Lapis Arti

2. Lapis Arti

Arti sebuah karya sastra dibangun melalui arti kata, gabungan kata, dan susunan kalimat. Sedangkan untuk mempertajam arti seringkali digunakan gaya bahasa. Lapis arti dalam SM selain didukung oleh arti setiap kata juga diperkuat dengan beberapa sarana, yakni padan kata, penambahan dan pengurangan unsur kalimat, serta pepindhan „perumpamaan‟. Tanda yang dianalisis adalah hanya tanda yang bersifat istimewa, ialah tanda-tanda yang mendukung keutuhan makna teks karya sastra dan sekaligus harus diinteprestasikan untuk ditangkap maknanya. Arti kata yang umum akan lebih banyak diterapkan dalam terjemahan teks.

Khusus puisi Jawa macapat, arti juga dibangun melalui matra karena dalam konvensi macapat setiap matra memiliki watak yang berbeda dan khusus dari matra lainnya. Selain itu SM merupakan karya sastra tentang ajaran, sehingga arti setiap kata serasa gamblang tertuang dengan jelas.

Padan kata adalah dua kata atau lebih yang mewakili konsep yang sama. Pengarang mempergunakan padan kata untuk mengungkapkan arti yang sama. Dalam SM ini beberapa padan kata yang sering ditemui, yaitu seperti :

Gusti pada ( Pupuh I bait 9 baris 5 ) divariasikan dengan kata Narpati pada ( Pupuh I bait 13 baris 1 ), Ratunira ( Pupuh I bait 36 baris 2), Sang Aji ( Pupuh I bait 40 baris 2 ). Jeng Sri Naranata pada ( Pupuh I bait 50 baris 6 ). Jeng Sri Narapati pada ( Pupuh I bait 52 baris 3 ). Kesemuanya itu mengandung arti yang sama yaitu Raja.

Manungsa pada ( Pupuh I bait 8 baris ke 2 ) divariasikan dengan kata Wong pada ( Pupuh I bait 8 baris ke 9 ). Kaki pada ( Pupuh I bait 15 baris ke 1 ) dan Janma pada ( Pupuh II bait 18 baris ke 1 ) yang kesemuanya itu berarti Manusia.

Pawestri pada ( Pupuh I bait 31 baris ke 5 ) divariasikan dengan kata Estri pada ( Pupuh I bait 21 baris ke 5 ). Artestri pada ( Pupuh I bait 32 baris 1 ), Wanita pada ( Pupuh IV bait 44 baris 5 ) yang kesemuanya itu berarti wanita atau perempuaan, Padan kata tersebut digunakan selain sebagai variasi penyebutan juga untuk menempati konvensi guru wilangan dan guru lagu.

b. Tembung Garba Tembung Garba adalah gabungan dua kata dimana kata pertama berakhir vokal terbuka dan kata kedua berawal dengan vokal sehingga menimbulkan bunyi b. Tembung Garba Tembung Garba adalah gabungan dua kata dimana kata pertama berakhir vokal terbuka dan kata kedua berawal dengan vokal sehingga menimbulkan bunyi

Pada Pupuh I bait 7 baris 1 Sireng → sira + ing

Pada Pupuh I bait 13 baris 2 Aneng → ana + ing

Pada Pupuh II bait 1 baris 1 Keneng → kena + ing

Pada Pupuh II bait 1 baris 8 Busaneng → busana + ing Pada Pupuh II bait 8 baris 9

Mring → mara + ing Pada Pupuh II bait 9 baris 8

Murbeng → murba + ing Pada Pupuh III bait 55 baris I

Dregameng → dregama + ing Pada Pupuh IV bait 5 baris 3

Saking → saka + ing Pada Pupuh IV bait 29 baris 2 Awismeng → a + wisma + ing

Jadi fungsinya untuk mengurangi jumlah suku kata apabila dalam masing-masing baris kelebihan suku kata, walaupun tidak menutup kemungkinan terhadap adanya pertimbangan-pertimbangan lain dari pengarang, seperti kelancaran bunyi.

c. Tembung wancahan Tembung wancahan juga biasa disebut tembung plutan, adalah kata yang disingkat (Padmosoekotjo 37). Dalam SM penyingkatan kata dilakukan dengan cara menghilangkan satu suku kata di depan, penghilangan satu suku kata terakhir, dan dengan penghapusan bunyi vokal pada satu suku kata tertentu.

1. Penghilangan satu suku kata didepan, misalnya dijumpai kata-kata : Pupuh I bait 2 baris 1 Jeng → kangjeng

Pupuh I bait 11 baris 3 Glis → aglis

Pupuh I bait 11 baris 7 Nak → anak Pupuh I bait 13 baris 1 Pama → umpama

Pupuh II bait 1 baris 1 Wong → uwong

Pupuh II bait 2 baris 2

Ping → kaping Pupuh II bait 2 baris 2

Kang → ingkang Pupuh II bait 31 baris 2

Keh → akeh Pupuh III bait 16 baris 2 Wruh → weruh Pupuh III bait 17 baris 3

Tan → datan Pupuh III bait 28 baris 1

Sring → asring Pupuh IV bait 4 baris 5

Sun → ingsun Pupuh IV bait 33 baris 4

Ywa → aywa Pupuh IV bait 34i baris 4 Woh → uwoh

2. Penghilangan bunyi vokal pada suku kata awal, antara lain : Pupuh I bait 21 baris 2

Jro → dari kata Jero Pupuh III bait 2 baris 1 Krana → dari kata karana

Prang → dari kata perang

d. Pepindhan Pepindhan adalah gaya bahasa perbandingan atau persamaan, yang berguna untuk mempertimbangkan arti atau penggambaran. Dalam SM ini pengarang yakni RMH Jayadingrat I menggunakan pepindhan ditandai dengan kata pama. Kalimat yang menunjukkan gaya bahasa tersebut dapat diihat pada : Pupuh I bait 13 baris 1 : Pama Surya jenenging narpati (perumpamaan raja adalah matahari). Pupuh I bait 39 baris 2 : Pama kidang amindha andaka (perumpamaan adalah kijang yang menyerupai andaka (banteng) Pupuh III bait 46 baris 1 : Yen manungsa pama cukilan myang pecuk (jika manusia menyerupai atau seperti buruk pecuk dan benalu)

e. Citra Dengaran / Pendengaran Citra dengaran ialah suatu benda yang dapat memberi gambaran pada indra pendengaran (Rahmat Djoko Pradopo, 1987:82).Guna dari indra pendengaran ini bagi pembaca atau pendengar ialah untuk menangkap situasi dan makna dengan kesan yang muncul pada indra pendengarandari sutu teks.

Misal mampu memberi citra dengaran suara gaduh atau teriakan yang keluar dari dalam mulut seseorang yang mana berirama stabil dan keras sehingga mengeluarkan bunyi yang ramai seperti teriakan ( lebih ke merasakan hal yang menyakitkan).

f. Citra lihat atau penglihatan Citra lihat atau penglihatan adalah suatu tanda yang dapat memberi kesan atau gambaran pada indera penglihatan (Rahmat Djoko Pradopo, 1987 : 81). Di pupuh I bait 30 baris 1 – 4.

Akekampuh anggering praja di / apaningset adat kang kalampah / astana

mangsane gawe / badhongan watakipun …………….… yang member citra liatan bahwa sanya untuk menghadap atasan atau raja di dalam lingkungan kerajaan harus menggunakan pakaian yang sesuai seperti kampuh atau dodot, dan badhong / penutup kepala ).

Kalimat…………… suka mulat wong gugup / aglis antuk arta myang rukmi/ ………… pada pupuh I bait 40 baris 3 dan 4 mencerminkan citra liatan terhadap orang yang tergesa-gesa atau terburu-buru dalam mengejar harta dan kekayaan, saking terburu-burunya sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Kalimat…………. terkadhang kondhe kang besus / gelung tali siladan / cundhuk jungkat mung secuwil ……….. terdapat pada Pupuh II bait 20 baris 6 – 8

dapat member citra liat terhadap gaya keindahan berbusana tempo dulu, rambut dapat member citra liat terhadap gaya keindahan berbusana tempo dulu, rambut

g. Allegori Allegori adalah cerita kiasan ataupun lukisan (Rahmat Djoko Pradopo : 2000 :71). Suatu kiasan bila disusun dengan baik bisa memberi keterangan yang lebih terhadap suatu teks, juga membantu pembaca atau pendengar dalam menghayati peristiwa yang diungkapkan oleh teks.

Pupuh bait 49 mengandung allegori pada penggambaran segala bentuk ajaran yang terdapat didalam naskah teks Margawirya untuk kebaikan hidup manusia bagi yang menghendaki untuk mempelajarinya.

h. Candrasengkala Candrasengkala ialah suatu sistem penanggalan yang menggunakan kata atau gambar sebagai simbolnya. Pupuh I bait 1 menuliskan candrasengkala : katrima kumbul sama dyaning nagri.

Candrasengkala itu berarti menunjukkan tahun 1803 jawa sama dengan 1874 Masehi. Pada naskah SM sebelum dituliskan tahunnya juga terlebih dahulu bertuliskan hari, tanggal, bulan, musim, wuku, dan tahun perhitungan jawa yaitu sebagai berikut :

katiga mangsane / Galungan punang wuku / nuju warsa alip marengi / windu adi pernila / antuk sapta tengsu ………… yang berarti penulisannya pada hari Kamis legi tanggal 21 bulan Rajab musimnya katiga wuku galungan, tahun Alip bertepatan dengan windu Adi pernila (perhitungan tahun Jawa) atau pada tahun 1874. Pada candra sengkala yang terdapat di dalam naskah SM sangat mudah diketemukan oleh peneliti, oleh karena candrasengkala atau sengkalen tahunnya terletak di bait dan pupuh terdepan.

i. Kata Ganti Petunjuk Kata ganti petunjuk adalah kata yang menggantikan dari kata atau maksud tertentu tanpa mengurangi makna atau maksud dari kata-kata tersebut. Candrasengkala “katrima kumbul samadyaning nagri” menunjukkan kepada kejadian dituliskannya SM. Di pupuh II bait 6 baris 7 kata mangsane „musim(nya)‟ yang berekwivalen dengan bermacam-macam jenis musim yang ada di tanah jawa, yang sesuai dengan karakter dan jenis tanaman atau bibit yang akan ditanam, yang pada saat itu musim berfungsi sebagai perhitungan di dalam menanam berbagai jenis tanaman untuk kepentingan keraton.