Sinopsis 『気の良い火山弾』Ki no ii Kazandan (Batu Gunung Berapi Yang Baik Hati) karya Miyazawa Kenji

30 Sinopsis 『気の良い火山弾』Ki no ii Kazandan (Batu Gunung Berapi Yang Baik Hati) karya Miyazawa Kenji

Di bawah lingkungan pohon Kashiwa yang ada di kaki gunung berapi yang sudah mati, berdiam diri sebuah batu hitam besar yang dijuluki si Batu Sapi. Nama Sapi itu adalah julukan yang diberikan oleh batu-batu yang bersudut hitam dan tidak begitu besar yang berserakan di sana-sini di padang rumput sekitar situ.

Batu sapi tidak mempunyai sudut, berbentuk lonjong seperti bentuk telur. Ada dua keping batu yang seperti stagen, miring melilit di badannya. Ia sering ditertawakan karena bentuk batu stagen itu. Batu Sapi sering diejek sedang sakit perut atau burung hantu telah datang membawa cabe padanya tadi malam atau juga ia telah dikencingi kuda liar kemarin sore waktu kabut turun.

Batu ini sifatnya sangat baik, satu kali pun ia tidak pernah marah. Ia selalu menjawab ejekan dengan rendah hati dan pernyataan apa adanya. “Hai Sapi, selamat siang! Sekarang ada peraturan baru lho, yaitu benda-benda yang berbentuk bulat, nampaknya semua akan dibelah seperti telur. Nah kamu, kenapa tidak segera saja menghindar ?”

“Terima kasih. Aku akan dibelah bersama-sama dengan matahari si Jenderal Bulat.” “Ha…ha…ha…! Dasar bodoh, apa boleh buat.” Persis pada waktu itu kabut sirna dan menjadi terang, matahari pun bersinar keemasan, karena itu batu-batu bersudut mulai memikirkan anggur air hujan dan kue salju. Batu Sapi pun memandang langit biru dan matahari yang bulat.

Hari berikutnya, karena kabut kembali menyelimuti, batu-batu bersudut mulai lagi mengolok- olok dan mempermainkan Batu Sapi. “Hai Sapi, kenapa kok Cuma kamu yang bundar seperti itu, padahal kami semua bersudut rapi! Waktu jatuh dari gunung meletus, kita sama- sama kan?” “Karena waktu saya terlempar ke langit dalam keadaan merah membara, hangus, badanku berputar-putar menggelinding” jawab Batu Sapi. “Oh, begitu. Waktu naik ke langit, kami naik setinggi-tingginya dan waktu berhenti sejenak pun, serta waktu jatuh kami tetap Hari berikutnya, karena kabut kembali menyelimuti, batu-batu bersudut mulai lagi mengolok- olok dan mempermainkan Batu Sapi. “Hai Sapi, kenapa kok Cuma kamu yang bundar seperti itu, padahal kami semua bersudut rapi! Waktu jatuh dari gunung meletus, kita sama- sama kan?” “Karena waktu saya terlempar ke langit dalam keadaan merah membara, hangus, badanku berputar-putar menggelinding” jawab Batu Sapi. “Oh, begitu. Waktu naik ke langit, kami naik setinggi-tingginya dan waktu berhenti sejenak pun, serta waktu jatuh kami tetap

Padahal sebenarnya mereka waktu terlempar ke langit oleh letusan gunung berapi bersam- sama dengan asap hitam semuanya pingsan. “Ya, saya sih sama sekali tidak ada maksud untuk berputar, tapi apa boleh buat badanku berputar dengan sendirinya.”

“Oh, begitu. Jadi kalau ada sesuatu yang menakutkan badanmu jadi gemetaran, ya? Mungkin juga karena kamu ini takut bila menghadapi sesuatu.” “Ya,ya. Mungkin karena takut, ya!Buktinya karena pada waktu itu ada bunyi dan sinar yang dasyat.” “Hah. Hah. Hah, begitu kan? Ternyata karena takut, kan?” Batu-batu bersudut samar-samar tertawa terbahak-bahak.

Pohon Kashiwa yang tumbuh dekat Batu Sapi pun ikut mengejeknya. Kashiwa berkata dirinya dulu merasa kecil dan bila melihat Batu Sapi, seolah-olah ada gunung hitam yang menyimpang dari yang sebenarnya. Batu Sapi hanya mengiyakannya, dan mengatakan bahwa sekarang tinggi Kashiwa sudah 5 kali tingginya. Perkataan Batu Sapi yang demikian membuat Kashiwa merasa dirinya besar. Mulanya Kashiwa menganggap Batu Sapi sebagai teman, tapi karena Batu Sapi terlalu baik hati, lama-lama dia bersikap menghina.

Bunga Ominaeshi yang bermahkota emas juga ikut-ikutan menghina Batu Sapi yang tidak memiliki mahkota. Dan kira-kira 10 hari kemudian, Ominaeshi berteriak kaget. “Hai Sapi, aku akhirnya memakai mahkota emas, lho!” “Saya ucapkan selamat!” “Kapan kamu akan bermahkota emas ya?” “Mungkin saya tidak akan bermahkota!”

“ Oh, begitu. Kasihan, ya. Tapi, ee…, bukankah kamu sekarang juga bermahkota?” kata Ominaeshi yang melihat lumut kecil yang sudah tumbuh di atas Batu Sapi . “Bukan, ini lumut kok!” kata Batu Sapi sambil tertawa. “Oh, begitu. Pantas tidak mencolok.”

Kira-kira 10 hari lewatlah sudah. Ominaeshi berteriak kaget, “Sapi, lambat laun kamu juga bermahkota lho! Artinya lumut diatas kamu itu menjadi merah. Selamat, y a.” Batu Sapi sambil tersenyum pahit, tanpa acuh berkata, “ Terima kasih. Tapi mahkota merah itu, mahkota lumut kan? Bukan mahkotaku.

Mahkotaku yang berwarna perak sekarang akan segera menghampar di seluruh padang rumput.” Ominaeshi benar-benar terkejut karena kata-kata itu.

“Itu kan salju, aduh, aduh!” Batu Sapi pun sadar dan kaget, lalu ia menghibur Ominaeshi. “Ominaeshi, maafkan saya. Kamu tidak suka kan turun salju? Tapi apa boleh buat, itu kan hal yang terjadi setiap tahun. Sebagai gantinya kalau tahun depan, salju sudah hilang, kamu tidak boleh tidak harus tumbuh lagi,

ya?” Ominaeshi sudah tidak menjawab lagi. Kemudian peristiwa di hari berikutnya, seekor nyamuk datang mendekat sambil berdenging. Nyamuk menganggap Batu Sapi merupakan benda di padang rumput yang tidak ada gunanya sama sekali. Lumut yang ada di atas Batu Sapi yang sejak dulu sudah mendengar ejekan si nyamuk tadi, lambat laun ia pun mulai mengejek si Batu Sapi. Kemudian mahkota merah yang kecil pun mulai menari dan menyanyi. Nyanyiannya berisi ejekan tentang keabadian warna hitam Batu Sapi.

Tapi si Batu Sapi malah tertawa dan memuji nyanyian mahkota merah. Bahkan Batu Sapi juga mencoba membuat nyanyian. Sayangnya nyanyian Batu Sapi itu dianggap jelek dan sama sekali tidak menarik. Dengan rendah hati Batu Sapi berkata, “Oh begitu, habis saya memang tidak becus terhadap hal seperti ini.”

Si Sapi dengan tenang diam tidak berbicara. Di sana benda-benda yang ada di padang rumput semuanya sama mengejek si Batu Sapi. “Apa’an tuh, kok si

Batu Sapi diolok-olok si mahkota merah yang begitu kecil. Kami juga akan memutuskan persahabatan dengannya, memalukan! Si Hitam, si Hitam,

wew,wew,wew.” Saat itu, dari seberang sana empat orang yang berkacamata, berbadan tinggi tegap, menyeberangi padang rumput sambil membawa perkakas yang bersinar berbagai warna. Secara kebetulan mereka menemukan Batu Sapi. Mereka sangat kagum kepada Batu Sapi. Batu Sapi dianggap model dari gunung berapi yang bagus dan sempurna. Garis-garis Batu Sapi benar-benar teratuir rapi. Bahkan mereka yakin bahwa di museum besar di Inggris pun tidak ada batu gunung berapi yang benar-benar bagus seperti Batu Sapi.

Mereka menyimpan perkakasnya di atas rumput, lalu mengelilingi Batu Sapi, mengusap-usap dan membelainya. Akhirnya mereka memutuskan untuk Mereka menyimpan perkakasnya di atas rumput, lalu mengelilingi Batu Sapi, mengusap-usap dan membelainya. Akhirnya mereka memutuskan untuk

“Nah, karena ini contoh yang sangat penting, mari kita angkut, jangan sampai rusak. Bungkuslah dengan baik. Dan mari kita cabuti lumut dan sejenisnya.” Lumut menangis karena dicabuti. Si Batu Sapi sambil badannya dibungkus secara hati- hati dengan tikar serta jerami yang indah, berkata, “ Teman- teman, terima kasih atas bantuannya selama ini. Selamat tinggal sang lumut. Kelak nyanyikanlah lagu tadi meski hanya sekali lagi. Tempat yang akan saya tuju bukanlah tempat yang terang dan menyenangkan seperti ini. Tetapi kita semua hanya melakukan yang bisa kita lakukan masing-masing. Selamat tinggal

semuanya!” “Kepada kelas Ilmu Biologi Universitas Kerajaan Tokyo.” Begitulah plakat besar yang ditulis dan ditempelkan pada Batu Sapi.