Kerangka Teori Kerangka Teori dan Konsepsi

peraturan perundang-undangan bidang sumber daya agraria bagi upaya pemberian kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.

E. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka landasan teori menurut M. Solly Lubis adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penulisan. 51 Teori yang akan dijadikan landasan dalam studi ini adalah teori “sistem hukum” dari Lawrence M.Friedman. Sistem hukum dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat tersebut. Menurut Lawrence M. Friedman 52 Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan, aspek sistem yang berada disini kemarin atau bahkan pada abad yang terakhir akan berada di situ dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem hukum, kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. , sistem hukum terdiri dari : struktur hukum legal structure, substansi hukum legal substance dan budaya hukum legal culture, ketiga komponen ini akan menentukan berjalannya suatu hukum dalam masyarakat. Struktur hukum legal structure adalah lembaga-lembaga atau instansi yang akan menjalankan proses dalam penegakan hukum, semacam kerangka sistem hukum, ruang lingkup struktur hukum penegak hukum sangat luas, karena mencakup mereka secara langsung atau tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum, namun dalam arti sempit, penegak hukum mencakup mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pengacara dan lembaga pemasyarakatan. Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi hukum legal substance berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, produk yang dikeluarkan, aturan-aturan baru yang mereka susun dengan kata lain bagian dari budaya hukum itulah yang menyagkut sistem hukum. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi 51 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hal.80. 52 Lawrence M. Friedman, American Law, New York : W.W Norton and Company, 1984, hal.7. Universitas Sumatera Utara penentu jalannya proses hukum. 53 Jadi penekanannya di sini terletak pada hukum yang hidup the living law , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum law books . Hal ini menuju komponen ketiga dari sistem hukum yaitu budaya hukum. Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Bagian dari budaya umum itulah yang menyangkut sistem hukum. Budaya hukum legal culture pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Nilai-nilai ini merupakan konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga diikuti, dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Nilai-nilai ini lazimnya merupakan pasangan nilai yang mencerminkan dua keadaan yang ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai yang berperan dalam penegakan hukum adalah : 1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman 2. Nilai jasmaniah kebendaan dan nilai rohaniah keakhlakan 3. Nilai kelanggengan konservatisme dan nilai kebaruan innovation. Setiap masyarakat, setiap daerah, setiap kelompok, mempunyai budaya hukum. Mereka memiliki sikap dan pandangan terhadap hukum yang tidak selalu sama. Dengan kata lain ide, pandangan dan sikap masyarakat terhadap hukum dipengaruhi budaya hukum seperti suku etnik, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kebangsaan, pekerjaan dan pendapatan, kedudukan, kepentingan, lingkungan agama. Budaya hukum juga dapat berubah akibat pendidikan, modernisasi, teknologi dan masuknya unsur asing dan berbagai pergerakan pembaharuan seperti pergerakan wanita dan terkandung konsep individualisme. Bobot keterkaitan penting teori Friedman dengan studi ini terletak pada faktor-faktor berikut : 1. Munculnya perkembangan dan formulasi kebijakan bahan bentuk peraturan dan penanganan dalam Hukum Tanah Indonesia berlangsung dalam tatanan sosial yang dipenuhi dengan nilai, harapan-harapan orientasi yang berkembang dalam masyarakat. Kekuatan-kekuatan tersebut saling menentukan dan mempengaruhi. 53 Eggi Sudjana dan Riyanto, Penegakan Hukum Lingkungan dalam Perspektif Etika Bisnis di Indonesia, cetakan pertama, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1999, hal.8. Universitas Sumatera Utara 2. Reformulasi kebijakan di bidang pertanahan, khususnya pemberian ijin penggunaan tanah dalam Hukum Tanah Indonesia merupakan puncak pertarungan, perdebatan semata. Pertarungan dan perdebatan tersebut, bisa jadi disebabkan oleh perbedaan kepentingan, nilai, orientasi dan harapan dari setiap kekuatan politik. 3. Persidangan yang dilakukan oleh judikatif dalam Hukum Tanah Indonesia merefleksikan dua peristiwa sekaligus; hukum dan politik. Kedua unsur tersebut tercakup dalam konsep Legal Culture. Pilihan ini juga ditopang oleh pemikiran Frans Magnis Suseno. 54 Aliran idealis pada Mazhab Sejarah, yang diwakili oleh von Savigny, memandang hukum tumbuh dan berlaku dalam masyarakat. Hukum ditemukan tidak dibuat recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke , hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami pada masyarakat tradisional ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern. Dikatakan juga bahwa undang-undang tidak berlaku atau tidak diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaan sendiri, sebagaimana bahasa adat- istiadat dan konstitusi yang khas. untuk menemukan perasaan masyarakat, maka semua unsur yang relevan dengan tertib hukum harus diperhitungkan. Unsur-unsur itu adalah nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup, demikian juga hubungan sosial. Dalam konteks ini akan kelihatan apa yang adil dan apa yang tidak. 55 Hukum mengikuti jiwa rakyat volgeist dari masyarakat tempat hukum itu berlaku, karena itulah maka hukum merupakan produk budaya suatu bangsa 56 54 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1994, hal.112. 55 Lawrence M. Friedman, Legal Theory, New York: Columbia University, 1967, hal. 211, lihat juga Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Kanisius, 1986, hal.118. 56 P.Purbacaraka dan M.Chaidir Ali, Disiplin Ilmu Hukum, Bandung: P.T Citra Aditya, 1990,hal. 20, lihat juga Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Yoyakarta: Liberty, 1991, hal.34 dan Kurnia Warman, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk, Jakarta: KITLV, 2010, hal.393. Universitas Sumatera Utara Pengaruh pemikiran Savigny ini sangat terasa di Indonesia melalui para ahli hukum Belanda, sehingga melahirkan suatu cabang ilmu hukum yang baru yang dikenal sebagai hukum adat, dipelopori oleh van Vollenhoven, Ter Haar dan lain sebagainya. Jadi jelas membicarakan hukum adat, asas-asasnya, konsepsinya, lembaga- lembaganya, dan norma-normanya tidak terlepas dari membicarakan mazhab sejarah ini. Hukum oleh Roscoe Pound diyakini sebagai suatu alat untuk membangun masyarakat, dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan antara hukum, dalam artian ketentuan abstrak yang seharusnya berlaku, dengan hukum dalam artian nilai yang hidup dalam masyarakat sebagai pedoman bertingkah laku 57 Perlu disampaikan lebih dahulu konsep-konsep filosofis yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan makna apa yang terdapat di balik hak atas tanah. . 1. Globalisme Globalisme sebagai suatu konsep filosofis dapat menunjuk kepada suatu proses penyebaran sesuatu ke seluruh penjuru dunia yang dikerjakan oleh suatu kekuatan tertentu. Kekuatan dimaksud mengerjakan suatu proses yang membawa serta warga masyarakat di seluruh penjuru dunia untuk menerima peradaban baru, tidak saja dalam bidang teknologi, tetapi juga bidang ekonomi, sosial budaya, dan hukum. Dengan begitu ia berisi suatu proses penggantian filsafat yang telah dianut oleh masyarakat tempatan dengan filsafat luar yang terbawa serta dalam arus globalisasi. 2. Individualisme Individuaalisme sebagai konsep filosofis menggerakkan masyarakat di seluruh dunia untuk menerima sebuah proses menuju kemajuan material dengan sebuah taruhan berisiko tinggi yang tak dapat terbagi kepada orang lain. Artinya secara substansial, ada kekuatan yang mengglobalkan suatu ide beserta hasil-hasilnya ke dalam kehidupan materi semua umat manusia. 3. Hedonisme Hedonisme dimaksud diartikan sebagai faham pencapaian kekayaan, kekuatan, ketenaran, dan kekuasaan. Artinya, petualangan kearah perbaikan kehidupan manusia dilakukan dengan tujuan menjadikan hidup mereka serba berkecukupan materi. Fanatisme perjuangan demikian melahirkan sebuah pandangan bahwa tujuan hidup didunia tidak lain adalah mencari kehidupan bergelimang materi. Faham yang menekankan materi demikian ini biasa disebut materialism materialism, suatu faham yang memacu mereka untuk berjuang keras untuk memperoleh harta kekayaan dalam jumlah sebanyak-banyaknya 58 . 57 Mas Soebagio dan Slamet Supriatma, Dasar-dasar Filsafat Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta : Akademika Presindo, 1988, hal. 69. 58 Ade Saptomo, Dibalik Sertifikasi, makalah, Op. Cit. hal. 209. Universitas Sumatera Utara Hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari Negara disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, dimana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain melalui perjanjian dimana satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain. 59 Lahirnya UUPA maka dualisme hukum tanah yang selama ini terjadi menjadi hapus. Bahagian terbesar dari Hukum Barat atas tanah dengan tegas digugurkan dan dengan tegas pula dinyatakan bahwa Hukum Adatlah sebagai dasar bagi soal-soal agraria. 60 Pengakuan eksistensi hak ulayat hukum adat oleh UUPA merupakan hal yang wajar karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Konsep interaksi antar hukum, menurut pandangan Moores 1987, 61 “Positivisme hukum membentuk dasar ideologi hukum modern maka sistem hukumnya sudah pasti pula menerapkan pendekatan yang sentralistis. Peranan negara dalam ranah tatanan normatif sangatlah mendasar, sehingga apa yang sebenarnya kita sebut dengan hukum dalam prakteknya hanyalah hukum yang diproduksi oleh negara, sementara banyak tatanan normatif non negara lainnya berada di luar cakupan defenisi hukum. Dengan kata lain, jika hukum negara dan hukum lokal berinteraksi di dalam lokal sosial sama one social field diduga akan melahirkan empat kemungkinan. Kemungkinan dimaksud diasumsikan sebagai integrasi integrate, yaitu penggabungan sebagian hukum Negara dan hukum lokal, inkoorporasi incoorporate yaitu penggabungan konflik conflict yang tidak terjadi penggabungan sama sekali mengingat hukum negara dan hukum lokal dimaksud saling bertentangan, dan menghindar avoidance yaitu salah satu hukum menghindari keberlakukan hukum yang lain. posisi hukum negara sangat sentral, sementara posisi hukum lainnya hanyalah pinggiran. Pada titik ini, positivisme hukum Austinian yang menganggap tidak ada yang melebihi ekspresi kehendak kekuasaan yang berdaulat, mengambil alih posisi”. 62 59 Shodiq Tri Yuliadi, “Hukum Tanah dan Tata Guna Tanah, Hak Milik Atas Tanah”, makalah, Purwokerto: Univ Muhammadiyah, 2010, hal.1. 60 Kosnoe, Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Surabaya: Airlangga University Press, 1979, hal.161. 61 Stardford W.Moorse and Gordon R.Woodman, Indigeneous Law and State, Dordrecht Holland: Faris Publications, 1987, hal.33. 62 Secara umum lihat John Austin, The Province of Yurisrudence Determined and the uses of the study of Yurisprudence, 3rd, London: weidenfeld and Nicholson, 1968 lihat pula Austin, Lecture on Yurisprudence or the fhilosophy of positive law, London: John Murray, 1875, hal.14. maksudnya menurut aliran positivisme, “ hukum” adalah peraturan yang dibuat oleh “penguasa” semacam lembaga legislatifDewan Perwakilan Rakyat, yang berdaulat, yang bersifat tertulis bahkan terkodifikasi seperti undang-undang jadi bukan hukum yang tidak tertulis seperti Hukum Adat. Universitas Sumatera Utara Apapun bentuk kekuasaan itu, bisa dikatakan memiliki personalitas hukum masing-masing warga negara, dan dalam kenyataannya; memiliki hukum itu sendiri. Namun ini adalah dilema definisi hukum itu sendiri, karena kriteria positivistik seperti itu secara otomatis akan menciptakan batasan yang tidak mungkin diterapkan pada institusi hukum. Kalau validitas hukum hanya berasal dari negara maka semua tradisi normatif, kebiasaan, ajaran agama dan tatanan lainnya yang terdapat di dalam masyarakat tentu akan dianggap berada di luar cakupan hukum. Kenyataannya, hukum harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki validitas polisentris, validitas hukum tidak hanya terbatas pada tindakan, aturan dan keputusan pengadilan di mana peran negara tidak bisa dihindari seperti biasa ditemukan dalam logika realisme hukum, tapi harus diperluas agar mencakup norma-norma sosial apapun yang teramati, yang diciptakan dan dipertahankan di dalam sebuah komunitas atau dalam asosiasi apapun di tengah-tengah masyarakat. Kalau masalahnya seperti itu, meski ini adalah fenomena universal, maka hukum bisa diejawantahkan dalam berbagai cara. Inilah yang bisa dipahami dari tokoh-tokoh lama “aliran hukum polisentris” semisal Ehrlich, Malinowski, Gurvitch, Hoebel, Gluckman, Bohannan, Pospisil, dan lain-lain. 63 Secara sosiologis, hukum tidak tertulis senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, perlu dicatat asumsi-asumsi sebagai berikut. Bagi mereka, meski dalam beberapa hal peran negara tidak bisa dihindari, hukum negara bukanlah satu-satunya “fakta normatif” karena di sana ada hukum-hukum lainnya selain hukum negara modern. 1. Hukum tidak tertulis pasti ada karena hukum tertulis tidak akan mungkin mengatur semua kebutuhan masyarakat yang perlu diatur dengan hukum. 2. Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial yang cepat, peranan hukum tidak tertulis lebih menonjol dari hukum tertulis. 3. Yang menjadi masalah adalah mana yang merupakan hukum tidak tertulis yang dianggap adil. 64 Pandangan pluralistik mengenai hukum semacam itu bukannya tidak logis, terutama jika dipandang dari perspektif budaya dan dimensi sosio-antropologis. Pemahaman tentang hukum sebagai institusi budaya dan tradisi memungkinkan munculnya defenisi yang lebih bersifat open-ended, sehingga bisa, yaitu dari negara dan non negara, sakral atau sekuler. Dengan begitu, istilah “hukum” dengan 63 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008, hal.7. 64 Rehngena Purba , Hukum Adat dalam Yurisprudensi, Majalah Hukum Nasional No. 2 Tahun 2006, ISSN 0216 – 0227, BPHN, Departemen Hukum dan HAM RI, hal. 41. Universitas Sumatera Utara sendirinya bisa diterapkan kepada bermacam ragam norma sosial yang diproduksi oleh tatanan normatif, dan norma apapun dipertahankan dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat bisa dianggap mencerminkan manifestasi hukum. Akibatnya, kebenaran fenomena hukum tidak hanya dipahami dalam hal keragaman bentuknya, tapi juga keragaman sumbernya. Agama dan adat kebiasaan serta institusi negara sendiri bisa sama-sama diterima sebagai produsen hukum, dan tatanan yang dihasilkannya bisa berdampingan dalam interaksi dan kompetisi satu sama lain. Keadaan seperti ini juga membukakan kemungkinan terjadinya asimilasi dan penggabungan antara elemen-elemen hukum itu melalui berbagai cara. Jadi hukum negara tidak akan bekerja efektif kalau tidak sesuai dengan konteks sosialnya. Di samping teori “sistem hukum” itu teori yang dipergunakan sebagai alat pendekatan dalam kerangka mencari dan merumuskan penyelesaian sengketa hak atas tanah adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional di Kabupaten Simalungun adalah teori yang dikemukakan oleh Griffith tentang “pluralisme hukum”. 65 Pluralisme adalah merupakan ciri hukum dalam masyarakat modern, yaitu adanya hukum negara di satu sisi, dan sisi lain adanya juga berbagai bentuk sistem pengaturan yang beroperasi dalam masyarakat. Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimana hukum yang beraneka ragam itu secara bersama-sama mengatur berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi dalam masyarakat sehari-hari. 66 Dalam konteks apa orang memilih aturan-aturan tertentu atau gabungan dari berbagai aturan-aturan tertentu dan dalam konteks apa memilih pola dan mekanisme penyelesaian sengketa tertentu. Yang dimaksudkan dengan kemajemukan hukum legal pluralism adalah suatu situasi dimana dapat ditemukan dua atau lebih sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sampai saat ini sudah banyak konsep dan atribut mengenai pluralisme hukum yang diajukan oleh para ahli. Para legal pluralist pada masa permulaan 1970 – an mengajukan konsepsi pluralisme hukum yang meskipun agak bervariasi, namun pada dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama- sama berada dalam lapangan sosial yang sama. 67 Seperti yang dikemukakan oleh Sally Engle Merry, pluralisme hukum “is generally defined social field”, dan konsep klasik dari Griffith, yang mangacu pada adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial “By legal pluralism mean the presence in a social field of more than one legal order”. 68 Selanjutnya Griffith 69 65 Sulystyowati Irianto, Perempuan diantara Berbagai pilihan hukum studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta warisan melalui proses penyelesain sengketa, disertasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal.57. membedakan pula adanya dua macam pluralisme hukum yaitu weak legal pluralism pluralisme hukum yang lemah, dan strong legal 66 Runtung, disertasi, Op Cit, hal. 25. 67 Ibid, hal.38. 68 Ibid 69 Ibid. Universitas Sumatera Utara pluralism pluralisme hukum yang kuat. Menurut Griffith pluralisme hukum yang lemah adalah bentuk lain dari sentralisme hukum, karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sedangkan hukum-hukum yang lain disatukan dalam hirarki di bawah hukum negara. Pluralisme hukum yang kuat menurut Giffith merupakan produk dari para ilmuan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua kelompok masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. 70 Semua sistem hukum yang ada diakui dalam masyarakat dan beroperasi dalam kerangka hukum formal sistem Hukum Barat, sistem Hukum Islam, sistem Hukum Adat. Penerapan hukum adat beserta lembaganya diakui selama tidak bertentangan dengan kebijakan publik dan hukum alam 71 Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa secara teoritis Indonesia lebih cenderung menganut weak legal pluralism atau state law pluralism. Dengan catatan bahwa pengakuan dan pengadopsian hukum adat tidak hanya ditempuh melalui perundang-undangan, tetapi juga melalui yurisprundensi. dalam pengertian sempit ini state law pluralism, paling tidak dua sistem hukum yang masing-masing bersifat otonom, hidup berdampingan dan berinteraksi dalam peristiwa-peristiwa tertentu, ini ditandai dengan dominasi hukum negara terhadap hukum adat. 72 Pandangan lain adalah teori Semi Autonomous Social Field SASF dari Sally Falk Moore. Griffith memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat, antara lain teori living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif, yang dikontraskan dengan hukum negara. Sehubungan dengan teorinya tersebut Moore 73 “...merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dan untuk sebagian otonom itu dapat menghasilkan peraturan-peraturan dan adat kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal di dalam, tapi di lain pihak bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bidang sosial yang semi otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya, tapi sekaligus juga berada dalam suatu kerangka acuan sosial yang lebih luas yang terdapat dan memang dalam 70 Ibid. 71 J.C Bekker, JMT Labuschagne, LP Vorster, Introduction to legal Pluralism in South Africa, London: Butter Worths, 2003, hal.343. 72 Maria S.W Sumardjono, Tanah dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta: Penerbit Buku kompas, 2009, hal.57. 73 Sally Falk Moore, “Hukum dan Perubahan Sosial”, terjemahan Sulistyowati Irianto dkk, dalam T.O Ihromi Ed, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal.150. Universitas Sumatera Utara kenyataannya mempengaruhi dan menguasainya, kadang-kadang karena dorongan dari dalam, kadang-kadang atas kehendaknya sendiri.” Konsep pluralisme hukum berkembang tidak lagi menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi lain. Pada tahap ini konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada “a variety of interacting, competing normative orders each mutually influencing. The emergence and operation of each other’s rules, processes and institution “ 74 Frans von Benda-Beckman 75 Pada tahap perkembangan ini akhir 1990-an terdapat variasi pandangan, yang ditunjukkan oleh adanya konsep pluralisme hukum yang tidak didasarkan pada mapping yang dibuat sendiri, setiap melihatnya pada tatanan individu yang menjadi subjek dari pluralisme hukum tersebut. salah seorang ahli yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan ini. dikatakan bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum. Namun yang lebih pantas adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut saling berinteraksi mempengaruhi satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama dalam lapangan kajian tertentu. 76 “legal pluralisme in general may be defined as the state of affairs in which a category of social relations is within the field of operation of two or more bodies of legal norms. Alternatively, if it is viewed not from above in the process of mapping the legal universe but rather from the perspective of the individual subjek of law, legal pluralism may be said to exist whenever a person is subject to more than one body of law.” Lihatlah bagaimana Gordon Woodman mengajukan konsepnya. Jadi sebenarnya bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat terhadap tanahwilayah yang diambil alih pemerintah misalnya untuk kawasan hutan atau pertambangan bisa dilihat sebagai perwujudan dari strong legal pluralism pluralisme hukum kuat.Pada sisi lainnya, aturan-aturan dari luar masyarakat hukum adat kebijakan kehutanan, dan lain sebagainya.hukum negara mencoba memberlakukan diri dalam lapangan sosial tersebut secara bersamaan, sehingga hal ini menggambarkan situasi Semi-Autonomous Social Fields SASF, yang oleh Falk Moore dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengatur diri sendiri komunitas self regulating dalam lapangan sosial tertentu terlihat otonom. Namun, otonominya tidak bersifat total karena masih dipengaruhi oleh aturan atau hukum dari 74 Roderick A. Macdonald Kleinhans,Martha-Marie,”What is a Critical Legal Pluralism”, Canadian Journal of Law and Society,vol 12 no.2 1997, hal.25-27 75 Frans Von Benda Beckmann, “Some Comperative Generalizations about the Differential Use of State and Falk Institutions of Dispute Settlemet”, dalam Antony Allot dan Gordon Woodman ed, People’s Law and State Law. The bellagio Papers, Dordrecht: Faris Publications, 1990, hal.2. 76 Ibid Universitas Sumatera Utara luar lapangan sosial tersebut. 77 Persinggungan antar hukum hukum adat dengan hukum negara bukan hanya melahirkan kontradiksi atau pertentangan, namun juga melahirkan hubungan inkorporasi penggabungan sebagian aturan sebuah sistem hukum ke dalam sistem hukum lainnya dan penghindaran salah satu sistem hukum menghindari keberlakuan sistem hukum lainnya. 78 Terjadinya pengakuan dan legimitasi masing-masing sebagai hukum, tetap melahirkan suatu hukum baru reflective of law, dengan demikian efektiflah berlakunya hukum itu dalam satu sistem hukum yang memberikan rasa aman bagi semua masyarakat tanpa dirasakan sifat diskriminatifnya, 79 “Gunther melihat dan menyebutnya sebagai refleksi baru, berkembang sebagai akibat krisis hukum dalam menampung perkembangan sosial. Sehingga terbentuk integrasi dalam pertentangan bidang-bidang kehidupan yang ada. Lebih lanjut disebutkannya, untuk mencapai integrasi dalam diferensiasi antara kehidupan hukum sosial dengan kehidupan hukum fungsional harus dibiarkan terrefleksi sebagai suatu yang tidak dipertentangkan . ditumbuhkan sebagai bagian atau sub-sub sistem, untuk mengikat satu sistem hukum yang baru. Di sinilah fungsi hukum dapat digunakan sebagai rasionalitas substantif sehingga menimbulkan rasionalitas refleksifnya hukum tersebut. Peranan refleksif ini akan mendamaikan ketegangan yang melekat antara fungsi dan pelaksanaan. Sesuai dengan batas-batas internalnya” bahkan membentuk satu dedikasi hukum yang tinggi, yakni kesediaan dan kerelaan untuk mematuhi hukum sepenuh hati dari masyarakatnya. Dalam posisi seperti ini, 80 Diharapkan hasil dari refleksi itu akan melahirkan harmonisasi dalam pelaksanaan 81 . Harmonisasi menunjukkan perhatian seimbang untuk menciptakan koordinasi serta penyesuaian di antara dua posisi yang berbeda. Selanjutnya, kata harmonisasi juga akan membawa penyesuaian dan pencocokan antara dua posisi yang berbeda, karena tidak ada kebutuhan untuk mewujudkan harmonisasi di antara posisi yang sama 82 Ada empat alasan mengapa harmonisasi diperlukan, 1. Karena keadaan darurat, 2. Tidak wajar untuk meninggalkan undang-undang yang sudah ada, 77 Ibid 78 Ibid 79 M.Yamin, Perkembangan Hukum Adat di Indonesia: studi mengenai refleksi gadai tanah di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, disertasi, Medan: PPS.USU, 2002, hal.58. 80 Gunter Teubner, Dilemma of law in the Welfare State dalam Yamin, disertasi, ibid. 81 Utari MB, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-Sama Dengan Hukum Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syariah dan Nasabahnya di Indonesia, disertasi, Medan: SPS.USU 2006, hal.30-34. 82 Mohammad Hashim Kamali. “Shariah and Civil law”, International Conference on Harmonisation of Shariah and Civil law, Kuala Lumpur 20-21 oktober 2003. Universitas Sumatera Utara 3. Terdapat dua peraturan perundang-undangan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, 4. Beberapa aspek dari dua undang-undang yang berbeda mempunyai persamaan dari segi materi dan tata caranya. 83 Harmonisasi hukum bisa dicapai dalam tingkatan yang berbeda sedikitnya dengan 3 tiga cara 84 1. Adalah pengaruh dari aparatur yang ada yang melahirkan pendekatan antara dua sistem hukum melalui perjanjian yang dibuat atau keputusan yang dikeluarkan di mana kedua sistem hukum yang berbeda tersebut dapat berjalan secara bersama- sama. : 2. Bertambahnya kecenderungan peraturan perundang-undangan nasional yang lahir sedikit atau banyak secara spontan mendekatkan satu sistem hukum dengan lainnya berdasarkan analisis perbandingan. 3. Harmonisasi juga bisa dicapai dengan melahirkan satu peraturan perundang- undangan nasional yang secara efektif menyatukan materi dari 2 dua sistem hukum yang berbeda. Harmonisasi diterapkan untuk bidang-bidang hukum khusus dan umum dari negara yang memiliki beberapa sistem hukum yang berbeda dengan tujuan untuk memfasilitasi transaksi-transaksi antara warga negaranya atau penduduknya 85 Pengarang lain telah mendeskripsikan proses harmonisasi sebagai suatu proses yang mana dampak dari suatu tipe transaksi di dalam suatu sistem hukum 83 Muhammad Amanullah,”Approaches To Methodology of Harmonisation: Principles to Be Followed in Harmonisation of Shari’ah and Man-Made Law”, International Conference on Harmonisation of Shari’ah and Civil Law 2, Kuala Lumpur 29-30 Juni 2005, hal.6. 84 Arthur Hartkamp ed., Towards an European Civil Code London: Kluwer Law International, 1998, hal.173-174. 85 Boodman Martin, The myth of Harmonization of Laws, Canadian Report on The Subjektif “Harmonization of Private Law Rules Between Comman and Civil Law Jurisdictions” Presented to the XIIIth International Congress Comparative Law, Montreal Canada, August, 1990, hal.702. Universitas Sumatera Utara diletakkan sedekat mungkin terhadap dampak transaksi yang sejenis berdasarkan sistem hukum lain. 86 Selanjutnya dikatakan, bahwa harmonisasi menggambarkan suatu konsep yang fleksibel yang mewujudkan serangkaian tindakan yang mungkin beranekaragam sesuai konteks yang mana suatu isu diberlakukan. Dalam suatu konteks, harmonisasi dapat berarti hukum yang relevan dari yurisdiksi yang terlibat dicirikan oleh suatu tingkat yang tinggi kemiripannya dalam prinsip-prinsip dasar akan tetapi ketentuannya tidak detil. Hasilnya adalah bahwa seseorang terbiasa dengan hukum di dalam satu yurisdiksi dapat dengan mudah memahami hukum dari yurisdiksi lain dan menyesuaikannya tanpa kesulitan. 87 Gagasan dasar dari harmonisasi adalah bahwa memungkinkan negara dari juridiksi yang berbeda berinteraksi terutama dalam transaksi yang terjadi secara langsung di antara dua juridiksi. 88 Namun demikian perlu untuk diketahui bahwa ada suatu kondisi di mana harmonisasi tidak perlu dilakukan. Dalam keadaan di mana undang-undang sudah tidak jelas lagi kabur maka harmonisasi tidak perlu dilakukan. 89 Berdasarkan kondisi di atas, maka teori harmonisasi hukum yang menyatakan bahwa harmonisasi bisa dicapai salah satunya dengan melihat pengaruh dari aparatur yang ada yang melahirkan pendekatan antara dua sistem hukum melalui perjanjian yang dibuat atau keputusan yang dikeluarkan di mana kedua sistem hukum yang berbeda tersebut dapat berjalan secara bersama-sama, dalam konteks di atas merupakan teori yang berkaitan erat untuk melihat telah terjadi suatu harmonisasi pelaksanaan antara hukum adat dan hukum agraria mengenai pertanahan. Dalam hal penguasaan atau menguasai tanah dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis, penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihak`i. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasai secara fisik atas tanah tersebut, tanah tidak dikuasai secara fisik, tapi oleh pihak lain tanpa hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Dengan demikian pengertian atau istilah yang dikenal dalam masyarakat umum pada saat ini adalah penguasaan hak bawah dan atas. Penguasaan hak bawah atas tanah adalah penguasan yuridis, artinya mempunyai bukti-bukti kepemilikan 86 Ibid, hal.703. 87 Ibid., hal.703-704. 88 www.ilpf.orgeventsjurisdictionpresentationsclifpr.htm. ”UNCITRAL and The Goal of Harmonization of law, diakses tanggal 2 agustus.and the Goal of Harmonization of Law”.diakses tanggal 2 agustus 2005. 89 Abdul Aziz Bari, “Harmonization of Laws:A Survey of The Issues, Approaches and Methodology Involved”, International Confreence of Harmonisation of Shari’ah and Civil Law 2, International Islamic University Malyasia, Kuala Lumpur, 29-30 June 2005, hal.22. Universitas Sumatera Utara berupa sertifikat atau bukti lain. Kemudian juga ada yang dikuasai secara fisik adapula yang tidak dikuasai secara fisik, sedangkan penguasaan hak atas tanah adalah penguasaan fisik, artinya seseorang menggarap atau menguasai tanah secara legal maupun ilegal.

2. Konsep

Dokumen yang terkait

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pertanahan Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

1 129 118

Penyelesaian Sengketa oleh Komisi Informasi atas Informasi yang Diberikan BPOM Terkait Keselamatan Konsumen dalam Mengkonsumsi Suatu Produk

2 70 125

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG POSISINYA TERTUKAR Proses Penyelesaian Sengketa Data Fisik Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Posisinya Tertukar (Mediasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo).

1 10 17

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG POSISINYA TERTUKAR Proses Penyelesaian Sengketa Data Fisik Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Posisinya Tertukar (Mediasi Oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo).

0 4 13

NASKAH PUBLIKASI Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

0 3 17

SKRIPSI Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

0 2 13

PENDAHULUAN Mediasi Dan Sengketa Tanah (Studi Tentang Kekuatan Penyelesaian Sengketa Jual Beli Tanah Di Badan Pertanahan Nasional Kudus).

1 4 15

PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA PADANG DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HAK MILIK ATAS TANAH.

0 0 6

Eksistensi Pranata Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional

0 0 12