Sipukka Huta, pembuka kampung adalah Ama Ni Marhilap dan keturunannya bernama Siharajaon Sinaga, karena itu keturunan langsungnya berhak atas tanah
tersebut. Artinya Pengadilan Tinggi Medan membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Simalungun di atas. Putusan Pengadilan Tinggi ini, yang memenangkan Amani Marhilap membuat Manatar Sinaga mengajukan kasasi.
Majelis Hakim Agung, yang terdiri dari H.Abdul Kadir Mappong, SH., ketua muda yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai ketua Majelis,
Dr.H.Abdurrahman,SH,MH dan H.M Zaharuddin Utama,SH Anggora, Selasa, 26 Februari 2008
a. Bahwa posita gugatan Penggugat ternyata tidak menyebutkan secara jelas
tentang luas dan batas-batas objek sengketa sehingga akan menyulitkan eksekusi di kemudian hari apabila telah ada putusan yang berkekuatan tetap atas objek
sengketa. Pertimbangan dan Putusan Hakim
b. Masih terdapat beberapa orang yang menguasai bagian-bagian dari objek
sengketa tidak diikutsertakan sebagai Tergugat, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan suatu pemeriksaan perkara yang tidak tuntas.
Atas pertimbangan itu, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan No.297PDT2004Pengadilan Tinggi Medan5 April 2005 yang
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.37Pdt.G2003 tanggal 6 Juli 2004, sehingga memenangkan Manatar Sinaga dkk.
2. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang
Kasus : Perbuatan Melawan Hukum Putusan Nomor : 26PdtG2006Pengadilan Negeri Simalungun
Pihak yang berperkara : Masyarakat Huta Bagasan, Desa Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun 85 orang yang diwakili kuasa hukum Sitor
Situmorang,SH,MH dkk melawan
a. PTPN IV
b. Pemerintah RI cq BPN RI cq BPN Sumatera Utara cq BPN Kabupaten
Simalungun Isunya sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Huta Bagasan, Desa Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun 85 orang yang diwakili kuasa hukum Advokat dari Law Office Sitor
Situmorang dan partners sebagai Penggugat, melawan : a.
PT Perkebunan Nusantara IV dahulu PTP VII Medan, sebagai Tergugat I b.
Pemerintah RI BPN RI cq dan BPN Kanwil Propinsi Sumatera Utara cq BPN Kabupaten Simalungun selanjutnya sebagai Tergugat II.
Objek gugatan adalah tanah Cadangan Perluasan Perkampungan dan Pertanian Huta Bagasan Nagori Silampuyang yang terletak di Huta Bagasan Desa
Silampuyang Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara seluas 225 ha dengan batas-batas sebagai berikut
431
Sebelah Utara : dimulai dari Patok I memanjang sampai Patok II sampai Patok III dibatasi dengan Tanah Sawah Pak Supar areal perkebunan Kelapa
Sawit Afdeling II PTPN IV Jalan Desa Silampuyang dan Sungai Bah Arabi,
:
Sebelah Timur : dimulai dari Patok III sampai Patok IV dibatasi dengan Sungai Bah Arabi, areal perkebunan Kelapa Sawit Afdeling II PTPN IV areal
Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III PTPN IV dan Sungai Bah Hilang dikenal masyarakat Waliman sebagai daerah Sitahuak
Sebelah Selatan : dimulai dari Patok IV sampai daerah irigasi DAM dibatasi dengan Sungai Bah Hilang, Tanah Pak Bero, Tanah Pak Untung, Tanah Pak
Waliman, Tanah Pak Tamin, Tanah Pak Sairin, Tanah Pak Suratman, Tanah Pak Purba, Tanah Pak Amron Batubara, Tanah
Pak Hermanto, Tanah Pak Saliwon, Tanah Pak Satia Girsang, Tanah Pak Ginting, Tanah Pak Mangatar Saragih, Tanah Pak
Sarpen, Tanah Pak Salmon, Tanah Asam Damanik, Tanah Pak Kasiran, Tanah Alm. Pak Torik Situmorang, Tanah Pak Syarifuddin
Manurung dan Tanah Pak Asam Damanik,
Sebelah Barat : dimulai dari daerah irigasi DAM sampai Patok I dibatasi dengan Tanah Alm. Pak Amat Lontong, Tanah Pak Zaiman, Tanah Pak
Manan, Rumah Pak Jimin, Tanah Pak Narsim dan Tanah Pak Turino.
Selanjutnya disebut TANAH OBJEK GUGATAN
432
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun, pada hari Selasa, tanggal 13 Maret 2007 yang terdiri dari L.Sipayung,SH ketua majelis, Mangapul Manalu,SH dan
Muhammad Hibrian,SH Hakim Anggota memberi penimbangan sebagai berikut: Pertimbangan dan Putusan Hakim
431
Putusan Pengadilan Tinggi No. 264PDT2007PT-MDN, hal. 2
432
Putusan Nomor 26PdtG2006P.N Sim, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
a. Tentang tempat kedudukan hukum pengajuan gugatan berbeda dengan apa
dimaksud dalam surat kuasa yang telah dilegalisir. Setelah mempelajari isi Surat Kuasa Khusus tanggal 23 Agustus 2006 tersebut,
Majelis Hakim berpendapat bahwa yang dimaksud dalam penulisan Pengadilan Negeri Siantar tersebut adalah Pengadilan Negeri Simalungun, sebab dalam isi
surat kuasa khusus tersebut disebutkan bahwa tanah terperkara terletak di Nagori Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, sesuai dengan asas
berperkara terhadap barang tidak bergerak harus diajukan di Pengadilan Negeri dimana benda tersebut terletak Asas forum rei sitae
Penulisan kata di Pengadilan Negeri Siantar, menurut kemat Majelis Hakim “clerical error” kesalahan redaksional yang tidak harus menimbulkan gugatan
kabur atau batal, karena gugatan justru diajukan oleh para penggugat di Pengadilan Negeri Simalungun bukan di Pengadilan Negeri Siantar, sebab tidak
ada Pengadilan Negeri yang bernama Siantar.
b. Tentang Gugatan Penggugat tidak jelas atau kabur obscuur libel
Pencantuman nama-nama Para Penggugat sebanyak 85 orang lengkap dengan tempat tinggal domisili sebagaimana dalam Surat Kuasa Khusus tanggal 23
Agustus 2006, Menurut Majelis Hakim sudah memenuhi syarat formal subjek hukum suatu gugatan, karena sepanjang pemeriksaan persidangan diperoleh fakta
hukum bahwa 85 orang yang disebut dalam Surat Kuasa Khusus tersebut, benar bertempat tinggal di Huta Bagasan dan benar telah memberikan kuasa kepada
kuasa Para Penggugat untuk mewakili kepentingan mereka dalam perkara perdata di persidangan dan tidak dapat kekeliruan subjek hukum error in persona,
dalam surat gugatan aquo.
Posita gugatan dengan petitum gugatan tidak saling mendukung atau bertentangan, maka gugatan menjadi kabur obscuur libel sehingga oleh
karenanya gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam Posita gugatan disebutkan atas hak kepemilikan Para Penggugat atas
tanah objek perkara berdasarkan terjemahan SK dari daftar SK Gouvenour der Oost Kust van Sumatera No.273BE.3, 30 Agustus 1928, 234, 4 ha sedangkan
dalam Petitum gugatan bukti-bukti Surat Penggugat P1 sampai dengan P24, tidak ada yang mendukung tentang adanya hak milik penggugat sebanyak 85 orang
tersebut. Sehingga Majelis Hakim memutuskan gugatan Para Penggugat tidak dapat
diterima Niet Ontvanhelijke Voklaard dan menghukumnya membayar biaya perkara.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan yang terdiri dari
I.AJLuhulima,SH.MH Ketua, Elsa Mutiara Napitupulu,SH dan Aspar Siagian,SH Anggota, pada hari Senin, 11 Februari 2008 dengan Putusan
No.264PDT2007Pengadilan Tinggi Medan 19 September 2007 mengadili :
Universitas Sumatera Utara
menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun tanggal 13 Maret 2007 No.26Pdt.G2006Pengadilan Negeri Simalungun, karena putusannya sudah tepat
dan benar menurut hukum. Dari kasus ini dapat diidentifikasi sengketa ini adalah :
Awalnya sengketa hak ulayat hak Partuanon Silampuyang antara rakyat Silampuyang dengan Perkebunan. Peralihan hak-hak perkebunan asing dahulu kepada
PTPN-IV. Faktor Penyebab Sengketa Pertanahan adalah : faktor historis, bahwa pada tahun
1975, DPR-GR berjanji untuk memberikan lahan perkebunan seluas 225 Ha kepada rakyat. Apakah ini sudah disetujui pihak perkebunan? Dimana lokasinya, kepada
siapa dijanjikan DPR-GR itu, bagaimana realisasinya, siapa saja rakyat yang menerima janji tersebut ? Dalam Korte Verklaring Perjanjian Pendek yang dibuat
oleh Belanda dan pembesar-pembesar adat di Kerajaan Siantar, Bandar, dan Sidamanik, antara sekian banyak Partuanon yang hadir dalam pertemuan khusus itu,
tercantum nama Tuan Djaingat Tuan van Silampuyang Oktober 1907
433
Juga penyebabnya adalah faktor politik ; Titik puncak penetrasi perkebunan asing ke daerah Simalungun adalah pada tanggal 1
Juli 1920 dimana pemerintah Hindia Belanda menetapkan Simalungun menjadi bagian dari Cultuurgebied Oostkust van Sumatra Simalungun dimasukkan menjadi
bagian dari daerah kultur perkebunan asing, yang berarti kepentingan perkebunan asing dinomorsatukan, sedang kepentingan rakyat raja-raja tradisional
dinomorduakan. Inilah politik kolonial murni yang telah dialami oleh daerah dan rakyat Simalungun mulai tahun 1920 sampai tahun 1943 masuknya pemerintahan
militer Jepang ke Sumatera Timur. Upaya penyelesaiannya terhadap faktor historis :
Terhadap penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan yang timbul karena faktor historis, terutama dengan adanya tuntutan rakyat Silampuyang untuk
pengembalian seluruh tanah perkebunan yang diklaim sebagai tanah ulayatnya, secara yuridis, tidak dapat dipenuhi, karena unsur-unsur dari ada tidaknya hak ulayat
sebagaimana diatur dalam PMNA Ka BPN Nomor 5 tahun 1999 yakni adanya subyek, obyek dan tatanan hukum, sama sekali tidak terpenuhi lagi, kecuali
diterbitkan aturan hukum yang dapat mengakomodir tuntutan masyarakat organisasi adat Silampuyang tersebut. Demikian juga terhadap tuntutan masyarakat yang
didasarkan pada alas hak berupa bukti garapan di masa lalu yang dituangkan baik dalam kartu penggarap maupun putusan pejabat terdahulu, tidak demikian saja dapat
dipenuhi karena harus terlebih dahulu dilakukan penelusuran jejak sejarahnya dan juga dicari data pembandingnya. Apalagi dalam beberapa kasus banyak ditemukan
indikasi pemalsuan dokumen dan selama ini tidak pernah dilakukan penelitian yang diikuti dengan tindakan tegas apabila terbukti dilakukan tindak pidana pemalsuan
dokumen.
433
Djariaman Damanik, Berpikir, Op Cit, hal. 102
.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan yang timbul karena faktor politik dilakukan dengan cara kompromi dengan mengakomodir kepentingan
di luar kepentingan hukum, dengan maksud penyelesaian masalah tersebut dapat menciptakan stabilitas atau sekedar mengurangi benturan kepentingan dalam
masyarakat pada masa itu, sehingga masalah pertanahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara tuntas, karena tujuan penyelesaian dimaksud bukan dalam rangka
kepastian hukum dan menuntaskan permasalahan, tetapi hanya untuk tujuan “aman” di lingkungan kekuasaannya
434
Penyelesaian masalah pertanahan yang dilakukan secara politik sering ditemukan dalam penanganan masalah pertanahan yang terjadi pada areal
perkebunan, misalnya pemberian legalisasi kepada para penggarap di masa lalu telah menjadi pendorong dilakukannya penjarahan tanah perkebunan oleh masyarakat
dengan berbagai alasan . Misalnya saja Pemerintah mengakomodir tuntutan
masyarakat yang menggunakan alas hak yang pernah diterbitkan Pemerintah di masa lalu tanpa melakukan penegakan hukum secara konsekwen, padahal ada indikasi
kelompok masyarakat melakukan memanipulasi dokumen, namun tidak ada tindakan hukum secara tegas.
435
, sehingga tidak jarang dengan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah melalui pendekatan politik dalam menyelesaikan masalah
pertanahan justru menjadi pemicu terjadinya masalah pertanahan baru dan keadaan ketidakpastian hukum, selanjutnya dapat berdampak pada terganggunya stabilitas di
Daerah bahkan stabilitas Nasional
436
.
3 . Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Kebun Bangun Kasus
Tanjung Pinggir, klaim Pelepasan Eks HGU PTPN-III Kebun Bangun Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Kasus Putusan No.40Pdt.G2001PN.Sim, Putusan No.199PDT2002PT.MDN, Putusan
MA RI No.515 K Pdt2003, diputuskan Kamis , 3 Februari 2005. :
Sengketa tanah antara masyarakat penduduk Kecamatan Siantar Martoba Kota Pematang Siantar dengan PTPN –III Kebun Bangun.
Kasus Posisi
Dasar Permohonan Pelepasan
434
Muhammad Yamin, Paradigma Reformasi Peraturan Perundang-undangan Pertanahan Agraria, Penyelesaian Sengketa Pertanahan Serta Kelembagaan, opini pada Harian Analisa Medan, terbitan tanggal 23
Maret 2005, hal. 6
.
435
Junaidi D Kamal, Konflik Tanah Perkebunan Hambat Investasi Sumut, Harian Waspada Medan, 18 Januari 2005, hal. 14.
436
Terganggunya stabilitas nasional akibat adanya masalah pertanahan yang tidak diselesaikan melalui penegakan hukum dan terlalu dipengaruhi oleh faktor politik terbukti dengan turunnya Kabinet Wilopo Tahun
1953 yang disebabkan tidak tuntasnya masalah pembagian tanah garapan pada areal perkebunan di Sumatera Utara Karl. J. Felzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1991, hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
a. Tuntutan Pengembangan wilayah Kota Pematangsiantar sesuai dengan Visi dan
Misi Walikota Pematangsiantar Tahun 2006 -2010 untuk menjadikan Kota Pematangsiantar sebagai Kota yang “Mandiri” menjadi prioritas yang mendesak
dalam rangka mengakomodir pesatnya pembangunan dalam berbagai sektor melalui perluasan areal perkotaan.
b. Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar No.7 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar, bahwa arahan pemanfaatan areal PTPN- III Kebun Bangun seluas ± 700 Ha yang berada di Kecamatan Siantar Martoba
Kota Pematangsiantar yaitu untuk Perumahan, Perkantoran dan jasa serta Fasilitas Umum lainnya.
c. Bahwa areal PTPN-III Kebun Bangun yang seluas ± 700 Ha, dimana seluas
573,41 Ha tidak lagi diperpanjang HGU-nya berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPN No 102HGUBPN2005 Tanggal 8 Juli 2005
Syarat Pelepasan Asset a.
Berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPN No 102HGUBPN2005 Tanggal 8 Juli 2005 bahwa sebahagian yang termasuk dalam Rencana Umum Tata Ruang
Wilayah RUTRW Kota Pematangsiantar seluas 573,41 Ha tidak diperpanjang lagi HGU-nya yang langsung dikuasai oleh negara dan selanjutnya tanah
tersebut dapat dimohon dengan sesuatu hak sesuai dengan RUTRW setempat. Hal ini telah diakomodir dengan dikeluarkannya Perda Kota Pematangsiantar
No.7 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar
Universitas Sumatera Utara
yang menegaskan bahwa peruntukan areal PTPN-lll kebun Bangun adalah untuk Perumahan, Perkantoran dan jasa serta Fasilitas Umum lainnya
b. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, setelah
memperoleh izin pelepasan asset dari menteri yang berwenang Pada DiktumKedua Keputusan BPN No 102HGUBPN2005 Tanggal 8 Juli 2005
Hal ini telah diakomodir setelah Pemerintah Kota Pematangsiantar beberapa kali menyurati Kementerian Negara BUMN dengan Nomor Surat : No 5905974
Tanggal 6 Oktober 2005, No 5916292 Tanggal 18 Oktober 2005, No 5905431VII2006 Tanggal 25 Juli 2006,No 5901082 Tanggal 14 Februari2007
dan NO 5914246Vll2007. Permasalahan Yang Dihadapi
a. Tahun 1998 masyarakat menuntut pengembalian tanah mereka yang telah
dinasionalisasikan oleh negara dengan memasang spanduk-spanduk dan plang di atas areal HGU, dan akibat hal tersebut Adm Kebun Bangun memohon bantuan
untuk pengamanan kepada Walikota dan Kapolres Simalungun, dan sebagai tindak lanjutnya dibentuklah Tim Terpadu Propinsi.
b. Tahun 1999 dilakukanlah rapat terpadu di Kantor Gubernur oleh Tim Terpadu
dan oleh DPRD Kota Pematangsiantar juga melakukan dengar pendapat dengan pihak Kebun Bangun.
c. Tahun 2000 dibentuk Tim Penanganan Masalah Pertanahan, dan Tahun 2001
oleh Tim Penanganan Masalah Pertanahan dibentuk lagi sub Tim l dan hasil rapat Sub Tim l memberikan rekomendasi antara lain mengakomodir tuntutan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat sepanjang memiliki alas hak dan bukti-bukti yang kuat atas tanah tersebut. Namun masyarakat tidak menerima dan menuntut terus agar areal
dikembalikan kepada mereka, dan oleh Muspida Plus areal tersebut dinyatakan stanvast. Setelah dinyatakan standvast masyarakat penggarap melakukan
perlawanan hukum dengan menuntut ke Pengadilan Tinggi. d.
Tahun 2002 Pemerintah Kota Pematangsiantar membentuk Sub Tim ll yang melibatkan lebih banyak unsur masyarakat dengan hasil mengeluarkan
rekomendasi antara lain mengakomodir tuntutan masyarakat sepanjang memiliki alas hak dan bukti-bukti yang kuat atas areal tersebut, namun masyarakat tetap
tidak menerima dan terus melakukan kegiatan penggarapan dan bahkan menimbulkan konflik horizontal.
e. Tahun 2003 masyarakat penggarap melakukan banding ke Mahkamah Agung
dengan No. 515 KPdt2003,dan oleh Mahkamah Agung pada Tanggal 3 Februari 2005 standvast yang dibuat oleh Muspida Plus dicabut. Dengan
dicabutnya standvast tersebut, masyarakat menggangap bahwa areal tersebut menjadi hak mereka.
f. Tanggal 24 Juli 2007 Muspida Kota Pematangsiantar mengadakan pertemuan
dengan mengeluarkan kesimpulan bahwa masyarakat penggarap bukan sebagai pemilik hak atas tanah; perlu diadakan sosialisasi kepada kelompok-kelompok
penggarap melalui mass media maupun pertemuan-pertemuan langsung, agar Camat dan lurah tidak mensahkan atau menandatangani dokumen-dokumen yang
menyangkut tanah garapan sebelum ada putusan yang sah atas kepemilikan
Universitas Sumatera Utara
tanah; dan dihimbau kepada seluruh elemen masyarakat yang berada di areal tanah garapan untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun pada hari Senin tanggal 18 Februari 2002 yang terdiri dari D.D Siahaan,SH Ketua, R.Simorangkir,SH dan D.G
Tobing,SH Anggota mengadili perkara perdata pada tingkat I antara Kasmen Sinaga dkk 26 melawan
Pertimbangan dan Putusan Hakim
a. Pemerintah RI cq Mendagri Jakarta cq Gubernur Sumatera Utara cq
Walikota Pematang Siantar b.
Pemerintah RI cq Mendagri Jakarta cq Gubernur Sumatera Utara cq Walikota Pematang Siantar cq Sekda Pematang Siantar
c. Pemerintah Kodam IBB dan lainnya
Mengabulkan sebagian gugatan Penggugat dan menyatakan standvaast terhadap objek sengketa yang terletak di blok 28,29,30,31,37,46 dan 47.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan yang terdiri dari Amir Syarifuddin Harahap,SH Ketua, Achmad Dahlan,SH dan Roosdiana AR,SH Anggota,
tanggal 12 Juni 2002 menguatkan
Mahkamah Agung oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Prof.Dr.H.Muchsin,SH Ketua, Prof.Dr.Valerine.Jl.Kriethoff, SH,MA dan
Andar Purba,SH Anggota. putusan Pengadilan Negeri Tingkat I
sebelumnya.
4. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat dan Sengketa tanah yang berkembang antara Masyarakat dengan perkebunan Bandar Betsy
Perkebunan Bandar Betsy dimasukkan dalam daerah PTPN-IV Gunung Pamela yang terletak antara Tebing Tinggi-Pematang Siantar sebelah kiri pasar hitam
±15 km dari pinggir jalan besar, sebelah kiri menuju Pematang Siantar. Perkebunan ini sekarang termasuk dalam PTPN-III. Rakyat yang mendiami kampung-kampung
sekitar areal perkebunan sejak tahun 1947, sebagian besar terdiri dari suku Jawa yang merupakan basis dari Barisan Tani Indonesia BTI dan Pemuda Rakyat PR
merupakan ormas dari PKI. Orang-orang ini telah menggarap areal perkebunan sejak zaman Jepang 1943. Setelah perkebunan Bandar Betsy dinasionalisasi pada tahun
1957, pihak PPN telah melakukan pembersihan areal perkebunan dari penggarap dengan sistem ganti kerugian atas dasar musyawarah, walaupun tanah itu telah
Universitas Sumatera Utara
diganti rugi oleh pihak PPN, namun anggota-anggota BTIPR tidak mau mematuhi bahkan sering mengganggu petugas-petugas PPN yang sedang bekerja
437
. Upaya penyelesaiannya :
Dalam penyelesaian sengketa pertanahan hak atas tanah adat dan sengketa pertanahan di Kabupaten Simalungun mempunyai 3 tiga model
438
a. Kepentingan adalah objek kebutuhan atau keinginan yang menjadi sumber sengketa. Artinya, dua pihak punya kebutuhan dan keinginan yang sama terhadap
objek yang disengketakan, misalnya tanah, barang, uang, jasa layanan, dan lain- lain.
. Disebut demikian karena model ini memperhatikan faktor kepentingan interest, kekuasaan
power, dan hak right yang menjadi sumber sengketa antara dua pihak. Yang dimaksud dengan:
b. Kekuasaan adalah objek kebutuhan atau keinginan yang menjadi sumber sengketa. Artinya dua pihak punya kebutuhan dan keinginan yang sama untuk memperoleh
status dan peran sehingga memiliki hak dan kewenangan tertentu yang dominan. c. Hak adalah objek kebutuhan atau keinginan yang menjadi sumber sengketa.
Artinya, dua pihak punya kebutuhan dan keinginan yang sama untuk memperoleh tuntutannya,karena masing-masing merasa bahwa tuntutan itu berkaitan dengan
kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab. Model ini mengisyaratkan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelesaikan
sengketa adalah memenuhi kebutuhan semua pihak yang bersengketa: kepentingan, kekuasan, dan hak. Oleh karena itu, menurut model ini, penyelesaian sengketa pun
437
Nas Sebayang dalam Syafruddin Kalo, Masyarakat dan Perkebunan, op cit, hal. 275.
438
Para pemerhati konflik juga mengajukan model tiga faktor, lihat Alo Liliweri, Prasangka konflik, komunikasi Lintas budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta, LKiS, 2005, hal. 309.
Universitas Sumatera Utara
harus dilakukan dengan metode dan teknik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan itu. Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa sebagaimana dianjurkan
model ini tidaklah mudah. Ingat bahwa pemberian tanah, barang, uang, jasa, dalam rangka memenuhi kepentingan dua pihak ternyata bersifat sementara. Saat semua
tanah, barang dan jasa telah diterima kepentingan dipenuhi, maka sengketa merendah. Tapi jika persediaan tanah, barang dan jasa menipis, maka sengketa
muncul kembali.
Pilihan penyelesaian sengketa berikutnya adalah memberikan besaran kekuasaan kepada pihak-pihak yang terlibat sengketa, sesuai dengan aturan yang
berlaku. Pelbagai riset menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa dengan memberikan kekuasaan kepada seorang karena dialah yang seharusnya memegang
kekuasaan dan yang paling berwenang pun tidak menyelesaikan masalah. Betapa sering, setelah diberi kekuasaan, orang menyalahgunakan kekuasaan itu untuk
menindas orang lain yang menjadi oposannya.
Pilihan penyelesaian sengketa lainnya dari model ini adalah memberikan hak kepada pihak-pihak yang terlibat sengketa, sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pelbagai riset menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa dengan memberikan hak kepada seorang karena dialah yang seharusnya memegang hak, tidak menyelesaikan
masalah. Betapa sering, setelah diberi hak, seseorang menyalahgunakan haknya untuk menindas orang lain yang menjadi oposannya.
439
Menurut sejarah, Kabupaten Simalungun terdiri dari multi etnis yaitu: Batak Toba, Batak Mandailing, Jawa yang asalnya dari kuli kontrak. Kembali ke masa
kolonial, setelah tersebar berita tentang keadaan Simalungun di Tapanuli, yang dibawa petugas mission, beberapa waktu kemudian telah ada yang memberanikan diri
untuk melihat keadaan daerah itu ada yang naik sampan dari Balige menuju Sungkean Samosir terus ke Prapat ingat kasus Amani marhilap di Desa Bangun
Dolok Kelurahan Prapat dari Panahatan melewati hutan terus ke Tiga dolok dan sampai ke Siantar setelah 4 hari perjalanan. Sesudah melihat keadaan daerah
tersebut
440
Pada awalnya orang Batak Toba tersebut membuka hutan yang dianggap subur dan lebih mudah dikerjakan untuk bahan pertanian. Padi dan ubi tanam di lahan
kering yang baru dibuka yang dikenal dengan ‘’Juma’’. Lama-kelamaan juma itu berubah menjadi persawahan yang disebut ‘’ juma sabah’’
, orang-orang Batak Toba itu memutuskan untuk membuka perkampungan. Pekabar Injil melalui majalah mingguan Immanuel yang sangat tersebar dan menarik
perhatian, terutama bagi keluarga yang tidak memilik lahan yang luas.
Pada tahun 1907, tujuh Raja Simalungun menandatangani ‘’korte verklaring’’.
441
Penandatanganan perjanjian tersebut merupakan pengakuan terhadap kedaulatan Belanda disana dan sejak itulah perluasan perkebunan di Simalungun
442
439
Ibid.
.
440
O.H.S Purba Elvis F Purba, Migran Batak Toba, ,op.cit , hal. 5.
441,
Anthony Reid, The Blood of the people: op cit., hal.101.
442
R. Willliam Liddle, Ethnicity, Party and National Integration: an Indonesian case study, USA: Yale University Press, 1970, hal. 25 dan lihat juga Karl Pelzer, Planters and Peasent, op cit, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan perkebunan-perkebunan asing di Sumatera Timur lambat laun menimbulkan kesulitan, terutama dalam hal pangan. Untuk melipatgandakan hasil
pertanian pangan, salah satu cara yang ditempuh oleh Belanda ialah mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat,
443
Demikianlah akhirnya rakyat terus mengharapkan penyelesaian yang adil dalam kenyataan didambakannya itu menjadi putus asa untuk memperoleh
penyelesaian hukum. ingat dengan kasus Silampuyang.
444
Diperparah lagi karena penyelesaian hukum selalu berpihak kepada kelompok tertentu yang tak pernah iba melihat nasib rakyat.
445
Proses Pengadilan selalu menghasilkan penyelesaian yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang a winner dan yang lain sebagai yang kalah a loser.
Rakyat akhirnya menunggu dan mengharapkan sampai turun ratu adil yang pernah di
dengarnya dapat menyelesaikan masalah pertanahan.
Sebenarnya kondisi yang demikian itu memunculkan cara-cara yang dilakukan oleh pemilik modal perkebunan dalam rangka mempertahankan status
perkebunannya. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh pihak pemilik modal agar masyarakat tidak melakukan tindakan meminta kembali hak garapan mereka antara
lain:
446
a. Pendekatan legal formal formal administratif: Tanah-tanah yang disengketakan petani umumnya tidak memiliki kelengkapan surat
menyurat sebagai bukti kepemilikan, sehingga tanah-tanah tersebut gampang dianggap sebagai tanah negara.
b. Pendekatan kepada tokoh masyarakat. Upaya mempertahankan tanah- tanah perkebunan dilakukan dengan cara pendekatan secara ‘’khusus’’
kepada tokoh-tokoh masyarakat, seperti ketua adat, tokoh agama, tokoh- tokoh formal desa, dan sebagainya, tanpa sepengetahuan rakyat setempat.
Biasanya apabila tokoh-tokoh tersebut sudah ditaklukan proses penguasaan mutlak terhadap rakyat akan sangat mudah. Secara historis ini
dapat dilihat dari konflik tanah masyarakat Silampuyang.
c. Pendekatan politik pecah belah. Politik pecah belah bukan hanya monopoli penguasa kolonialis yang sangat terkenal dengan politik devide
et impera-nya, tetapi juga dipergunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menguasai tanah-tanah milik petani. Masyarakat atau petani pemilik tanah
diadu domba dengan sesamanya, misalnya dengan mengadakan pendekatan-pendekatan tertentu kepada kelompok-kelompok masyarakat
yang berbeda kepentingan.
443
Tideman, Simeloengon: Het land der, Op Cit, hal.186-187.
444
Proses Pengadilan bersifat “adversonal” atau berlangsung atas dasar saling permusuhan atau Pertikaian antara para pihak
445
M Yamin Rahim, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 192.
446
Kutipan tersebut dikembangkan dari pandangan Bachriadi, Dalam Jurnal penelitian dinamika Petani, No. 35 tahun X edisi Juli-Agustus 1999, PSDAL-LP3ES.
Universitas Sumatera Utara
d. Pendekatan manipulasi, pemalsuan dan diskriminasi. Proses manipulatif yang sering dipergunakan untuk menguasai tanah-tanah rakyat atau
petani, misalnya dengan menerbitkan aktasertifikat atas nama pejabat tertentu,seperti yang terjadi di Bangun Dolok.
e. Pendekatan isolasi wilayah dan akses. Secara geografis biasanya tanah- tanah petani yang akan dikuasai diisolasi, misalnya dengan cara menutup
jalan menuju lokasi. Sehingga secara geografis wilayah tersebut sulit ditembus, yang mengakibatkan akses masyarakat atau petani ke dunia luar
terputus.
f. Pendekatan dengan menggunakan cap buruk atau stigma-stigma. Cara ini dialamatkan kepada masyarakat yang tanahnya telah dikuasai. Misalnya,
masyarakat yang menuntut hak garapan dianggap pengikut aliran sesat, pengacau keamanan,anti pembangunan. Orang yang anti pembangunan
dianngap anti Pancasila , dan itu berarti orang tersebut dianggap PKI. Cap buruk lainnya misalnya, penyerobot tanah negara, penghuni liar, dan
sebagainya. Rakyat atau petani yang diberi stigma-stigma seperti itu akan merasa ketakutan, dan dengan begitu akan lebih mudah dilakukan
penguasaan lahan perkebunan tersebut. Kasus Bandar Betsy.
Bahwa dari berbagai permasalahan tersebut tak satupun yang mendapat penyelesaian yang tuntas bahkan sering penyelesaian yang dilakukan tidak
dilaksanakan dengan penyelesaian hukum atau sering hanya diselesaikan secara politis, bahkan dengan penyelesaian yang sifatnya sementara saja, sehingga tetap
menjadi atau menyimpan masalah.
447
Ini dapat dibuktikan dari beberapa kasus konflik tanah yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya yang sampai hari ini
belumlah tuntas meskipun sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Begitu pula yang menyangkut konflik sengketa hak atas tanah perkebunan seperti yang terjadi di
Perkebunan Bandar Betsy. Ini diakibatkan oleh sejumlah ketimpangan dan tidak keselarasan. Ketimpangan itu antara lain: ketimpangan soal sturuktur kepemilikan
tanah, ketimpangan dalam penggunaan tanah dan ketimpangan dalam persepsi serta konsepsi mengenai kepemilikan tanah.
448
447
M. Yamin Abd. Rahim Lubis, Beberapa masalah aktual Hukum agraria, Loc,Cit.
448
Sholih Mu’adi, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan, Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher, 2010, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP