kunjungan kerja ke
Sumatera Utara tanggal 12 November 2006, hal. 3.
342
Afrizal, berdasarkan studi menunjukkan, Negara merupakan faktor penting penyebab konflik agraria sementara solusi konflik ini sangat tergantung pula kepada Negara, Afrizal bertolak dari studi Bachniadi, Lucas,
Ruwiastuti, Fauzi, Stanley, Hafid, Nuh dan Collins, Sakai.
Universitas Sumatera Utara
Bukti sebagai akar permasalahan bermula dari tindakan negara dalam sengketa agraria adalah :
Di Riau, sengketa pertanahan antara Suku Sakai penghuni sah rimba raya dengan PT Arara Abadi, anak perusahaan Sinar Mas Grup. Karena tanah Riau yang
kaya minyak, suku Sakai yang harus menanggung penderitaan terusir dari tanah leluhurnya. Dalam hal ini Negara membantu PT Arara Abadi pada tahun 1990 untuk
melakukan pencaplokan atas tanah seluas 8000 ha untuk dijadikan sebagai kebun kayu ekaliptus dan akasia.
343
Di Papua, Kasus pengambilalihan tanah milik suku Komoro dan beberapa suku lainnya oleh PT Freeport Indonesia.
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir OKI, sebanyak 30 orang dikabarkan menjadi korban tewas dan sengketa lahan di Mesuji, Sumatera 2008-2011, 7 tujuh
orang tewas
344
Dalam bidang kehutanan, Abdon Nababan, Sekretaris Jendral Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN menjelaskan : “Negara dengan
seenaknya menganggap hutan adat sebagai hutan negara yang kemudian dijadikan areal pertambangan atau pembukaan lahan kelapa sawit.”
dalam pertikaian antara warga, petugas pengamanan internal PT Sumber Wangi Alam SWA di Mesuji, pada Kamis 21 April 2011, sekitar pukul
12.00 WIB.
Pemerintah justru membuat peraturan bahwa Tanah itu adalah milik Negara dan diperuntukkan bagi kelancaran pembangunan dalam beberapa aspek kehidupan,
salah satunya adalah penanaman modal asing yang mendiami tanah tersebut. Terjadinya penyebab sengketa pertanahan yang melahirkan protes yang
berkepanjangan adalah karena Negara sudah gagal memberikan perlindungan kepada rakyat dan gagal menjadi pihak yang seharusnya menjadi pelindung dan bukan
sebaliknya melakukan persekongkolan dengan pengusaha untuk merampas hak rakyat atas tanah mereka. Sejarah persengketaan di bidang agraria akan terus berlanjut
sepanjang negara tidak bisa membuat sebuah kebijakan yang berpihak kepada rakyat dengan melakukan perombakan hukum agraria secara revolusioner dan total bukan
parsial yang sebenarnya cenderung hanya menguntungkan kalangan elit negeri ini dan para pengusaha.
Kajian yang dilakukan Tim Penyusunan RUU Pengelolaan SA mencatat 5 lima karakteristik peraturan perundang-undangan sektoral, sebagai-berikut :
343
Konsep tanah ulayat dalam suku Sakai tidak diakui Negara kepemilikannya sebagai milik komunitas lokal Kompas 15 Desember 2007.
344
5 lima korban tewas dari pihak PT. SWA, 2 dua orang petani adalah warga sungai Sodung. Kelima korban dari PT SWA itu adalah : Hambali bin M. Tohrir Asisten Manager PT SWA, Hardi bin Rusan
Asisten Manager PT SWA, Sabar bin Ruswat Satpam, Saimun dan Agus Manto, 2 dua warga : Safei bin Mukmindah dan Dewa alias Macah, ibid.
Universitas Sumatera Utara
1. Orientasi pada eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan
SDA, digunakan sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa Negara.
2. Lebih berpihak pada pemodal besar
3. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara
sehingga bercorak sentralistik 4.
Pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antar sektor yang lemah.
5. Tidak mengatur perlindungan Hak Asasi Manusia HAM secara
aproporsional. Akibat keberadaan berbagai Undang-undang Sektoral yang inkonsisten dan
tumpang tindih itu adalah koordinasi yang lemah di tingkat pusat antara pusat dan daerah serta antar daerah, kerusakan dan kemunduran kualitas SDA. Ketidakadilan
berupa terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang hidupnya terutama tergantung pada akses terhadap SDA petani, masyarakat adat, dan lain-lain, serta timbulnya
konflik berkenaan dengan SDA.
Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan LandReform.
345
Pengertian mengenai land reform dapat diketahui dari beberapa definisi
buatan tentang land reform. Salah satu denifisi land reform sebagai berikut
346
Is a revolution which reforms the social system, a whole series of political, economic, and cultural revolutions, destroying the old and establishing the
new, with devision of the land as the central element. Division of the land is a result the peasant masses attain through political and economic strunggle;
it is aresult of peasant disctatorship; it is “the land returning to it’s original owner’, it is the peasants seizing the landlords, land by revolutionary
methods. :
Terjemahan :
345
Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui pengadilan khusus Pertanahan, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, hal.189
346
Emoise, Edwin, Landreform in China and North Vietnam, London:The University of North Carolina Press, 1983, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
Reformasi Tanah adalah revolusi yang mereformasi sistem sosial, keseluruhan revolusi politis, ekonomi dan budaya, menghancurkan yang
lama dan menetapkan yang baru, dengan pembagian tanah sebagai unsure pusatnya. Pembagian tanah adalah sebagai hasil dari pencapaian massa
petani melalui pergulatan politik dan ekonomi yang berupa hasil dari kediktatoran petani; berupa “tanah kembali ke pemilik asalnya”, berupa para
petani menyita para tuan tanah dengan cara metode revolusioner. Dalam Laporan Ketiga atas “Progress of Land Reform”, PBB menyebutkan
bahwa
347
Land Reform as an integrated of measures designed to eliminate obstracles to economic and social development arising out of defects in the agrarian
structure. :
Terjemahan : Reformasi Tanah sebagai suatu tindakan terpadu yang dirancang untuk
menghilangkan hambatan terhadap pembangunan sosial dan ekonomi yang timbul sebagai akibat dari kesalahan dalam struktur agraria.
Di dalam land reform terkandung unsur-unsur sebagai berikut :
348
1. Adanya pembagian tanah dan perombakan sistem persewaan tanah;
2. Merupakan upaya memberikan pemerataan dalam penghasilan dan kekayaan;
3. Merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui suatu
implementasi dari peraturan Pemerintah serta aktivitas legal dari program umum.
Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengatur pemilikan penguasaan tanah dengan sebaik-baiknya
melalui perangkat perundang-undangan yang telah ditetapkan. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan Land Reform tidaklah berjalan mulus. Tidak sedikit warga
masyarakat yang menentang kebijakan pembatasan kepemilikan tanah tersebut, karena rasa adil yang dirasakan dan diperjuangkan oleh Pemerintah bersama dengan
sejumlah petani tidaklah sama dengan keadilan yang dirasakan pemilik tanah. Pemilik tanah tersebut memperoleh tanah tersebut dari hasil jerih payahnya, tentu tidak rela
tanah miliknya itu diambil alih oleh pihak lain. Apalagi program landreform ditumpangi penguasa yang merangkap pengusaha kayu.
Sebagai kebijakan politik pemerintah, landreform bertujuan untuk merombak struktur penguasaan tanah secara feodal ini tidak dapat dikembangkan
dengan mulus karena adanya pemanfaatan oleh PKI untuk menggoyang stabilitas persatuan dan kesatuan RI sehingga muncul persepsi UUPA merupakan produk PKI.
347
Boedi Harsono, Sengketa Tanah Dewasa ini, akar permasalahan dan Penanggulangannya, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penyelesaiannya”, di Jakarta 20 Agustus
2003, hal. 4-5
348
Inayatullah, Landreform, APDAC Publication, Kuala Lumpur, 1980, hal.3.
Universitas Sumatera Utara
Semasa Orde Baru, kebijkan politik ekonomi, justru menimbulkan ketimpangan dan ketidakmerataan penguasaan tanah. Hal ini dibuktikan dengan
adanya penguasaan tanah berskala besar oleh sejumlah perusahaan dan pemilik modal besar.
D. Tipologi dan Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan di