Lapis Bunyi
1. Lapis Bunyi
Bunyi mengandung aspek tinggi –rendah atau nada, panjang-pendek dan lemah-kuat. Pemakaian unsur bunyi lebih intensif digunakan dalam seni musik namun dalam seni sastra bunyi juga menjadi salah satu unsur pembangun begitu pula sastrawan Jawa.
RMH Jayadinigrat I sebagai pencipta SM menggunakan satu bentuk konvensi sastra yang sama dalam satu struktur karya sastra yaitu puisi terikat. Disebut puisi terikat karena bentuk puisi mengikuti suatu konvensi atau matra tertentu termasuk konvensi atau matra yang ada di dalam karya sastra Jawa klasik. Pada umumnya sastrawan Jawa klasik menggunakan puisi terikat sebagai alat ekspresinya.
Bentuk puisi terikat, konvensi atau matra yang digunakan dalam SM adalah konvensi tembang macapat, seperti karya sastra zaman Surakarta pada umumnya. Sebagai bentuk tembang macapat, karya sastra ini terikat oleh konvensi tembang secara umum. Konvensi atau aturan tersebut meliputi aturan fisik yang terdiri : (a) guru gatra, yakni banyaknya gatra „gatra‟ alam satu pada „bait‟, (b) Bentuk puisi terikat, konvensi atau matra yang digunakan dalam SM adalah konvensi tembang macapat, seperti karya sastra zaman Surakarta pada umumnya. Sebagai bentuk tembang macapat, karya sastra ini terikat oleh konvensi tembang secara umum. Konvensi atau aturan tersebut meliputi aturan fisik yang terdiri : (a) guru gatra, yakni banyaknya gatra „gatra‟ alam satu pada „bait‟, (b)
Aturan matra dalam tembang macapat, terutama dalam guru lagu, menunjukkan pentingnya unsur bunyi pada tembang. Dengan kata lain, lapis bunyi di dalam tembang macapat termuat dalam konvensi guru lagu. Selain guru lagu adanya asonansi, aliterasi, efoni dan kakofoni juga ikut mempengaruhi dan menunjang di dalam lapis bunyi.
Secara keseluruhan SM menampilkan 221 bait tembang macapat yang terbagi di dalam 4 pupuh dan terdapat 4 metrum pula yang digunakan di dalam SM. Ke empat metrum tersebut adalah Dhangdhanggula, Sinom, Megatruh dan Kinanthi. Dalam menganalisa lapis bunyi ini akan menampilkan 4 bait sebagai contoh pada setiap pupuhnya.
a. Pupuh I , Matra Dhangdhanggula bait 40 Pupuh pertama, yakni matra Dhangdhanggula mempunyai 10 baris atau gatra dalam setiap baitnya. Sedangkan guru wilangan dan guru lagunya sebagai berikut : 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a. Bait 40 akan dianalisis dalam pupuh ini menampilkan tembang sebagai berikut :
Kutipan :
Tur tan nyata dhawuhing sang aji / iku aran tingkah ngumandaka / tur dudu yektine bantheng / suka mulat wong gugup / aglis antuk arta myang rukmi / iku dudu lelakyan / engeta ing kalbu / iku nyenyures darajat / marang wahyu akuru angenggik-enggik /
Terjemahan : Padahal sesungguhnya bukan perintah raja, Demikian yang dimaksud
tingkah ngumandaka, padahal bukan banteng sungguhan, senang melihat orang lain kacau, tergesa-gesa untuk memperolah emas permata. Itu suatu tindakan yang tidak terpuji, ingatlah hal itu mematikan derajat, badannya menjadi kurus kering.
Baris pertama, Tur tan nyata dhawuhing sang aji, terdapat asonansi a, i dan u serta aliterasi h, n dan t. baris kedua, iku aran tingkah ngumandaka terdapat asonansi a, i dan u, serta aliterasi k dan n. Baris ketiga, tur dudu yektine bantheng, berasonansikan e dan u, beraliterasi t dan n. Baris keempat, suka mulat wong gugup, berasonansi a dan u memiliki aliterasi 9. Baris kelima, asonansinya a,u, dan i dan beraliterasi g, m, r, dan t dari aglis antuk arta myang rukmi. Baris keenam, iku dudu lelakyan , berasonansi a dan u, beraliterasi d, l, dan k. Baris ketujuh, engeta ing kalbu , berasonansi a dan e, beraiterasi n dan g. Baris kedelapan iku nyenyures darajat memiliki asonansi e dan a, beraliterasi n, r dan y. Baris kesembilan marang wahyu akuru angenggik- enggik, berasonansi a, u, dan I, beraliterasi k, n dan g. Baris kesepuluh darajate sakarat berasonansi a, beraliterasi r dan t.
b. Pupuh II, Matra Sinom Pupuh II dengan tembang sinom terdapat 9 baris pada baitnya. Tembang ini mempunyai guru wilangan dan guru lagu 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u,7a, 8i, 12a, pada bait
10 berbunyi :
Unggah-unggah ana gyannya / pratistha tan lyan ing puri / prajurit pamardinira / ngyayah angreneng sireki / panggah aneng sireki / Manawa ana kang luput / aja dereng deduka / salagyannya rebut pati / mene-mene tuturen enget tan kena //
Terjemahan
: Sopan santun ada tempatnya, tempatnya tidak lain di dalam puri, prajurit
dididik jangan sembarangan menyuruh (memerintah), jika ada yang salah jangan terlalu dimarahi, berperang berebut pati (saling membunuh), besuk lagi memberitahulah dan ingatlah.
Pupuh II baris pertama, unggah-ungguh ana gyannya, berasonansi a dan u, beralitearsi n dan g. Baris kedua, pratistha tan lyan ing puri, berasonansi a dan i, beraliterasi n, g, dan p. Ingyayah angreneng sireki, pada baris ketiga, berasonansi
a, e dan i, beraliterasikan n, g, y dan p. Baris keempat panggah aneng sireki memiliki asonansi a dan i, memiliki aliterasi n dan g. Baris kelima manawa ana kang luput , berasonansi a dan u, beraliterasi n aja dereng deduka, pada baris keenam ini, berasonansi a dan e, beraliterasi d. Baris ketujuh, salagyannya rebut pati , berasonansi a dan beraliterasi n, y, dan t. Baris kedelapan, mene-mene tuturen enget tan kena , berasonansi e, a dan u, serta beraliterasi n dan t.
c. Pupuh III, Matra Megatruh Tembang Megatruh terdiri dari 5 baris atau gatra dalam tiap baitnya 12u, 8i,, 8u, 8o sebagai guru wilangan dan guru lagunya. Bunyi pupuh Megatruh bait ke 41 adalah sebagai berikut :
Kanjeng nabi parentah mundhut pang kayu / wreksa ngadeg wus den ambil / kayu cukilan turipun / kula dede wreksa yekti / dika tingali wak ingong //
Terjemahan :
Kanjeng nabi memerintah mengambil kayu, batang yang berdiri sudah diambil, benalu berkata “saya bukan batang sesungguhnya. Lihatlah
badanku.
Pupuh III Megatruh baris pertama, kanjeng nabi parentah mundhut pang kayu , berasonansi a dan u, serta beraliterasi n dan t. Baris kedua, wreksa ngadeg den ambil , memiliki asonansi a dan e, serta memiliki aliterasi d, n dan g. Baris ketiga, kayu cukilan turipun , berasonansi i, a dan u, beraliterasi y, kula dede wreksa yekti, pada baris kelima ini memiliki asonansi e dan a, dan dileterasi adalah d dan k. Baris terakhir, dika tingali wak ingong memiliki asonansi a dan I, beraliterasi n,g, dan k.
d. Pupuh IV Kinanthi Pupuh IV ini adalah tembang Kinanthi, dalam setiap baitnya terdapat 6 baris atau gatra. Aturan guru lagu dan guru wilangannnya adalah sebagai berikut 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i, pada bait ke sepuluh berbunyi :
Kutipan : Tilamupih tunggalipun / amung kaote sekedhik / mangsa dipun wastanana /
yen punika tilamsari / jer katingal ing supena / tangkis kiwa tilamsari //
Terjemahan : Tilam upih jenisnya, hanya berbeda sediki, masa itu disebut tilamsari,
lagipula kan hanya dalam mimpi, tilamsari sebagai penangkal kiri.
tilamupih tunggalipun . Baris kedua, berasonansikan a dan beraliterasikan k, among kaote sakedhik . Baris ketiga mangsa dipun wastanana, berasonansi a dan beraliterasikan n. Baris kelima, jer katingal ing supena berasonansi a, i dan e, dan beraliterasi n. Baris terakhir tangkis kiwa tilamsari memiliki asonansi a dan i dan beraliterasi t.