Sinopsis『土神ときつね』 (Tsucikami to Kitsune – Dewa Tanah dan Rubah) karya 宮沢賢治 Miyazawa Kenji

25 Sinopsis『土神ときつね』 (Tsucikami to Kitsune – Dewa Tanah dan Rubah) karya 宮沢賢治 Miyazawa Kenji

Di ujung sebelah utara padang Ippongi terdapat daerah yang agak membukit. Disana banyak tumbuh rumput enokoro dan ditengah-tengahnya terdapat pohon Kaba betina yang cantik. Pohon Kaba mempunyai dua sahabat yaitu Dewa Tanah dan Rubah.

Sebetulnya kalau harus memilih, Pohon Kaba akan memilih Rubah, karena walaupun Dewa Tanah pada namanya tercantum nama dewa dia itu kasar dan kumuh. Sedangkan Rubah penampilannya sangat anggun dan sangat jarang membuat orang marah dan tidak melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan orang lain.Tetapi Dewa Tanah itu jujur sedangkan rubah tidak jujur.

Suatu malam pada permulaan musim panas, Rubah datang dengan membawa buku puisi “Lorelei” karya Heine untuk dipinjamkan kepada Pohon

Kaba sebelum dia pergi. Di malam itu, Pohon Kaba bersendau-gurau dengan Rubah mengenai bintang Skorpio, Mars dan Matahari. Disinilah rubah menjanjikan akan membawakan teropong yang dipesan dari Jerman, Carl Ziss. Padahal ini hanyalah merupakan sebuah janji belaka (bohong).

Dilain waktu, ketika malam berganti dengan pagi, dari arah timur laut datang perlahan-lahan Dewa Tanah yang bermandikan sinar matahari pagi dan seluruh badannya seperti tertutup oleh cairan tembaga. Dia datang dengan tenang sambil memangku tangan seolah-olah tahu segala hal dan berdiri didepan Pohon Kaba. Namun ternyata setelah sedikit-sedikit berbincang-bincang dengan Pohon Kaba, Dewa Tanah kecewa bahkan marah “…mengapa seorang dewa harus diajari oleh makhluk seperti Rubah?” katanya, Pohon Kaba sangat ketakutan bergoyang-

goyang dan gemetaran. Bahkan kemarahannya semakinmenjadi ketika Dewa Tanah teringat akan manusia yang akhir-akhir ini tidak pernah lagi membawa upeti untuknya.

Untuk melampiaskan kemarahannya, Dewa Tanah akhirnya mengganggu manusia “mengerjai” si Penebang Kayu. Ia dibuatnya berputar-putar berjalan di tempat yang sama, sampai-sampai ia menangis. Kemudian dengan kesaktiannya pula si Penebang Kayu dilemparkan ke padang rumput sampai tak sadarkan diri. Setelah mendengar bunyi berdentum-berdentum yang nampaknya adalah tentara yang sedang latihan, barulah Penebang Kayu sadarkan diri lagi. Ia masih ketakutan lalu melarikan diri terpontang-panting lari ke arah Gunung Mitsumori.

Disuatu malam berkabut tebal pada bulan Agustus, Dewa Tanah sangat merasa kesepian dan resah, lalu dia keluar dari kuilnya. Tanpa disadari kakinya berjalan menuju ke tempat Pohon Kaba. Kesedihannya semakin bertambah mana kala ia teringat si Rubah. Dewa Tanah merasa kalah dan tak ada apa-apanya, serta tak sehebat Rubah. Dewa Tanah memaki dirinya kemudian menangis dan menangis sampai lelah. Lalu pada waktu fajar mulai menyingsing sambil melamun dia pulang ke kuilnya.

Akhirnya musim gugur tiba, Dewa Tanah menjadi sangat bahagia dan karena pikirannya sedang tenang dia pergi ketempat Pohon Kaba. Ia berbicara mengenai musim yang indah sampai pengorbanan jiwa “…sekarang ini saya akan Akhirnya musim gugur tiba, Dewa Tanah menjadi sangat bahagia dan karena pikirannya sedang tenang dia pergi ketempat Pohon Kaba. Ia berbicara mengenai musim yang indah sampai pengorbanan jiwa “…sekarang ini saya akan

Namun keadaan segera berubah, setelah terjadi percekcokan dengan Rubah. Rubah akhirnya melarikan diri dengan sekuat tenaga tapi terkejar juga oleh Dewa Tanah. Dewa Tanah menerkam dari belakang lalu memilin tubuh Rubah serta membuat mulutnya menjadi moncong. Baru setelah semuanya terjadi Dewa Tanah menyesal tiada terkira. Iapun menangis dengan suara keras, air matanya berderai seperti hujan dan jatuh mengenai Rubah. Rubah lalu sadar, bergerak sedikit kemudian tertawa lalu mati.