Lapis Norma (Objek, Latar, Pelaku)
3. Lapis Norma (Objek, Latar, Pelaku)
a. Objek
Dilihat dari unsur-unsurnya, SM adalah karya sastra wulang tentang ajaran budi pekerti yang tercermin di dalam kehidupan bermasyarakat pada waktu itu ( pada Dilihat dari unsur-unsurnya, SM adalah karya sastra wulang tentang ajaran budi pekerti yang tercermin di dalam kehidupan bermasyarakat pada waktu itu ( pada
Ajaran terebut sering kali disebut gemi - nastiti - ngati ati. Gemi berarti hemat atau tidak boros, nastiti berarti selalu memperhitungkan segala tingkah laku dengan baik dan teliti, ngati-ati berarti selalu berhati-hati. Seperti yang disebutkan dalam Pupuh I bait 38, sebagai berikut : Kutipan
Iku kang ingaran ngati-ati/ iku prayogane ponang clarat/ yen manungsa panulade/ tan mawa unggah-ungguh/ yen mandhega kurang prayogi/ cupet piandelira/ yen tan unggah-ungguh/ prayitna aywa tininggal/ tri prakara ingaran gemi nastiti/ ngati-ati lirira //
Terjemahan : Itulah namanya berhati-hati, jika manusia menirunya,dengan cara
memperhatikan tata krama saja, kurang baik kurang percaya diri, jika tanpa tata krama, waspadalah jangan meninggalkan tiga hal, yaitu gemi nastiti dan ngati- ati.
b. Latar
Pemahaman terhadap struktur cerita latar mendapat prioritas pertama untuk mengetahui keragaman cerita tersebut. Dalam hubungannya dengan SM diduga Pemahaman terhadap struktur cerita latar mendapat prioritas pertama untuk mengetahui keragaman cerita tersebut. Dalam hubungannya dengan SM diduga
Aspek latar atau setting meliputi aspek ruang dan waktu, terjadinya peristiwa- peristiwa. Ruang adalah tempat atau lokasi peristiwa-periatiwa yang diamati baik yang eksteren maupun interen. Waktu dapat dijelaskan dalam cerita, yaitu seorang pencerita akan memberikan jaman yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa yang disajikan biasanya secara jelas tertulis atau secara tersirat secara panjang lebar.
Aspek latar dalam SM ditempatkan pada zaman pemerintahan Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan ke V sebelum beliau menjabat menjadi raja sekitar tahun 1820-1823 M . Dalam bait-bait SM aspek latarnya kebetulan tersaji atau disajikan oleh pengarang secara jelas tertulis dalam bait-bait pada setiap Pupuhnya. Adapun bait-bait yang menunjukan latar waktu dan latar tempat terjadinya cerita dalam SM ini adalah pada Pupuh I bait 47, Pupuh II bait 44 dan 48, Pupuh I bait 4 dalam kutipannya sebagai berikut : Kutipan
Pasewakan yen ana panari/ gunem rembag kang sareh saurnya/ agantia pangarsane/ yogya ulunanipun/ nyaulani umatur dhingin/ yen wus kaprenah sira/ den trampil umatur/ watona lawan anggeran/ lawan sastra ing kadis kalawan misil/ aywa matur angawang //
Dalam persidangan berbicaralah yang baik, dalam menyahut bersabarlah, setelah dipersilahkan oleh pemimpin untuk menyahuti, berbicaralah dengan terampil, pakailah dasar aturan yang tertulis atau berdasar khadis dan perumpamaan, dan janganlah berbicara tanpa dasar.
Kutipan
Yen sira kongsi mangkana/ binuwang marang wana dri / Lemahbang alas Lodhaya/ anuli binadhog aglis/ datan kalap semenir/ yen ngayah ngalas Pringtutul/ yekti kinrubut setan/ dhadhung awuk kobra prapti/ nyokot gulu amenthungi endhas muncrat //
Terjemahan : Kalau engkau berbuat demikian,akan dibuang di hutan belantara, tanah angker
hutan Lodhaya dimakan setan hingga tak tersisa, jika dibuang di tengah hutan Pringtutul, pasti akan dikeroyok setan, Dhadhungawuk segera datang menggigit leher memukul kepala hingga tersembur darahya//
Kutipan
Tapane wong neng jro praja/ paseban tapanireki/ sasat wukir guwa-guwa/ tapane kalamun ratri/ aja pegat semadi/ pepuja kang murweng tutuh/ aja kaselan meda/ langen geng kang memedani/ wong anjodhi lan wong sengseming wanita //
Terjemahan : Tempat bertapanya orang di dalam kerajaan adalah ketika ia duduk menghadap
(raja), seolah-olah berda di dalam gunung dan gua-gua, di malam hari tapanya dengan semedi tidak henti-henti memuja kepada yang Maha Kuasa, dan jangan sampai diselingi dengan bercanda, kesenangan yang besar dan menakutkan yaitu gemar berjudi dan tertarik pada wanita.
Kutipan
Rasa karasa ujaring janmi / Sura Wukir kaping salawe prah / duk kalakyan makirtya reh / patalaning umulun / alin-alin kang wus kalilin / ri dera andon praja / nahen lekasipun / awit siji tekeng kathah / nadyan alit tumekeng geng luhur nenggih / yekti taki-takia //
Tahun 1766 AJ tanggal 25 bulan Sura(Jumat Legi 20 April 1838 AD) ketika telah berhasil membuat pelajaran bagi kedudukan sebagai abdi ( pejabat), mulai dari satu sampai banyak, walau dari yang kecil sampai yang besar, haruslah bersungguh-sungguh.
Kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa aspek latar atau setting atau tempat dan waktu terjadinya peristiwa cerita dalam SM tersaji secara jelas dan lengkap yang disisipkan oleh pengarang dalam bait-bait pada setiap Pupuh yang secara jelas telah terkutip di atas. Selain itu dalam teks SM juga tertera candrasengkala yang juga dapat memperkuat latar waktu seperti yang diungkapkan di atas.
c. Pelaku
Pelaku adalah pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah peristiwa (Jacob & Saini :1986 :144). SM menampilkan beberapa pelaku dengan fungsinya masing- masing. Di dalam teks ini, dikarenakan memuat ajaran sehingga pelaku-pelaku yang terdapat di dalam cerita adalah tokoh-tokoh yang berfungsi sebagai contoh teladan hidup.
Tokoh yang bernama Mantri Jawinata adalah salah satu tokoh yang pencerminan karakternya kurang terpuji. Beliau adalah salah seorang mantan pejabat keraton yang pada saat masih menjabat beliau senang sekali berfoya-foya dan menyalahgunakan kekuasaannya. Dari karakternya itulah maka dapat ditarik fungsi maknawinya yaitu pandai-pandailah dalam memilih pekerjaan supaya tidak mudah tergoda oleh nikmatnya kekuasan dan kekayaan sehingga akan menyesal di akhir Tokoh yang bernama Mantri Jawinata adalah salah satu tokoh yang pencerminan karakternya kurang terpuji. Beliau adalah salah seorang mantan pejabat keraton yang pada saat masih menjabat beliau senang sekali berfoya-foya dan menyalahgunakan kekuasaannya. Dari karakternya itulah maka dapat ditarik fungsi maknawinya yaitu pandai-pandailah dalam memilih pekerjaan supaya tidak mudah tergoda oleh nikmatnya kekuasan dan kekayaan sehingga akan menyesal di akhir
Iku lumrah ing mangsa puniki / ana mantra karan Jawinata / pamejegan lungsurane / Mantri Gadhing Matarum / sapocoke sajege urip / mung kaul sasabira / sarupaning kaul / yen kaweleh dadi priman / wit saanggris sajampel suku satali / sewing seteng tinampan //
Terjemahan : Hal seperti itu sudah biasa pada jaman sekarang, ada Mantri bernama Jawinata
bekas pemungut pajak, kedudukannya sebagai Mantri Gadhing Mataram, kebiasaannya selalu bersenang-senang segala kesenangan, setelah dipecat dari jabatannya, ketahuan beliau peminta-peminta, mulai dari saanggris : 1 ringgit ( 2,5 rupiah ), sajampel : setengah real, suku : uang tengahan rupiah, setali : 25 sen,seteng : 5 duit (+ 4 sen) diterima.
Pelaku yang lain adalah Ki Penggung, yang mana merupakan salah satu bekas pejabat yang juga memiliki peringai yang kurang terpuji, yaitu beliau sering membual atau berkata-kata dusta kepada siapapun dan dimanapun, sehingga beliau menjadi tidak terhormat dan sama sekali tidak disegani oleh sesama para pejabat dan para Adipati serta para Pangeran. Apapun yang keluar dari mulutnya sudah tidak ada yang percaya, semakin hari semakin menjadilah semua bualannya, seperti dikutip pada Pupuh I bait 49 di bawah ini :
Kutipan
Dipun bisa reke simpen wadi / ywa wewurukan sira adol abab / kaya Ki Penggung ambege / duk sewu pitung atus / patang puluh aran Kiyai / Bei Ranggasupatra / iku sukanipun / adol omong yen sinetyan / mring wong agung miwah mring para bupati / tuwin mring pra pangeran //
Pandai-pandailah engkau menyimpan rahasia, jangan suka membual seperti layaknya Ki Penggung pada tahun 1740 beliau bernama Kyai Bei Ranggasupatra, kesenangannya membual apabila dipercaya ( disenangi) oleh para pejabat, para adipati dan para pangeran.
Tokoh-tokoh teladan lainnya yang juga terdapat di dalam SM antara lain Bambang Sumantri, Patih Suwanda, Raja Widarba, Arjuna Sasrabahu, Ki Ageng Sela, Wibisana, Pangeran Karanggayam yang kesemuanya adalah merupakan tokoh- tokoh tambahan.