Masalah keadilan timbul dalam situasi yang oleh John Rawls
279
1 Masyarakat
disebut “Circum Srance Of Justice COJ, suatu rumusan yang berasal dari David Hume. Hume sendiri menyebut COJ untuk menggambarkan bahwa
keadilan baru merupakan keutamaan yang relevan relevant virtue hanya apabila terjadi kelangkaan dan orang-orang tidak spontan tergerak dalam ikatan
emosional untuk mengulurkan bantuan. Prinsip keadilan Hume hanya berkaitan dengan situasi empiris transaksi antar individual, sedangkan COJ Rawl, adalah
Objective COJ, yaitu “situasi normal sengketa klaim dimana kerjasama antara manusia dan perlu” Oleh Karena itu, pengertian keadilan mengandaikan dua
syarat :
2 Situasi kelangkaan wajar
Kita hanya bias membicarakan masyarakat adil jika yang disebut masyarakat itu memang ada. Keadilan selalu berhubungan dengan
hak. Keadilan sosial dalam bidang distribusi air akan muncul dan dibutuhkan telah terjadi kelangkaan distribusi air dalam
masyarakat.
280
l. Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan kritikan terhadapnya :
1 Pasal 9 Ayat 2 : “Dalam hal tanah yang diperlukan adalah tanah hak ulayat masyarakat hukum
adat yang menurut kenyataannya masih ada mendahului pemberian hak dimaksud Ayat 1, pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan
masyarakat adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan
tanah dan imbalannya.”
Justru Pasal tersebut di atas wujud pertentangan dengan konstitusi UUD RI Tahun 1945 Pasal 18B ayat 2.
Berdasarkan asas lex spesialis derogate lex generalis, maka UUPA akan dikalahkan oleh UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan itu, karena UUPA
merupakan peraturan dasar pokok-pokoknya saja dari Hukum Agraria Nasional bersifat umum, di dalam pasal-pasalnya berisi peraturan-peraturan penggunaan,
279
Bur Rasuanto, Keadilan Sosial Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005 hal. 4
280
Suteki, Op Cit, hal. 268.
Universitas Sumatera Utara
penguasaan atas tanah melalui macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara kepada perseorangan badan hukum, sedangkan Undang-undang No. 18
Tahun 2004 hanya mengatur pengelolaan perkebunan bersifat khusus. Hal ini menyebabkan terjadinya disinkronisasi secara horizontal jika berdasarkan lex
posteriori derogate lex priori, maka UUPA pun akan dikalahkan oleh Undang- undang No 18 Tahun 2004, karena UUPA lahir lebih dahulu, yaitu tahun 1960,
sedangkan Undang-undang Perkebunan lahir tahun 2004.
Secara ideologis filsafati keduanya sama-sama mengacu Pasal 33 ayat 3 UUD RI Tahun 1945, tetapi secara yuridis telah terjadi penghapusan keterkaitan
norma
281
Berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
memang tidak secara langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945, namun berpotensi menghilangkan hak-hak warganegara melalui Undang-undang
Perkebunan.
Pasal 6 menyatakan : Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas : pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan,
kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan, kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan
kepastian hukum dan atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Penjelasan Pasal 6 ayat 1a : Asas pengayoman adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat. Undang-undang Perkebunan, materi muatan dalam pasal-pasalnya tidak mengandung asas pengayoman terhadap rakyat miskin,
karena dalam kenyataan di lapangan rakyat masyarakat hukum adat justru tersingkir dari akses tanah sebagai sumber kehidupan mereka karena hadirnya investor.
Sudah sewajarnya jika perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat sebagai hak- hak tradisional mereka yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bentuk Undang-undang segera dapat diwujudkan agar dengan demikian ketentuan Pasal 18 B
UUD 1945 mampu menolong keadaan hak-hak masyarakat hukum adat yang semakin termarginalisasi dan dalam kerangka mempertahankan pluralisme kehidupan
berbangsa dan bernegara
282
281
Andi Muttaqien, dkk, Wajah Baru, Suhaningsih : Analisis hukum mengenai eksistensi UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dengan permasalahan yang timbul, UU Perkebunan, hal. 271
. Untuk mengatasi persoalan sengketa pemilikan tanah perkebunan yang berhubungan dengan hak ulayat seharusnya negara konsisten
dengan penjelasan Pasal 9 Ayat 2 Undang-undang Perkebunan tentang eksistensi masyarakat hukum adat memenuhi 5 lima syarat yaitu a masyarakat masih dalam
bentuk paguyuban rechtgemeinschaft, b ada kelembagaan dalam bentuk perangat
282
Jadi bukannya meminggirkan bahkan meniadakan hak atas tanah ulayat, karena tercapainya musyawarah untuk mencapai sepakat mengenai penyerahan tanah ulayat pada pemegang hak baru investor.
Universitas Sumatera Utara
penguasa adat, c ada wilayah hukum adat yang jelas, d ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati, dan e ada pengukuhan dengan
peraturan daerah.
283
Syarat ini berbeda dengan Permenag No. 5 Tahun 1999. Pasal 5 Ayat 1 Permenag No. 5 Tahun 1999 : “Penelitian dan Penentuan
masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 di oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat,
masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan instansi-instansi yang mengelola sumberdaya
alam. Pasal 5 Ayat 2 menyatakan : “Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum
adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan menumbuhkan suatu tanda
kartografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah”.
2 Pasal 6 menyatakan : “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5
diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan”. Sebelum dilakukan penelitian tersebut, sulit menentukan siapakah yang
melanggar Pasal 21 dan dikenakan pidana Pasal 47 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Perkebunan.
284
Frasa “dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” dalam :
3 Pasal 21 Undang-undang aquo mengandung ketidakpastian hukum : Apakah yakin dengan tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya
perkebunan-perkebunan disebut tindakan lainnya tentunya sangat luas dan tidak terbatas.
285
m. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Dalam Pasal 6 Ayat 2 : “Pengelolaan perikanan untuk kepentingan
penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hak adat dan atau kearifan lokal serta memerhatikan peran serta masyarakat”.
283
Achmad Sodiki : Putusan MK yang berkenaan dengan sumber agraria, Seminar dan Lokakarya Nasional, Konflik Perkebunan : Mencari Solusi yang berkeadilan dan Mensejahterakan Rakyat Kecil, Malang :
Unibraw, 2012, 24-25 Mei 2012, hal. 19.
284
Pasal 21 dan 47 Undang-Undang Perkebunan
285
Achmad Sodiki, Op Cit, hal. 20
.
Universitas Sumatera Utara
n. Undang-undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan Dalam Pasal 58 Ayat 3 : “Pemegang hak atas tanah, atau pemakai tanah
negara, atau masyarakat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan, berhak mendapat ganti kerugian”.
o. Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
1 Dalam Pasal 1 Angka 33 : Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukin di wilayah geografis tertentu
karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem
nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik sosial, dan hukum
2 Dalam Pasal 17 : 1
HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. 2
Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.
3 Dalam Pasal 18 :
HP-3 dapat diberikan kepada : a
Orang perseorangan warga negara Indonesia; b
Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau c
Masyarakat Adat 4 Dalam Pasal 21 :
4 Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk :
1 Memberdayakan masyarakat sekitar lokasi kegiatan;
Universitas Sumatera Utara
2 Mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat
dan atau masyarakat lokal; 3
Memerhatikan hak masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta
4 Melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di
lokasi HP-3. 5
Dalam Pasal 61 : a
Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.
b Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan
Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang berkelanjutan. Disamping berbagai Undang-Undang tersebut di atas, perlu dicatat
bahwa pada tahun 1999, terbit Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan penegasan lebih lanjut dari bentuk pengakuan terhadap hak ulayat
masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA.
Peraturan Menteri ini seara eksplisit mengemukakan kriteria masih berlangsungnya hak ulayat masyarakat adat berdasarkan pada
keberadaan masyarakat adat, wilayah dan tatanan hukum adatnya.
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak atas tanah adat berbagai macam dan bertingkat, yang paling tinggi adalah hak menguasai atau hak ulayat.
Hak Ulayat. Hak ini yang merupakan hak terutama dari hak-hak atas tanah adat merupakan sekumpulan hak suatu persekutuan hukum adat yang biasanya merupakan
suku, serikat desa atau biasanya hanya sebuah desa yang bersumberdaya dari hak untuk menguasai tanah beserta seluruh isinya dalam lingkungan hidup wilayahnya.
Hak ini dikenal sebagai hak purba
286
. Hak pertuanan
287
Hak ini mempunyai beberapa ciri pokok yang dapat dilihat dengan jelas di luar Jawa sebagai berikut
atau hak ulayat Undang- Undang Pokok Agraria, meminjam istilah Minangkabau. Oleh Van Vollenhoven hak
ini disebut sebagai beschikkingsrecht. Di Jawa dan Madura kurang kuat dan tidak lagi mempunyai arti penting.
288
Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah di wilayah kekuasaannya; Orang luar
dapat mempergunakan tanah di wilayah tersebut dengan ijin penguasa wilayah tersebut disertai dengan pembayaran kepada persekutuan hukum.
Bila tidak dianggap melakukan pelanggaran; Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah tersebut khusus untuk keperluan
sendiri. Apabila untuk orang lain dianggap sebagai orang luar, Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di wilayah
tersebut, terutama tindakan melawan hukum delik; Hak ini tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan untuk selamanya; Hak ini juga meliputi
tanah yang sudah merupakan milik perseorangan. :
Hak-hak atas tanah adat terutama hak ulayat sebagai serangkaian wewenang dan kewajiban suatu persekutuan hukum adat atas lingkungan hidupnya ini meliputi
bidang hukum publik seperti pengelolaan lingkungan tersebut maupun hukum perdata seperti kepunyaan bersama atas lingkungan tersebut. Hak ini meliputi semua tanah
yang ada di lingkungan hidup tersebut baik yang sudah ada haknya maupun yang belum. Dalam hukum adat tidak dikenal istilah res nullius, benda atau tanah yang
tidak ada pemiliknya sama sekali. Hak ulayat ini adalah milik semua anggota persekutuan hukum, bukan orang seorang.
Hak Milik Inlands Bezitsrecht. Apabila warga persekutuan hukum adat
memerlukan tanah untuk kehidupannya mereka dapat pergi ke hutan dalam wilayah
286
M.M. Djojodigoeno, dan R Tirtawinata, Het Adatprivaatrecht van Middel-Java, Bandung : Sukamiskin, 1940, hal. 36.
287
Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, terjemahan H.B. Jassin. Jakarta : Gita Karya, 1963, hal. 236.
288
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, op cit, hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
lingkungan hidupnya dan membukanya. Perbuatan tersebut dilakukan dengan memenuhi asas religio-magis yaitu hubungan dengan dunia nyata maupun dunia yang
tidak kelihatan. Hubungan dengan dunia nyata dilakukan dengan memberitahukannya kepada Kepala Persekutuan Hukum Adatnya.
289
Di Jawa dan Madura hak ini disebut dengan hak atas tanah yasan milik. Hak ini memberikan wewenang untuk memperlakukan suatu benda sebagai kepunyaan
sendiri dengan beberapa pembatasan. Hak ini meliputi hak untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari benda tersebut dan hak untuk mempergunakannya seolah-olah sang
pemegang hak itu pemiliknya. Sehingga dia boleh menjual, menggadaikan atau memberikannya kepada pihak lain.
Hubungan dengan dunia tidak kelihatan dilakukan dengan membuat upacara yang di luar Jawa terutama Sumatera
disebut dengan pancung alas guna memulihkan keseimbangan religio-magis. Setelah terbukti intensitas pengerjaannya dalam waktu yang lama tanpa terputus tanah hutan
tersebut dapat menjadi hak milik warga yang mengerjakan tanah tersebut.
Hak ini dibatasi oleh beberapa hal. Batas pertama adalah Staatsblad Tahun 1875 Nomor 179 tentang larangan Penjualan Tanah, Staatsblad Tahun 1906 Nomor
83 tentang Peraturan Desa Inlandse Gemeente Ordonnantie. Yang lain adalah serangkaian kewajiban yaitu kewajiban untuk menghormati hak menguasai desa
selama hak milik masih diliputinya; kewajiban menghormati kepentingan pemilik hak lainnya; kewajiban mentaati dan menghormati ketentuan-ketentuan tentang pemilik
tanah dalam hukum adat.
290
Baik Perseorangan maupun persekutuan hukum dapat menjadi pemegang hak milik. Dengan demikian terdapat hak milik perseorangan dan hak milik komunal. Di
luar Jawa dan Madura hak milik ini memberikan wewenang untuk mendapat kenikmatan sepenuhnya atas benda dan mempergunakannya seakan-akan kepunyaan
sendiri dengan beberapa pembatasan. Hak ini dapat diperoleh dengan : membuka tanah, dan mengajukan permintaan. Kepada para kuli kontrak di Lampung diberikan
hak milik setelah tanah dikerjakan selama 10 tahun oleh Residen. Atas tanah domein bebas di ibukota-ibukota daerah dapat diberikan juga hak milik oleh Direktur
Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri.
Berdasarkan subjeknya terdapat dua jenis Hak Milik. Yang pertama adalah Hak Milik Perseorangan Erfelijk Individueel Bezitsrecht. Di Jawa hak ini terdapat di
Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah-daerah yang penduduknya berasal dari Madura; dan juga di Madura. Karena banyak tanah dibuka maka untuk mencegah hal yang
berlebihan dikeluarkan Ontginnings Ordonnantie Peraturan Pembukaan Tanah
289
Happy Warsito, Hak-hak Keagrariaan Adat ,op cit, hal.127.
290
I b i d
Universitas Sumatera Utara
dalam Staatsblad Tahun 1925 No. 649 jo Tahun 1928 No. 340, Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, dan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 423. Untuk luar Jawa dimuat
dalam peraturan agraria berlainan. Tanah negara bebas vrijlands domein boleh dibuka dengan ijin Gubernur. Dikecualikan adalah: lelaki yang tidak mampu,
perempuan, perserikatan desa, badan keagamaan dan badan pemerintah. Apabila pemegang ijin meninggal maka warisnya berhak membuka atau melanjutkan
pembukaan tanah. Apabila pemegang ijin tidak memenuhi syarat, ijin dapat dicabut.
291
Yang kedua adalah hak milik komunal: sawah desa Cirebon, Kedu, Tegal, Pekalongan; playangan Banyumas; sanggan Bagelen; norowito, sewon, jung,
bakon Jepara; kramanan, ideran, bagen, rojo, kongsen Rembang. Hak ini bukanlah hak asli bangsa. Perubahan hak milik perseorangan menjadi hak komunal
terjadi sewaktu kompeni Verenigde op Oost Indische Compagnie: VOC mengadakan rodi kerja paksa dan monopoli. Hak ini berkembang terutama karena
Tanam Paksa di Jawa dan Madura. Hak ini tidak boleh diasingkan namun boleh dijual atau digadaikan kepada bumiputera sesuai dengan hukum adat.
292
Di Jawa Tengah hak ini bercampur dengan hak milik perseorangan. Hak ini terdapat di Jawa Barat dan luar Jawa dan Madura. Di daerah dengan hak milik
komunal terdapat pembagian dengan bagian yang tetap maupun yang diperbarui tiap waktu. Pekarangan rumah selalu merupakan hak milik perseorangan.
Apabila seorang warga desa membuka tanah yang diatasnya terdapat hak komunal maka diperolehnya
hak pakai atas tanah tersebut. Hak ini memberikan wewenang untuk mengusahakan, serta memberikannya kepada orang lain, menggadaikan maupun menyewakan baik
kepada bumiputera maupun bukan Pasal 13 Inlands Gementee Ordonnantie, Staatsblaad Tahun 1906 Nomor 83.
Hak semacam ini sering menimbulkan penyalahgunaan yang berupa kecurangan dalam pembagian, kurangnya hasrat untuk mengerjakannya dengan baik atau
memperbaikinya karena tiada jaminan untuk dapat mengerjakannya dalam waktu yang lama diperbarui sewaktu-waktu. Karena itu diadakan kesempatan untuk
mengubah konversi hak ini menjadi hak milik perseorangan dengan Convertie Besluit, Staatsblad Tahun 1885 Nomor 102. Konversi dilakukan apabila minimal ¾
dari yang berhak memakai tanah menghendaki dan menyetujui cara pembagiannya; tiap orang yang berhak memakai tanah komunal menerima bagian tanah dengan hak
milik perorangan; dan tanah bengkok dikeluarkan dari pembagian.
293
291
Ibid, hal.128.
Rencana
292
I b i d
293
I b i d
Universitas Sumatera Utara
pembagian diberitahukan kepada Residen yang membentuk Panitia Pemeriksaan. Setelah memeriksa dan mendengar yang berkepentingan kemudian dibuat berita
acara. Apabila tidak terdapat keberatan Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten memutuskan perubahan tersebut. Karena ketentuan ini tidak sesuai dengan hukum
adat maka jarang dipergunakan. Desa-desa dengan pembagian tetap kembali dengan sistem pembagian berganti.
Selain dengan konversi, terdapat tiga cara untuk mendapatkan hak milik yaitu: pembukaan tanah, pemberian pemerintah, dan pernyataaan peraturan. Pasal 7
Staatsblad Tahun 1870 Nomor 118 menentukan bahwa Gubernur Jenderal menetapkan peraturan pembukaan tanah Bumiputera. Karena itu untuk Jawa Madura
dikeluarkan Ontginnings Ordonnantie dalam Staatsblad Tahun 1874 Nomor 179, Staatsblad Tahun 1896 Nomor 44, dan Staatsblad Tahun 1925 Nomor 649, dengan
beberapa perubahan. Peraturan ini mulai berlaku di Jawa Barat pada 1929 dengan Staatsblad Tahun 1928 Nomor 538, di Jawa Tengah pada 1931 dengan Staatsblad
Tahun 1930 Nomor 428, dan di Jawa Timur pada 1931 dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 115.
Terdapat tiga tujuan peraturan ini. Yang pertama adalah membatalkan penggarapan atau pembukaan tanah; yang kedua untuk mencegah pembukaan daerah
dengan mata air yang menghalangi pengairan; dan yang ketiga untuk mengatur hak menguasai ulayat desa.
294
Ditentukan bahwa untuk membuka tanah diperlukan ijin pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal. Hal ini terjadi cuma-cuma dan tidak dapat dioperkan tanpa
persetujuan pemberi. Apabila yang mendapatkannya meninggal maka ahli waris dapat melanjutkan atau memulai pembukaan tanah. Ijin dapat ditolak untuk
kepentingan negara atau pihak ketiga. Ijin juga dapat dicabut bila tidak selesai dalam waktu ditentukan atau tidak sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Dalam Pasal
6 ditentukan apabila semua syarat dipenuhi maka pembukaan tanah mendapatkan hak milik.
Untuk luar Jawa Madura diatur dengan Peraturan Agraria Agrarisch Reglement : Staatsblad Tahun 1915 Nomor 678, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 497,
Staatsblad Tahun 1925 Nomor 560 untuk karesidenan Sumatra Barat; : Staatsblad Tahun 1918 Nomor 80, : Staatsblad tahun 1919 Nomor 98 untuk karesidenan
Manado; Staatsblad Tahun 1923 Nomor 508; Staatsblad Tahun 1927 Nomor 194, : Staatsblad Tahun 1927 Nomor 451, Staatsblad 1938 Nomor 157, Staatsblad 1938
Nomor 371 untuk karesidenan Bangka dan sekitarnya; Staatsblad Tahun 1923 Nomor 509, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 394, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 561,
Universitas Sumatera Utara
Staatsblad Tahun 1938 Nomor 371, Staatsblad Tahun 1939 Nomor 47 untuk karesidenan Bali dan Lombok; Staatsblad Tahun 1923 Nomor 253, Staatsblad Tahun
1924 Nomor 595, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 392 untuk karesidenan Riau dan sekitarnya; Staatsblad Tahun 1927 Nomor 40, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 195,
Staatsblad Tahun 1938 Nomor 371 untuk karesidenan Tapanuli; Staatbld Tahun 1925 Nomor 353, Staatsblad Tahun 1925 Nomor 596, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 141,
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 286, Statblad Tahun 1927 Nomor 193, Staatsblad Tahun 1938 Nomor 371 untuk keresidenan Sumatera Selatan.
295
Hak Usaha Mengerjakan dan Menanami
296
Hak menikmati tanah untuk sementara. Tanah liar atau kosong yang tidak termasuk desa dibuka dengan tidak mendalam dan setelah dipungut hasilnya sekali
atau dua kali, ditinggalkan. Hak ini lemah tak dapat dijual, digadaikan atau diwariskan dan akan bebas apabila penggarapan dihentikan.
. Di daerah-daerah dimana hak milik masih dikuasai oleh hak menguasai ulayat maka hak usaha ini sama dengan
hak milik. Hak ini dapat diwariskan tetapi tidak dapat dijual. Hak ini timbul karena penggarapan tanah yang di bawah raja-raja yang berkuasa mutlak. Apabila raja ini tak
ada lagi hak milik bebas timbul. Yang termasuk dalam hak semacam ini adalah : Hak atas tanah penduduk di sebelah barat Sungai Cimanuk yang di dalam Staatsblad
Tahun 1912 Nomor 422 disebut sebagai hak erfpacht. Lain dengan hak erfpacht menurut Burgerlijk Wetboek. Selanjutnya Hak memetik berhubungan dengan kebun
kopi pemerintah dulu. Dengan Staatsblad Tahun 1910 Nomor 163 mereka yang wajib menanami setelah hapusnya tanam paksa diberi hak memetik atas tanah negara yang
atas perintah negara ditanami kopi; Hak para kuli kontrak dari Bagelen atau tempat lain di Jawa atas tanah di Lampung berdasarkan Bijblad Nomor 7535.
Hak pakai atas tanah persekutuan. Tanah persekutuan adalah tanah yang oleh golongan bumiputera dipakai perseorangan, yaitu tanah komunal di Jawa dan Madura
maupun tanah bengkok. Hak pakai ini hanya berlangsung selama hidup atau selama menjadi penduduk desa atau selama menjabat.
Hak meramu atau mengumpulkan. Hak ini meliputi wewenang untuk menggali, memburu dan menggembala sebagai akibat dari hak mengusai desa. Semula tidak ada
campur tangan pemerintah namun akhirnya dipandang perlu untuk mengeluarkan Staatsblad Tahun 1930 Nomor 38 tentang Pertambangan, Staatsblad Tahun 1931
Nomor 133 tentang Perburuhan dan Staatsblad Tahun 1932 Nomor 17 tentang Cagar Alam. Hak menggembala tersedia bagi tiap penduduk desa yang termasuk dalam desa
294
Ibid, hal.129.
295
I b i d
296
Ibid, hal.131.
Universitas Sumatera Utara
atau di tempat tertentu atas tanah liar atau kosong atau tanah yang baru dipungut hasilnya bila dibiarkan kosong tidak ditanami atau dipagari.
297
Hak membagihasilkan. Sering seorang pemilik tanah menyuruh orang lain mengerjakan tanah dengan perjanjian bahwa hasil kotor dari tanah garapan tersebut
akan dibagi bersama. Lazim dijumpai di atas tanah dengan hak milik perorangan, hak milik komunal atau bengkok. Biasa disebut ngedol tahunan dengan pembayaran uang
ataupun hasil bumi. Penggarap atau pekerja menikmati hasil dari tanah orang lain lalu membayar sejumlah imbalan kepadanya. Jarang terjadi di antara Pribumi.
Hak gadai atas tanah. Gadai adalah perjanjian dimana sebidang tanah oleh pemiliknya diserahkan kepada orang lain untuk dipakai dengan pembayaran sejumlah
uang dengan kewajiban mengembalikannya apabila uang telah dibayar kembali atau denga kata lain perjanjian penyerahan tanah untuk dipakai orang lain dengan
pembayaran dengan hak untuk menebusnya. Hak ini tidak dapat diwariskan.
5. Transaksi yang dikenal dalam hukum adat