Lapis Dunia

4. Lapis Dunia

Lapis dunia merupakan suatu yng tidak perlu dinyatakan tetapi sudah secara implisit dari gabungan dan jalinan objek-objek yang dikemukakan latar, pelaku, serta struktur cerita. SM menampilkan sebagai berikut : RMH. Jayadiningrat I menuliskan mengenai ajaran-ajaran khususnya budi pekerti yang sangat bermanfaat bagi pendidikan para siswa dan juga untuk kehidupannya kelak. SM menyajikan berbagai macam bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku.

Harapan dari pengarang yaitu RMH. Jayadiningrat I kepada para siswa (termasuk anak dan cucu) adalah SM merupakan salah satu naskah teladan yang dapat dipergunakan untuk sarana dalam upaya meneladani sebuah arti kehidupan, yang mana bertujuan supaya memiliki kehidupan yang lebih baik, sejahtera dan bahagia.

Lapis kelima ini adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca atau pendengar lebih mendalam memehami isi yang disampaikan oleh pengarang. Di dalam SM lapis ini berupa gambaran ajaran-ajaran sikap hidup manusia untuk dapat menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur, memiliki pribadi yang menarik dan mempesona sehingga dapat menjadi pribadi yang luar biasa luar dalam.

Dengan membaca SM diharapkan para siswa dapat memahami betapa pentingnya pendidikan budi pekerti dalam semua sendi-sendi kehidupan, mulai dari cara memilih pekerjaan, kemudian cara menghadap atasan, cara bertamu, menghormati orang tua, dan masih banyak lagi ajaran yang ada di dalam SM. Apabila para siswa ingin mempelajari nilai-nilai budi pekerti RMH.Jayadingrat I merekomendasikan Serat Margawiraya untuk dijadikan naskah pembelajaran, seperti yang di kutip di bawah ini pada Pupuh II bait 49 sebagai berikut : Kutipan

Wasitane kang pustaka / aran Margawirya iki / warah ingkang para siswa / kang kasdu myang mangastuti / nadyan tan arsa kaki / mung aywa kinarya partum / becike kang manitra / ing Surakarta praja di / nararya truh ulun ing Keparak Kiwa //

Terjemahan : Kitab ini bernama Margawirya, member pelajaran yang baik kepada para siswa

yang berkehendak menganutnya, meskipun engkau tidak menghendaki, jangan hanya sebagai senjata, demikianlah pesan penulisnya, seorang pemuda Keparak Kiwa di Negara Surakarta .

Secara keseluruhan Serat Margawirya ini memiliki nilai-nilai estetika yang tersembunyi di balik kekunaan serat ini sendiri. Pengarang yaitu RMH. Jayadiningrat Secara keseluruhan Serat Margawirya ini memiliki nilai-nilai estetika yang tersembunyi di balik kekunaan serat ini sendiri. Pengarang yaitu RMH. Jayadiningrat

Nilai-nilai estetika yang terkandung di dalam SM antara lain, terdapat di dalam pemilihan tembang. Dalam SM terdapat empat pupuh yang memiliki watak tembang sendiri-sendiri. Pengarang menuliskan setiap tembang dengan penuh ketelitian, baik itu dalam segi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagunya. Pengarang sangat memperhatikan segi keindahan di dalam penulisan serat ini, seperti di dalam penulisan tanggal penulisan pengarang mempergunakan sengkalan,sehingga penulisan tanggal tidak terlihat jelas, dan hanya dengan diterjemahkan terlebih dahulu baru dapat dimengerti kapan dan dimana naskah ini dituliskan untuk pertama kali dan disalin untuk yang kesekian kalinya. Tembang macapat banyak digunakan untuk menulis naskah-naskah atau serat-serat Jawa, karya pujangga dan karya para raja. Hal ini bertujuan untuk menyenangkan pembaca agar tidak bosan dalan menikmati hasil karya sstra, dapat terlihat jelas di dalam bagian Lapis Arti, antara lain RMH. Jayadiningrat I mempergunakan sarana yaitu padan kata, sarana ini berfungsi sebagai sebagai alat untuk menuangkan salah satu sudut keestetikaan dari SM dengan cara menggunakan banyak kata-kata indah serta memiliki arti yang sama, sekalipun ditulis dengan tulisan yang berbeda, sebenarnya memiliki arti yang sama. Hal ini bertujuan Nilai-nilai estetika yang terkandung di dalam SM antara lain, terdapat di dalam pemilihan tembang. Dalam SM terdapat empat pupuh yang memiliki watak tembang sendiri-sendiri. Pengarang menuliskan setiap tembang dengan penuh ketelitian, baik itu dalam segi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagunya. Pengarang sangat memperhatikan segi keindahan di dalam penulisan serat ini, seperti di dalam penulisan tanggal penulisan pengarang mempergunakan sengkalan,sehingga penulisan tanggal tidak terlihat jelas, dan hanya dengan diterjemahkan terlebih dahulu baru dapat dimengerti kapan dan dimana naskah ini dituliskan untuk pertama kali dan disalin untuk yang kesekian kalinya. Tembang macapat banyak digunakan untuk menulis naskah-naskah atau serat-serat Jawa, karya pujangga dan karya para raja. Hal ini bertujuan untuk menyenangkan pembaca agar tidak bosan dalan menikmati hasil karya sstra, dapat terlihat jelas di dalam bagian Lapis Arti, antara lain RMH. Jayadiningrat I mempergunakan sarana yaitu padan kata, sarana ini berfungsi sebagai sebagai alat untuk menuangkan salah satu sudut keestetikaan dari SM dengan cara menggunakan banyak kata-kata indah serta memiliki arti yang sama, sekalipun ditulis dengan tulisan yang berbeda, sebenarnya memiliki arti yang sama. Hal ini bertujuan

RMH. Jayadiningrat I mempergunakan tembang macapat sebagai wadah utama untuk menuangkan ajaran-ajaran, sekaligus mengajarkan mengenai kebaikan- kebaikan hidup, yang keseluruhan penulisannya tetap memperhatikan nilai-nilai estetika. Salah satunya di dalam objek, latar, dan pelaku, pengarang memberikan efek bantuan tokoh-tokoh teladan hidup yang dapat dilihat dari baik buruknya di dalam

bertingkah laku. Pengarang juga menjelaskan mengenai motto hidup “gemi, nastiti, ngati- ati”. Pengarang meletakan motto tersebut di dalam bagian SM, yang bertujuan

pembaca memnperhatikan denagn seksama bahwa gemi” hemat”, nastiti “ memperhitungkan segala hal yang akan dilakukan dengan seksama ”, nagati-ati” berhati-hati ” sangat penting diperhatikan oleh manusia hidup. Sebagai seorang insan manusia yang berbudi pekerti luhur yang telah diberikan kesempatan baik dalam berbicara, bergaul, bertingkah laku, dan berhati-hati dalam segala aspek kehidupan,

agar kelak hidupnya akan tenteram dan sejahtera. Setiap manusia hendaknya selalu “ berhati- hati ”dalam segala tingkah laku atau perbuatan, maka ada pepatah yang berbunyi “ sak beja-bejane wong urip yaiku wong kang eling lan waspada” yang

artinya “ semujur-mujurnya orang hidup adalah orang yang selalu ingat dan artinya “ semujur-mujurnya orang hidup adalah orang yang selalu ingat dan

Melihat lebih kedalam mengenai pengarang dapat disimpulkan bahwa RMH. Jayadiningrat I adalah salah satu pujangga keraton yang sangat memperhatikan nilai- nilai estetika di dalam karya-karya beliau, sehingga selain naskah yang beliau karang mengandung ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi masyarakat, namun juga keindahan- keindahan di dalam sisi penulisan juga selalu beliau goreskan dalam setiap Pupuh tembangnya.