Larangan Mengadu Domba
7. Larangan Mengadu Domba
Adu domba atau mengadu domba diartikan sebagai upaya menjadikan berselisih atau bertikai diantara pihak yang sepaham. Arti lainnya adalah menarungkan sesama dalam satu pemahaman. Pada umumnya taktik atau muslihat seperti ini bertujuan untuk melemahkan salah satu atau dua kelompok yang saling bertikai itu, sebelum akhirnya keduanya dikuasai.
Istilah seperti itu memang lebih banyak memiliki konotasi negatif. Apalagi bangsa Indonesia, kalimat adu domba telah menggoreskan kenangan kelam, memilukan, pada masa penjajahan kolonial. Sejak dibangku sekolah dasar, siswi- siswi mulai tingkat sekolah dasar hingga menengah di Tanah Air telah diperkenalkan mengenai sejarah taktik atau politik adu domba yang diterapkan Bangsa lain untuk menguasai dan menjajah Indonesia. Dengan tujuan mengeruk kekayaan alam yang melimpah dari bangsa Indonesia, kaum imperialis memulai dari berbondong- bondong datang ke Nusantara dengan piawai memperagakan politik devide et impera yang tak lain adalah politik adu domba itu sendiri, untuk memecah persatuan dan Istilah seperti itu memang lebih banyak memiliki konotasi negatif. Apalagi bangsa Indonesia, kalimat adu domba telah menggoreskan kenangan kelam, memilukan, pada masa penjajahan kolonial. Sejak dibangku sekolah dasar, siswi- siswi mulai tingkat sekolah dasar hingga menengah di Tanah Air telah diperkenalkan mengenai sejarah taktik atau politik adu domba yang diterapkan Bangsa lain untuk menguasai dan menjajah Indonesia. Dengan tujuan mengeruk kekayaan alam yang melimpah dari bangsa Indonesia, kaum imperialis memulai dari berbondong- bondong datang ke Nusantara dengan piawai memperagakan politik devide et impera yang tak lain adalah politik adu domba itu sendiri, untuk memecah persatuan dan
Adu domba diibaratkan dengan banyak perumpamaan dari mengenai hubungan orang tua dengan anaknya apabila sedang terkena adu domba diibaratkan seperti air yang dipedang seratus kali dalam satu jam, pasti tidak akan berubah dan tidak membekas. Begitu pula dengan hubungan kekeluargaan atau saudara, sehingga apabila mengadu domba di dalam saudara dan keluarga sangat tidak ada gunannya. Seperti pada kutipan bait 38 dan 39 Pupuh II sebagai berikut: Kutipan
Toya reka darma putra/ toya kinarya upami/ pinedhang ping sewu sajam/ sayekti tan wurung pulih/ siti reke upami/sujanma maring sadulur/ yen ana bawa ala/ ya siti ing mangsa katri/ bumi belah upamine lan kadang crah//
Terjemahan : Retaknya air seperti hubungan orang tua dengan anak air sebagai perumpamaan,
jika dipedang seratus kali dalam satu jam, tentu kembali dan tidak membekas, hubungan seseorang dengan saudaranya, perumpamaannya seperti retaknya tanah dimusim kemarau. Persaudaraan itu akan renggang kalau ada keadaan yang kurang baik.
Kutipan
Sajrone nela mangkana/ kisen klabang kalajengking/ wusana mangsa kalima/ antara trancap geng prapti/ kalabang kalajengking/ tela mingkem gremet lampus/ iku kang dadi setan/ sadulur rengate pulih/ tanpa gawe wong ngadoni crahing kadang//
Disaat tanah itu dalam keadaan retak, kemasukan kalajengking yang merupakan setan, kemudian musim kelima, hujan lebat pertama di awal musim hujan tiba. Tanah itu merapat lagi. Maka dari itu tidak ada gunanya mengadu domba akan keretakan persaudaraan dalam keluarga.
Dalam pengertian yang berbeda. Adu domba disebut pula dengan namimah (Arab), di dalamnya dijelaskan adu domba adalah haram hukumnya, karena pada intinya adu domba membeberkan sesuatu yang tidak disuka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan maupun perbuatan, baik berupa aib atau bukan aib.
Hubungan suami dengan istri, pejabat atasan dengan bawahan atau anak buahnya, kuatnya ibarat seperti batu. Disaat hubungan tersebut masih dalam keadaan baik, kasih sayang mereka tidak dapat dipisahkan, namun apabila hubungan itu sudah mulai retak, maka seperti retaknya batu.
Orang yang suka mengadu domba, perumpamaannya seperti telur yang dihimpit batu besar, orang yang diadu itu bila telah kembali bersatu kembali pasti akan sangat membenci orang yang mengadu domba itu. Seperti pada kutipan bait ke
47, 48 Pupuh II sebagai berikut: Kutipan
Ana sloka antiga kaapit watu/ iku jalma watakneki/ kang asring remen wewadul/ lami-lami pan kebalik/ katangkep watu sang endhog//
Ada peribahasa telur dihimpit batu, itu sifat manusia yang suka mengadu domba, lama kelamaan mengena dirinya sendiri, telur itu akan benar-benar terhimpit batu.
Kutipan
Tunggal benggang ngaku wong palakrameku/ yen wus atut aningali/ karone maring sireku/ yekti sangite kapati/ tan enak lir kang mangkono//
Terjemahan :
Orang yang di adu domba itu apabila telah rukun kembali keduanya akan sangat membenci orang yang mengadu domba itu. Mengadu domba itu hal yang tidak baik.
Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan mengenai haramnya perbuatan adu domba dan dilarangnya perbuatan adu domba dilakukan di dalam masyarakat. Dalam bidang pendidikan budi pekerti adu domba sangat tidak dibenarkan dalam setiap alasannya, dimaksudkan bahwa adu domba adalah bukan salah satu pilihan terbaik dalam pemecahan suatu masalah. Di dalam QS. Al-Qalam ayat 10-11, menerangkan “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang-orang yang banyak bersumpah lagi hina dan banyak mencela , yang kian kemari menghambur fitnah ”.
Adu domba sangat tidak mencerminkan prinsip kerukunan masyarakat Jawa. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut dengan istilah rukun, yang berarti “ berada dal am keadaan selaras”, “tenang dan tenteram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”.
satu dengan yang lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam tetangga dan dalam setiap pengelompokan tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernafaskan semangat kerukunan (Magniz, 1989 : 39)