No A. Subjek B. Obyek
A. POKOK PERMASALAHAN
B. TIPOLOGI C. FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB Kronologis
Permasalahan
1 A. Forum Tani
Sejahtera Indonesia dengan
Partomuan Marga Damanik dan
PTPN IV Kebun Bah Butong seluas
+
40 Ha B. Tanah tersebut
seluas +40ha menurut
pengakuan masyarakat telah
diusahai sejak tahun 1971 oleh
Masyarakat Forum Tani Sejahtera
Indonesia A. Sengekata lahan PTPN
IV yang belum di usahai, dikerjakan oleh
Masyarakat Forum Tani Sejahtera
Indonesia kemudian Partomuan Marga
Damanik mengaku tanah leluhurnya.
C. Karena tanah tidak diusahai oleh PTPN IV
dalam waktu lama, kurang jelas apa
masalahnya -
Lahan kepunyaan PTPN IV yang tidak
dipergunakan dalam waktu lama, yang
kurang jelas alasannya kemudian
dikerjakan oleh Masyarakat Forum
Tani Sejahtera dan di atas tanah telah
berdiri beberapa bangunan rumah
semi permanen milik warga Masyarakat
Forum Tani Sejahtera Indonesia
2 A. Sertifikat Hak
Milik No. 5 An. Ramlan Zeek,
dibebani Hipotik Bank Danamon
dan Surat Tanahnya di
agunkan ke koperasi.
B. Sebuah tanah dan rumah terletak di
Desa Margo Mulyo,
Kecamatan Gunung Malela,
Kabupaten Simalungun.
A. Pemilik Sertifikat Hak Milik No. 5
mengagunkan tanahnya ke Bank Danamon dan
Koperasi.
C.Ramlan Zeek mengagunkan tanahnya
di 2 dua tempat Bank Danamon dan Koperasi
dengan agunan 1 satu bidang tanah rumah.
- Sertifikat Hak Milik No. 5 Ramlan Zeek
di agunkan ke Bank Danamon
- Kemudian Surat Keterangan Kepala
Desa di Agunkan ke Koperasi, dengan
bidang tanah yang sama Hak Milik No.
5 An. Ramlan Zeek
3 A. Masalah Sengketa
A. Sengketa pemilikan - Bahwa Ingotan Diana
Universitas Sumatera Utara
Kepemilikan antara Ingotan Diana
Sinamo Istri Tamat Ginting
Jawak dengan Ina Br Sinaga.
B. Tanah yang berukuran lebar
5M Panjang 20M 100M
2
tanah.
yang terletak di Karang
Lau Cimba C. Karena salah satu pihak
menyewakan rumah tersebut pada orang lain
kemudian yang berbatasan mengaku
tanah tersebut kepunyaannya.
Sinamo menguasai tanah tersebut
berdasarkan Surat Penyerahan Tanggal
12-01-1970 yang diperoleh suami
Ingotan Diana Sinamo Istri Tamat
Ginting Jawak dari Keliling Ginting
tanah tersebut berukuran lebar 5M
Panjang 20M 100M
2
-
Kemudian diterbitkan Surat Penyerahan
Hak Warisan Sebidang Tanah
Tanggal 2 Oktober 2009 No. Reg
5936220202009, Pangulu Rambung
Merah, berdasarkan Surat Pernyataan Ahli
Waris tanggal 2 Oktober 2009
terletak di Karang Lau Cimba.
4 A. Masalah tanah atas
nama Saut Budi Tuah Damanik.
Desa Sipolha Kecamatan
Sidamanik, Kabupaten
Simalungun.
B. Hak Milik Nomor 18 Sipolha dan
Hak Milik Nomor 20 Sipolha
A. Sengketa tanda batas. C. Karena selama ini pihak
pemegang Hak Milik No. 18 tidak menguasai
sendiri tanah tersebut. - Bahwa Sertifikat Hak
Milik Nomor 18 dan 20 Sipolha telah
berkurang luasnya di lapangan di lokasi
masing-masing sertifikat tersebut.
5 A. PTPN IV dengan
Masyarakat Mekar Mulia.
A. Sengketa batas tanah antara HGU dengan Hak
Milik No. 41 Mekar - Di dalam HGU No. 7
PTPN IV kebun Balimbingan di duga
Universitas Sumatera Utara
Permasalahan tanah masyarakat
di areal PTPN IV Kebun
Balimbingan.
B. Sertifikat Hak Milik No. 41
Makar Mulia yang letaknya di
lembah jurang desa Nagori
Mekar Mulia, Kecamatan Tanah
Jawa, Kabupaten Simalungun
Mulia. C. Sertifikat Hak Milik No.
41 berada di lembah Kebun PTPN IV.
terdapat Hak Milik No. 41 An Sutarno
Tanggal 5 Nopember 2002 seluas 9.180 M
2
yang letaknya di Desa nagori Mekar
Mulia, Kecamatan Tanah jawa,
Kabupaten Simalungun
6 A. Sdr. Kemin dkk
155 kk dengan PTPN III Kebun
Bandar Betsy luas tanah 115 Ha.
B. Bekas HGU No. 1 Kebun Bandar
Betsy telah berakhir haknya
tanggal 31 Desember 2005
luas tanah 5.348,9 A. Sengketa kepemilikan
atas tanah. C. Kelompok Kemin dkk,
menguasai tanah tersebut sejak tahun
1943 sampai 1968 kemudian PTPN
menduduki tanah tersebut dari tahun 1968
sd 2000, sedang Kemin dkk menduduki kembali
sejak tahun 2000 sampai sekarang.
- Bahwa tanah seluas 215 Ha tersebut
menurut pengakuan Kemin dkk dikuasai
sejak 1943 sd 1968, pada tahun 1965
keluar SK Panitia Landreform Tanggal
2 Maret 1965 dan pada tahun 1968 sd
2000 di kuasai oleh Kebun PTPN III
Bandar Betsy dari tahun 2000 sd saat
ini dikuasai diusahai oleh Kemin dkk
seluas 115 Ha untuk tanah pertanian
7 A. Sdri. Halimah
Sinaga dan Murjimah Sinaga
Jalan Pematang No. 7A Pematang
Siantar.
B. Sertifikat Hak Milik No. 1171 seluas
1.985 M
2
A. HM 1171 dan HM 1759 sebagian di duduki oleh
orang lain tanpa seizin pemilik tanah.
dan HM C. Karena tanah tersebut
disewakan kepada orang lain untuk ditanami
tanaman ubi kayu - Bahwa tanah Hak
Milik dan No sebahagian di garap
orang
+
35 M
2
dan 15 M
2
untuk rumah dan kedai kopi.
Universitas Sumatera Utara
No. 1759 seluas 420 M
2
sedang pemilik tidak bertempat tinggal di luar
tanah tersebut. letak tanah
Jalan Mata Air Desa Nagori
Rambung Merah sekarang Pematang
Simalungun
8 A. Sdr. Ade Silalahi
dan Sdr. Pahala Sihombing, Ketua
dan Sekretaris LSM ALIANSI
TANNAS.
B. Penerbitan beberapa
Sertifikat Hak Milik yang
letaknya di Nagori Buntu Bayu,
Kecamatan Hatonduhan
tanah EX HTI seluas 340.70 Ha
A. Tentang Penerbitan Hak Milik Tahun 2007
sebanyak 42 Sertifikat dan Tanggal 6 Maret
2009 sebanyak 42 Sertifikat di lokasi EX
HTI.
C. Karena masyarakat yang menerima pembagian
tanah tersebut atas penunjukan Panitia
Pembagian Tanah tidak jelas letak maupun
batas-batasnya dilapangan..
- Bahwa Panitia Pembagian Tanah
EX HTI memberikan persil-persil kepada
Kelompok Tani di Buntu Bayu,
Kecamatan Hatonduhan
kemudian BPN Kabupaten
Simalungun berdasarkan
pembagian tersebut menerbitkan
sertifikat sesuai dengan peraturan
yang berlaku sedang sebahagian dari
Kelompok Masyarakat ada yang
keberatan atas pembagian tersebut.
9 A. Kelompok Tani
Makmur An. Damril dkk
sebanyak 33 kk Desa Bandar Betsy
II, Kecamatan Bandar Huluan,
Kabupaten Simalungun atas
tanah seluas +10 Ha seluruhnya
seluas 17,2 Ha.
B. Bekas HGU No. 1 A. Tanah yang sejak dulu
dikuasai oleh Kelompok Tani Makmur kemudian
sebagian dari luas tanah tersebut dikuasai oleh
Kebun Bandar Betsy An. PTPN III
C. Karena pada tahun 2003 patok tanda batas HGU
No. 1 Kebun Bandar Betsy berada di luar
tanah yang dikuasai masyarakat, kemudian
- Bahwa Masyarakat Kelompok Tani
Makmur telah menguasai tanah
tersebut sebelum ada HGU Kebun Bandar
Betsy yang letak tanah masyarakat
berdampingan dengan Kebun
Bandar Betsy luas nya +17,2 Ha
kemudian di tahun
Universitas Sumatera Utara
Kebun Bandar Betsy telah
berakhir haknya tanggal 31
Desember 2005 luas tanah 5.348,9
pada tahun 2006 patok berada di dalam areal
tanah yang dikuasai oleh Kelompok Tani
Makmur. 2011 sebahagian
disuguh hati oleh Kebun Bandar Betsy
seluas +7,2 Ha sedang di areal sisa
seluas 10 Ha terdapat patok tanda batas
Kebun Bandar Betsy yang dulunya berada
di luas areal Kebun Kelompok Tani
Makmur
Dari hasil penelitian lapangan, telah ditemukan sengketa hak atas tanah adat, baik menyangkut hak Partuanon hak ulayat, hak komunal atas tanah dari masyarakat
hukum adat maupun hak perorangan yang memang berasal dari hak atas tanah adat. Ada 4 empat kasus besar sengketa hak atas tanah adat yang akan diuraikan
berdasarkan tipologi dan faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan tersebut, dan 1 sengketa tanah yang berasal dari hak atas tanah adat hak perseorangan yang
diselesaikan menurut musyawarah mufakat mengambil asas, konsepsi, lembaga hukum adat Simalungun.
Kasus 1 : Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok Kelurahan
Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun
Bahwa pada tahun 2003 Pengadilan Negeri Simalungun memeriksa dan mengadili perkara perdata antara “Keturunan Ama Ni Marhilap Sinaga Amal Sinaga,
Salamat Sinaga, dan Jhon Sinaga, Keturunan Sijua Sinaga Efendi Sinaga, melawan Manatar Sinaga dan kawan-kawan sebanyak 36 orang.
Bahwa semasa hidupnya Op, Buttu Pasir adalah Raja yang membuka Sipukka Kerajaan Harajaan Buttu Pasir yang saat ini terdiri dari 5 lima kampung Huta,
yaitu kampung Buttu Pasir sebagai pusat Kerajaan, Kampung Tiga Rihit, kampung Lumban Tongatonga, Kampung Parmanukan, Kampung Bangun Dolok.
Bahwa semasa hidupnya keturunan Op. Buttu Pasir yaitu Amani Marhilap Sinaga ada membuka Kampung Sipukka Hutta yang merupakan bahagian dari
kerajaan Op. Buttu Pasir, yaitu kampung Bangun Dolok sekarang merupakan anak kampung Bangun Dolok
Bahwa semasa hidupnya keturunan Op. Buttu Pasir adalah Raja yang membuka Sipukka Kerajaan Harajaon Buttu Pasir yang saat ini terdiri dari 5 lima kampung
Huta, yaitu Kampung Buttu Pasir sebagai pusat kerajaan, Kampung Tiga Rihit, Kampung Lumban Tongatonga, Kampung Parmanukan, Kampung Bangun Dolok.
Bahwa semasa hidupnya keturunan Op. Buttu Pasir yaitu Ama Ni Marhilap Sinaga ada membuka Kampung Sipukka Huta yang merupakan bahagian dari
Kerajaan Op. Buttu Pasir, yaitu Kampung Bangun Dolok sekarang merupakan anak
Universitas Sumatera Utara
Kampung Bangun Dolok karena Ama Ni Marhilap adalah keturunan Raja Buttu Pasir, maka ia berhak untuk membuka Kampung di atas Kerajaan Buttu Pasir dan
Kampung Bangun Dolok, luasnya lebih kurang 3 ha tiga hektar yang terletak di Bangun Dolok Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon kabupaten
Simalungun dengan batas-batas sebagai berikut
a. Sebelah Utara berbatas dengan Tanah Negara
b. Sebelah Selatan berbatas dengan Lajangan
c. Sebelah Timur berbatas dengan Lajangan Bangun Raja
d. Sebelah Barat berbatas dengan Ladang Pinus
Bahwa keturunan Op. Buttu Pasir lainnya, anak kedua dari Ama Ni Marhilap yaitu Siharajaon Sinaga Jungil ada membuka Kampung Sipukka Huta bahagian
dari kerajaan Op. Buttu Pasir, yaitu yang disebut Bangun Raja sekarang merupakan anak Kampung Bangun Dolok karena Siharajaon adalah Keturunan Op. Buttu Pasir,
maka ianya berhak untuk membuka Kampung di atas Kerajaan Buttu Pasir dan bangun Raja luasnya 15 ha lima belas hektar yang terletak di Bangun Dolok
kelurahan Parapat kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun dengan batas-batas sebagai berikut.
a. Sebelah Utara berbatas dengan Tanah Negara
b. Sebelah Selatan berbatas dengan Lajangan
c. Sebelah Timur berbatas dengan Jurang
d. Sebelah Barat berbatas dengan Bangun Dolok, Ladang Pinus
Bahwa dibukanya kampung Bangun Dolok oleh Ama Ni Marhilap dan Kampung Bangun Raja oleh Siharajaon maka kedua kampung tersebut mempunyai
tanah tempat pengembalaan ternak Lajangan di atas Kerajaan Buttu Pasir dan terletak di Bangun Dolok kelurahan Parapat kecamatan Girsang Sipangan Bolon
kabupaten Simalungun dan sebahagian dari Lajangan tersebut seluas telah disewakan Raja Usia kepada Tuan Lemes dan Tuan Houninge;
Bahwa sisa Lajangan seluas + 3ha yang masih dipergunakan oleh kedua Kampung tersebut mempunyai batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatas dengan Bangun Dolok, Bangun Raja
b. Sebelah Selatan berbatas dengan Lajangan
c. Sebelah Timur berbatas dengan Jurang
Universitas Sumatera Utara
d. Sebelah Barat berbatas dengan Bangun Dolok, Ladang Pinus
Bahwa pada zaman sebelum kemerdekaan Kampung Bangun Dolok telah didaftar kepada pemerintahan Belanda sebagai Tanah milik dari Ama Ni Marhilap
dan pendaftaran tersebut meliputi Bangun Dolok, Bangun Raja dan Lajangan sebagaimana disebutkan diatas.
Bahwa pada saat Kampung Bangun Dolok yang dibuka Ama Ni Marhilap terbakar maka Ama Ni Marhilap pindah ke Kampung Tiga Rihit dan meninggalkan
Kampung Bangun Dolok anak kampung Bangun Dolok sekarang ditinggalkan dalam keadaan kosong dan masyarakat yang ada di atasnya juga ikut berpindah dan
sebahagian besar pindah ke Bangun Raja
355
Bahwa saat Siharajaon yang membuka Kampung Bangun Raja meninggal dunia dan tidak meninggalkan keturunan, maka saudaranya yaitu bernama Marhilap dan
Sijua yang juga anak dari Ama Ni Marhilap pindah dari Kampung Tiga Rihit ke Bangun Raja untuk meneruskan Kampung Bangun Raja.
.
Bahwa setelah Indonesia merdeka maka Pemerintah Indonesia mendata kembali tanah-tanah yang ada di Wilayah Indonesia dan ketiga tanah sebagaimana disebutkan
di atas yaitu Kampung Bangun Dolok, Kampung Bangun Raja, dan Lajangan didata kembali dan sejak saat itu dinamakan Kampung Bangun Dolok sampai sekarang.
Bahwa ketiga bahagian tanah tersebut yaitu Kampung Bangun Dolok, Kampung Bangun Raja, dan Lajangan sekarang disebut kampung Bangun Dolok
seluas + ha 20 dua puluh hektar merupakan satu kesatuan hak dari Ama Ni Marhilap dan semasa hidupnya Ama Ni Marhilap ada memberikan dengan seijin dan
sepengetahuannya kepada masyarakat untuk menempati dan mengusahai tanah terperkara dan hal tersebut berlanjut sampai sekarang, dan saat ini di Bangun Dolok
ada tinggal keturunan langsung Ama Ni Marhilap dan mempunyai rumah dan mengusahai ladang dan juga keturunan masyarakat yang telah diberikan tempat oleh
Ama Ni Marhilap.
Bahwa masyarakat yang menempati tanah tersebut haruslah seijin dan sepengetahuan oleh Ama Ni Marhilap dan mereka hanya diberikan ijin untuk
menempati dan mengusahai dan bukannya memiliki dan saat ini tergugat I, II, III, sd XXXVI mengusahai bahagian-bahagian tanah terperkara.
Bahwa di atas tanah terperkara penggugat I dan II ada mempunyai ladang, saudara penggugat I dan penggugat II, yaitu M. Japaya Sinaga mempunya ladang,
Marben Sinaga mempunyai ladang dan Hemat Sinaga mempunyai Ladang. Bahwa di atas tanah terperkara penggugat IV ada mempunyai ladang dan
saudara penggugat IV yitu Na Risma Br. Sirait mempunyai Ladang, Marolop Sinaga mempunyai ladang dan Jaden Sinaga mempunyai rumah dan ladang.
Bahwa keturunan langsung Ama Ni Marhilap yaitu cucunya bernama Hati Sinaga, semasa hidupnya sempat menjabat sebagai Gamot Bangun Raja sekarang
355
Hasil wawancara yang telah diolah dengan 3 orang tokoh adat di Desa Bangun Dolok Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun, Tanggal 3 Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
merupakan anak Kampung Bangun Dolok, hal tersebut terjadi karena Hati Sinaga merupakan keturunan langsung dari Pembuka Kampung Sipukka Huta Bangun
Dolok;
Bahwa sepengetahuan Penggugat-penggugat, tanah terperkara merupakan satu kesatuan yang dibuka dipukka oleh Ama Ni Marhilap dan keturunannya dan tidak
ada orang lain yang membuka mamukka kampung di tanah terperkara baik keturunan Op. Buttu Pasir yang selain dari Ama Ni Marhilap apalagi yang bukan
keturunan Op. Buttu Pasir;
Bahwa sudah menjadi hukum tidak tertulis, dimana Raja-raja kerajaan lain tidak bisa membuka kampung di bahagian tanah milik orang lain dan juga keturunan
istri kedua imbang tidak bisa membuka kampung. Bahwa ternyata Tergugat I dan II telah mengklaim sebahagian tanah terperkara
sebagai hak dari bapak dan kakek tergugat I dan II. Bahwa oleh karena keturunan Ama Ni Marhilap yaitu Penggugat-penggugat
dan saudara-saudara Penggugat-penggugat tidak pernah mengetahui adanya sipukka huta kampung lain selain Ama Ni Marhilap dan keturunannya atas tanah terperkara,
oleh karena itu pengakuan Tergugat I bahwa kakek Tergugat I dan pengakuan Tergugat II sebagai Pembuka Kampung Sipukka Huta yang merupakan kesatuan
dari tanah terperkara telah merugikan kepada penggugat-penggugat, saudara-saudara penggugat dan juga keturunan Ama Ni Marhilap lainnya selaku keturunan langsung
dari Ama Ni Marhilap.
Bahwa setelah penggugat-penggugat selaku keturunan langsung dari sipukka huta Bangun Dolok yaitu Ama Ni Marhilap mengetahui adanya klaim tergugat I dan
II atas tanah terperkara, maka Penggugat I dan II dengan keluarga Penggugat I dan II telah berulangkali mencoba mencari jalan keluar untuk penyelesaian masalah tersebut
secara baik-baik dan kekeluargaan akan tetapi hingga dimajukannya gugatan itu ke Pengadilan Negeri Simalungun Tergugat I dan II tidak menunjukkan itikad baiknya
agar permasalahan ini dapat segera terselesaikan.
Bahwa pada tanggal 22 Juli 2003 dilangsungkan pertemuan yang membahas sengketa kepemilikan hak atas tanah di Bangun Dolok yang diadakan di kantor
kelurahan Parapat Tergugat III; Bahwa yang hadir pada saat itu antara lain Amal Sinaga Penggugat I, Saritua
Sinaga dan Jhon Sinaga Penggugat III, Tergugat II, Tergugat III, M.J Sinaga Tergugat IX, Jori Sinaga dan Jaudin Sinaga, dan juga Tergugat III selaku Lurah
Parapat.
Bahwa dalam pertemuan tersebut
356
356
Sperti yang diungkapkan pada wawancara dengan masyarakat adat Desa Bangun Dolok yang dikumpulkan di rumah keluarga Hotlem Ambarita pada tanggal 04 Mei 2011
Penggugat I dan III merasa heran karena Tergugat III tidak mengundang penetua-penetua Kampung Raja-raja Bius Silima
Tali Harajaon Parapat yang berada di sekitar Bangun Dolok dan juga keturunan Raja Sijua, akan tetapi yng hadir adalah orang-orang yang menguntungkan Tergugat I dan
II dan pada dasarnya mereka tidak mengetahui sejarah Bangun Dolok, sehingga
Universitas Sumatera Utara
perbuatan Tergugat III yang tidak mengundang seluruh Penetua Kampung di Parapat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan merupakan perbuatan
melawan hukum karena pendapat yang disampaikan dalam pertemuan tersebut hanya sepihak tanpa didukung fakta, bukti dan pernyataan penetua kampung lainnya;
Bahwa atas pertemuan tersebut Tergugat III telah mengeluarkan Notulen Rapat bertanggal 22 Juli 2003.
Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi Medan
357
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun tanggal 6 Juli 2004 No. 35Pdt. G2003PN. Sim, mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian dan
menyatakan dalam hukum bahwa pembuka kampung sipukka huta tanah terperkara, Bangun Dolok sekarang adalah Amani Marhilap dan keturunannya.
, Penggugat Amani Marhilap mengajukan “ banding” adalah sebagai berikut :
Keputusan Mahkamah Agung
358
Bahwa Posita gugatan, Penggugat ternyata tidak menyebutkan secara jelas tentang luas dan batas-batas objek sengketa sehingga akan menyulitkan
eksekusi di kemudian hari apabila telah ada Putusan yang berkekuatan hukum tetap atas obyek sengketa, lagi pula pemeriksaan setempat yang
dilaksanakan oleh yudex facti Pengadilan Negeri juga tidak menghasilkan suatu kejelasan tentang luas dari batas-batas objek sengketa a quo;
Di samping itu masih terdapat beberapa orang yang menguasai bagian- bagian dari objek sengketa tidak diikutsertakan sebagai Tergugat dalam
perkara ini sehingga apabila pemeriksaan materi perkara ini dilanjutkan tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan suatu pemeriksaan perkara yang
tidak tuntas. Demikianlah konflik hak atas tanah adat itu masih terus berlangsung
meskipun keputusan MARI Mahkamah Agung Republik Indonesia sudah ada namun belum bisa dieksekusi. Berdasarkan wawancara kondisi di
lapangan “sangat mencekam”
359
Perlu dijelaskan Op. Buttu Pasir kawin dengan 2 orang perempuan yaitu : 1.
Boru Sijabat anaknya : Ama Ni Buttu Pasir keturunan Ama Ni Buttu Pasir Op. Salajambar keturunan Op.Salajambar : Si Raja Hataon, Op.Jaunian,
Ama Ni marhilap, jika digambarkan dengan skema sebagai berikut :
357
Putusan No : 297PDT2004PT.MDN
358
Putusan MA Nomor : 2143KPDT2005; Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 297PDT2004 PT MDN tanggal 5 April 2005 yang membatalkan Putusan PN Simalungun No.
37PDT.G2003PN Sim.6-07-2004.
359
Mereka; pihak Penggugat dan Tergugat masih memiliki tanah di lokasi yang dipersengketakan tetapi saling tidak berani untuk mengusahai akibat takut jika kembali terjadi pertikaian yang bisa mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
“penganiayaan” bahkan lebih dari itu, akibat belum dieksekusinya Putusan Mahkamah Agung RI, wawancara dengan masyarakat adat Desa Bangun Dolok, ibid
Op Buttu Pasir kawin dengan boru Sijabat
Ama Ni Buttu Pasir
Op. Salajambar
Si Raja Hataon Op. Jauniah
Ama Ni Marhilap
Marhilap
Siharajaon
Sijua
Nagatua Sinaga
Saritua Sinaga
Duri Sinag
a
Ramot br Si
naga
Hati Sinaga
Dasing Sinaga
Mula Sinaga
Sopia Mana
Mina Johanna
Martuhan Marihgan
Sinaga
Matio Sinag
Marbu n
Amal Sinaga
M. Jayapaya
Sinaga
Oris Marolop
Joden Efendi
Hemat Sinaga
John Sinaga
Universitas Sumatera Utara
2. Kawin dengan boru Rumahorbo, keturunannya :
a. Op.Bungaindar.
b. Op.Tomas.
c. Op.Hapal.
a. Tipologi sengketa pertanahan dalam kasus 1 satu diatas adalah : 1
Sengketa di atas merupakan sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.
2 Sengketa tanah yang berkaitan dengan hak ulayat hak Partuanon yang
mempermasalahkan tentang “sipukka huta”. 3
Sengketa Penguasaan dan Pemilikan 4
Sengketa Penetapan Hak Pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus di atas keturunan Ama Ni Marhilap
Sinaga sekelompok masyarakat adat dengan keturunan Sijua Sinaga sekelompok masyarakat adat. Meskipun sebenarnya kedua kelompok tersebut
Ama Ni Marhilap Sinaga vs Manatar Sinaga adalah keturunan dari sipukkah huta Op. Buttu Pasir.
b. Faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan dalam kasus 1 satu diatas: 1
Faktor klasik, berhubungan dengan terbatasnya ketersediaan tanah sedang kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk semakin meningkat
sehingga kebutuhan akan tanah juga semakin meningkat, ketimpangan antara peningkatan kebutuhan manusia dengan keterbatasan ketersediaan akan tanah
sering menimbulkan benturan kepentingan di tengah-tengah masyarakat ditambah dengan adanya gejala “lapar tanah” yang menyebabkan banyak
kelompok menduduki tanah orang lain tanpa hak, yang pada gilirannya menimbulkan konflik dengan melibatkan massa yang besar.
Universitas Sumatera Utara
2 Faktor Yuridis-Teknis berkaitan dengan belum terdaftarnya bidang tanah yang
ada. 3
Faktor Politik juga terkait, yaitu dengan permasalahan permasalahan pertanahan yang mengandung keterlibatan pihak Pemerintah Daerah
360
4 Faktor Historis, yang berkaitan dengan sejarah hak Partuanon, dimana si
pukkah huta yang membuka kampung Kerajaan Buttu Pasir adalah Op. Buttu Pasir.
dan DPRD setempat dengan alasan kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya.
Kasus 2 : Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang.
Sebelum menguraikan sengketanya sendiri ada baiknya menguraikan fakta historis Kerajaan Silampuyang.
Sejarah singkat silsilah keturunan Tuan Djaingat Saragih, pemegang hak partuanon ulayat Silampuyang, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara :
Sekitar tahun 1700-an, raja bestuur pertama Kerajaan Silampuyang membuka hutan untuk dijadikan lokasi perkampungan di daerah yang banyak
ditumbuhi tanaman “lampuyang” sejenis tanaman yang berkhasiat untuk obat-obatan tradisional, di sekitar tempat lokasi perkampungan Huta Bagasan yang sekarang.
Nama “Pamungkah Huta” pamatang Silampuyang adalah Tuan Tunjang Langit marga Saragih. Batas-batas daerah Tuan Silampuyang : dibuatnya di sebelah Timur:
saat ini Andarasih, di Barat: Bakaran Batu, sebelah Selatan: Bah Hilang dan di Utara: Bah Biak.
Kekuasaan Tuan Tunjang Langit berkembang pesat dengan bertumbuhnya beberapa kampung di lingkungan wilayah kekuasaannya yang cukup luas itu.
Pemerintah Kolonial Belanda pada awalnya berjaya membuka kebun tembakau Deli Tobacco di Deli Serdang dan ingin memperluas sayapnya
memperluas areal perkebunan besarnya ke wilayah Simalungun, Sumatera Timur, dan mengambil lokasi Bah Jambi sebagai pusat pengembangannya Kantor Pusat.
Yang pertama-tama diliriknya adalah wilayah Partuanon Silampuyang, yang sangat menjanjikan itu. Raja-raja di Simalungun, khususnya Raja Sang Naualuh
Damanik, Raja Siantar 18..-1906 menolak dan mengadakan perlawanan terhadap perluasan perkebunan mascape Belanda. Namun Belanda berhasil mematahkan
360
Menurut pengakuan warga dan bukti fotokopi Surat yang bersifat rahasia, beberapa kavlingan tanah pada objek perkara tersebut adalah milik para pejabat termasuk pejabat Provinsi tingkat I Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
perlawanan raja-raja Simalungun dan merampas seluruh wilayah Simalungun penaklukan Belanda atas raja-raja Simalungun, melalui penandatanganan Akta
“Korte Verklaring” oleh raja-raja Simalungun tahun 1904 dan 1907.
Raja Sang Naualuh yang menolak “Perjanjian Pendek Korte Verklaring” diasingkan pada tahun 1906 ke Pulau Bengkalis. Dengan cara-cara demikian,
Pemerintah Hindia Belanda merasa berhak merampas seluruh wilayah Simalungun termasuk daerah Partuanon Silampuyang.
Pada waktu itu, wilayah Silampuyang dikuasai oleh generasi ke 6 Dinasti ke- 6, yaitu Tuan Djaingat Saragih. Tuan ini, yang merasa sangat dirugikan oleh
Belanda, berangkat ke Batavia dan Bogor untuk memperjuangkan pengembalian tanah leluhurnya kepada Pemerintah Pusat Hindia Belanda Gubernur Jenderal.
Setelah mengatasi berbagai rintangan, Tuan Djaingat Saragih berhasil memenangkan perkaranya untuk sebagian. Sekembalinya dari Batavia, tanah yang
diperjuangkannya sudah diusahai oleh Maskape Perkebunan Belanda. Tuan Silampuyang meminta kembali seluruh tanah Harajaan Silampuyang, namun tuan
kebun Pemerintah Daerah Sumatera Timur licik, membujuknya dengan kesepakatan kedua belah pihak yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila keturunan Tuan Silampuyang dan rakyat yang dipimpinnya bertambah, maka tanah perkebunan tersebut harus dikembalikan kepada
Tuan Silampuyang setelah tujuh puluh tahun kemudian.” Sementara itu, Tuan Djaingat Saragih telah memindahkan pusat
pemerintahannya dari Huta Bagasan ke Pematang Silampuyang bagian atas. Dan Belanda, akibat krisis yang makin genting Malese, 1920-an semakin menekan
rakyat.
Tuan Djaingat Saragih meninggal dunia pada tahun 1930, dan digantikan oleh adik kandungnya Tuan Djoriammat Saragih sebagai Tuan Silampuyang, menunggu
anak kandungnya, yaitu Tuan Simon Saragih menjadi akil baligh. Pada saat dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 1945, Belanda
angkat kaki dari Indonesia, tanah perkebunan punya hak Partuanon Silampuyang diambil alih oleh Perusahaan Perkebunan Negara PPN sampai sekarang.
Pada tahun 1969, ahli waris Tuan Silampuyang meminta tanah leluhurnya kepada Perusahaan Perkebunan Negara PPN; sesuai dengan perjanjian melalui
DPR-GR saat itu, PPN VII sekarang PTPN-IV sudah bersedia melepaskan 234 Hektar tanah Tuan Silampuyang. Namun oleh Panitia Pembagian 1970,
menyelewengkan pembagian tanah tersebut dengan mengikutsertakan warga yang bukan ahli waris serta rakyat Tuan Silampuyang.
Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ahli waris Tuan Silampuyang dan masyarakat Silampuyang mengadakan musyawarah dan sepakat untuk membentuk
Kepanitiaan, yang bernama: Panitia Pengembalian Tanah Pinjaman Perkebunan PTPN-IV dari Tuan Silampuyang PPTPP
361
361
Djariaman Damanik, Op Cit, hal. 83-84.
.
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan status Partuanon Silampuyang setelah penandatanganan “Korte Verklaring” Perjanjian Pendek antara Pemerintah Hindia Belanda dengan
Partuanon Parbapaan pemangku harajaan dan adat wilayah Siantar di Siantar, pada tanggal 16 Oktober 1907. Bahwa, substansi Berita Acara Persidangan, yang dihadiri
oleh Contreleur J.L. O’Brien dan Harajaan Pematang Bandar, Parbapaan Bandar, Parbapaan Siantar Proper, Parbapaan Sidamanik dan partuanon-partuanon dari
Harajaan Siantar, Sidamanik dan Bandar, semuanya berjumlah 39 orang, dapat dipakai sebagai “entry point”, sebab naskah dokumen itu diakui oleh Pihak
Pemerintahan Hindia Belanda G.G.N.I Van Heutz, Partuanon-partuanon dan Parbapaan-parbapaan dari ketiga kerajaan itu Siantar Proper, Bandar dan
Sidamanik.
Dari sekian banyak yang hadir dan mengetahui serta menyetujui isi naskah itu, terdapat nama “Si Djaingat Toean van Silampuyang”. Yang berarti bahwa Tuan
Djaingat diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Harajaan Siantar Proper, Bandar dan Sidamanik, sebagai suatu daerah Partuanon, yang punya daerah kekuasaan
ulayat sendiri atas tanahnya kampung halaman, tanah pertanian dan hutan serta air yang berada dalam batas-batas daerahnya.
Jadi daerah Partuanon Silampuyang merupakan suatu masyarakat hukum yang berdiri sendiri otonom luas atau berdaulat atas wilayah kekuasaannya. Jadi
semua campur tangan atas “barang” tanah, hutan, perkampungan, air dan lain-lain dalam wilayah partuanon-nya harus memperoleh persetujuannya.
Status Harajaan Siantar Proper, dapat dikatakan sebagai koordinator saja dari sekian banyak Partuanon dan Parbapaan untuk memudahkan Pemerintah Hindia
Belanda me-manage daerah koloninya. Struktur organisasi pemerintahan, sebagaimana kita jumpai sekarang di Kecamatan Siantar, sangat berbeda dengan
struktur atau bagan organisasi pemeritahan Harajaan tempo doeloe semacam “statenbond” dalam arti tradisional, dimana “Partongah” berkedudukan sebagai
“primus interparis” di antara para Partuanon dan Parbapaan yang ada khususnya menghadapai intervensi dari luar asing
362
Soal benar atau tidaknya eksistensi Hak Partuanon Ulayat Tanah Silampuyang
.
363
a. Penuturan dari generasi ke generasi di kalangan keluarga besar Raja-raja Siantar, Bandar dan Sidamanik menegaskan bahwa Partuanon Silampuyang sudah ada
sebelum hadirnya Kerajaan Siantar pada abad ke-15. Kerajaan Siantar “martondong bona mataniari” terhadap Tuan Silampuyang. Artinya calon-calon
permaisuri Puang Bolon Puang Poso bagi Raja-raja Siantar Sidamanik Bandar berasal dari Partuanon Silampuyang.
.
b. J. Tideman dalam bukunya “Simeloengoen, Hetland der Timoer-Bataks” Leiden 1922, juga menulis tentang hubungan antara raja-raja Siantar dengan Partuanon
Silampuyang.
362
Ibid, hal. 90-91.
363
Ibid, hal. 102.
Universitas Sumatera Utara
c. Dalam perjanjian pendek atau Korte Verklaring yang dibuat oleh Belanda dan pembesar-pembesar adat di Kerajaan Siantar, Bandar, dan Sidamanik, antara
sekian banyak Partuanon yang hadir dalam pertemuan khusus itu, tercantum nama Tuan Djaingat Tuan van Silampuyang Oktober 1907. Dari ungkapan-
ungkapan di atas sudah dapat dipastikan bahwa Partuanon Silampuyang eksis, demikian juga dengan hak Partuanon Ulayat beschikkingskring atas tanah adat,
dengan batas-batasnya yang jelas. Secara kebetulan lokasi Partuanon Silampuyang berada di tengah-tengah tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Siantar,
Tanah Jawa, dan Panei. Menurut penuturan lisan orang-orang tua, Partuanon Silampuyang sering berfungsi sesuai letak geografis daerahnya sebagai
penengah yang tidak berpihak, bila kadang kala terjadi konflik di antara raja-raja tersebut. Di daerah itu ada sebidang lahan pertanian yang terkenal dengan nama
“Sitanggal Gupak” yang artinya sebagai “daerah netral” dimana, siapapun tidak diperkenankan berkelahi bersengketa di sana, kira-kira fungsinya seperti
“Negara Swiss” di Benua Eropa. Bagaimanakan batas-batas daerah Partuanon Silampuyang dahulu dapat di-trace di peta-peta lama yang tersimpan di Arsip
Nasional Jakarta. Cukup sampai disini masalah eksistensi Partuanon Silampuyang dan daerah Partuanonnya hak ulayat atas tanah Silampuyang.
1 Masalah Rakyat Silampuyang, Siapakah yang dapat didefinisikan sebagai
rakyat Silampuyang? Tentu yang berdiam berdomisili di daerah huta dan dusun Silampuyang secara menetap. Dahulu digunakan istilah Simalungun
“Par Silampuyang” itulah “simada talun Silampuyang” sebagai warga atau kaula Silampuyang, sebagai anggota masyarakat hukum tradisional.
Sebagaimana kita ketahui ada hubungan mendasar batin kodrat antara warga masyarakat hukum tertentu dengan tanah leluhurnya dari generasi ke
generasi. 2
Bagaimana sampai tanah Partuanon Silampuyang jatuh ke tangan Perkebunan PTPN-IV Bah Jambi?
Keadaan ini mempunyai latar belakang sejarah yang panjang : a
Berawal dari ketertarikan perkebunan asing menginvestasikan modalnya di Simalungun. Setelah hampir semua raja-raja di Simalungun
Universitas Sumatera Utara
menandatangani “Korte Verklaring” perjanjian pendek antara tahun 1904-1907, maka daerah Simalungun mendapat giliran untuk pembukaan
perkebunan luas oleh orang-orang asing. Pembukaan kebun karet pertama adalah di Kerajaan Bandar, kemudian menyusul di Kerajaan Siantar,
Tanah Jawa dan Panei. Menurut catatan J. Tideman dalam bukunya yang terkenal itu,
1 Pada tahun 1908, Kebun Siantar Estate mulai mengelola kebun karet
di sekitar Kota Siantar. 2
Pada tahun 1919, Marihat Sumatera Plantage, dengan kebun karet, mulai beroperasi di daerah Partuanon Silampuyang.
3 Sampai tahun 1921, di daerah Simalungun sudah ada 14 perkebunan
teh, 20 kebun karet, 2 kebun sisal dan 10 kebun aneka tanaman. 4
Titik puncak penetrasi perkebunan asing ke daerah Simalungun adalah pada tanggal 1 Juli 1920 dimana pemerintah Hindia Belanda
menetapkan Simalungun menjadi bagian dari Cultuurgebied Oostkust van Sumatra Simalungun dimasukkan menjadi bagian dari daerah
kultur perkebunan asing, yang berarti kepentingan perkebunan asing dinomorsatukan, sedang kepentingan rakyat raja-raja tradisional
dinomorduakan. Inilah politik kolonial murni yang telah dialami oleh daerah dan rakyat Simalungun mulai tahun 1920 sampai tahun 1943
masuknya pemerintahan militer Jepang ke Sumatera Timur.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan peristiwa perusakan tanaman perkebunan PTPN-IV Bah Jambi oleh rakyat ada beberapa hasil wawancara yang menggambarkan sengketa
tanah Silampuyang tersebut
364
a Siapakah rakyat yang melakukan perusakan pohon-pohon kelapa sawit milik
PTPN itu? Apakah mereka warga kaula Huta Pamatang Silampuyang? Ataukah mereka orang luar yang haus akan tanah untuk menambah tanah
pekarangan, ladang, sawahnya yang sudah ada? :
b Apa dasar motif perusakan yang mereka lakukan? Katanya tanah-tanah itu
diserobot oleh perkebunan? Bukankah perkebunan sudah memiliki HGU hak guna usaha atas tanah sengketa itu? Mungkinkah mereka sama sekali
tidak tahu atau paham tentang sejarah tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan perkebunan. Misalnya perjanjian kontrak erfacht dahulu, nasionalisasi
perkebunan teh oleh pemerintah Indonesia, penerbitan hak guna usaha oleh Pemerintah Indonesia sebagai “vrij landsdomein”.
c Perlu men-discover perjanjian erfpacht antara Raja-Siantar dengan Marihat
Rubber Plantation Coy pada kira-kira tahun 1918. d
Perlu peta batas-batas tanah Silampuyang batas-batas perkebunan. e
Pendataan rakyat penggarapan secara rinci dan penduduk Silampuyang proper hak pemilikan tanah.
f Apakah perjanjian atau pernyataan DPR-GR untuk memberikan lahan
perkebunan kepada rakyat Silampuyang seluas 225 hektar. Adakah suatu “triparty” perjanjian antara DPRGR-Pemerintah-Rakyat? Bagaimana isi
substansinya? Bagaimana pelaksanaannya dilapangan? Pas op : pengalaman dahulu, ada Penghulu Alip Damanik janji kepada keluarga T. Silampuyang?
Waspadalah terhadap manipulator-manipulator Mengatasnamakan nama Tuan Silampuyang bukan raja Silampuyang.
g Perlu klarifikasi : Jangan ada yang teraniaya Nama baik Tuan Silampuyang
Keturunan Tuan Silampuyang yang merasa dirugikan namanya, dapat menggugat mereka yang menyalahgunakan nama Tuan Silampuyang untuk
kepentingan diri mereka sendiri.
Masyarakat Huta Bagasan, Desa Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun 85 orang yang diwakili kuasa hukum Sitor Situmorang,SH,MH dkk
melawan -
PTPN IV -
Pemerintah RI cq BPN RI cq BPN Sumatera Utara cq BPN Kabupaten Simalungun
364
Hasil wawancara yang telah diolah.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Huta Bagasan, Desa Silampuyang, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun 85 orang yang diwakili kuasa hukum Advokat dari Law Office Sitor
Situmorang dan partners sebagai Penggugat, melawan : Isunya sebagai berikut :
1. PT Perkebunan Nusantara IV dahulu PTP VII Medan, sebagai Tergugat I
2. Pemerintah RI BPN RI cq dan BPN Kanwil Propinsi Sumatera Utara cq BPN
Kabupaten Simalungun selanjutnya sebagai Tergugat II. Objek gugatan adalah tanah Cadangan Perluasan Perkampungan dan
Pertanian Huta Bagasan Nagori Silampuyang yang terletak di Huta Bagasan Desa Silampuyang Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara
seluas 225 ha dengan batas-batas sebagai berikut
365
Sebelah Utara : dimulai dari Patok I memanjang sampai Patok II sampai Patok III dibatasi dengan Tanah Sawah Pak Supar areal perkebunan Kelapa
Sawit Afdeling II PTPN IV Jalan Desa Silampuyang dan Sungai Bah Arabi,
:
Sebelah Timur : dimulai dari Patok III sampai Patok IV dibatasi dengan Sungai Bah Arabi, areal perkebunan Kelapa Sawit Afdeling II PTPN IV
areal Perkebunan Kelapa Sawit Afdeling III PTPN IV dan Sungai Bah Hilang dikenal masyarakat Waliman sebagai daerah
Sitahuak
Sebelah Selatan : dimulai dari Patok IV sampai daerah irigasi DAM dibatasi dengan Sungai Bah Hilang, Tanah Pak Bero, Tanah Pak Untung,
Tanah Pak Waliman, Tanah Pak Tamin, Tanah Pak Sairin, Tanah Pak Suratman, Tanah Pak Purba, Tanah Pak Amron Batubara,
Tanah Pak Hermanto, Tanah Pak Saliwon, Tanah Pak Satia Girsang, Tanah Pak Ginting, Tanah Pak Mangatar Saragih, Tanah
Pak Sarpen, Tanah Pak Salmon, Tanah Asam Damanik, Tanah Pak Kasiran, Tanah Alm. Pak Torik Situmorang, Tanah Pak
Syarifuddin Manurung dan Tanah Pak Asam Damanik,
Sebelah Barat : dimulai dari daerah irigasi DAM sampai Patok I dibatasi dengan
Tanah Alm. Pak Amat Lontong, Tanah Pak Zaiman, Tanah Pak Manan, Rumah Pak Jimin, Tanah Pak Narsim dan Tanah Pak
Turino.
Selanjutnya disebut TANAH OBJEK GUGATAN
366
365
Putusan Pengadilan Tinggi No. 264PDT2007PT-MDN, hal. 2 366
Putusan Nomor 26PdtG2006P.N Sim, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Huta Bagasan Desa Silampuyang Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Sumatera Utara merupakan pemilik yang sah mempunyai hak milik
bersama atas objek gugatan
367
Bahwa tanah kampung dan tanah cadangan pertanian Huta Bagasan diatas telah dikuasai oleh Orang Tua Para Penggugat seluas 9.9 ha dan sisanya 225 ha yang
dalam gugatan ini disebut sebagai tanah objek gugatan telah dikuasai oleh Tergugat I dengan cara meminjam dari Orang Tua Para Penggugat melalui Tuan Silampuyang
yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai Penghulu Kepala Desa pada zaman itu.
Bahwa dalam aktasurat peminjaman tanah objek gugatan antara Tuan Silampuyang yang mewakili kepentingan Para Penggugat dengan Tergugat
dinyatakan bahwa tanah tersebut obyek gugatan akan dikembalikan secara beangsur-angsur setelah perkembangan penduduk ternyata membutuhkannya,
sebagaimana juga hasil penelitian bagian A. DPRGR membutuhkannya, sebagaimana juga hasil penelitian Surat Laporan Bagaian A. DPRGR Kabupaten Simalungun
tentang tuntutan Pengembalian Tanah Cadangan Perluasan Perkampungan Huta Bagasan Kecamatan Siantar dari PNP-VII Perkebunan Marihat tertanggal 4 juni
1970.
368
Bahwa apa yang disepakati dalam Perjanjian antara Tuan Silampuyang dengan Tergugat I ini tidak pernah dipatuhi atau direalisasikan oleh Tergugat I hingga
surat gugatan ini diajukan atau dengan kata lain bahwa tanah yang merupakan obyek gugatan aquo belum pernah dikembalikan oleh pihak Tergugat I kepada Orang Tua
Para Penggugat.
Bahwa sejak tahun 1969
369
Bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DPRGR Kabupaten Simalungun telah dibuktikan melalui peninjauan langsung ke lokasi letak obyek tanah
Bagian A DPRGR Kabupaten Simalungun telah mengadakan penelitian berdasarkan tuntutan Para Penggugat agar tanah obyek
gugatan dikembalikan kepada Para Penggugat, dimana sebelumnya juga Para Penggugat telah menyampaikan tuntutan secara langsung kepada kepada Tergugat I
tetapi tidak pernah ditanggapi bahkan Tergugat I menggunakan kekerasan untuk mencegah tindakan Para Penggugat tersebut, maka berdasarkan keterangan yang
diminta oleh Bagian A DPRGR dari Tergugat I, bahwa Tergugat I telah mengakui bahwa benar Tuan Silampuyang telah meminjamkan tanah obyek gugatan kepada
Tergugat I, akan tetapi aktasurat Perjanjian Peminjaman tersebut telah hilang dan tidak ada di berkasarsip Tergugat I lagi.
367
Berkenaan dengan itu Orang Tua Para Penggugat telah memiliki tanah obyek gugatan sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia, dan hal tersebut telah diakui secara tegas oleh Pemerintah Hindia Belanda pada
masa itu sebagaimana yang disebutkan secara tegas dalam terjemahan Surat Keputusan dari daftar Surat Keputusan Gouvernour der Oostkust van Sumatera No. 273BE.3 tanggal 30 Agustus 1928, dimana dinyatakan
dalam surat tersebut bahwa luas tanah kampung dan tanah cadangan pertanian Huta Bagasan Nagori Silampuyang adalah 234, 9 ha, ibid hal. 3.
368
Hasil wawancara yang telah diolah dengan Abdiaman Damanik, Ketua Panitera PN Simalungun, tanggal 4 April 2011.
369
Wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Pematangsiantar pada tanggal 1 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
gugatan dan melalui keterangan-keterangan baik dari pihak Penggugat mayarakat Huta Bagasan Silampuyang, Pihak Tergugat serta pihak-pihak yang berkompeten
lainnya, didapat kesimpulan bahwa semua pihak membenarkan bahwa obyek tanah gugatan adalah tanah hak milik Masyarakat Huta Bagasan Silampuyang Para
Penggugat yang dipinjamkan ke pihak Tergugat I PNP IV, sekarang PTPN IV. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Surat Kesimpulan hasil PenelitianPeninjauan
Panitia Khusus DPRGR Kabupaten Simalungun tentang tuntutan pengembalian tanah cadangan perkampungan untuk perluasan Huta Bagasan Kecamatan Siantar dari PNP
VII Perkebunan Marihat.
Bahwa selanjutnya sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bagian A DPRGR Kabupaten Simalungun tersebut, DPRGR Kabupaten
Simalungun mengeluarkan sebuah resolusi yang berisi desakan kepada Pemerintah Kepala Daerah Kabupaten Simalungun agar tanah pinjaman yang berasal dari
cadangan Perkampungan Huta Bagasan Silampuyang tanah obyek gugatan segera dikembalikan oleh Pihak Tergugat I untuk dibagikan kepada penduduk kampung
dalam hal ini Para Penggugat. Hal ini tertuang dalam Resolusi DPRGR Kabupaten Simalungun nomor 1dprgr70-71 tanggal 16 juni 1970 perihal Resolusi Dewan
tentang Perluasan Areal Perkampungan Desa Huta Bagasan Kecamatan Siantar.
370
Bahwa apa kemudian sebagai usaha untuk merealisasikan Resolusi DPRGR Kabupaten Simalungun ini,
371
DPRGR Kabupaten Simalungun mengeluarkan Surat Keputusan DPRGR Kabupaten Simalungun No. 25dprgr70-71 perihal Resolusi
Dewan tentang Perluasan Areal Perkampungan Desa Huta Bagasan Kecamatan Siantar yang memutuskan antara lain tentang batas waktu realisasi Resolusi DPRGR
tersebut selambat-lambatnya akhir Juni 1971, dan biaya pengurus dibebankan kepada Tergugat I dan Anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun dan juga
Perintah agar diambil tindakan pengamanan terhadap tanah sengketa tanah objek gugatan yang menjadi keputusan dalam Resolusi DPRGR sebagaimana disebutkan
di atas tidak pernah dilaksanakan oleh Kepala Daerah Kabupaten Simalungun maupun oleh Tergugat I tanpa sebab yang jelas. Hal ini jelas-jelas menunjukkan
bahwa Tergugat I tidak mempunyai iktikad baik dan bersikap sangat arogan karena tidak mematuhi isi dari Resolusi wakil rakyat tersebut yang jelas-jelas juga
bersumber dari keterangannya sendiri, mengingat juga Perjanjian antara Tuan Silampuyang dengan Pihak Tergugat I yang mewajibkan Pihak Tergugat I untuk
mengembalikan Tanah obyek gugatan kepada Para Penggugat.
372
Bahwa dalam perkembangannya masyarakat Para Penggugat tetap melakukan usaha-usaha dalam rangka pengembalian tanah obyek gugatan karena
memang tanah obyek gugatan adalah hak milik sendiri dan telah mendapat pengakuan dan dukungan dari DPRGR Kabupaten Simalungun, tetapi usaha tersebut selalu
mendapat perlawanan dari Pihak Tergugat I yang dilakukan dengan tekanan-tekanan
370
Ibid
371
Ibid
372
Wawancara dengan masyarakat Silampuyang pada tanggal 6 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
yang mengarah pada tindakan kekerasan. Adapun usaha yang dilakukan adalah seperti menanami tanaman palawija diantara pohon kelapa sawit, hal ini dilakukan
masyarakat Para Penggugat tak terlepas juga dari tekanan ekonomi karena lahan untuk pertanian sudah sangat sempit akibat bertambahnya populasi warga masyarakat
Para Penggugat.
Bahwa dalam usaha untuk merebut kembali haknya atas tanah obyek gugatan, Para Penggugat telah membentuk sebuah panitia dengan nama Panitia Pengembalian
Tanah Cadangan Perluasan Perkampungan dan Pertanian Huta Bagasan Nagori Silampuyang yang berkedudukan di Desa Silampuyang Kecamatan Siantar
Kabupaten Simalungun. Melalui Panitia ini Para Penggugat telah melakukan upaya- upaya baik barupa tuntutan langsung ataupun permohonan melalui surat kepada
lembaga-lembaga Pemerintahan yang berkompeten yang pada intinya memohon agar tanah obyek gugatan dapat segera dikembalikan kepada Para Penggugat. Adapun
jawaban atas surat Panitia tersebut secara umum mendukung upaya Panitia bahkan menyarankan agar tanah obyek gugatan segera dikembalikan kepada Para
Penggugat.
373
Bahwa sesuai dengan surat Gubernur Provinsi Sumatera Utara No. 5938960 tanggal 16 Juni 2001 yang dikeluarkan berdasarkan adanya tuntutan masyarakat Para
Penggugat atas tanah obyek gugatan di lokasi PTPN IV Tergugat I. Dalam surat tersebut Gubernur meminta kepada Kakanwil BPN
374
Bahwa Para Penggugat telah melaporkan permasalahan aquo dan memohon kepada DPR-RI agar tanah obyek gugatan dikembalikan kepada Para Penggugat.
Menanggapi hal tersebut DPR-RI mengeluarkan surat No. PW0063962DPR RI2001 tanggal 13 Agustus 2001, yang intinya meminta kepada Gubernur Sumatera
Utara untuk menyelesaikan permasalahan aquo. Provinsi Sumatera Utara
Tergugat II untuk menunda proses perpanjangan HGU PTPN IV Tergugat I menunggu adanya penyelesaian masalah tuntutan masyarakat Para Penggugat
tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Gubernur sangat mendukung adanya penyelesaian pengembalian tanah obyek gugatan kepada masyarakat Para
Penggugat, namun sampai saat ini belum jelas realisasi dari permintaan Gubernur tersebut.
Bahwa sesuai dengan surat Bupati Simalungun No.62011581-Tapem, tanggal 29 November 2001 yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Sumatera
Utara, yang pada intinya antara lain menyampaikan Kesimpulan hasil kerja tim Penertiban Permasalahan Tanah Kabupaten Simalungun sebagaimana dikutip yaitu :
“agar tanah permasalahan seluas 225 Ha dalam waktu yang relatif singkat dapat diselesaikan oleh Pemerintah Atasan dan dikembalikan kepada masyarakat yang
berhak sebelum HGU berakhir 31 Desember 2006”. Selanjutnya dalam surat tersebut Bupati Simalungun
375
373
Ibid
menyarankan agar tanah seluas 225 Ha tanah obyek gugatan
374
Wawancara dengan Ketua Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Simalungun, 7 April 2011 wawancara dilakukan pra penelitian ke daerah Silampuyang.
375
Wawancara dengan B. Sinaga, Staf Kantor Bupati Simalungun pada tanggal 8 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
tersebut dikeluarkan dari HGU PTPN IV Tergugat I untuk selanjutnya diserahkan kepada masyarakat yang berhak Para Penggugat.
376
Bahwa selanjutnya Bupati Simalungun kembali menyarankan kepada Gubernur Sumatera Utara dan kepada Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara
Tergugat II melalui Surat No. 5931762-Tapem, tanggal 22 februari 2006, supaya tanah seluas 225 Ha obyek gugatan dikeluarkan dari HGU PTPN IV untuk
diserahkan kepada masyarakat yang berhak Para Penggugat.
Bahwa berdasarkan surat Bupati Simalungun sebagaimana disebutkan di atas, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Sekretariat Daerah Provinsi melalui
surat No. 59317802006 tanggal 28 Maret 2006, telah meminta secara tegas kepada Kakanwil Provinsi Sumatera Utara Tergugat II agar menindaklanjuti surat Bupati
tersebut dan tidak memproses perpanjangan HGU PTPN IV atas tanah seluas 225 Ha tanah obyek gugatan yang merupakan tuntutan masyarakat Desa Silampuyang Para
Penggugat.
Bahwa saran-saran, pertimbangan atau permintaan dari Bupati Simalungun dan Gubernur Sumatera Utara sebagaimana dikemukakan di atas yang ditunjukan
kepad Tergugat II tidak pernah dilaksanakan secara tegas dan konkrit, justru Tergugat II masih memproses permohonan perpanjangan HGU No. 1Silampuyang, hal mana
diketahui dari surat BPN Kanwil Provinsi Sumatera Utara No. 570-878 tanggal 5 Juni 2006 yang menyatakan bahwa permohonan perpanjangan HGU Nomor
1Silampuyang telah diteruskan kepada BPN Pusat c.q Deputi Bidang Pengkajian dan Hukum Pertanahan. Kenyataan ini jelas-jelas merupakan tindakan arogan dari
Tergugat II yang sama sekali tidak menggubris tuntutan Penggugat dan saran-saran dari Pemerintah aquo.
377
Bahwa tanggapan-tanggapan atau jawaban atas surat Para Penggugat yang disampaikan melalui Panitia telah diketahui oleh Para Penggugat bahwa tanah obyek
gugatan telah masuk dalam bagian Hak Guna Usaha HGU Nomor 1Silampuyang yang diterbitkan oleh Tergugat II pada tanggal 11 Desember 1981 atas nama
pemegang hak yaitu PTPN IV Tergugat I. Hal ini sesuai dengan surat Bupati Simalungun no. 62011581Tapem tanggal 29 Nopember 2001 dan surat Bupati
Simalungun no. 5931762Tapem tanggal 22 Februari 2006 kemudian juga dalam surat Tergugat II No. 0003644-60 tanggal 6 April 2006. Bahwa kenyataan ini
sungguh mengejutkan Para Penggugat, karena bagaimana mungkin obyek gugatan tersebut masuk dalam sertifikat HGU milik Tergugat I, karena selama ini Tergugat I
adalah sebagai pihak yang meminjam obyek gugatan dari Tuan Silampuyang yang mengatasnamakan rakyatnya Para Penggugat, tetapi kenyatannya justru sebalikya
dan menjadi pertanyaan mengapa diterbitkan HGU sementara nyata-nyata obyek gugatan adalah hak milik Para Penggugat dari DPRGR telah memerintahkan
Tergugat I untuk mengembalikan tanah obyek gugatan aquo sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam surat gugatan ini? Tindakan Tergugat I jelas sangat
376
Ibid.
377
Wawancara dengan masyarakat Silampuyang, 10 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
arogan karena tidak mematuhi apa yang telah diputuskan oleh sebuah lembaga wakil rakyat yang merupakan bagian dari pemerintahan, DPRGR Kabupaten Simalungun.
Para penggugat belum pernah mengalihkan hak miliknya kepada pihak manapun sehingga perbuatan Tergugat I adalah merupakan perbuatan melawan hukum, dan
akibat dari perbuatan ini Para Penggugat telah menderita kerugian baik secara materil maupun inmateril, karena Tergugat I telah mengambil hak milik Para Penggugat
secara melawan hukum, oleh karena itu harus dinyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan Melawan Hukum. Karenanya sertifikat HGU Nomor
1Silampuyang harus pula dinyatakan produk yang cacat hukum.
Bahwa berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I sebagaimana dijelaskan di atas, maka Tergugat I harus dihukum untuk membayar
ganti kerugian yang diderita oleh Para Penggugat terhitung sejak batas waktu pengembalian tanah obyek gugatan sebagaimana diperintahkan oleh DPR-GR
Kabupaten Simalungun dalam Surat Keputusan Nomor 25dprg70-71 tanggal 17 Maret 1971 perihal Resolusi Dewan tentang Perluasan Areal Perkampungan Desa
Huta Bagasan Kecamatan Siantar yaitu paling lambat akhir Juni 1971. Masyarakat Huta Bagasan Silampuyang Para Penggugat telah cukup lama menderita karena
tidak memiliki lagi lahan untuk bertani, yang notabene adalah sumber mata pencaharian utama Para Penggugat, sementara Tergugat I telah cukup lama
menikmati hasil dari tanah obyek gugatan yang selama ini dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit oleh Tergugat I.
378
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka sangat patut Tergugat I dihukum untuk membayar ganti kerugian materil kepada para Penggugat dengan pertimbangan
hasil rata-rata yang didapat oleh Para Penggugat apabila obyek gugatan dikelola untuk penghidupannya adalah sebesar Rp. 2.000.000bulan dua juta rupiah perbulan
dikalikan dengan 225 Ha dan dikalikan lagi dengan lamanya waktu penguasaan Tergugat I terhitung sejak bulan Juli 1971 sampai dengan bulan Juli 2006 yaitu
selama 35 tahun atau 420 bulan, maka total ganti kerugian materil yang harus dibayar oleh Tergugat I adalah sebesar Rp. 189.000.000.000 seratus delapan puluh milyar
rupiah. Kemudian karena selama memperjuangkan haknya, Penggugat telah banyak menderita secara moril akibat tekanan-tekanan, intimidasi dan kekerasan yang
diterima, untuk itu Tergugat I juga harus dihukum untuk membayar kerugian inmateril sebesar Rp. 10.000.000.000 sepuluh milyar rupiah.
Bahwa untuk memaksa Tergugat I dan demi terlaksananya isi putusan yang akan diputuskan oleh Majelis Hakim maka sudah selayaknya Majelis Hakim
menghukum Tergugat I untuk membayar uang paksa dwangsom apabila lalai dalam melaksanakan isi putusan dari gugatan ini sebesar Rp. 100.000.000hari seratus juta
rupiah perhari.
Bahwa untuk menjaga atau menghindari kerugian yang lebih besar dikemudian hari dan agar gugatan Para Penggugat tidak sia-sia maka sangat berdasar
378
Hasil wawancara yang telah diolah dan observasi di lapangan.
Universitas Sumatera Utara
menurut hukum Para Penggugat memohon agar Pengadilan Negeri Simalungun meletakkan sita jaminan terhadap :
1. Areal HGU 1Silampuyang atas nama Tergugat I yang terletak di Pematang
Siantar, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara, 2.
Tanah dan bangunan permanen milik Tergugat I, kantor yang terletak dan setempat dikenal oleh umum di Jalan Suprapto Nomor 2 Medan Sumatera Utara.
a. Tipologi sengketa pertanahan dalam kasus 2 dua di atas adalah menyangkut : 1
Sengketa tanah yang berkaitan dengan Hak Partuanon ulayat Silampuyang. 2
Sengketa tanah yang berkaitan dengan status hak atas tanah tanah yang ada di kawasan perkebunan.
3 Sengketa Penguasaan dan Pemilikan
4 Sengketa Penetapan Hak
5 Sengketa Tanah eks Tanah Swapraja
Adapun pihak-pihak yang bersengketa adalah : 1
Masyarakat Adat 2
Perkebunan b. Faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan dalam kasus 2 dua ini adalah:
1 Faktor Historis
Berkaitan dengan sejarah perkebunan di daerah ini yang pada mulanya tanah- tanah yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan perkebunan adalah bekas hak
konsesi yang diberikan oleh para Raja dalam hal ini Tuan Djaingot Saragih, Tuan Silampuyang kepada Pengusaha Perkebunan Eropah Belanda.
Berdasarkan akar sejarah tersebut, maka marak tuntutan dari masyarakat adat Silampuyang terhadap tanah perkebunan di wilayah tersebut, sebagai tanah
ulayat etnisnya dan menuntut dikembalikan kepada mereka. Dipihak lain perusahaan perkebunan Belanda mengalami perkembangan
penguasaan tanahnya sejak masa pendudukan Jepang yang mentolerir penggarapan rakyat pada areal perkebunan kemudian berlanjut pada zaman
kemerdekaan dan berlangsung sampai tahun 1980-an. Oleh karena penggarapan terus berlangsung, Pemerintah menerbitkan ordonantie
Universitas Sumatera Utara
Onrechmatige Occupatie van Gronden Stb. 1948-10, namun penggarapan tetap tidak dapat dibendung, sehingga Pemerintah mengambil kebijakan
membentuk Tim Khusus yang hasilnya mengeluarkan sebagian areal perkebunan guna dibagikan kepada rakyat diikuti dengan pemberian kartu
tanda penggarapan. Tanah yang dibagikan tersebut tidak diikuti dengan pendaftaran tanahnya, belakangan dengan berbekal kartu garapan yang lama,
rakyat mengklaim tanah-tanah garapannya diambil alih kembali oleh perusahaan perkebunan, sehingga dituntut kembali melalui Pemerintah.
2 Faktor Reformasi
Dalam hal ini sengketa dan konflik pertanahan pada areal perkebunan kembali mencuat ke permukaan seiring dengan era reformasi, pada saat itu akibat dari
krisis ekonomi telah mengakibatkan badan hukum yang menguasai memiliki tanah perkebunan belum dapat mempergunakan lahannya sesuai dengan
peruntukannya, sedangkan di sisi lain bertambahnya penduduk serta berkurangnya kesempatan kerja pada sektor-sektor industri juga diikuti
dengan timbulnya gejala “lapar tanah” di kalangan masyarakat yang tidak mempunyai lahan, ditambah lagi statemen Presiden RI Abdurahman Wahid
Gus Dur ketika itu yang menyatakan sebanyak 40 areal PTPN akan dibagikan kepada rakyat karena PTPN banyak merampas tanah rakyat, maka
terjadilah pendudukan dan penggarapan di atas tanah pihak lain dan kemudian diajukan penuntutan kembali reclaiming action atas tanah-tanah
perkebunan yang didasarkan berbagai alasan, seperti : a Mengklaim semua tanah perkebunan sebagai bagian dari tanah hak ulayat
etnisnya; b Mengaku bahwa dahulu pernah mempunyai hak atas tanah perkebunan
tetapi dikuasai kembali oleh pihak perkebunan tanahnya dilindungi undang-undang;
c Menuntut ganti kerugian dari perusahaan perkebunan karena tanah masyarakat masuk ke dalam areal perkebunan;
d Alasan ekonomi sekedar memenuhi kebutuhan hidup; e Berspekulasi dengan menggarap tanah untuk mencari untung
379
3 Faktor Politik
.
Titik puncak penetrasi perkebunan asing ke daerah Simalungun adalah pada tanggal 1 Juli 1920 dimana pemerintah Hindia Belanda menetapkan
Simalungun menjadi bagian dari Cultuurgebied Oostkust van Sumatra Simalungun dimasukkan menjadi bagian dari daerah kultur perkebunan
asing, yang berarti kepentingan perkebunan asing dinomorsatukan, sedang kepentingan rakyat raja-raja tradisional dinomorduakan. Inilah politik kolonial
379
Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Sengketa Pertanahan dan Upaya Penyelesaiaannya di Provinsi Sumatera Utara, Makalah yang disampaikan kepada Kepala BPN RI pada saat kunjungan kerja ke
Sumatera Utara tanggal 12 November 2006,op cit, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
murni yang telah dialami oleh daerah dan rakyat Simalungun mulai tahun 1920 sampai tahun 1943 masuknya pemerintahan militer Jepang ke Sumatera
Timur.
Kasus. 3. Sengketa Hak Atas Tanah Adat pada masyarakat Kebun Bangun Kasus Tanjung Pinggir, Klaim pelepasan eks HGU PTPN III Kebun
Bangun Kota Pematang Siantar.
Sengketa tanah bermula dari areal PTPN-III Kebun Bangun tidak kondusif lagi dikelola untuk peruntukannya oleh PTPN-III disebabkan karena lahan tersebut
telah digarap secara liar oleh masyarakat. Kondisi eksisting lahan tersebut telah menimbulkan berbagai sengketa
horizontal karena menjadi perebutansaling mengklaim status tanah antar sesama penggarap yang dikuatirkan pada efek jangka panjang akan menimbulkan sengketa
vertikal.
Berdasarkan data, terdapat beberapa subyek, yakni pihak-pihak yang bersengketa.
Subyek yang menuntut pengembalian tanah yang saat ini dikuasai dan diusahai PTPN-III Kebun Bangun di Afdeling VIII-IX dahulu dikenal dengan nama
Afdeling Martoba, adalah : Kelompok masyarakat Tambun Nabolon Kestiono dkk.
380
a. Kelompok masyarakat Tanjung PinggirPondok Sayur Musiman dkk
b. Kelompok masyarakat Kandang LembuPondok Sayur Manatar Sitorus dkk
c. Kelompok Masyarakat Gurilla Jansen Purba Dasuha dkk
d. Drs. Djapadang Damanik
e. Johana WijayaRiduan Aritonang
f. Ramijan
g. Suardi
h. Batara Siahaan
i. Piten Silalahi
380
Usulan Pelepasan eks HGU PTPN III Kebun Bangun Kota Pematangsiantar yang disusun oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar, 2008, hal.18.
Universitas Sumatera Utara
Subyek yang dituntut mengembalikan tanah dimaksud adalah PTPN-III, yakni yang menguasai dan mengusahai tanah.
Obyek
a. Obyek yang dituntut oleh Kelompok Masyarakat Tambun Nabolon adalah
tanah di blok 28, 29, dan 30 seluas 51,52 Ha, dengan rincian sbb: 1
Blok 28 seluas 10 Ha 2
Blok 29 seluas 20 Ha 3
Blok 30 seluas 21,52 Ha b.
Obyek yang dituntut oleh Kelompok Masyarakat Tanjung Pinggir adalah tanah di blok 31, 37, dan 43 seluas 108,39 Ha, dengan rincian sbb:
1 Blok 31 seluas 28,87 Ha
2 Blok 37 seluas 41,46 Ha
3 Blok 43 seluas 37,96 Ha
c. Obyek yang dituntut oleh Kelompok Kandang Lembu adalah tanah di blok
44,45,46 dan 47 seluas 76,72 Ha, dengan rincian sbb: 1
Blok 4445 seluas 38,85 Ha 2
Blok 4647 seluas 41,87 Ha d.
Obyek yang dituntut oleh Kelompok Penggarap Gurilla adalah tanah di blok 37,38,39 dan 40 seluas 81,49 Ha dengan rincian sbb:
1 Blok 37 seluas 5,81 Ha
2 Blok 38 seluas 4,78 Ha
3 Blok 39 seluas 28,66 Ha
4 Blok 40 seluas 42,69 Ha
Universitas Sumatera Utara
e. Obyek yang dituntut oleh Drs. Djapadang Damanik adalah tanah di Blok
4647 seluas 65 rante 2,6 Ha. f.
Obyek yang dituntut oleh Batara Siahaan adalah tanah di blok 47 seluas ± 4 Ha
g. Obyek yang dituntut oleh Piten Silalahi adalah tanah di blok 46 seluas 35
rante 1,4 Ha. h.
Berdasarkan pernyataan dari Sdr. Kestiono anggota Sub Tim dari masyarakat Tambun Nabolon, tuntutan Suardi dan Ramijan bergabung dengan tuntutan
Kelompok Masyarakat Tambun Nabolon. i.
Obyek yang dituntut oleh Johana Wijaya berdasarkan Surat Kuasa tanggal 8 Oktober 1998 adalah tanah di eks blok 37,46,47,42,41,29, dan 30 luas tidak
tercantum. Dalam surat Riduan Aritonang kuasa Johana Wijaya kepada ketua DPRD KotaMadya Pematangsiantar tanggal 25 Maret 2002, obyek yang
dituntut menjadi tidak jelas. Dalam surat tersebut, Riduan Aritonang mempertanyakan 1 Masalah ganti rugi tanah garapan seluas 256,65 Ha, 2
Masalah garapan yang telah dikeluarkan dari areal Konsesi Kebun Simbolon, dan 3 Masalah HGU Talup Kondot Nomor 1 September 1989.
Beberapa tuntutan masyarakat yaitu :
381
a Tuntutan Kelompok Tambun Nabolon
381
Wawancara dengan Soleh, Staf Pemko Pematangsiantar, pada tanggal 4 Juli 2011.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6 Objek Tanah yang dituntut oleh Kelompok Tambun Nabolon
Blok Luas
Awal Diusahai
PTP Pra SKLR
Garapan Rakyat
Pra SKLR
Rencana Wens-
areal Garapan
Rakyat Diberikan
ke PTP SKLR 69
Sisa Garapan
Rakyat Dikuasai
PTP Pasca
SKLR Diusahakan
PTP HGU Luas yang
dituntut Kel.Tam-
bun Nabolon
28 30,19
30,19 30,19
10 20,19
10 8,32
10 29
27,59 27,59
27,59 20
7,59 20
14,22 20
30 24,52
24,52 24,52
21,52 3
21,52 18,21
21,52
82,3 82,3
82,3 51,52
30,78 51,52
40,75 51,52
Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun b
Tuntutan Kelompok Masyarakat Tanjung Pinggir Pondok Sayur Obyek yang dituntut oleh Kelompok Tanjung Pinggir terletak di blok 31,37 dan 43
seluas 108,39 Ha. Luas awal blok-blok tersebut adalah 97,29 Ha. Menurut data dari Kebun Bangun
382
Pada tanggal 16 Juli 1969, PNP-IV Perkebunan Simbolon mengajukan rencana Wens-areal daerah sekitarnya kepada Panitia Landreform Kabupaten
Simalungun. Rencana Wens-areal tersebut dimaksudkan untuk penambahan areal penanaman karet supaya mencapai minimal 1.500 Ha untuk dapat didirikan sebuah
pabrik. , sebelum terbit keputusan Panitia Landreform
tahun 1969, luas blok-blok tersebut yang telah diusahai oleh PNP-IV adalah 58,97, sehingga sisa garapan rakyat adalah seluas 28,32 Ha.
Rencana pengembalian tanah garapan rakyat dalam Rencana Wens-areal tersebut adalah 28,32 Ha di blok 31, dan 10 Ha di blok 37.
Luas tanah yang dikembalikan kepada PNP-IV berdasarkan keputusan Panitia Landreform Kabupaten Simalungun tahun 1969 adalah seluas 28,32 Ha di blok 31.
Luas 10 Ha di blok 37 yang diminta perkebunan, tidak disetujui oleh Panitia Landreform. Berdasarkan keputusan Panitia Landreform tersebut pengembalian tanah
kepada pihak PNP-IV dilakukan dengan pemberian ganti rugi.
Luas yang diusahai PTP-IV setelah keputusan Panitia Landreform adalah 87,29 Ha. Setelah di HGU-kan pada tahun 1989, luasnya menjadi 97,29 Ha, termasuk
10 Ha di blok 37 yang tidak dikembalikan kepada perkebunan.
Tabel 7 ObyekTanah yang dituntut oleh Kelompok Tanjung Pinggir
Blok Luas
Awal Diusahai
PTP Pra SKLR
Garapa n
Rakyat Pra
SKLR Rencana
Wens- areal
Garapan Rakyat
Diberikan ke PTP
SKLR 69
Sisa Garapa
n Rakyat
Dikuasa i PTP
Pasca
SKLR Diusai
PTP HGU
Luas yang Dituntut
Kel.Kandang Lembu
382
Wawancara dengan warga Kebun Bangun pada 13 Juli 2011
Universitas Sumatera Utara
31 28,32
28,32 28,32
28,32 28,32
28,32 28,87
37 26,8
16,8 10
10 10
16,8 26,8
41,46 43
42,17 42,17
42,17 42,17
37,96 97,29
58,97 38,32
28,32 28,32
10 87,29
97,29 108,39
Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun c. Tuntutan Kelompok Kandang Lembu Pondok Sayur
Obyek yang dituntut oleh kelompok Kandang Lembu terletak di blok 44,45,46, dan 47, seluas 76,72 Ha. Luas awal blok-blok tersebut adalah 93,82 Ha. Menurut data dari
Kebun Bangun, sebelum terbit keputusan Panitia Landreform tahun 1969, luas blok- blok tersebut yang telah diusahai oleh PNP-IV adalah 41,67 Ha, yang ditanami karet
tahun 1963 blok 44 dan tahun 1967 blok 45, sehingga sisa garapan rakyat adalah seluas 52,51 Ha.
Pada tanggal 16 Juli 1969, PNP-IV Perkebunan Simbolon mengajukan Rencana Wens-areal kepada Panitia Landreform Kabupaten Simalungun. Rencana
Wens-areal tersebut dimaksudkan untuk penambahan areal penanaman karet supaya mencapai minimal 1.500 Ha untuk dapat didirikan sebuah pabrik. Rencana
pengembalian tanah garapan rakyat kepada perkebunan dalam Rencana Wens-areal tersebut adalah 52,51 Ha dengan rincian : 4,26 Ha di blok 44 : 14,88 Ha di blok 46,
dan 33,01 Ha di blok 47.
Luas tanah yang dikembalikan kepada PNP-IV berdasarkan keputusan Panitia Landreform Kabupaten Simalungun tahun 1969 adalah seluas 30 di blok 47
Pengembalian tanah tersebut, sesuai keputusan Panitia Landreform, dilakukan dengan pemberian ganti rugi.
Luas yang diusahai PTP-IV adalah 69,49 Ha dan telah di HGU-kan pada tahun 1989.
Tabel 8 ObyekTanah yang dituntut oleh Kelompok Kandang Lembu
Blok Luas
Awal Diusahai
PTP Pra SKLR
Garapa n
Rakyat Pra
SKLR Rencan
a Wens- areal
Garapan Rakyat
Diberika n ke PTP
SKLR 69
Sisa Garapa
n Rakyat
Dikuasa i PTP
Pasca
SKLR Diusai
PTP HGU
Luas yang Dituntut
Kel.Kandang Lembu
44 25,41
21,15 4,26
4,26 4,26
21,15 14,82
34,85 45
20,52 20,52
20,52 16,22
46 14,88
14,88 14,88
14,88 10,4
41,87 47
33,01 33,01
33,01 30
3,01 30
28,05 93,82
41,67 52,51
52,51 30
22,15 71,67
69,49 76,72
Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun
Universitas Sumatera Utara
d.Tuntutan Kelompok Gurilla
383
Obyek yang dituntut oleh Kelompok Gurilla terletak di blok 37,38,39 dan 40, seluas 81,94 Ha. Luas awal blok-blok tersebut adalah 168,98 Ha. Menurut data dari
Kebun Bangun, sebelum terbitnya SK Panitia Landreform tahun 1969, seluas 137,79 Ha telah diusahai oleh pihak PNP.
Namun luas 137,79 Ha tersebut dinyatakan tidak benar oleh wakil masyarakatKelompok Gurilla Jansen Purba Dasuha. Sebelum tahun 1969, sekitar
37 Ha lahan garapan rakyat diserobot perkebunan, tanpa melalui suatu prosedur hukum Jansen Purba Dasuha menyebutnya dengan nama Peristiwa tahun 1966.
Berkas-berkas pemeriksaan pihak kepolisian dan pengadilan tahun 1963, menurut Kelompok Gurilla, merupakan salah satu bukti bahwa sebelum keputusan Panitia
Landreform, masyarakat sudah memiliki tanah garapan di blok-blok tersebut.
Selanjutnya, pada tanggal 16 Juli 1969, PNP-IV Perkebunan Simbolon mengajukan Rencana Wens-areal kepada Panitia Landreform Kabupaten
Simalungun. Rencana Wens-areal tersebut dimaksudkan untuk penambahan areal penanaman karet, supaya mencapai minimal 1.500 Ha untuk dapat didirikan sebuah
pabrik.
Rencana pengembalian tanah garapan rakyat dalam Rencana Wens-areal tersebut adalah 31,19 Ha dengan rincian : 10 Ha di blok 37 dan 21,19 Ha di blok 40.
Realisasi Rencana Wens-areal tersebut berdasarkan keputusan Panitia Landreform Kabupaten Simalungun tahun 1969 adalah seluas 15 Ha di blok 40.
Luas yang diusahai PNP-IV adalah 168,98 Ha keseluruhan luas awal blok- blok tersebut dan telah di HGU-kan pada tahun 1989.
Tabel 9 Obyek Tanah yang dituntut oleh Kelompok Gurilla
Blok Luas
Awal Diusaha
i PNP Pra
SKLR Garapa
n Rakyat
Pra SKLR
Rencan a Wens-
areal Garapan
Rakyat Diberikan ke
PNP SKLR 69
Sisa Garapa
n Rakyat
Dikuasa i PNP
Pasca
SKLR Diusai
PNP HGU
Luas yang
Dituntut Kelompo
k Gurilla 37
26,8 16,8
10 10
- 10
16,8 26,8
5,81 38
36,47 36,47
- -
- -
36,47 36,47
4,73 39
63,02 63,02
- -
- -
63,02 63,02
28,66 40
42,69 21,5
21,19 21,19
15 6,19
36,5 42,69
42,69 168,98
137,79 31,19
31,19 15
16,19 152,79
168,98 81,94
Sumber : Usulan Pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun e.
Tuntutan Anggota Masyarakat Perorangan
383
Hasil wawancara yang telah diolah dengan Kelompok Gurilla dan Staff PTP IV, 14 Juli 2011.
Universitas Sumatera Utara
Tuntutan anggota masyarakat yang memasukkan data berkas secara perorangan sebagian besar tidak dapat dipertimbangkan. Namun demikian, apabila
ada yang memiliki hak historis penguasaan tanah, akan diinventarisir lebih lanjut. Riwayat tanah dan kronologis Eks. Tanah HGU PTPN-III Kebun Bangun
yang dipersengketakan
384
Riwayat Tanah Afdeling Afd Martoba adalah sebagian dan berkas konsesi perkebunan
Simbolon 3.858.52 Ha adalah sebagian dari eks Perusahaan Horison Crossfield Inggris
Sejak Jepang masuk di Indonesia tahun 1942 perkebunan tersebut ditinggalkan oleh pengelolanya menjadi tanah terlantar dan sebagian digarap oleh
masyarakat. Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 42 HGU DA So
tanggal 9 Juli 1980, Pemerintah menegaskan bahwa bekas Hak Konsesi atas tanah Perkebunan Simbolon telah hapus menurut hukum sejak tanggal 3 September 1957
dan dengan demikian tanah Perkebunan tersebut kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun
1956 tentang Penguasaan dan atau pengusahannya diserahkan kepada Perusahaan Negara.
Pada Tahun 1958, perkebunan tersebut terkena Nasionalisasi dengan Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
1959 pengelolaannya diserahkan kepada BUMN, terakhir kepada PTP-IV Pamela sekarang PTPN III.
Berdasarkan tahun penanaman karet, Afd Martoba telah diusahai PTP-IV sejak tahun 1959 di blok 35 dan sebagian blok 39. Kemudian berturut-turut tahun
1960, 1963, 1964, 1965, 1966, 1967, 1970, 1971 pada blok-blok lainnya di areal HGU PTPN III
Tahun 1968, sempat diterbitkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Ketua Panitia Landreorm Daerah Kabupaten Simalungun Nomor PII10LR68 PP
Tanggal 26 Februari 1968 yang menyatakan tanah tersebut menjadi objek Landreform. Akan tetapi 21 bulan kemudian keputusan tersebut dicabut dengan
keputusan Nomor PII10LR69 PP tanggal 27 November 1969 antara lain karena adanya permohonan PTP-IV agar sebagian tanah garapan rakyat diblok-blok tertentu
diberikan kepada PTP-IV untuk perluasan tanaman karet.
Sebelum Keputusan Panitia Landreform tahun 1969 tersebut tanah yang diusahai PTP-IV hanya seluas 1 292.12 Ha dan 3 858.52 Ha luas bekas konsesi
Perkebunan Simbolon seluruhnya selebihnya yakni 2 556.40 Ha telah digarap rakyat perluasan kota.
Khusus di Afd Martoba, luas yang diusahai PTP IV sebelum adanya Keputusan Panitia Landreform tahun 1969 tersebut adalah 408,41 Ha dan luas awal
1 356.62 Ha selebihnya seluas 948.24 Ha adalah garapan rakyat Perluasan Kota.
384
Usulan Pelepasan Eks HGU PTPN III Kebun Bangun Kota Pematang Siantar. Op Cit, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
Badan Pekerja Panitia Landreform Daerah Kabupaten Simalungun yang meninjau garapan rakyat tersebut menyatakan ada yang sudah menjadi sawah dan sebahagian
merupakan tanah kering yang diusahakan untuk perladangan penanaman tanaman keras, tanaman muda, serta perumahan, dan ada juga yang tidak diusahakan secara
efisien.
Berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Ketua Panitia Landreform Daerah Kabupaten Simalungun Nomor III10LR69PP, sebaagian tanah garapan
penduduk tersebut dikembalikan kepada pihak PTP-IV Kebun Simbolon yaitu seluas 256.65 Ha termasuk didalamnya di Afd Martoba seluas 124.84 Ha.
Pengembalian tanah garapan ini kepada pihak PTP-IV dilakukan dengan cara mengganti rugi tanaman petani yang berada diatas tanah garapan.
Garapan penduduk yang tersisa adalah 2 566,40.256.65 dan 2 309.75Ha, dikeluarkan dari konsesi Perkebunan Simbolon dan dinyatakan menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara. Di Afd. Martoba garapan penduduk yang tersisa adalah 823.37 Ha sama dengan luas semula 948.23 Ha dikurangi 124.84 Ha.
Tahun 1980 dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 42 HGU DA 80 tanggal 9 Juli 1980. Pemerintah memberikan HGU kepada PTP-IV seluas 1
540 Ha untuk usaha Perkebunan dengan tanaman karet, termasuk, termasuk didalamnya tanah di Afd Martoba seluas 573 Ha.
Sejak 18 Mei 1987. Afd Martoba yang sebelumnya termasuk wilayah Kabupaten Simalungun beralih menjadi Kota Pematang Siantar berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1986. Kondisi yang terjadi pada Areal eks PTPN-III
1 PWSPK Tanjung Pinggir Berdasarkan surat Persatuan Wirid Sosial Penanggulangan Kemalangan
PWSPK Tanjung Pinggir, sekitar tahun 1901 Belanda telah menyediakan sarana dan prasarana seperti jalan, perumahan, rumah sakit, rumah ibadah,
pendidikan dan kuburan untuk kerja perkebunan Horizontal and Crosfield waktu itu pada tahun 1952. Horizontal and Crosfield tutup dan eks karyawan
dapat mengusahai 2 hektar lahan kebun per KK, sementara itu, lokasi kuburan yang masih kosong pada waktu itu diusahai oleh masyarakat sekitar. Pada
tahun 1956, tanah garapan masyarakat dipinjam oleh NV Tani Muha, Dalam perjalanan waktu, perkebunan tersebut telah beberapa kali berganti nama,
hingga pada tahun 1976 bangunan bangunan mesjid tersebut dirubuhkan dan dibangun mesjid yang baru dan sebuah Taman Pendidikan Islam TPI yang
masih dikelola oleh PTPN-III.
Tanah pekuburan 2 hektar bangunan mesjid dan TPI 3 hektar tersebut diminta PWSPK menjadi milik rakyat. Permohonannya adalah agar lokasi
kuburan dan lokasi mesjid beserta TPI disertifikasi untuk umum. Kesimpulan :
Berdasarkan hasil pembahasan oleh Tim Pemerintah Kota Pematang Siantar bahwa permohonan tersebut belum dapat dipenuhi, karena statusnya
masih Eks Lahan PTPN-III Kebun Bangun.
Universitas Sumatera Utara
2 Forum Tani Sejahtera Indonesia FUTASI Alas hak yang disebutkan dalam surat Futasi adalah UUPA No. 5 Tahun
1960, Peraturan Pemerintah nomor 224 tahun 1961, Tap MPR Nomor IX tahun 2001. Keputusan Presiden nomor 34 Tahun 2003 dan Inpres Nomor M
Sesneg52005.
Permohonan kelompok ini adalah agar Pemko Pematangsiantar turut serta dalam menjalankan reforma agraria sejati dan agar Pemko
Pematangsiantar dapat membuat penyelesaian masalah lahan eks PTPN-III Bangun di Kelurahan Gurilla Kelompok ini juga menyertakan nama-nama
penggarap 1.025 orang f.
Sengketa Antar Masyarakat Penggarap Sejak terjadinya penggarapan oleh Masyarakat Kelompok Masyarakat di
areal HGU PTPN-III Kebun Bangun terhitung sejak Desember 1998, sengketa yang terjadi di areal tersebut tidak hanya menimbulkan sengketa vertikal yaitu
antara masyarakat kelompok masyarakat dengan pihak perkebunan, akan tetapi sudah sampai pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan yaitu dengan
timbulnya sengketa horizontal yaitu dengan munculnya pertikaian antar sesama masyarakat penggarap.
Masyarakat Kelompok masyarakat yang terlibat pada kondisi sekarang telah berjuang dengan segala cara dan mengorbankan biaya yang cukup besar
untuk legitimasi atas tanah yang digarap. Hal ini terbukti dengan adanya upaya kelompok-kelompok penggarap yang secara resmi dan terbuka mengklaim
bahwa tanah yang mereka garap mempunyai latar belakang yang sah bahwa tanah tersebut adalah hak mereka, kondisi ini semakin diperkuat dengan
tindakan yang tidak terkendali dengan cara :
1 Penebangan terhadap tanaman produktif milik PTPN-III 2 Menguasai dan mengusahakan tanah eks PTPN-III menjadi areal pertanian
dan lokasi usaha masyarakat 3 Mendirikan bangunan perumahan mulai dari rumah sederhana, semi
permanen, dan bahkan rumah permanen 4 Memindahkantangankan menjual tanah garapan kepada pihak ketiga
5 Saling mengklaim hak tanah antar sesama penggarap dengan cara kekerasan yang menimbulkan pertengkaran penganiayaan
6. Melakukan pengrusakan, pembakaran rumah, yang berada di tanah garapan oleh sesama penggarap.
Hasil Pertemuan Unsur Muspida Kota Pematangsiantar Menyikapi Permasalahan Penggarap Tanah Eks PTPN-III Kebun Bangun
Berdasarkan rapat yang dilaksanakan oleh Unsur Muspida Plus Kota Pematangsiantar beserta Instansi terkait berdasarkan surat undangan Walikota
Pematangsiantar No. 0054670VII2007 tanggal 24 Juli 2007 di simpulkan beberapa hal untuk menjadi perhatian dan penegasan sehubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat kelompok masyarakat terhadap tanah Eks HGU PTPN-III Kebun Bangun yaitu :
1 Dalam amar putusan Mahkamah Agung Nomor 515 KPDT2003 tanggal 3 Februari 2005 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor
199PDT2002PT-MDN tanggal 2 Agustus 2002 menyatakan bahwa Saudara Kasmen Sinaga dan Kawan-kawan dalam hal ini sebagai pemohon
kasasi, dahulu para penggugat para terbanding bukan sebagai pemilik hak atas tanah yang terletak di blok 28, 29, 30, 31, 37, 46, dan 47.
2 Untuk itu perlu diadakan sosialisasi kepada penggarap dan kelompok- kelompok penggarap melalui mass media baik cetak maupun elektronik
dan pertemuan-pertemuan lainnya. 3 Kepada camat dan lurah tidak diperkenankan mensahkan atau
menandatangani surat-surat atau dokumen-dokumen apapun yang menyangkut tanah eks HGU PTP-III Kebun Bangun sebelum ada putusan
yang pasti terhadap kepemilikan tanah tersebut.
4 Dihimbau kepada seluruh elemen masyarakat terutama yang berada di tanah Eks HGU PTP-III Kebun Bangun agar tetap menjaga keamanan dan
ketertiban bersama serta kekondusifan di wilayah dimaksud Sehubungan dengan kondisi di atas untuk menghindari terjadinya konflik
yang berkepanjangan sehingga menimbulkan efek domino antar masyarakat kelompok masyarakat secara luas sangat dibutuhkan sikap yang tegas dari pihak
BUMN untuk menyerahkan hak pengelolaan tanah Eks HGU PTPN-III kepada Pemerintah Kota Pematangsiantar. Dengan demikian Pemerintah Kota
Pematangsiantar dapat sedini mungkin mengantisipasi terjadinya pertikaian konflik secara berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat kelompok
masyarakat penggarap khusus dan masyarakat luas umumnya.
Demikian riwayat tanah dan kronologis sengketa tanah HGU PTPN-III Kebun Bangun
a. Tipologi sengketa pertanahan dalam kasus 3 tiga di atas adalah :
1. Sengketa Penguasaan dan Pemilikan
2. Sengketa Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah
3. Sengketa Ganti Rugi Eks Tanah Partikelir
4. Sengketa Tanah Ulayat
5. Sengketa Tanah Nasionalisasi Badan Hukum Perkebunan Belanda
Pihak-pihak yang bersengketa 1.
Kelompok Masyarakat dengan Perkebunan
Universitas Sumatera Utara
2. Kelompok Masyarakat dengan Perkebunan dan Pemerintah
3. Orang dengan orang Penggarap dengan Penggarap
b. Faktor Penyebab terjadinya sengketa pertanahan dalam kasus 3 tiga ini
adalah : Faktor historis yang berkaitan dengan sejarah perkebunan di daerah ini,
dapat dilihat seperti sengketa tanah Kebun Bangun, yang mengklaim pelepasan eks HGU PTPN-III Kebun Bangun.
Pada umumnya sengketa masyarakat dengan perkebunan memiliki sejarah yang panjang.
385
Ini juga sekaligus kritikan terhadap UU perkebunan itu sendiri Penangkapan dan pemenjaraan terhadap petani ataupun masyarakat
yang tinggal bersebelahan dengan wilayah-wilayah perkebunan merupakan hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Hal ini diakibatkan
adanya sengketa perebutan wilayah perkebunan antara petani ataupun masyarakat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan yang
mengambilalih atau mengklaim wilayah tersebut. Sengketa perkebunan ini juga tidak bisa dilepaskan dari proses dan
tahapan pembangunan perkebunan oleh perusahaan perkebunan. Sengketa ini biasanya terjadi dalam tiga tahapan pembangunan
perkebunan, yaitu :
386
1 Periode permulaan pembangunan perkebunan;
2 Periode saat perusahaan mulai berproduksi;
3 Periode saat kembali menguatnya aksi-aksi menuntut pengembalian
tanah paska kejatuhan Suharto 1998. Periode permulaan pembangunan perkebunan
Pada periode ini, perusahaan mulai melakukan pengukuran ulang atas lahan-lahan yang dikuasakan kepada mereka dan sekaligus meminta aparat keamanan melakukan
pengusiran atas lahan-lahan yang masih ditempati atau ditanami oleh penduduk. Pada periode ini pula diketahui para penduduk lokal dengan berbekal surat keterangan
385
Nurhasan Ismail Nyoman Nurjaya, Wajah Baru UU Perkebunan : Agrarische Wet, Jakarta Selatan : ELSAM, Sawit Watch-Pilnet,2012, hal.41
386
Lengkapnya lihat Pelanggaran hak asasi manusia di kawasan perkebunan kelapa sawit PT PP Lonsum Tbk-Sumatera Utara, Kertas Posisi No.12010, ELSAM, ibid.
Universitas Sumatera Utara
tentang hak mengolah atas bidang-bidang tanah, melakukan perlawanan atas upaya- upaya pengambilalihan lahan-lahan dari pihak perusahaan.
Periode kedua adalah saat perusahaan mulai berproduksi Periode ini dimulai ketika perusahaan memasuki proses produksi. Perusahaan mulai
melakukan konversi tanaman kebun lama ke kelapa sawit
387
Periode terakhir adalah periode dimana perusahaan terus melakukan peningkatan produksi, penjajagan pencarian investor baru, serta perpanjangan HGU
dan perluasan lahan. Pada periode ini, aksi-aksi menuntut pengembalian lahan oleh penduduk semakin membesar, terutama sejalan dengan gelombang reformasi setelah
kejatuhan rezim Suharto Mei 1998. Dalam beberapa kasus, para petani melakukan aksi reclaiming atas kebun-kebun perusahaan karena proses penyelesaian kasus
sengketa mereka berjalan lambat. Pada periode inilah biasanya penangkapan dan kriminalisasi terhadap petanimasyarakat terjadi. Padahal upaya-upaya yang
dilakukan masyarakatpetani ini merupakan bentuk ekspresi dalam upayanya mempertahankan hak dan salah satu bentuk komunikasi masyarakat adat dalam
mencoba mengkomunikasikan hak mereka yang dinilainya telah dirampas oleh negara yang berkelindan dengan kelompok kapitalis.
; pemeliharaan kebun; produksi bibit kelapa sawit, dan memetik buah sawit. Pada periode ini para penduduk
mulai kembali melakukan aksi-aksi menuntut pengembalian lahan-lahan mereka yang dirampas oleh perusahaan.
388
Terlebih kepercayaan petani akan jaminan subsistensi mulai menurun dan petani tidak mempunyai pilihan lain
kecuali melawan. Keadaan inilah yang memicu timbulnya protes dan kekerasan sebagai manifestasi dari ketidakpuasan petani akibat hubungan eksploitatif yang
dirasakan tidak adil.
389
Sementara perusahaan perkebunan menilai apa yang dilakukan masyarakatpetani merupakan suatu tindakan yang merugikan perusahaan dan
“berakibat pada kerusakan kebun danatau asset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin danatau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya
usaha perkebunan”.
390
387
Konversi kebun teh manjadi kelapa sawit di Nagori Bah Bolon Tongah, Nagori Simpang Raya, Nagori Janggar Leto, kecamatan Panei yang saat ini jika turun hujan agak deraslebat, daerah itu menjadi banjir
yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
388
Keterangan Ahli, Hermansyah, berkenaan dengan Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 26 Mei 2011
389
Sichmen Pandiangan, Bentuk-bentuk Perlawanan Petani terhadap Negara, Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Volume 5 No.3 hal. 302-323.
390
Persoalan ini yang kemudian direspon dan ditindaklanjuti Pemerintah dan DPR dengan memasukkannya sebagai salah satu perbuatan yang dilarang. Rasionalitas dari “dilarangnya” perbuatan ini adalah
murni kepentingan Negara yang berkelindan kepentingan perusahaan. Penetapan sebagai perbuatan yang dilarang ini disebut sebagai Mala in Prohibita, yaitu penetapan perbuatan pidana dengan dasar kepentingan Negara untuk
mengatur bagaimana warganegaranya harus berperilaku dengan menetapkan sebuah perilaku melalui hukum pidana. Dalam konteks inilah berbagai macam pertimbangan, seperti pertimbangan ekonomi, politik, dan lain
sebagainya masuk dalam hukum pidana.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian besar kasus-kasus yang terjadi dalam sengketa perkebunan juga menunjukkan adanya pola yang konsisten dalam penerapan instrument hukum pidana
terhadap masyarakatpetani yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan. Pertama, dalam beberapa kasus sengketa perkebunan, penggunaan hukum pidana
biasanya dilakukan pada saat-saat dimana proses penyelesaian secara damai antara dua belah pihak tidak terjadi. Walaupun pada umumnya bahwa penyelesaian yang
dimaksud adalah selalu pihak masyarakat yang menderita kerugian. Kedua, dalam praktiknya masyarakat dan petani selalu sengaja dipancing untuk melakukan
kekerasan atau paling tidak membalas dengan kekerasan. Metode pancingan ini biasanya kerap dilakukan oleh para preman atau sipil yang dipersenjatai oleh
perusahaan intimidasi atau terror atau oleh perusahaan dengan berbagai cara, misalnya dengan cara menghancurkan tanaman milik masyarakat, pembuatan pagar
dan batas lahan yang sengaja memprovokasi masyarakat sekitar, pelarangan masuk ke areal perkebunan bagi pengembala atau pencari kayu bakar, dan lain sebagainya.
Masyarakat yang membalas atas peristiwa tersebut kemudian ditangkap dan dipidana.
391
Ketiga, kriminalisasi selalu dilakukan sebagai shock therapy bagi masyarakat yang menyuarakan hak-haknya dan menentang perusahaan perkebunan. Tak jarang
ketika kelompok-kelompok tani, masyarakat yang mencari dukungan bagi pembebasan lahan perkebunan mereka sudah terkonsolidasi, maka ancaman
kriminalisasi dilakukan oleh perusahaan perkebunan. Dengan melakukan penangkapan-penangkapan, konsolidasi petani bisa dilemahkan.
392
Keempat, dalam proses awal penggunaan instrumen pidana. Pihak pelapor biasanya adalah wakil dari
perusahaan perkebunan yang bersengketa dengan masyarakat. Atau penangkapan di tempat, dalam hal terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat petani, baik di
ruang publik atau di areal lahan sengketa. Sedangkan laporan-laporan dari petani atas perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh pihak perusahaan perkebunan atau oleh
orang-orang sewaan perusahaan perkebunan justru jarang ditanggapi atau tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian.
393
Sebelum tahun 2004, instrumen hukum pidana yang paling sering dijadikan rujukan untuk mempidana petani dan masyarakat dalam sengketa perkebunan adalah
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun, setelah dilahirkannya Undang-undang No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, maka pasal-pasal pidana dalam undang-
undang tersebut menjadi primadona baru bagi para perusahaan perkebunan dan Polisi
391
Misalnya dalam kasus yang terjadi antara masyarakat desa Karang Mendapo, Sarolangun, Jambi dengan PT. Krisna Duta Agroindo PT.KDA
392
Misalnya dalam kasus Pargulaan, 11 orang pengurus Badan Perjuangan Masyarakat Pargulaan BPMP dikriminalisasi dan diajukan ke Pengadilan oleh PT. PP Lonsum. Demikian juga dengan pemimpin dan
anggota Paguyuban Petani Aryo Blitar PPAB Desa Soso, Blitar yang diajukan ke Pengadilan karena dianggap menggangu jalannya usaha perkebunan PT.Kismo Handayani, hampir sama dengan kasus Bandar Betsy a.n
Kemin dkk.
393
Hal ini bisa dari kasus yang terjadi antara masyarakat desa Karang Mendapo, Sarolangun, Jambi dengan PT. KDA dan kasus masyrakat adat Jelai Kendawangan Ketapang melawan PT. Bangun Nusa Mandiri
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan kriminalisasi terhadap petani atau masyarakat. Sebagian besar perlawanan petani masyarakat memang dapat dilumpuhkan dengan menggunakan
instrumen pidana yang terdapat dalam UU Perkebunan ini.
394
Faktor penyebab timbulnya sengketa hak atas tanah adat selain faktor historis seperti yang diuraikan di atas, di Kabupaten Simalungun juga dikarenakan faktor
klasik yang berhubungan dengan terbatasnya ketersediaan tanah dibanding luasnya kebutuhan manusia akan tanah, ini ditandai dengan terjadinya :
1 Migrasi yang terlalu besar dari berbagai daerah utamanya dari Jawa yang biasa
disebut “transmigrasi”. Lama kelamaan menjadikan mereka “landhonger”, lapar tanah. Secara historis, karena kebaikan hati Raja-raja di Simalungun,
“randkolonisasi” ini yaitu orang-orang, buruh-buruh meninggalkan negerinya dan meminta tanah kepada Raja, dan Raja pun mengabulkan permintaan mereka oleh
prinsip Tolu Sahundulan Lima Saodoran, mereka inilah salah satu kelompok “saodoran” tersebut.
Secara kuantitas manusia, termasuk randkolonisasi tadi bertambah meningkat terus sementara ketersediaan tanah sangat terbatas. Mereka mencari dan terus
mencari tanah yang tidak pasti sampai akhirnya mereka mendirikan tempat tinggal di pinggiran sungai, rel-rel Kereta Api, di daerah sutet dan lain-lain. Mereka
datang, tumbuh dan berkembang terus berebutan sehingga menimbulkan konflik bahkan sengketa hak atas tanah.
2 Hukum dan peraturan-peraturan terlalu banyak dilahirkan, dibentuk sehingga
membingungkan rakyat. Aparatur hukum saja pun tidak belum memahami hukum apalagi Hukum Adat Simalungun mengenai pertanahan jarang atau
bahkan tidak pernah diadakan sosialisasi mengenai hukum dan peraturan- peraturan secara umum, Hukum Tanah secara khusus.
3 Materi hukum kurang bahkan tidak menyentuh “legal empati
395
394
Nurhasan Ismail Nyoman Nurjaya, UU Perkebunan, op cit, hal 41.
”, secara riil faktual, who other people, rasa keadilan masyarakat setempat sesuai asal-usul
Universitas Sumatera Utara
kesejarahan yang mereka miliki seperti masyarakat Simalungun yang mengenal kampung, menjadi Parbapaan Partuanon, Partuanon menjadi Kerajaan Urung.
Nagori, menurut Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 10 Tahun 2000 Tentang Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Nagori di
Kabupaten Simalungun Pasal 1 angka e
396
Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dalam sistem
Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten. adalah :
Pasal 1 angka f, huta adalah : Bagian wilayah dalam Nagori yang merupakan lingkungan kerja
pelaksanaan Pemerintahan Nagori. Pasal 1 angka j, Maujana Nagori adalah :
Badan Perwakilan yang terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat yang ada di Nagori yang berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan
Nagori, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Nagori.
4 Bahwa di Kabupaten Simalungun masih ada masyarakat adatnya, hukum adatnya,
tokoh adatnya bahkan sebagai pelaku sejarah, lembaga adat dan lain-lain. Walaupun “kecil” dan “lemah” tapi bukan berarti “tidak ada”, terhapus
397
Faktor Yuridis teknis berkaitan dengan banyaknya bidang tanah yang belum terdaftar. Faktor politik yang menyebabkan belum terciptanya kepastian hukum
tersebut. . Jadi
harus diakui, ini juga menjadi salah satu pemicu konflik bahkan sengketa hak atas tanah adat.
Kasus 4. Sengketa Hak Atas Tanah Adat antara Masyarakat dengan Perkebunan Bandar Betsy
Sejak masuknya perusahaan perkebunan onderneming di wilayah Sumatera Utara, menjadikan persoalan tanah sebagai pokok permasalahan utama mengingat
perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan.
Dengan kebutuhan tersebut dan ditopang dengan pandangan tentang hak penguasaan
395
Istilah yang lahir dari perkembangan diskusi dengan Djariaman Damanik.
396
Jo Pasal 1 e Perda Kabupaten Simalungun No. 18 Tahun 2000 Tentang Peraturan Nagori di Kabupaten Simalungun
397
Ibarat pepatah kita sering jatuh karena kerikil, batu-batu kecil bukan batu besar bukan?
Universitas Sumatera Utara
tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik
rakyat melalui jalur kontrak sewa conssesie
398
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, situasi penggarapan di atas tanah perkebunan semakin tak terkendali sehingga terjadi sengketa pertanahan antara
masyarakat dengan perkebunan. Keadaan ini juga berlanjut sampai terbentuknya Negara Sumatera Timur yang diprakarsai Belanda tahun 1947.
.
Pemerintah Sumatera Timur berusaha untuk menertibkan kembali tanh-tanah perkebunan dari pendudukan oleh masyarakat Occupatie dengan memberlakukan
Ordonansie onrechmatige occupatie van gronden. Ord. 8 Juni 1948, S.1948-110. Ordonansi ini hanya berlaku di Sumatera Timur, kalau dilanggar oleh para penghuni
liar baru, mereka akan menjadi sasaran pengusiran segera dan dan dikenakan penjara selama tiga bulan atau denda sebesar lima ratus rupiah
399
. Dan pada saat itu, Kementerian Dalam Negeri juga mengeluarkan Surat Edaran No.A.2.301037
Bijblad 15242 yang menganjurkan agar penyelesaian okupasi tanah erfacht tersebut dilakukan melalui jalan perundingan atau damai. Namun kedua peraturan tersebut
tidak mampu menyelesaikan persoalan penggarapan tanah yang dilakukan oleh Masyarakat. Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai terjadinya perjanjian
KMB
400
Konferensi Meja Bundar KMB pada tahun 1949 antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia RIS menyatakan bahwa mengenai pendudukan
occupatie tanah perkebunan milik Belanda oleh masyarakat tidak dapat dikembalikan begitu saja kepada pihak perkebunan. Keadaan ini berlanjut sampai
pembatalan perjanjian KMB,sejak itu penggarapan di atas tanah perkebunan tidak dapat diselesaikan.
.
Berawal dari judul tulisan di sebuah koran daerah pada tanggal 13 Desember 2010 “DPRDSU desak BPN dibubarkan, kasus tanah kembalikan ke Dirjen Agraria
401
Bahwa komisi A DPRD Sumut mendesak pemerintah pusat segera membubarkan BPN Badan Pertanahan Nasional. Karena dianggap sebagai “penyebab” dalam
menuntaskan kasus-kasus tanah di daerah Simalungun, sebab dari 500-an lebih kasus “perselisihan tanah yang mencuat” ke permukaan, tidak ada yang bisa diselesaikan,
artinya hanya 1 yang bisa diselesaikan. .
Dengan membubarkan BPN dan mengembalikan soal pengurusan tanah ke Dirjen Agraria di bawah naungan Mendagri, sehingga soal penyelesaian tanah di Propinsi
berada di tangan Gubernur dan Kabupaten Kota yakni Bupati Walikota yang dianggap lebih menguasai masalah tanah di wilayahnya masing-masing.
Dari sejumlah kasus-kasus tanah yang disampaikan ke DPRD Sumut
402
398
Syafrudin Kalo dalam Arie Sukanti Hutagalung, Pergulatan Pemikiran, Op.Cit, hal. 192
, mayoritas menyangkut silang sengketa antara pengusaha dengan rakyat, Pemerintah dengan
399
Karl Pelzer, Planters against Peasant, op.cit, hal. 28
400
Ibid, hal 197
401
Sinar Indonesia Baru, 13 Desember 2010
Universitas Sumatera Utara
rakyat, perkebunan PTPN dengan masyarakat seperti Perkebunan Bandar Betsy ini. Sudah puluhan tahun sengketa tanah perkebunan ini berlangsung dan tak kunjung
selesai.
Perkebunan Bandar Betsy dimasukkan dalam daerah PTP-IV Gunung Pamela yang terletak antara Tebing Tinggi-Pematang Siantar sebelah kiri pasar hitam ±15 km
dari pinggir jalan besar, sebelah kiri menuju Pematang Siantar. Perkebunan ini sekarang termasuk dalam PTP-III. Rakyat yang mendiami kampung-kampung sekitar
areal perkebunan sejak tahun 1947, sebagian besar terdiri dari suku Jawa yang merupakan basis dari Barisan Tani Indonesia BTI dan Pemuda Rakyat PR
merupakan ormas dari PKI. Mereka telah menggarap areal perkebunan sejak zaman Jepang 1943. Setelah perkebunan Bandar Betsy dinasionalisasi pada tahun 1957,
pihak PPN telah melakukan pembersihan areal perkebunan dari penggarap dengan sistem ganti kerugian atas dasar musyawarah, walaupun tanah itu telah diganti rugi
oleh pihak PPN, namun anggota-anggota BTIPR tidak mau mematuhi bahkan sering mengganggu petugas-petugas PPN yang sedang bekerja
403
Pada tahun 1960, untuk memenuhi kebutuhan pangan yang mendesak bagi masyarakat pada waktu itu, Pemerintah Daerah Tingkat II Kab. Simalungun,
menugasi aparatinstansi terkait, antara lain : PU, Pengairan, agar memberikan petunjuk teknis, penggalian sumber air, pencetakan sawah. Sebagai tindak lanjutnya,
Bupati KDH Tingkat II Kab. Simalungun, mengeluarkan izin pembukaan tali air petunjuk teknis, penggalian sumber air dan pencetakan sawah, Nomor I1963 tanggal
14 januari 1963. .
404
Pada tahun1963 terjadi peristiwa di Afd. II A Blok 38. Tanah-tanah yang sudah diganti rugi oleh PPN kembali digarap oleh BTIPR.
Selanjutnya pada tahun 1965, Bupati Simalungun selaku Ketua Panitia Landreform TK II Simalungun mengeluarkan dua Surat Keputusan :
1. Surat Keputusan Panitia Landreform Daerah Tingkat II Kabupaten Simalungun,
No. 4II10LRPP, 2 Maret 1965, tentang Pelepasan Tanah Garapan Dari Pihak Perkebunan kepada Masyarakat Petani yang berlokasi di Afd. 8, 31, 39, 40 dan
41, sejumlah 2.107 ha.
402
Masyarakat kerap melakukan demonstrasi ke lembaga legislatif menuntut segera diselesaikan kasus tanah yang menimpa masyarakat
403
Nas Sebayang dalam Syafruddin Kalo, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN II dan PTPN III di Sumatera Utara, disertasi, Medan: PPS USU,
2003, hal. 275.
404
Ibid, dan lihat juga Laporan Kronologis dan Upaya Penyelesaian Masalah Tanah Garapan Petani Bandar Betsy II, Kec. P. Bandar Kab. Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, Kesatuan Organisasi Reformasi
Keadilan Rakyat KOREKER, yang ditandatangani oleh Drs. B.P. Tamba, tanpa tanggal dan tahun.
Universitas Sumatera Utara
2. Surat Panitia Landreform Daerah Tingkat II Kabupaten Simalungun, No.
2II10LR65PP, 31 Maret 1965, tentang Pelepasan Tanah Garapan dari pihak Perkebunan, kepada Masyarakat Petani yang berlokasi di Afd. 37, sejumlah 306
ha. Kedua SK Panitia Landreform tersebut, memutuskan untuk mengeluarkan
areal kebun Bandar Betsy seluas ± 2.413 ha. Berdasarkan kedua SK Panitia Landreform tersebut, petani penggarap Bandar Betsy menuntut agar pihak
perkebunan mengeluarkan areal tersebut dari Hak Guna Usaha Kebun Bandar Betsy untuk petani penggarap. Kedua SK panitia Landreform tersebut di atas, ditanggapi
oleh pihak PPN Karet IV Perkebunan Bandar Betsy sekarang PTPN-III yaitu dengan surat yang ditujukan kepada Ketua Panitia Landreform Tk. II Pematang-
Siantar, No. BBYX10781965 tertanggal 4 Maret 1965, yang ditandatangani oleh Administratur Kebun Bandar Betsy, Soebekti, SH meminta agar areal perkebunan
seluas 1.808 ha dikembalikan kepada pihak perkebunan.
405
SK Panitia Landreform Dati II Kabupaten Simalungun No. 4II10LRPP tanggal 2 Maret 1965 dan No. 2II10LR65PP tanggal 31 Maret 1965, yang
menimbulkan masalah antara Pemerintah Daerah Dati II Kabupaten Simalungun dan pihak perkebunan serta masyarakat penggarap, maka Panitia Landreform Pusat
menegur Panitia Landreform Dati II Kabupaten Simalungun dengan Surat No. 27PLP1966 tanggal 03 April 1966 dengan menyatakan :
Permohonan tersebut dibicarakan antara pihak pemerintah dengan pihak perkebunan dan masyarakat
penggarap.
“Dalam menentukan tanah-tanah perkebunan negara sebagai objek Landreform, hendaknya diperhatikan kepentingan pihak perkebunan
negara, yang pada hakekatnya juga adalah kepentingan negara dan rakyat, dan dalam pelaksanaannya agar didengar pendapat dari Inspektorat
Perkebunan, PPN dan Administratur Perkebunan yang bersangkutan serta perlu ada pertimbangan berdasarkan Pasal 1 ayat d PP No. 224 Tahun
1961.”
Kedua SK Panitia Landreform tersebut, ternyata belum mendapatkan pengesahan dari Panitia Landreform Pusat, maka dengan sendirinya kedua SK
Landreform Dati II Kabupaten Simalungun tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibatnya tanah yang menjadi objek Landreform tersebut harus dikembalikan kepada
pihak PPN-IV Kebun Bandar Betsy.
Secara yuridis formal, untuk dapat ditegaskan sebagai tanah yang menjadi objek Landreform, hendaknya Panitia Landreform Dati II yang bersangkutan sesudah
mengadakan musyawarah dengan pihak-pihak yang bersangkutan mengajukan usul-
405
Lihat, Surat PPN Karet IV Perkebunan Bandar Betsy tertanggal 04 Maret 1965.
Universitas Sumatera Utara
usulnya kepada Panitia Landreform Pusat dengan disertai pertimbangan dari Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. Di samping itu menurut PP 224 Tahun 1961
Pasal 1 mengatur mengenai tanah-tanah yang akan dibagikan dalam rangka pelaksanaan Landreform sebagai berikut :
a.
Tanah-tanah selebihnya dari atas maximum sebagai dimaksudkan dalam Undang- Undang No. 56 Prp Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena
pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut. b.
Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat 5
c. Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada negara
sebagai yang dimaksudkan dalam Diktum keempat huruf A Undang-Undang Pokok Agraria.
d. Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria. Dua SK Panitia Landreform Dati II Kabupaten Simalungun, cacat hukum karena
tidak memenuhi prosedur, yaitu tidak memperhatikan kepentingan pihak perkebunan negara dan rakyat, tidak mendengar pendapat dari Inspektorat
Perkebunan dan Administratur Perkebunan yang bersangkutan serta tidak memperhatikan PP No. 224 Tahun 1961, khusus mengenai tanah-tanah yang
dikuasai langsung oleh negara lebih lanjut akan diatur oleh Menteri Agraria. Dua kebijakan tersebut telah menimbulkan sengketa antara Pemerintah Dati II Kab.
Simalungun, perkebunan dan rakyat penggarap.
Pergantian pemerintahan pada tahun 1966 dari pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto, persoalan sengketa penguasaan tanah antara masyarakat
penggarap dan perkebunan tidak berakhir, malah menunjukkan kecenderungan meningkat. Pemerintahan Soeharto yang menggunakan kekuatan represif dalam
menyelesaikan berbagai persoalan segera menerapkan konsep pendekatan kekuasaan dalam menangani masalah sengketa ini. Tahun 1966, Direktur PPN
Karet IV, memohon kepada Menteri Agraria agar SK No. 2II10LR65PP dan No. 4II10LRBP Tahun 1965 tersebut dibatalkan. Permohonan Adm. Bandar
Betsy dan Direktur PPN Karet IV sekarang PTPN-III, sampai saat ini tidak ditanggapi. Dengan demikian 2 SK Landreform tersebut, tetap sebagai keadaan
semula. Para petani penggarap menganggap kedua SK Panitia Landreform itu,
Universitas Sumatera Utara
tetap berlaku, berarti sengketa antara pihak petani penggarap dengan pihak perkebunan belum dapat diselesaikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanggal 22 Juli 1968 diadakan musyawarah dengan kesepakatan bahwa pihak perkebunan menyanggupi pembuatan tali air,
membayar ganti rugi tanaman Rp.4.000ha sd Rp.6.000ha dan 380 ha termasuk pandoperengan diserahkan kepada masyarakat petani penggarap. Kesepakatan
tersebut tidak ada realisasinya dari pihak perkebunan. Kemudian pada tanggal 22 Oktober 1968, diadakan musyawarah kembali, yaitu untuk mencapai kesepakatan
pembuatan tali air dengan memakai talang. Pihak perkebunan pada waktu itu telah membuat kontrak pada pihak III. Pihak perkebunan menyatakan agar tanah terlebih
dahulu dikosongkan baru dapat dicairkan dana dari PPN. Dengan ketentuan pihak PPN membayarkan berupa panjar Rp.720.000 sebagai uang angkut barang, tetapi
tidak ada realisasinya. Selanjutnya pada tanggal 5 Agustus 1969, diadakan musyawarah kembali dengan kesepakatan yang isinya :
1.
Pembayaran uang angkut barang harus dibayarkan Pihak Perkebunan dengan tepat waktu
2. Pembuatan talang yang dikontrakkan pihak Perkebunan, penyerahannya harus
kepada PU. Tk. II Kab. Simalungun 3.
Jika pembayaran uang angkut barang dan penyelesaian pembuatan talang tidak dipenuhi Pihak Perkebunan, maka batallah segala keputusan musyawarah yang
sudah disepakati dan kembali kepada keputusan Panitia Landreform Tk. II Kab. Simalungun.
Ketiga musyawarah tersebut di atas tidak ada realisasinya dari pihak perkebunan, maka pada tanggal 8 Agustus 1969, Bupati KDH Tk. II dan selaku Ketua
Panitia Landreform Tk. II Kab. Simalungun, mengeluarkan surat keputusan pernyataan Standfast, terhadap tanah sengketa. Selanjutnya dibentuk Tim Pemeriksa
ke lapangan pada lokasi tanah sengketa. Tim terdiri dari Pihak Perkebunan, Muspika Kecamatan Pematang Bandar, dan Pihak Penggarap, untuk mengadakan registrasi
jumlah anggota petani penggarap. Pada waktu itu terdiri dari 75 kepala keluarga, dan dua belas 12 lembar kartu anggota. Hasil registrasi tersebut telah ditandatangani
oleh masing-masing anggota Tim. Namun hal ini juga tidak dapat menyelesaikan permasalahan.
Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Tim Terpadu Kantor Gubernur KDH Tk. I Sumatera Utara, untuk menyelesaikan permasalahan tanah garapan masyarakat
dengan pihak perkebunan.
Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal 20 Oktober 1999, diadakan rapat di Kantor Bupati Simalungun yaitu, untuk menindaklanjuti penyelesaian permasalahan tanah garapan dengan
adanya tiga alternatif sebagai berikut : 1.
Alternatif I, tuntutan Djaiman Nainggolan 1200 ha – 168 ha – 89 ha 2.
Alternatif II, dari Pihak Perkebunan atas usul Adm, Bandar Betsy, 326, 5 ha 256,5 ha – 70 ha – 168 ha = 158,5 ha
3. Alternatif III, dari Pemda 326,5 ha + 89 ha pandoperengan.
Dalam hal ini, pihak perkebunan tidak dapat menerima sehingga, permasalahan belum juga dapat diselesaikan. Berdasarkan hal tersebut, Bupati
Simalungun membuat surat kepada Menneg Penanaman Modal dan Perkebunan BUMN, tanggal 25 Oktober 1999 dan 6 Desember 1999. Disamping itu ada surat
dukungan dari Gubernur Sumatera Utara tanggal 5 Nopember 1999.
Undangan untuk pertemuan tanggal 13 Februari 2000, disampaikan kepada instansi terkait, termasuk yang mewakili dari Kantor Menneg Penanaman Modal dan
Pembinaan BUMN. Gubernur Sumatera Utara dengan suratnya No. 5932361 tanggal 24 Februari 2000, menyampaikan hasil pertemuan, dengan kesimpulan bahwa
penyelesaian sengketa harus dilakukan dengan “Win-Win Solution” yaitu 943 hektar dikeluarkan dari areal perkebunan, untuk masyarakat penggarap, biaya ukur
tanggungan PTPN-III dan jangan mempermasalahkan tanaman yang ada di areal yang akan diserahkan.
Pada tanggal 13 Maret 2000, 3 April 2000, dan 26 April 2000, kuasa dari masyarakat penggarap menjumpai Deputi Agro Industri yang isinya :
a Deputi membantu dan tidak merugikan masyarakat penggarap
b Deputi akan membuat penyelesaiannya yang merupakan percontohan
c Deputi hanya sebatas mengusulkan, keputusan terakhir berada di tangan
Menteri. Setelah berlangsung tiga bulan lamanya, Surat Gubernur Sumatera Utara
tersebut disampaikan kepada Menneg Penanaman Modal, dan Pembinaan BUMN dengan PTPN-III tidak ditanggapi. Selanjutnya pada tanggal 3 Juni 2000, kuasa dari
masyarakat penggarap, akhirnya memohon kepada Komisi IX DPR-RI sebagai berikut :
a
Merekomendasikan kepada Menneg Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN, agar menyelesaikan permasalahan tanah garapan Petani Bandar Betsy, mengacu
Universitas Sumatera Utara
kepada Surat Gubernur No. 5932361 tanggal 24 Februari 2000. Cara yang ditempuh itu sudah merupakan solusi yang terbaik “Win-win Solution” yaitu,
disetujui untuk masyarakat penggarap 943 ha dari tanah yang dipermasalahkan sejumlah 2245 ha.
b Rekomendasi dari Komisi IX DPR-RI tersebut, yang pada gilirannya akan
melahirkan Surat Persetujuan Menneg Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN. c
Surat usulan tersebut, masyarakat penggarap mengharapkan agar berupa utusan dari Komisi IX DPR-RI berkenan menyampaikannya kepada Bapak Gubernur
Sumatera Utara di Medan, dan disaksikan instansi terkait. Areal yang sudah diduduki penggarap Bandar Betsy yaitu :
1. Afdeling I seluas = 8 ha
2. Afdeling IV seluas = 2 ha
3. Afdeling V seluas = 2,40 ha
4. Afdeling VI, VII, VIII seluas = 83,35 ha
406
Areal yang diduduki oleh kelompok Suharji Cs yang terletak di Afdeling VI, VII seluas = 202 ha. Sedangkan areal yang diduduki oleh penggarap yang berasal dari
desa Bandar Silo, Bandar Pulo, Bandar Manis dan Ujung Pait terdiri dari 150 orang penggarap, telah menduduki 297,75 ha.
Berdasarkan data yang dapat dihimpun, maka sengketa antara pihak petani penggarap dengan pihak perkebunan Bandar Betsy PTPN-III sampai saat ini, belum
ada penyelesaian yang tuntas. Sebagai tindak lanjutnya, turunlah instansi terkait ke lapangan, untuk melakukan pemeriksaan tanaman, dan tenaga masyarakat yang sudah
membersihkan areal tersebut. Keputusan instansi terkait pada waktu, agar pihak perkebunan membayar ganti rugi tanaman dan upah pembersihan areal kepada
masyarakat petani. Namun pihak perkebunan, tidak memenuhi apa yang telah disepakati.
406
Laporan Kronologis dan upaya penyelesaian masalah tanah garapan petani Bandar Betsy II, Kecamatan P. Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara, dari Kesatuan Organisasi
Reformasi Keadilan Rakyat KOREKER oleh kuasanya Drs. B.P. Tamba dalam Syarifuddin Kalo, disertasi, Op.Cit, hal 272.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Surat Menteri NegaraKepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. S-328M.PM-PBUMN2000
tanggal 23 Agustus 2000 yang ditujukan kepada Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, atas arahan Presiden dapat mempertimbangkan untuk
melepaskan 40 empat puluh persen dari tanah HGU PTP Nusantara III seluas 943 ha untuk diserahkan kepada GubernurKDH Tingkat I Sumatera Utara dan mengenai
kebijaksanaan final tentang pendistribusiannya kepada masyarakat penggarap agar diserahkan menjadi tanggung jawab GubernurKDH Tingkat I Sumatera Utara.
Namun berhubung masalah sengketa tanah perkebunan belum diatur dalam suatu petunjuk pelaksanaan sebagai kebijaksanaan nasional dan masalah sengketa tanah
juga terjadi pada areal PTPN yang lain, maka masalah ini perlu dibicarakan pada Rakor Ekuin dengan mengikutsertakan Menteri Perkebunan, Badan Pertanahan
Nasional, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, BPKP dan instansi terkait lain yang diperlukan.
407
Surat Menteri NegaraBadan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN tersebut di atas ditindaklanjuti Kordinator Bidang Perekonomian Indonesia. Dengan
suratnya No. S.07D.VU.M.EKON022001 tanggal 6 Februari 2001, yang ditujukan kepada Direktur Jenderal BUMN Departemen Keuangan, Menko Perekonomian
mengusulkan agar penyelesaian masalah tanah perlu dilihat kasus per kasus dan tidak digeneralisir secara nasional misalnya diberikan 40 dari luas tanah yang dituntut.
Luas tanah yang dituntut masyarakat penggarap dan akan dilepaskan oleh PTPN-III Maksimal 943 ha dihitung berdasarkan kesepakatan dan kalkulasi yang diusulkan
Pemerintah Daerah dengan memperhatikan aspek legalitasnya.
408
Dalam perkembangan selanjutnya, 22 Maret 2011 Advokat dan Penasehat Hukum A. Tumanggor, SH dan Associates selaku kuasa hukum Kelompok Tani
Kemin dkk menyusul pengaduan dan menyampaikan permohonan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa masyarakat Desa Bandar Betsy Kec. Huluan, Kab. Simalungun dengan
jumlah kelompok tani 155 KK dan telah menguasai dan mengusahai tanah garapan 115 ha seharusnya 215 ha dan telah menanami Kelapa Sawit tanaman
tua dan muda Eks. PTP Nusantara III Persero yang telah keluar dari luas 5.348,9 ha. Telah keluar dari HGU PTP 3 yang telah disetujui oleh DPR RI dan
407
Lihat, Surat Menteri NegaraKepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. 5- 328M.PM-328M.PM-PBUMN2000, tanggal 23 Agustus 2000
408
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Pusat baik Pemerintah Gubernur Sumatera Utara dan DPR Sumatera Utara serta Bupati Simalungun dan DPRD Kab. Simalungun.
2. Bahwa di atas PTP 3 HGU No. 1 Tahun 1989 telah berakhir tanggal 31 Desember
2005 maka tanah tersebut telah beralih menjadi tanah negara RI dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria kelompok tani penggarap KEMIN DKK secara
hukum adalah pemilik HAK yang dilindungi undang-undang 3.
Bahwa Eks PTP 3 tidak memiliki alas HAK lagi, maka tidak berhak lagi melakukan pelakuan pidana terhadap kelompok tani KEMIN DKK
4. Bahwa berakhirnya HGU No. 1 Tahun 1989 telah mengajukan permohonan
kepada BPN RI direkomendasikan oleh BPN Kanwil Sumatera Utara tepatnya pada tahun 2004 namun sampai saat ini sudah 7 tujuh tahun lamanya tidak ada
perpanjangan HGU milik PTP 3. 5.
Bahwa kelompok tani penggarap KEMIN DKK telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan Pemerintah Daerah Kab. Simalungun dan PTP 3 Persero
bahwa tanah 5.348,9 ha telah keluar dari PTP 3 dan akan dibagikan kepada masyarakat. Dan kami Kelompok Tani KEMIN DKK telah menyampaikan
berkas-berkas kependudukan dan persyaratan yang lengkap, sesuai dengan pengumuman surat kabar namun lamban Bupati Simalungun menerbitkan Surat
Keterangan Tanah tersebut kepada kami, maka dengan hormat Bapak Bupati Simalungun dan instansi terkait saat ini kami mohonkan dengan hormat
menerbitkan surat kepemilikan tanah tersebut untuk tidak terjadi lagi hal-hal yang timbul dikemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
6. Bahwa perlu kami sampaikan Bapak Instansi Pemerintah dan terkait dan terutama
kepada Bapak Bupati Simalungun dan kepada Bapak Ketua DPRD Simalungun kami tidak ikut serta melakukan unjuk rasa seperti kelompom KOREKER yang
berulang kali kami baca akhir-akhir ini di Surat Kabar Pematangsiantar. Kami cukup menyampaikan hak-hak kami secara tertib, tertulis dengan melalui kuasa
hukum kami, dan keyakinan kami sepenuhnya Instansi Pemerintah tersebut, kami yakin bijaksana menindak lanjuti hak-hak kami dari Pemerintah Daerah baik pun
Pemerintah Pusat dan akan disetujui oleh PTP III Nusantara III Bandar Betsy 7.
Bahwa terjadinya peristiwa pidana terhadap klien kami, Kelompok Tani KEMIN dkk diduga adalah rekayasa peristiwa PERDATA dijadikan peristiwa PIDANA,
kami mohonkan Bapak Bupati Simalungun dan Bapak DPRD Simalungun dapat merekomendasi kepada Bapak Ketua MA RI ub. Bapak Ketua Majelis dan
anggota Majelis MA RI mengadili perkara ini untuk dibebaskan dari segala hukuman PIDANA
8 Bahwa tentang kejadian saksi-saksi ahli di persidangan dihadirkan jasa penuntut hukum dalam perkara ini tidak dapat membuktikan pengrusakan tanaman karet
milik PTP III Bandar Betsy, Kec. Bandar Huluan Kab. Simalungun yang dilakukan para terdakwa KEMIN DKK.
Bahwa bukti-bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dipersidangkan Pengadilan Negeri Simalungun untuk membuktikan kesalahan para terdakwa
KEMIN dkk. Ternyata tidak ada satupun bukti yang mendukung kesalahan para terdakwa KEMIN dkk, sebab bukti yang mendukung bahwa para terdakwa
KEMIN dkk yang menguasai dan menguasai dan mengusahai lahan Eks PTPN III Bandar Betsy adalah sertifikat HGU No. 1 Tahun 1989, yang telah berakhir
tanggal 31 Desember 2005, maka pengaduan PTPN III Bandar Betsy adalah salah alamat karena tidak berhak mengadukan kepada para terdakwa karena lahan yang
dikuasai para terdakwa bukan milik PTPN III Bandar Betsy melainkan tanah tersebut sudah kembali kepada masyarakat atau Eks. PTPN III Bandar Betsy dan
Universitas Sumatera Utara
para terdakwa KEMIN DKK berhak untuk menguasai dan mengusahai lahan Eks PTPN III Bandar Betsy tersebut.
9 Tentang Pengurasakan tanaman karet milik Eks. PTPN III Bandar Betsy tidak terbukti secara Hukum.
- Bahwa barang bukti yang diajukan di depan persidangan dalam perkara ini
adalah Nihil yang tidak dapat dibuktikan Jaksa Penuntut Umum dalam surat Dakwaannya karena tidak benar ada pengurasakan Tanaman Karet milik Eks.
PTPN III Bandar Betsy demikian juga saksi-saksi baik yang saksi memberatkan maupun saksi ahli dan saksi meringankan maupun bukti-bukti
dalam perkara tidak dapat menerangkan tanaman karet yang dirusak para terdakwa KEMIN dkk.
10 Bahwa nampaknya Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dalam suratnya No. S-744MBU2008 tanggal 7 September 2008, telah mengeluarkan
rekomendasi agar HGU milik PTPN III seluas ± 32.219.17 Ha supaya diperpanjang HGU nya dari areal seluas 31.219.17 Ha termasuk di dalamnya
Kebun Bandar Betsy seluas 5.348,9 Ga dan juga Kanwil BPN Sumatera Utara telah mengusulkan Perpanjangan HGU kebun Bandar Betsy seluas 5.348,9 Ha
kepada Badan Pertanahan Nasional sesuai Surat No. 10PTTKR2008A, tanggal 10 Oktober 2008.
11 Bahwa setelah kedua surat instansi tidak menyetujui lahan Eks. PTP III Bandar Betsy dibagikan kepada masyarakat penggarap didukung pula Kepala Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara dengan Surat Kuasa Khusus Direksi PTP III No. 3.11SKKL032010, tanggal 11 Maret 2010, dan tinggal Kepala Badan
Pertanahan Nasional Pusat sampai saat ini belum memberikan jawabantanggapan atas ke-2 Surat tersebut.
12 Bahwa dari kacamata hukum walaupun Pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara belum mencabut HGU No. 1 Tahun 1989 dengan
ketentuan apabila usaha atau pohon karet milik Eks. PTP III masih produktif namun kenyataannya tanaman karet di lahan Eks, PTP III yang dikuasai
Penggarap tidak ada.
13 Bahwa apabila HGU telah berakhir dalam jangka 1 satu tahun maka Hak Eks. PTP III Bandar Betsy hapus karena hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 30
ayat 2 dan Hapus karena jangka waktunya telah berakhir sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 Jo. Pasal 34 sub a UU. No. 5 Tahun 1960.
Universitas Sumatera Utara
14 Bahwa ketentuan pada point 13, inilah yang belum dipahami Eks. PTP III Bandar Betsy termasuk Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang mengaku-ngaku
kuasa Hukum Direksi PTP III. 15 Bahwa di pihak PTP III Bandar Betsy tetap berusaha melaksanakan aktifitas
pembersihan di areal Eks. PTP III Bandar Betsy dan akan menanami dan melakukan pemeliharaan tanaman dengan cara merusak tanaman masyarakat
penggarap tanpa mengindahkan Hukum, pada hal tidak menyadari PTP III Bandar Betsy tidak memiliki alas Hak berupa HGU dan tetap ngotot dan
mengaku sebagai pemiliki atas Eks. HGU yang telah berakhir atau hapus karena hukum atau berakhir karena jangka waktunya telah berakhir.
16 Bahwa selanjutnya masyarakat penggarap yang mengatasnamakan Kelompok Tani Bandar Rejo yang dikoordinis KEMIN DKK, telah dijadikan terdakwa dan
3 tiga orang anggotanya dan perkara pidananya telah diputus oleh Pengadilan Negeri Simalungun dan hukuman masing-masing selama 1 tahun 6 bulan dan
telah dikuatkan Pengadilan Tinggi Medan, dengan dasar pemidanaan Undang- Undang No. 18 Tahun 2004, tentang perkebunan, “bersama-sama melakukan
pengrusakan kebun dan menguasai tanpa izin” namun Pengaduan PTP III Bandar Betsy baru bulan Oktober 2008, setelah HGU No. 1 Tahun 1989, berakhir
tanggal 31 Desember 2005 dan saat ini perkara tersebut di tingkat Kasasi untuk lebih jelasnya dapat kami lampirkan Memori Kasasi KEMIN dkk.
a. Tipologi Sengketa Pertanahan dalam Kasus 4 empat ini adalah :
1 Sengketa Penguasaan dan Pemilikan
2 Sengketa tanah objek Land Reform
3 Sengketa Kawasan
4 Sengketa tanah nasionalisasi badan hukum belanda
Pihak-pihak yang bersengketa 1
Masyarakat Dengan Perkebunan 2
Masyarakat dengan Instansi Pemerintah b.
Faktor Penyebab terjadinya sengketa pertanahan dalam kasus ini adalah 1
Adanya kesenjangan sosial antara masyarakat sekeliling dengan pihak perkebunan. Masyarakat sekitar perkebunan merasa tidak memiliki tanah yang
Universitas Sumatera Utara
bisa digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sehingga masyarakat memberanikan diri menduduki menggarap tanah-tanah perkebunan.
2 Adanya sengketa hak yang sudah lama tak terselesaikan akut. Masyarakat
merasa sebelumnya telah memiliki tanah yang diambil secara paksa oleh pihak perkebunan sehingga masyarakat menuntut agar tanahnya
dikembalikan, yakni pemahaman tentang kepemilikan tanah secara faktual dan yuridis atau sering disebut sebagai kepemilikan ipso facto dan ipso jure
3 Adanya sikap-sikap perkebunan yang kurang melaksanakan bina lingkungan
di sekitar perkebunan. Masyarakat menduduki menggarap tanah-tanah perkebunan yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah perkebunan.
4 Adanya faktor eksternal yang mendorong masyarakat memberanikan diri
meminta, menduduki, menggarap tanah-tanah perkebunan Faktor ini banyak dipicu oleh kondisi sosial politik dan ekonomi serta perubahan rezim yang
sangat mendasar dari sentralistik yang otoriter menjadi desentralistik yang lebih domokratis.
5 Fenomena sengketa di atas bisa dipandang sebagai proses sosiasi. Sosiasi bisa
menciptakan asosiasi, yaitu para individu yang berkumpul sebagai kesatuan kelompok masyarakat. Sebaliknya, sosiasi juga bisa melahirkan disasosiasi
yaitu para individu mengalami interaksi saling bermusuhan karena adanya feeling of holistility secara alamiah.
409
409
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan isu-isu konflik kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2009, hal.47.
Universitas Sumatera Utara
6 Simmel menyatakan: “The actually dissociating elements are the causes of the
conflict-hatred and envy, want and desire’’ Unsur-unsur yang sesungguhnya dari disasosiasi adalah sebab-sebab konflik-kebencian dan kecemburuan,
keinginan dan nafsu.
410
410
George Simmel, The Sociology of Conflict, America: Journal of Sociology,1903, hal.409.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT