Sinopsis 『滑床山のクマ』Nametoko Yama no Kuma (Beruang Gunung Nametoko) karya Miyazawa Kenji

29 Sinopsis 『滑床山のクマ』Nametoko Yama no Kuma (Beruang Gunung Nametoko) karya Miyazawa Kenji

Nametoko adalah sebuah gunung besar. Sekelilingnya berbentuk seperti gunung tripang yang hijau pekat dan hutan gundul. Di tengahnya menganga gua besar. Dari sinilah sungai Fuchizawa membentuk air terjun setinggi 90 meter, jatuh tepat menimpa pepohonan Hinoki dan Itaya. Air terjun itu disebut air terjun Ozora Gunung Nametoko. Zaman dulu, banyak beruang berkumpul di sekitar situ.

Kojuro Fuchizawa adalah pemburu yang telah memburu seluruh beruang itu. Ia seorang pria setengah baya yang kekar dan perkasa, bermata juling, serta berkulit merah kehitam-hitaman. Ia memilki telapak tangan tebal dan besar seperti telapak tangan milik dewa yang bisa menyembuhkan penyakit.

Bila tiba musim panas, Kojuro bergegas pergi berburu bersama anjingnya. Di hutan, setelah berhasil menembak beruang, biasanya Kojuro menyandarkan senapannya ke pohon. Dan dengan sangat hati-hati, ia menghampiri beruang mati itu. Lalu berkata “Aku membunuhmu bukan karena benci, tetapi semata-mata karena mencari nafkah. Sebenarnya aku ingin mencari pekerjaan lain, untuk berladang tak ada lagi ladang. Untuk menebang, pohon-pohonnya juga sudah dikuasai pemerintah. Aku pernah pergi ke kota mencari kerja, tapi tak ada yang mau mempekerjakanku. Apa boleh buat, aku terpaksa jadi pemburu. Seandainya Bila tiba musim panas, Kojuro bergegas pergi berburu bersama anjingnya. Di hutan, setelah berhasil menembak beruang, biasanya Kojuro menyandarkan senapannya ke pohon. Dan dengan sangat hati-hati, ia menghampiri beruang mati itu. Lalu berkata “Aku membunuhmu bukan karena benci, tetapi semata-mata karena mencari nafkah. Sebenarnya aku ingin mencari pekerjaan lain, untuk berladang tak ada lagi ladang. Untuk menebang, pohon-pohonnya juga sudah dikuasai pemerintah. Aku pernah pergi ke kota mencari kerja, tapi tak ada yang mau mempekerjakanku. Apa boleh buat, aku terpaksa jadi pemburu. Seandainya

Kojuro merasa seakan-akan dirinya sudah mengerti bahasa beruang. Suatu waktu di musim semi, ketika Kojuro telah menemukan dangau yang dibuatnya setahun lalu, ia teringat mata air yang menyembur di bawah. Saat ia mengalihkan penglihatannya ke arah bukit, ada sesuatu yang mengagetkan. Seekor induk dan anak beruang yang berumur kurang dari setahun bertingkah seperti manusia. Mereka meletakkan tangan ke dahi seperti memandang jauh. Berulang-ulang mereka memandang bukit seberang di keremangan sinar rembulan. Kojuro melihat seakan-akan dari tubuh beruang itu ada sinar milik orang-orang suci dan sinar itu menembus dirinya. Kojuro terpaku diam tidak bergerak memandang ke arah sinar itu.

Lalu anak beruang itu bermanja- manja berkata meyakinkan, ”Itu pasti salju Bu! Bukankah hanya bukit sebelah sini saja yang memutih”. Sang induk beruang menatapnya dan berkata, “Bukan, salju hanya turun ke arah sana.” “Karena tidak mencair, saljunya masih tersisa, bukan?” “Tidak, ibu kan baru melewati tempat itu kemarin, k etika melihat ubi azami.” Kojuro terus saja menatap ke sana.

Sinar rembulan memucat, menerangi lereng gunung. Menyinari tempat beruang berada yang seperti baju zirah perak. Tidak lama kemudian anak beruang

berkata, ”Kalau bukan salju, pasti embun es ya!” Bulan yang berada di dekat bintang Kokiyu tampak bergetar sedemikian rupa sehingga persis seperti es. Bahkan warna sang rembulan pun begitu. Malam ini betul-betul embun es akan turun, pikir Kojuro sendirian.

“Ibu tahu sekarang, itu kan bunga belimbing wuluh.” “Oh, bunga belimbing wuluh sih aku sudah tahu!” “Tidak kamu belum pernah melihatnya.” “Tahu kok, itu yang sebelumnya pernah aku petik.” “Bukan, itu bunga katalpa!” “Apa benar begitu?” Anak beruang menjawab pura-pura tidak tahu.

Entah mengapa, Kojuro merasa terharu. Sekali lagi ia memandang sekilas ke arah bunga yang seperti salju putih di bukit sana dan ke arah kedua ekor Entah mengapa, Kojuro merasa terharu. Sekali lagi ia memandang sekilas ke arah bunga yang seperti salju putih di bukit sana dan ke arah kedua ekor

Musim panas berikutnya terjadi sesuatu yang ajaib. Ketika Kojuro melewai ngarai dan mendaki batu besar, tiba-tiba ia melihat seekor beruang raksasa sedang memanjat pohon tepat di hadapannya. Beruang itu melengkungkan punggungnya seperti kucing, Kojuro segera mengokang senapannya. Anjing Kojuro berjingkrak kegirangan, dengan kencang berlari berputar mengelilingi pohon.

Beruang yang ada di pagar pohon itu, tidak lama kemudian turun. Tampaknya ia berpikir apakah ia hendak menerkam Kojuro atau membiarkan dirinya dibidik begitu saja. Tapi tiba-tiba ia melepaskan kedua tangannya dari pagar pohon, dan roboh bergedebuk. Kojuro tidak lengah sedikitpun, ia tetap meyiagakan senapannya. Bila tiba-tiba beruang itu bergerak mendekat, ia tinggal menarik saja pelatuk senapannya.

Tetapi beruang itu mengangkat kedua tangannya lalu berteriak, “Apa yang kau inginkan dengan membunuhku ?” “Aku tidak mengharapkan apa-apa selain empedu dan kulitmu, meskipun tidak akan laku mahal di kota. Betul-betul menyakitkan memang, tapi apa boleh buat. Seandainya hal itu kukatakan padamu sekarang tidak ada artinya. Bagiku asal aku sudah makan kuri dan biji eik rasanya mati pun tidak penasaran”

“Kalau begitu tunggu sajalah 2 tahun, setelah itu aku mati pun tidak apa- apa. Aku masih ada sisa pekerjaan, tunggulah 2 tahun. Pada tahun kedua nanti aku akan berada di depan rumahmu untuk menyerahkan nyawaku. Kurelakan kulit dan empeduku.” Kojuro merasa aneh, berdiri tertegun memikirkan kata-kata beruang itu. Sementara itu sang beruang mulai bergerak, berjalan pelan-pelan dengan menginjakkan telapak kakinya pada permukaan tanah.

Kojuro hanya berdiri dan bengong saja. Sepertinya sang beruang sudah mengerti bahwa Kojuro sama sekali tidak akan mengokang pelatuk senapannya. Tanpa menoleh ke belakang, ia berjalan sangat pelan. Ketika cahaya matahari dari dahan pepohonan menyelinap menyinari beruang yang berpunggung lebar dan hitam itu, Kojuro merasa iba. Dia bergerak pulang setelah melewati perbukitan.

Tepat dua tahun kemudian, ketika angin sangat kencang berhembus, Kojuro berpikir jangan-jangan pohon dan pagar pun roboh. Tapi begitu ia keluar, pagar pohon hinoki seperti biasanya tidak berubah. Di bawahnya tergolek sesuatu yang berwarna hitam kemerah-merahan yang sebelumnya sering ia lihat. Karena sudah lewat dua tahun, jangan-jangan beruang itu datang. Kojuro merasa khawatir sehingga jantungnya berdebar-debar ketakutan. Ia mencoba mendekat dan ternyata benar, beruang yang pernah ia temukan sebelumnya itu, kini roboh memuntahkan darah segar dari mulutnya.Tanpa pikir panjang Kojuro berlutut menyembahnya.

Suatu hari di bulan Januari, setelah pamit kepada ibunya yang berusia 90 tahun, Kojuro pergi ke puncak bukit di sekitar pesisir pantai Shirazawa. Ketika Kojuro beristirahat, anjingnya menyalak berapi-api. Kojuro terkejut, begitu ia menoleh ke belakang, seekor beruang besar yang pernah ia temui ketika musim panas itu, berdiri dengan 2 kakinya mau menyerang Kojuro.

Kojuro dengan tenang bersiap membidikkan senapannya. Beruang itu berjalan mendekati Kojuro, mengangkat kedua tangannya agak miring. Kojuro yang hebat pun raut wajahnya sedikit ketakutan. Suara letusan senapan Kojuro memekakkan telinga Kojuro. Sang Beruang tidak goyah sedikitpun, lalu menyerang dengan ganasnya. Anjing Kojuro pun menerkam bagian kakinya. Sesaat Kojuro berpikir terasa kepalanya berdenging keras, keadaan di sekitarnya menjadi gelap. Dari jauh samar-samar terdengar suara :

“Hei! Kojuro! Aku tidak bermaksud membunuhmu.” “Mati aku,” pikir Kojuro. Tiba-tiba di sekitarnya tampak cahaya seperti bintang biru berkelip-kelip.

“Ini pasti cahaya isyarat kematian. Beruang, maafkanlah.” Gumam Kojuro. Entah bagaimana perasaan Kojuro saat itu.