Hubungan Antara Kualitas Air dengan Kebiasaan Makanan Ikan Batak (Tor soro) di Perairan Sungai Asahan Sumatera Utara

(1)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN

MAKANAN IKAN BATAK (Tor soro) DI PERAIRAN

SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

BUDIANTO SIREGAR

117030021/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN

MAKANAN IKAN BATAK (Tor soro) DI PERAIRAN

SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

BUDIANTO SIREGAR

117030021/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN

MAKANAN IKAN BATAK (Tor soro) DI PERAIRAN

SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains dalam Program Studi

Magister Biologi pada Program Pascasarjana

Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

Oleh

BUDIANTO SIREGAR

117030021/BIO

ROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(4)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR

DENGAN KEBIASAAN MAKANAN IKAN BATAK (Tor soro) DI PERAIRAN SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : BUDIANTO SIREGAR

Nomor Induk Mahasiswa : 117030021

Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ing. Ternala A.B, M.Sc Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed


(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN

MAKANAN IKAN BATAK (Tor soro) DI PERAIRAN

SUNGAI ASAHAN SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, 31 Juli 2013

Budianto Siregar


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Budianto Siregar

NIM : 117030021

Program Studi : Magister Biologi

Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Hubungan Antara Kualitas Air dengan Kebiasaan Makanan Ikan Batak (Tor soro) di Perairan Sungai Asahan Sumatera Utara

Beserta Perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih data, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pememegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya

Medan, 31 Juli 2013

Budianto Siregar


(7)

Telah diuji pada Tanggal : 31 Juli 2013

PANITIAN PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ing. Ternala A.B, M.Sc

Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

2. Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si 3. Dr. Suci Rahayu M.Si


(8)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Budianto Siregar, S.Pd

Tempat dan Tanggal Lahir : B. P. Nauli, P. Siantar, 20 Januari 1980

Alamat Rumah : Jl. SM. Raja, Gg. Sempurna No. 5. Bandarsono, Tebing Tinggi

Telepon : 081263090927

e-mail : budiantosrg@yahoo.com

Instansi tempat Bekerja : SMA Negeri 1 Sei Bamban

Alamat Kantor : Jl.Pendidikan, No.1 Desa Gempolan 20695, Sei Bamban, Kabupaten Serdang Bedagai

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Negeri 121247 Tamat : 1993

SMP : SMP Harapan Pematang Siantar Tamat : 1996

SMA : SMA Negeri 1 Pematang Siantar Tamat : 1999

Strata-1 : Pend. Biologi FMIPA UNIMED Tamat : 2004


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang hanya oleh karena berkat dan kasih karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Hubungan Antara Kualitas Air dengan

Kebiasaan Makanan Ikan Batak (Tor soro) di Perairan Sungai Asahan Sumatera Utara“ ini dapat saya selesaikan. Penulis mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada: Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr.

Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister. Dekan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Dr.

Sutarman, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada

Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara. Ketua Program Studi Magister, Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed, Sekretaris Program Studi, Dr.

Suci Rahayu, M.Si, beserta seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Magister

Biologi Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada

Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku pembimbing pertama

yang dengan penuh perhatian dan telah memberikan dorongan dan bimbingan, demikian juga kepada Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed selaku pembimbing kedua yang telah membimbing penulis dan memberikan banyak masukan dan arahan dengan penuh kesabaran dari awal hingga akhir penulisan tesis ini. Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si selaku penguji I dan Dr. Suci Rahayu,

M.Si. selaku penguji II yang telah banyak memberikan masukan dan arahan

dalam penyempurnaan tesis ini.

Terima kasih kepada orang tuaku tercinta, Ayahanda O. Siregar dan Ibunda, E. Rajagukguk (alm), Kakak (Golianna Anna Purada Siregar (alm) dan Februarta

Siregar), serta Istri tercinta, Suryati Ambarita, S.Pd dan anakku

tersayang, Clara Shandirova Blessa Siregar yang telah banyak memberikan motivasi, dukungan baik moril maupun materil dan doa yang tiada hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Kepala sekolah SMA Negeri 1 Sei Bamban, Bapak Nimrot, S.Pd dan seluruh rekan staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan dukungan sepenuhnya kepada penulis selama mengikuti studi S2 pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Teman-teman dalam satu tim penelitian: Mesra, Ria, Rina, teman-teman seperjuangan Pascasarjana Biologi 2011, khususnya mahasiswa Pascasarjana bidang Ekologi serta asisten dosen yang telah mendoakan, meluangkan waktunya membantu dan mendukung penulis sejak awal perkuliahan, survey sampai pada saat penelitian. Akhirnya penulis barharap semoga tesis ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.


(10)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN

MAKANAN IKAN BATAK (Tor soro) DI PERAIRAN SUNGAI

ASAHAN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro) di perairan Sungai Asahan Sumatera Utara pada bulan November 2012-Januari 2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro), kualitas air Sungai Asahan, serta hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan electrofishing dan jala serta isi lambung dianalisis dengan menggunakan metode volumetrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan batak (Tor soro) memiliki pola pertumbuhan alometrik. Makanan utama ikan batak (Tor soro) berdasarkan Index of Preponderance: Cladophora (47,01%, 62,29%, 71,11%) pada stasiun 1, 4, dan 5. Cymbella (47,57%) pada stasiun 2, Vaucheria (51,46%) pada stasiun 3. Temperatur, intensitas cahaya, kecerahan dan pH berkorelasi kuat terhadap Cladophora. Nitrat dan posfat berkorelasi kuat terhadap Cymbella. Nitrat berkorelasi kuat terhadap Vaucheria. Kondisi Sungai Asahan secara relatif dalam keadaan baik dan mendukung pertumbuhan ikan batak (Tor soro).

Kata kunci: Ikan Batak, Kebiasaan Makanan, Pola Pertumbuhan, Index of

Preponderance, Sungai Asahan .


(11)

WATER QUALITY RELATIONSHIP AND FOOD HABITS OF

BATAK FISH (Tor soro) IN ASAHAN RIVER NORTH SUMATRA

ABSTRACT

The study of water quality relationship and food habits of batak fish (Tor soro) in Asahan River, North Sumatra was conducted in November 2012-January 2013. Aims of this research was to know the food habits of batak fish, the water quality of Asahan River, and relationship between water quality and food habits of batak fish. Samples were taken by using electrofishing and castnet and stomach content was analysis using volumetric method. Result showed that batak fish has an allometric growth pattern. The major food of batak fish based on index of preponderance are: Cladophora (47,01%, 62,29%, 71,11%) at station 1, 4, and 5. Cymbella (47,57%) at station 2, Vaucheria (51,46%) at station 3. The temperature, light penetration, light intensity and pH high correlated with Cladophora. Nitrate and posfate high correlated with Cymbella. Nitrate high correlated with Vaucheria. Indicating the condition of Asahan River is relatively in good condition and support batak fish growth as well.

Keywords: Batak Fish, Food Habits, Growth Pattern, Index of Preponderance, Asahan River


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Ciri-ciri morfologi ikan batak 4

2.1.1 Ikan Batak (Tor soro) 4

2.1.2 Ikan Batak (Tor douronensis) 4

2.1.3 Ikan Batak (Tor tambroides) 5

2.1.4 Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) 2.2 Ekosistem sungai 6

5

2.3 Parameter Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan 7

2.3.1 Parameter Fisik 8

2.3.1.1 Temperatur Air 8

2.3.1.2 Kecerahan 8

2.3.1.3 Arus Air 8

2.3.1.4 Intensitas Cahaya 9

2.3.2 Parameter Kimia 9

2.3.2.1 pH 9

2.3.2.2 DO (Dissolved Oxygen) 10

2.3.2.3 BOD5 2.3.2.4 Nitrat (NO (Biochemical Oxygen Demand) 11

3 2.3.2.5 Posfat (PO ) 11

4 3-2.3.3 Parameter Biologi 12

) 12

2.3.3.1 Plankton 12

2.3.3.2 Nekton (Ikan) 13


(13)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 17

3.2 Deskripsi Area Penelitian 17

3.2.1 Stasiun 1 (Sungai Ponot) 17

3.2.2 Stasiun 2 (Sungai Baturangin) 18

3.2.3 Stasiun 3 (Sungai Tangga) 18

3.2.4 Stasiun 4 (Sungai Parhitean) 19

3.2.5 Stasiun 5 (Sungai Hula-huli) 19

3.3 Prosedur Kerja 20

3.3.1 Pengambilan Sampel Ikan dengan menggunakan Electrofishing dan Jala 20

3.3.2 Analisis lambung 20

3.4 Pengukuran Parameter Faktor Fisik-Kimia Perairan 21

3.4.1 Temperatur Air 21

3.4.2 Kecerahan 21

3.4.3 Arus Air 22

3.4.4 Intensitas Cahaya 22

3.4.5 pH (Derajat Keasamaan) 22

3.4.6 DO (Dissolved Oxygen) 22

3.4.7 BOD5 3.4.8 Nitrat (NO (Biochemical Oxygen Demand) 23

3 3.4.9 Fosfat (PO ) 23

4 3.5 Analisis Data 24

) 24

3.5.1 Analisis Korelasi Hubungan Panjang dan Berat 25

3.5.2 Faktor Kondisi 25

3.5.3 Kebiasaan Makanan 26

3.5.4 Analisis korelasi (r) antar faktor fisik-kimia Lingkungan dengan jenis makanan yang dimakan Ikan Batak (Tor soro) 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 28

4.1 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak (Tor soro) 28

4.2 Faktor Kondisi (K) 32

4.3 Kebiasaan Makanan 33

4.4 Hasil pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Sungai Asahan 42

4.4.1 Temperatur Air 42

4.4.2 Kecerahan 43

4.4.3 Arus Air 43

4.4.4 Intensitas Cahaya 44

4.4.5 pH 45

4.4.6 DO (Dissolved Oxygen) 45

4.4.7 BOD5 4.4.8 Nitrat (NO (Biochemical Oxygen Demand) 46

3 4.4.9 Posfat (PO ) 47


(14)

4.5 Analisis Korelasi Pearson (r) antara Faktor Fisik-Kimia Lingkungan Perairan dengan jenis makanan

yang ditemukan dalam lambung Ikan Batak (Tor soro) 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 53

5.1 Kesimpulan 53

5.2 Saran 54

DAFTAR PUSTAKA 55


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran

Faktor Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan

24

4.1 Hubungan panjang-berat Ikan Batak (Tor soro) 28

4.2 Nilai Faktor Kondisi Ikan Batak (Tor soro) 33

4.3 Hasil analisis IP (Index of Prepoderance) makanan Ikan Batak (Tor soro) pada 5 (lima) stasiun penelitian

36

4.4 Hasil Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Lingkungan

Perairan Sungai Asahan

42 4.5 Hasil analisa Korelasi Pearson (r) antara Faktor

Fisik-Kimia Lingkungan Perairan dengan jenis makanan yang dimakan Ikan Batak (Tor soro)


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

2.1 Tor soro 4

2.2 Tor douronensis 5

2.3 Tor tambroides 5

2.4 Neolissochilus sumatranus 6

3.1 Stasiun Sungai Ponot 17

3.2 Stasiun Sungai Baturangin 18

3.3 Stasiun Sungai Tangga 18

3.4 Stasiun Sungai Parhitean 19

3.5 Stasiun Sungai Hula-huli 19

4.1 Hubungan Panjang Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 1 (Sungai Ponot)

30

4.2 Hubungan Panjang Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 2 (Sungai Baturangin)

30

4.3 Hubungan Panjang Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 3 (Sungai Tangga)

30

4.4 Hubungan Panjang Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 4 (Sungai Parhitean)

31

4.5 Hubungan Panjang Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 5 (Sungai Hula-huli)

31

4.6 Diagram Komposisi makanan Ikan Batak (Tor soro) di stasiun 1 (Sungai Ponot)

36

4.7 Diagram Komposisi makanan) Ikan Batak (Tor soro di stasiun 2 (Sungai Baturangin)

37

4.8 Diagram Komposisi makanan Ikan Batak (Tor soro) di stasiun 3 (Sungai Tangga)

38

4.9 Diagram Komposisi makanan Ikan Batak (Tor soro) di stasiun 4 (Sungai Parhitean)

39

4.10 Diagram Komposisi makanan Ikan Batak (Tor soro) di stasiun 5 (Sungai Hula-huli)

39


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

A Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO L-1

B Bagan Kerja Inkubasi Botol Winkler Untuk

Mengukur BOD5

L-2

C Bagan Kerja Analisis Nitrat (NO3) L-3

D Bagan Kerja Analisis Fospat (PO43-) L-4

E Peta Lokasi Penelitian L-5

F Perhitungan Hubungan Panjang dan Berat ikan batak

(Tor soro)

L-6 G Perhitungan Faktor Kondisi Ikan Batak (Tor soro)

pada Stasiun Pengamatan

L-9 H Perhitungan IP (Index of Prepoderance) Ikan Batak

(Tor soro) pada Stasiun Pengamatan

L-10 I Hasil Analisis Korelasi Pearson Antara Jenis

Makanan Ikan Batak (Tor soro) dengan Faktor Fisik-Kimia Perairan Sungai Asahan

L-15

J Foto jenis makanan yang terdapat dalam lambung Ikan Batak (Tor soro)

L-16 K

L

Foto Peneliti dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Air Sungai Asahan dan Pengambilan Sampel Ikan Batak (Tor soro) serta Analisis Lambung Ikan Batak (Tor soro) di Laboratorium LIDA USU

Peraturan Pemerintah No. 82/2001 (Baku Mutu Air)

L-17

L-18


(18)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DENGAN KEBIASAAN

MAKANAN IKAN BATAK (Tor soro) DI PERAIRAN SUNGAI

ASAHAN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro) di perairan Sungai Asahan Sumatera Utara pada bulan November 2012-Januari 2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro), kualitas air Sungai Asahan, serta hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan electrofishing dan jala serta isi lambung dianalisis dengan menggunakan metode volumetrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan batak (Tor soro) memiliki pola pertumbuhan alometrik. Makanan utama ikan batak (Tor soro) berdasarkan Index of Preponderance: Cladophora (47,01%, 62,29%, 71,11%) pada stasiun 1, 4, dan 5. Cymbella (47,57%) pada stasiun 2, Vaucheria (51,46%) pada stasiun 3. Temperatur, intensitas cahaya, kecerahan dan pH berkorelasi kuat terhadap Cladophora. Nitrat dan posfat berkorelasi kuat terhadap Cymbella. Nitrat berkorelasi kuat terhadap Vaucheria. Kondisi Sungai Asahan secara relatif dalam keadaan baik dan mendukung pertumbuhan ikan batak (Tor soro).

Kata kunci: Ikan Batak, Kebiasaan Makanan, Pola Pertumbuhan, Index of

Preponderance, Sungai Asahan .


(19)

WATER QUALITY RELATIONSHIP AND FOOD HABITS OF

BATAK FISH (Tor soro) IN ASAHAN RIVER NORTH SUMATRA

ABSTRACT

The study of water quality relationship and food habits of batak fish (Tor soro) in Asahan River, North Sumatra was conducted in November 2012-January 2013. Aims of this research was to know the food habits of batak fish, the water quality of Asahan River, and relationship between water quality and food habits of batak fish. Samples were taken by using electrofishing and castnet and stomach content was analysis using volumetric method. Result showed that batak fish has an allometric growth pattern. The major food of batak fish based on index of preponderance are: Cladophora (47,01%, 62,29%, 71,11%) at station 1, 4, and 5. Cymbella (47,57%) at station 2, Vaucheria (51,46%) at station 3. The temperature, light penetration, light intensity and pH high correlated with Cladophora. Nitrate and posfate high correlated with Cymbella. Nitrate high correlated with Vaucheria. Indicating the condition of Asahan River is relatively in good condition and support batak fish growth as well.

Keywords: Batak Fish, Food Habits, Growth Pattern, Index of Preponderance, Asahan River


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sungai adalah tempat air mengalir dan membawa berbagai kebutuhan hidup manusia dan berbagai mahluk lain yang dilaluinya, merupakan bagian dari ekosistem air tawar. Sungai merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi, dimana air sungai umumnya terkumpul dari presipitasi, seperti hujan, embun, mata air, dan limpasan bawah tanah. Selain itu air sungai juga mengalirkan sedimen dan polutan, Sungai juga ditandai dengan adanya anak sungai yang menampung dan menyimpan serta mengalirkan air hujan ke laut melalui sungai utama (Naughton dan Larry, 1990).

Sungai Asahan secara geografis terletak pada 20056’46,2” LU dan 990 51’51,4” BT. Sungai Asahan merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera Utara, Indonesia yang merupakan perairan lotik yang mempunyai kecepatan arus yang tinggi. Sungai ini mengalir dari mulut Danau Toba, melintasi Kota Tanjung Balai dan berakhir di Teluk Nibung, Selat Malaka. Daerah ini dibatasi oleh kontur ketinggian yang mengelilingi danau dan melintasi desa Porsea di mana Sungai Asahan sepanjang 150 km mengalirkan air keluar dari Danau Toba (Loebis, 1999). Menurut Kottelat et al., (1993), ikan batak terdiri dari Tor soro, Tor douronensis, Tor tambroides, dan Neolissochilus sumatranus yang hidup di sungai-sungai Sumatera Utara khususnya Sungai Asahan. Genus Tor (Tor soro, Tor douronensis, Tor tambroides) dan Neolissochilus (Neolissochilus sumatranus) merupakan jenis ikan batak yang hidup di

Keberadaan ikan batak (Tor soro) di Sungai Asahan masih tetap ada tetapi karena intensitas penangkapan yang semakin tinggi, maka dikhawatirkan akan menyebabkan populasi ikan ini semakin terancam kelestariannya (Barus, 2004). aliran-aliran sungai di sekitar Sungai Asahan. Sungai Asahan beraliran deras dan berair jernih merupakan habitat alami ikan batak untuk melakukan berbagai macam aktivitas seluruh siklus hidup (Barus, 2004).


(21)

Daerah Sungai Asahan pada saat ini merupakan daerah yang mengalami penurunan keseimbangan ekosistem yang ditandai terjadinya penurunan tangkapan ikan bagi nelayan di daerah ini. Hal ini disebabkan karena kawasan Sungai Asahan telah mengalami perkembangan pemanfaatannya oleh berbagai aktifitas manusia, seperti areal pemukiman, pertanian, dan perindustrian yang dapat menyebabkan penurunan kualitas air. Beragamnya aktivitas manusia disepanjang aliran Sungai Asahan tersebut menyebabkan sungai banyak mendapatkan beban pencemaran yang berasal dari limbah domestik, pertanian dan industri. Hal tersebut terjadi karena saat ini masih ada anggapan bahwa air sungai merupakan tempat pembuangan limbah yang mudah dan murah, serta pengaturan penggunaan sungai belum memadai dan berjalan sebagaimana mestinya (Barus, 2004).

Ikan batak (Tor soro) adalah salah satu jenis ikan air tawar lokal yang mempunyai nilai ekonomis penting. Ikan batak (Tor soro) telah lama dikenal masyarakat Suku Batak di Sumatera Utara sebagai ikan adat. Ikan tersebut digunakan sebagai syarat pada upacara adat seperti pernikahan dan kelahiran anak. Populasi ikan tersebut mulai menurun dan terancam punah akibat degradasi lingkungan seperti pencemaran (Tjahjo et al., 1995). Ikan merupakan salah satu organisme akuatik yang rentan terhadap perubahan lingkungan terutama yang diakibatkan oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung (Simanjuntak, 2002). Setiap jenis ikan agar dapat hidup dan berkembang dengan baik harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dimana ikan itu hidup (Connel, 1987).

Daerah aliran Sungai Asahan terdiri dari beberapa anakan sungai. Sepanjang tepi sungai terdapat berbagai aktivitas manusia seperti pemukiman, pertanian, dan perindustrian. Berbagai aktivitas tersebut limbah yang dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung dibuang ke badan perairan. Limbah ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas perairan dan biota air khususnya ikan. Pengaruh limbah terhadap ikan akan mempengaruhi ukuran tubuh ikan berdasarkan kebiasaan makanan dalam perairan tersebut. Mengingat banyaknya limbah yang masuk kedalam Sungai Asahan maka perlu dilakukan penelitian hubungan kondisi


(22)

kualitas lingkungan Sungai Asahan dengan kebiasaan makanan dari ikan batak (Tor soro) dimana hal ini mempunyai peran yang penting karena pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan kehidupan ikan batak (Tor soro) di Sungai Asahan masih terbatas.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro) di perairan Sungai

Asahan Sumatera Utara.

2. Bagaimana kualitas perairan Sungai Asahan

3. Bagaimana hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro) di perairan Sungai Asahan Sumatera Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro) di perairan

Sungai Asahan Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui kualitas air Sungai Asahan.

3. Untuk mengetahui hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro) di perairan Sungai Asahan Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro) di perairan Sungai Asahan Sumatera Utara.

2. Memberikan informasi tentang kualitas air Sungai Asahan.

3. Memberikan informasi hubungan antara kualitas air dengan kebiasaan makanan ikan batak (Tor soro) di perairan Sungai Asahan Sumatera Utara.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ciri-Ciri Morfologi Ikan batak 2.1.1 Ikan Batak (Tor soro)

Ikan batak (Tor soro) memiliki tiga warna kombinasi yaitu warna hitam sebagai warna dominan terletak pada bagian atas badan ikan, keemasan terletak di atas warna hitam, dan putih terletak pada bagian bawah ikan, warna-warna itu semuanya memanjang mulai dari bagian depan sampai ke bagian pangkal ekor. Jenis sirip ekor ikan batak (Tor soro) tergolong sirip bercagak (Homocercal), jenis sirip punggung sirip tunggal berjari-jari dengan badan berbentuk pipih tegak dengan tipe sisik sikloid, jenis mulut tergolong subterminal, dimana di atas mulut terdapat kumis yang panjang berjumlah dua pasang (Simanjuntak, 2002). Ikan batak (Tor soro) tidak memiliki tonjolan di ujung rahang bawah, bibir bawah tanpa celah di tengah, jari-jari terakhir sirip dubur tidak mengeras dan sirip dubur lebih pendek dari sirip punggung (Kottelat et al., 1993). Tinggi kepala sedikit lebih pendek dibandingkan tinggi badan, sisik teratur gelap sampai terang, di sekitar linea lateralis berwarna coklat sampai hitam (Asih dan Subagja, 2003).

Gambar 2.1 Tor soro 2.1.2 Ikan Batak (Tor douronensis)

Tor douronensis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: kepala simetris, sirip punggung terdiri dari 1 jari-jari keras licin dan 8 jari-jari lemah bercabang, sirip dubur dengan 5 jari-jari lemah bercabang, mata tidak berkelopak, mempunyai 4


(24)

helai sungut mengelilingi mulut, (Saanin, 1968). Cuping berukuran sedang pada bibir bawah tidak mencapai sudut mulut, ada tonjolan di ujung rahang bawah, bagian jari-jari terakhir sirip punggung yang mengeras panjangnya sama dengan panjang kepala tanpa moncong (Kottelat et al., 1993).

Gambar 2.2 Tor douronensis 2.1.3 Ikan Batak (Tor tambroides)

Tor tambroides mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: terdapat sebuah cuping dipertengahan bibir bawah yang mencapai ujung mulut, memiliki jari-jari sirip punggung yang licin, kepala tidak berkerucut, serta antara garis rusuk dan sirip punggung terdapat tiga setengah baris sisik (Kottelat et al., 1993).

Gambar 2.3 Tor tambroides (Nippon Koei, 2011) 2.1.4 Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus)

Neolissochilus sumatranus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: mempunyai lebar badan 3,1-3,5 kali lebih pendek dari panjang standard, 7-8 sisik di depan sirip punggung, 4 baris pori-pori (masing-masing memiliki tubus yang keras) pada masing-masing sisi moncong dan di bawah mata (Kottelat et al., 1993).


(25)

Gambar 2.4 Neolissochilus sumatranus

Menurut Kottelat et al., (1993) perbedaan antara genus Tor dan genus Neolissochilus adalah sebagai berikut: pada genus Tor, Bibir bawah berubah menjadi tonjolan berdaging, atau paling sedikit dua lekukan yang membatasi posisi tonjolan, lekukan di belakang bibir tidak terputus, tidak ada tulang keras pada rahang bawah, 7-17 sisir saring pada lengkung bawah insang, sedang pada genus Neolissochilus, Bibir bawah tidak berubah menjadi tonjolan berdaging dengan atau tanpa lekukan, lekukan di belakang bibir terputus atau tidak, tulang pada rahang bawah ada atau tidak ada, 7-12 sisir saring pada lengkung bawah insang.

2.2 Ekosistem Sungai

Ekosistem sungai terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur dan tidak ada satu komponenpun yang dapat berdiri sendiri melainkan mempunyai keterikatan dengan komponen lain secara langsung atau tidak langsung. Aktivitas suatu komponen selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain (Asdak, 2002).

Menurut Barus (2004), ekosistem sungai termasuk jenis lotik yang dapat dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam. Limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa. Selanjunya aliran dari beberapa mata air akan


(26)

membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal. Adanya perbedaan keterjalan dari topografi aliran sungai menyebabkan kecepatan arus mulai dari daerah hulu sampai ke hilir bervariasi. Daerah hulu ditandai dengan kecepatan arus yang tinggi dan kecepatan arus tersebut akan semakin berkurang pada aliran sungai yang mendekati daerah hilir.

Sungai merupakan suatu sistem yang dinamis dengan segala aktivitas yang berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat di dalamnya. Adanya dinamika tersebut akan menyebabkan suatu sungai berada dalam keseimbangan ekologis sejauh sungai itu tidak menerima bahan-bahan asing dari luar. Batas-batas kisaran tertentu pengaruh bahan asing ini masih dapat ditolerir dan kondisi keseimbangan masih tetap dapat dipertahankan. Bila suatu sungai menerima limbah berupa senyawa organik dalam jumlah yang sedikit, maka limbah tersebut akan dapat dinetralisir oleh adanya dinamika ekologis tersebut (Barus, 2004).

2.3 Parameter Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan

Perairan pada umumnya merupakan ekosistem yang rentan terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi, baik faktor abiotik maupun faktor biotik. Faktor yang mempengaruhi ekosistem ini ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan pengamatan terhadap faktor abiotik, sehingga diperoleh suatu gambaran tentang kualitas suatu perairan. Selanjutnya kelimpahan nekton (ikan) pada suatu perairan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: temperatur, pH, DO (oksigen terlarut), salinitas, BOD5, dan lain-lain (Barus, 1996).


(27)

2.3.1 Parameter Fisik 2.3.1.1 Temperatur Air

Temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, dimana apabila temperatur naik, maka kelarutan oksigen dalam air menurun. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan aktivitas metabolisme organisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga akan meningkat. Temperatur air merupakan pembatas utama pada suatu perairan karena organisme akuatik seringkali mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan-perubahan temperature (Sastrawijaya, 1991). Menurut hukum Vant’s Hoffs, kenaikan temperatur sebesar 100C akan menaikkan metabolisme 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju respirasi akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang (Barus, 1996).

2.3.1.2 Kecerahan

Kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa pada titik kompensasi cahaya ini, konsentrasi karbondioksida dan oksigen akan berada dalam keadaan relatif konstan (Barus, 2004).

2.3.1.3 Arus Air

Arus air adalah faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting baik pada perairan lotik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air akan bervariasi secara vertikal. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen, yaitu arus yang bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian dari perairan tersebut (Barus, 2004). Arus air sangat membantu pertukaran air, membersihkan tumbuhan sisa metabolisme ikan


(28)

dan membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan. Namun, harus dicegah arus yang terlalu berlebihan karena menyebabkan ikan stress, energi banyak yang terbuang dan selera makan berkurang, kecepatan arus yang ideal sekitar 0,2- 0,5 m/s (Kordi, 2004).

2.3.1.4 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan dan produktivitas primer dalam suatu perairan. Apabila intensitas cahaya matahari berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air akan berkurang, dimana oksigen sangat dibutuhkan organisme akuatik untuk melaksanakan metabolisme tubuh (Barus, 1996). Cahaya merupakan unsur penting dalam kehidupan organisme akuatik khususnya pada ikan, cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, dan membantu dalam penglihatan di dalam air. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari dalam kehidupan ikan merupakan suatu bentuk rantai makanan dalam suatu perairan (Rifai et al., 1983).

Jika intensitas cahaya matahari menurun maka akan mempengaruhi jumlah plankton sebagai nutrisi bagi ikan dalam suatu perairan. Cahaya mempengaruhi produktivitas ikan dimana ikan yang aktif pada siang hari (diurnal) biasanya mengambil makanan pada malam hari. Ikan yang aktif pada malam hari (nocturnal) pada intensitas cahaya maksimum dirangsang untuk melakukan gerakan untuk mencari perlindungan, sedangkan bagi ikan yang aktif pada siang hari (diurnal) intensitas cahaya yang kuat akan memberikan reaksi untuk melakukan berbagai aktivitas (Barus, 1996).

2.3.2 Parameter Kimia 2.3.2.1 pH

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan.

Dalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan OH- berada dalam

keseimbangan sehingga air yang bersih akan bereaksi netral. Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dan basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan


(29)

organisme akuatik umumnya berkisar antara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik (Barus, 1996).

Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi ketersediaan unsur hara serta toksinitas dari unsur renik (Barus, 2004). pH merupakan suatu ekspresi dari konsentarsi ion hidrogen (H+) di dalam air. Biasanya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentasi ion H, pH sangat penting sebagai parameter kualitas air, karena pH mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Ikan dan organisme akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan organisme air (Rifai et al., 1983).

2.3.2.2 DO (Dissolved Oxygen)

Dissolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Kelarutan oksigen merupakan salah satu faktor terpenting dalam setiap sistem perairan yang diperlukan organisme untuk melakukan respirasi. Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfir dan proses fotosintesis dan dari tumbuhan air lainnya. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung permukaan air oleh angin dan arus (Michael, 1994). Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 0°C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2

Menurut Odum (1994) bahwa kadar oksigen akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan air, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar DO, karena proses

. Konsentrasi oksigen ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur air dan sebaliknya temperatur yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004).


(30)

fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik.

2.3.2.3 BOD5

BOD

(Biochemical Oxygen Demand)

5 (kebutuhan oksigen biologis) adalah kebutuhan oksigen yang

dibutuhkan dalam lingkungan air, pengukuran BOD5 didasarkan kepada

kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang terdapat yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang dihasilkan dalam rumah tangga, untuk produk-produk kimiawi seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme. Proses penguraian senyawa organik

biasanya diukur selama 5 hari (BOD5), karena diketahui dari hasil jumlah

senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai ± 70 %. Nilai BOD5 dapat

dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme aerobik

dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada temperatur 200

Penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup. Semakin tinggi nilai BOD

C (Barus, 2004).

5 suatu badan perairan maka semakin buruk kondisi perairan tersebut. Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa organik semakin banyak, sehingga menurunkan nilai oksigen yang terlarut. Dengan demikian kondisi air menjadi miskin oksigen sehingga plankton dan organisme air lainnya tidak dapat berkembang dengan baik sebab BOD5 yang tinggi mengindikasikan banyak limbah yang terdapat dalam air tersebut (Wardhana, 1995).

2.3.2.4 Nitrat (NO3

Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N

)

2, NO2-, NO3- dan NH4+ serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks. Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri


(31)

atas ion nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4+) dan molekul N2 yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air (Chester, 1990). Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang dapat berasal dari industri, bahan peledak, dan pemupukan Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk nitrat (Alaert dan Sri, 1987).

2.3.2.5 Fosfat (PO4

3-Fosfor sangat penting di perairan terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP). Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P

)

2O74-), metafosfat (P3O93-) dan polifosfat (P4O136- dan P3O10

5-Fosfor sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air. Fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi fitoplankton secara massal dalam ekosistem air sehingga mendukung bagi populasi ikan dalam perairan tersebut (Barus, 2004).

) serta fosfat yang terikat secara organik (adenosin monofosfat). Senyawa ini berada sebagai larutan, partikel atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (Fergusson, 1956).

2.3.3 Parameter Biologi 2.3.3.1 Plankton

Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif (Suin, 2002). Demikian juga menurut Sachlan (1982) bahwa plankton merupakan jasad-jasad renik yang hidup melayang dalam


(32)

air, tidak bergerak atau bergerak sedikit dan pergerakannya dipengaruhi oleh arus. Plankton merupakan organisme perairan pada tingkat trofik pertama yang berfungsi sebagai penyedia energi.

Plankton dibagi menjadi fitoplankton, yaitu organisme plankton yang bersifat tumbuhan dan zooplankton, yaitu plankton yang bersifat hewan. Fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan penting dalam ekosistem air, karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil mampu melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan oleh fitoplankton (produsen), merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang membentuk rantai makanan (Barus, 2004). Plankton tidak dapat berkembang subur dalam air mengalir. Jumlah plankton berfluktuasi (naik turun) dari jam ke jam, dari hari ke hari, dan dari musim ke musim (Whitten et al., 1987).

2.3.3.2 Nekton (Ikan)

Tubuh ikan terdiri atas caput (kepala), truncus (badan) dan caudal (ekor). Batas yang nyata antara caput dan truncus disebut tepi caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan caudal terdapat anus (Radopoetra, 1978). Selanjutnya Rifai et al., (1983) menyatakan bahwa ikan mempunyai rangka bertulang sejati dan bertulang rawan, mempunyai sirip tunggal dan berpasangan, mempunyai operculum yang menutup insang, tubuh ditutupi oleh sisik dan berlendir. Ukuran ikan bervariasi mulai dari yang kecil sampai yang besar, bentuk tubuh berbentuk torpedo, pipih, dan ada yang berbentuk tidak teratur.

Ikan mempunyai otak yang terbagi menjadi regio-regio, dan dibungkus dalam cranium (tulang kepala) yang berupa kartilago. Telinga hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran-saluran semisirkularis sebagai organ keseimbangan. Jantung berkembang baik, sirkulasi menyangkut aliran darah dari jantung melalui insang ke seluruh bagian tubuh lain, tipe ginjal pronefros dan mesonefros (Brotowidjoyo et al., 1995).


(33)

2.4 Kebiasaan Makanan

Kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan, bagaimana cara ikan memperoleh makanannya (Beckman, 1962). Kebiasaan makanan ikan dipelajari untuk menentukan gizi alamiah ikan tersebut. Pengetahuan tentang kebiasaan makanan ikan dapat digunakan untuk melihat hubungan ekologi diantara organisme di perairan tempat mereka berada, misalnya bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan. Ikan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah dan variasi makanannya menjadi euryphagous yaitu ikan yang memakan berbagai jenis makanan; stenophagous yaitu ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya; dan monophagous yaitu ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja (Moyle and Cech, 1988).

Nikolsky (1963) mengatakan bahwa Faktor-faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies ikan adalah umur, tempat dan waktu. Makanan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan suatu organisme dan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan luas persebaran suatu spesies serta dapat mengontrol besarnya suatu populasi. Suatu organisme dapat hidup, tumbuh dan berkembangbiak karena adanya energi yang berasal dari makanannya. Sebagai komponen lingkungan, makanan merupakan faktor penentu bagi jumlah populasi, pertumbuhan, dan kondisi ikan di suatu perairan (Lagler, 1972).

Makanan merupakan faktor yang menentukan bagi pertumbuhan populasi dan kondisi ikan di suatu perairan dan merupakan faktor pengendali yang penting bagi sejumlah ikan dan organisme air lainnya di suatu perairan (Effendie, 1997). Di alam terdapat berbagai jenis makanan yang tersedia bagi ikan dan ikan telah menyesuaikan diri dengan tipe makanan khusus dan telah dikelompokkan secara luas sesuai dengan cara makannya, walaupun dengan macam-macam ukuran dan umur ikan itu sendiri (Nikolsky, 1963).


(34)

Makanan suatu jenis ikan dapat menginformasikan kedudukan ikan tersebut, apakah sebagai predator atau kompetitor, serta makanan utama dan makanan tambahan ikan tersebut. Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu herbivora, karnivora, dan omnivora. Kebiasaan makanan berhubungan dengan kebiasaan cara makan ikan. Kebiasaan cara makan pada ikan seringkali dihubungkan dengan bentuk tubuh yang khusus dan fungsional morfologi dari tengkorak, rahang dan alat pencernaan makanannya. Ikan-ikan herbivora tidak dijumpai gigi, mempunyai tapis insang yang lembut dan dapat menyaring fitoplankton dari air. Ikan ini tidak mempunyai lambung yang besar, usunya panjang berliku-liku dan berdinding tipis. Ikan karnivora mempunyai gigi untuk menyergap, menahan, memegang, dan merobek mangsa serta jari-jari tapis insang yang disesuaikan untuk menahan dan menggilas mangsa. Ikan omnivora mempunyai sistem pencernaan antara bentuk herbivora dan karnivora, memiliki lambung dan usus yang pendek, tebal dan elastis (Effendie, 1997).

Menurut Kottelat et al., (1993) berdasarkan jenis makanannya, maka ikan secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu: Herbivora, terdiri dari Herbivora A (Endogenus): memakan bahan tumbuhan yang hidup di air atau di dalam lumpur seperti alga, hifa jamur, dan alga biru. Herbivora B (Eksogenus): memakan bahan makanan dari tumbuhan yang jatuh ke dalam air seperti buah-buahan, biji-bijian, dan daun), golongan kedua: Carnivora, terdiri dari Predator 1 (Endogenus): memakan binatang-binatang yang kecil seperti nematoda, rotifera, endapan plankton dan invertebrata lainnya berupa detritus di dalam lumpur atau pasir, Predator 2 (Eksogenus): memakan larva serangga atau binatang air kecil lainnya, Predator 3: memakan binatang air yang lebih besar seperti udang, siput dan kepiting kecil, umumnya di dekat dasar air, dan Predator 4: memakan ikan lainnya. Golongan ketiga: Omnivora, memakan bahan makanan yang berasal dari binatang dan tumbuhan.

Ikan batak (Tor soro) tergolong Omnivora artinya memakan bahan makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan yang berasal dari tumbuhan yang


(35)

jatuh ke dalam air berupa buah, biji-bijian, dan daun-daunan (Simanjuntak, 2002). Menurut Kottelat et al., (1993) bahwa kebiasaan makan ikan berubah sesuai dengan perubahan umur, musim dan ketersediaan bahan makanan. Kebiasaan makan ikan berubah dalam daur hidupnya, biasanya bersamaan dengan perubahan-perubahan yang nyata dalam tingkah laku dan morfologinya serta komposisi dari suplai makan merupakan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan juga mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut (Nikolsky, 1963). Namun di alam seringkali ditemukan tumpang tindih yang disebabkan oleh keadaan habitat sekeliling tempat ikan itu hidup (Effendie, 1992).


(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Metode dalam penentuan stasiun untuk pengambilan sampel ikan adalah “Purposive Random Sampling” dengan menggunakan faktor ekologi sebagai pertimbangan utama. Survey awal dilaksanakan pada tanggal 30 Juli 2012, lokasi penelitian dibagi menjadi 5 stasiun. Pengambilan sampel ikan dilaksanakan di Perairan Sungai Asahan pada tanggal 12-15 November 2012. Identifikasi dan analisis isi lambung dilaksanakan pada bulan Januari 2013 di Laboratorium Ilmu Dasar (LIDA), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

3.2 Deskripsi Area Penelitian 3.2.1 Stasiun 1 ( Sungai Ponot)

Stasiun ini terletak di bawah air terjun Ponot, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02033’17,3” LU – 099018’23,8” BT. Banyak terdapat bebatuan, aliran air kecil serta air jernih dengan vegetasi pohon-pohon besar dan semak di tepi sungai. Lokasi penelitian pada stasiun 1 dapat dilihat seperti gambar di bawah ini :


(37)

3.2.2 Stasiun 2 (Sungai Baturangin)

Stasiun ini terletak di aliran air Baturangin, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02033’06,6” LU – 099018’

53,7” BT. Daerah ini merupakan bekas kawasan pertambangan batu dengan banyaknya bebatuan dan vegetasi semak di tepi sungai, dangkal, aliran air deras serta air jernih. Lokasi penelitian pada stasiun 2 dapat dilihat seperti gambar di bawah ini :

Gambar 3.2 Stasiun Sungai Baturangin 3.2.3 Stasiun 3 (Sungai Tangga)

Stasiun ini terletak di Tangga, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02033’34,4” LU – 099018’

36,7” BT. Daerah ini merupakan pertemuan aliran Sungai Ponot dan Sungai Baturangin dengan banyaknya bebatuan dan aliran air deras serta air jernih. Pada daerah ini terdapat Power house PLTA Inalum, vegetasi didominasi pohon-pohon besar, dan semak di tepi sungai. Lokasi penelitian pada stasiun 3 dapat dilihat seperti seperti gambar di bawah ini :


(38)

3.2.4 Stasiun 4 (Sungai Parhitean)

Stasiun ini terletak di Parhitean, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02033’53,0” LU – 099020’

05,9” BT. Daerah ini merupakan sungai utama dengan banyaknya batuan dan aliran air sangat deras, bebatuan di tepi sungai serta bersedimen lumpur, vegetasi pohon besar dan herba. Daerah ini dekat dengan kawasan pemukiman penduduk. Lokasi penelitian pada stasiun 4 dapat dilihat seperti gambar di bawah ini :

Gambar 3.4 Stasiun Sungai Parhitean 3.2.5 Stasiun 5 (Sungai Hula-huli)

Stasiun ini terletak di aliran air Hula-Huli, Kecamatan Aek Songsongan Kabupaten Toba Samosir, yang secara geografis terletak pada 02033’58,0” LU – 099022’

1,3” BT. Daerah ini merupakan aliran air sungai Parhitean dengan banyaknya batuan di tepi dan aliran air deras serta air jernih. Pada daerah ini terdapat perkebunan sawit sebelah kanan dan sebelah kiri terdapat hutan. Lokasi penelitian pada stasiun 5 dapat dilihat seperti gambar di bawah ini :


(39)

3.3 Prosedur kerja

3.3.1 Pengambilan Sampel Ikan dengan Electrofishing dan Jala

Sampel ikan di tangkap dengan menggunakan electrofishing dengan energi 12 Volt dan kuat arus 18 Ampere pada pagi hingga siang hari (± jam 9.00-14.00 wib). Electrofishing dioperasikan selama 30 menit secara acak sebanyak tiga kali ulangan dari hulu ke hilir di sepanjang tepi sungai atau di sekitar batu-batuan dengan jangkauan hingga 50 meter dan menempatkan jala di bawah aliran sungai untuk menampung sampel ikan hasil operasi electrofishing. Electrofhising bertujuan untuk mengumpulkan nekton dalam jumlah tertentu yang efektif digunakan di perairan mengalir, walaupun pada kasus tertentu dapat juga digunakan di perairan yang tenang.

Pengambilan sampel ikan juga dilakukan dengan menggunakan jala dengan ukuran luas 4 m2

3.3.2 Analisis Lambung

selama 30 menit yaitu dengan melemparkan ke arah badan sungai atau pinggir sungai dengan tiga kali ulangan. Hasil tangkapan sampel ikan segera difoto dengan kamera digital, dihitung jumlah ikan yang tertangkap, diukur panjang total dengan mistar dengan ketelitian 1 mm dimulai dari bagian ujung kepala sampai bagian paling ujung dari sirip ekor dan ditimbang berat ikan dengan timbangan digital dengan ketelitian 1 g.

Sampel ikan yang tertangkap dibedah di lokasi penelitian dengan menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus menuju bagian dorsal di bawah Linea lateralis dan menyusuri garis tersebut sampai ke bagian belakang operculum kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut. Saluran pencernaan dipisahkan dari organ dalam lainnya lalu dimasukkan ke dalam botol film untuk kemudian diawetkan dengan larutan formalin 4% kemudian botol berisi saluran pencernaan dimasukkan kedalam cool box berisi es batu dan nantinya akan dibawa ke laboratorium untuk analisis lebih lanjut.

Analisis lambung sampel ikan dilakukan di Laboratorium Ilmu Dasar (LIDA), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera


(40)

Utara. Saluran pencernaan sampel ikan diletakkan dan dikeringkan di atas kertas tissue dan didiamkan selama 5 menit setelah itu dilakukan pembedahan dengan menggunakan gunting untuk mengeluarkan isi lambung ikan dan meletakkannya pada cawan Petridis. Selanjutnya mengelompokkan berdasarkan jenisnya dan melakukan pengukuran volume masing-masing kelompok jenis makanan tersebut. Pengukuran volume dilakukan dengan menggunakan gelas ukur dengan cara mengisi gelas ukur dengan aquades sebanyak 2 ml (dihomogenkan), memasukkan jenis makanan yang telah dikelompokkan ke dalam gelas ukur dan mencatat penambahan volume yang dihasilkan. Pengukuran volume ini dilakukan pada setiap kelompok jenis makanan, untuk kemudian mengakumulasi volume total semua kelompok jenis makanan dan menghitung persentase masing-masing kelompok jenis makanan. Untuk mengamati jenis makanan tersebut diamati dibawah mikroskop. Jenis makanan sampel ikan diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Edmondson (1963), Sachlan (1982), dan Borror (1996).

3.4 Pengukuran Parameter Faktor Fisik-Kimia Perairan 3.4.1 Temperatur Air

Temperatur diukur dengan menggunakan Termometer air raksa yang berskala 0-500

3.4.2 Kecerahan

C dimasukkan ke dalam air sedalam kurang lebih 10 cm dan dibiarkan selama 3 menit. Selanjutnya termometer tersebut diangkat dan untuk menghindari perubahan, maka kemudian temperatur langsung dibaca (Barus, 2004).

Diukur dengan menggunakan keping secchi (Secchi disc) yang berbentuk bulat dengan diameter 20 cm yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping secchi tidak terlihat lagi dari permukaan, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air (Barus, 2004).


(41)

3.4.3 Arus Air

Pengukuran kecepatan arus air dengan menggunakan bola pingpong dengan menghanyutkan bola pingpong pada jarak tertentu (10 m) di permukaan air, dengan menggunakan stopwatch dihitung waktu yang ditempuh oleh bola pingpong pada jarak yang sudah ditentukan tersebut (Barus, 2004).

3.4.4 Intensitas Cahaya

Diukur dengan menggunakan Luxmeter yang diarahkan ke posisi cahaya matahari dengan posisi tegak lurus selama 5 menit dan selanjutnya membaca pada display nilai besarnya intensitas cahaya matahari pada Luxmeter.

3.4.5 pH (Derajat Keasaman)

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH-meter dengan cara memasukkan pH-meter ke dalam sampel air yang diukur selanjutnya angka yang tertera pada display stabil, langsung dibaca dan angka tersebut menunjukkan nilai pH air yang diukur pada pH-meter tersebut (Barus, 2004).

3.4.6 DO (Disolved Oxygen)

DO diukur dengan menggunakan metode winkler dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler 250 ml kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan dibolak balik secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol winkler kembali dibolak balik secara perlahan-lahan dan didiamkan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Diambil larutan dari botol winkler tersebut sebanyak 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, selanjutnya dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat sampai warna larutan berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Kemudian dilakukan titrasi kembali dengan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat hingga warna biru tepat hilang secara sempurna atau berwarna bening. Volume


(42)

natrium thiosulfat yang terpakai dihitung yang merupakan nilai DO akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2

3.4.7 BOD

dalam 1 liter air sampel. (Suin, 2002 ; Barus, 2004).

5

Pengukuran BOD

(Biochemichal Oxygen Demand)

5 dilakukan dengan mengambil sampel air yang akan

diukur nilai BOD5 dimasukkan kedalam botol winkler dan disimpan selama 5 hari

pada temperatur konstan 20 0C kemudian setelah 5 hari dilakukan dengan

prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler 250 ml kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan dibolak balik secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol winkler kembali dibolak balik secara perlahan-lahan didiamkan dan didapatkan larutan warna coklat. Diambil larutan dari botol winkler tersebut sebanyak 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, selanjutnya dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat sampai warna larutan berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Kemudian dilakukan titrasi kembali dengan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat hingga warna biru tepat hilang secara sempurna atau berwarna bening. Volume natrium thiosulfat yang terpakai dihitung yang merupakan nilai DO akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2 dalam 1 liter air

sampel. Selisih nilai DO awal dan akhir adalah merupakan nilai BOD5

3.4.8 Nitrat (NO

dari sampel air tersebut (Suin, 2002 ; Barus, 2004).

3

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan 1 ml NaCl selanjutnya ditambahkan 5 ml H

)

2SO4 dan 4 tetes asam Brucine Sulfat Sulfanik. Larutan ini dipanaskan selama 25 menit pada suhu 95 0C kemudian didinginkan dan selanjutnya kandungn nitrat dapat diukur dengan spektrofotometri pada λ = 410 nm (Suin, 2002).


(43)

3.4.9 Fosfat (PO4

3-Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan reagen Amstrong sebanyak 2 ml selanjutnya ditambahkan 1 ml asam askorbat. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian konsentrasi fosfat dapat diukur dengan spektrofotometri pada λ = 880 nm (Suin, 2002).

)

Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan

No Parameter Alat Satuan Keterangan

1 Fisik:

Temperatur Termometer Air raksa 0C In-situ

Kecerahan Keping secchi cm In-situ

Arus air

Intensitas Cahaya

Bola pingpong Luxmeter

m/s Candela

In-situ In-situ

2 Kimia:

pH pH meter - In-situ

DO DO meter mg/l In-situ

BOD5 Botol Winkler mg/l Ek-situ

Nitrat (NO3) Spektrofotometri mg/l Ek-situ

Fosfat (PO43-) Spektrofotometri mg/l Ek-situ

3 Biologi:

Ikan Mistar (Panjang ikan)

Timbangan digital (Berat ikan)

mm g

In-situ In-situ


(44)

3.5 Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk mengetahui hubungan panjang dan berat, faktor kondisi dan isi lambung ikan batak (Tor soro) terhadap faktor fisik kimia di Perairan Sungai Asahan, Sumatera Utara.

3.5.1 Analisis Hubungan Panjang dan Berat

Menurut Wahyuningsih dan Barus (2006) pengukuran panjang ikan dilakukan dari satu titik ke titik lain tanpa melalui lengkungan badan, panjang total (TL) diukur mulai dari bagian terdepan moncong/bibir (premaxillae) hingga ujung ekor (Caudal fin). Analisis panjang dan berat ikan bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Untuk mempermudah dalam pengolahan data dalam mencari hubungan panjang dan berat digunakan Microsoft Excel 2007. Untuk mencari hubungan antar panjang total ikan dengan beratnya digunakan persamaan sebagai berikut :

W = a L b atau :

dimana :

Log W = Log a + b Log L (Effendie, 1992)

W = berat ikan dalam (g)

L = panjang total ikan dalam (mm) a dan b = konstanta

Arti Nilai b adalah: Bila b=3 berarti pertumbuhan bersifat isometrik atau baik, karena antara pertumbuhan berat dan panjang sebanding atau kondisi ikan ideal. Bila b lebih besar atau lebih kecil dari 3 berarti pertumbuhan ikan bersifat alometrik atau kurang baik karena pertumbuhan berat dan panjang tidak sebanding, artinya kondisi ikan kurang baik. Alometrik ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu: bila b < 3 berarti pertumbuhan panjang lebih cepat dibanding pertumbuhan berat sehingga ikan tampak kurus atau tidak normal karena terlihat terlalu panjang (alometrik negatif) dan bila b > 3 berarti pertumbuhan berat lebih


(45)

cepat dibanding pertumbuhan panjang sehingga ikan tampak tidak normal karena terlalu gemuk (alometrik positif).

3.5.2 Faktor Kondisi

Faktor kondisi (K) dihitung berdasarkan pada panjang dan berat ikan sampel. Apabila pertumbuhan ikan isometrik (b=3), maka faktor kondisi menggunakan rumus (Effendie, 1997) :

Keterangan :

K = Faktor kondisi

W = Berat rata-rata ikan dalam satu stasiun (g) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu stasiun (mm)

Ikan yang mempunyai pertumbuhan bersifat alometrik apabila b lebih besar atau lebih kecil dari 3, maka persamaan yang digunakan adalah :

Keterangan :

K = Faktor kondisi

W = Berat rata-rata ikan dalam satu stasiun (g) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu stasiun (mm) a dan b = Konstanta

Apabila nilai K berkisar antara 2-4, maka tubuh ikan tergolong agak pipih dan nilai K < 2 menyatakan tubuh ikan tergolong kurang pipih. Variasi nilai K bergantung kepada makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad. Semakin besar nilai K maka dapat dikatakan faktor kondisinya baik (Effendie, 1997).


(46)

3.5.3 Kebiasaan Makanan

Analisis kebiasaan makanan menggunakan metode Indeks Bagian Terbesar atau Index of Preponderance (IP) yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Persentase frekuensi kejadian suatu jenis makanan dihitung berdasarkan jumlah kejadian ditemukannya suatu jenis organisme makanan pada lambung ikan. Rumus Index of Preponderance oleh Natarajan dan Jhingran dalam Effendie (1992) yaitu:

dimana :

IP = Index of Preponderance (Indeks Bagian Terbesar) (%) Vi = Persentase volume satu macam makanan (%)

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan (%)

= Jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan (%)

Berdasarkan nilai IP, Nikolsky (1963) membedakan makanan ikan ada tiga golongan, yaitu: makanan utama, jika nilai IP > 40%, makanan pelengkap, jika nilai IP 4-40 %, dan makanan tambahan, jika nilai IP < 4 %.

3.5.4 Analisis korelasi (r) antar faktor fisik-kimia lingkungan dengan jenis makanan yang ditemukan dalam lambung Ikan Batak (Tor soro)

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara jenis makanan yang dimakan ikan batak (Tor soro) dengan faktor fisik-kimia lingkungan di Sungai Asahan. Analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS ver.16.00 (Santoso, 2008).


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hubungan Panjang dan Berat Ikan Batak (Tor soro)

Jumlah ikan batak (Tor soro) tertangkap sebanyak 65 ekor dari kelima stasiun penelitian dengan kisaran panjang 42-160 mm dan kisaran berat 1- 44,3 g. Analisis pola pertumbuhan ikan batak (Tor soro) menggunakan pendekatan parameter panjang dan berat. Berat dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang, dimana hubungan antara keduanya hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya (Effendie, 1997). Hubungan panjang dan berat ikan batak (Tor soro) disajikan pada Tabel 4.1. berikut:

Tabel 4.1 Hubungan Panjang dan Berat Ikan Batak (Tor soro)

No Stasiun n (ekor)

a b Pola

Pertumbuhan 1 Sungai Ponot 12 9,5235 x 10-6 3,0479 Alometrik positif 2 Sungai Baturangin 12 1,0894 x 10-5 2,9960 Alometrik negatif 3 Sungai Tangga 22 1,0444 x 10-4 2,3943 Alometrik negatif

4 Sungai Parhitean 10 4,8183 x 10-5 2,6812 Alometrik negatif 5 Sungai Hula-huli 9 3,0775 x 10-5 2,7367 Alometrik negatif

Berdasarkan hasil hubungan panjang dan berat ikan batak (Tor soro) diperoleh nilai b (Tabel 4.1), nilai b adalah indikator pertumbuhan yang menggambarkan kecenderungan pertambahan panjang dan berat ikan. Nilai b berkisar antara 2,3943-3,0479. Nilai b tertinggi diperoleh pada stasiun Sungai


(48)

Ponot dengan b = 3,0479 dengan b>3 maka nilai b bersifat alometrik positif berarti pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. Keempat stasiun lainnya yaitu: Sungai Baturangin (b=2,9960), Sungai Hula-huli (b=2,7367), Sungai Parhitean (b=2,6812) dan Sungai Tangga (b=2,3943) dimana nilai b<3 maka nilai b bersifat alometrik negatif, yang berarti pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan berat. Perbedaan nilai b hasil penelitian pada Sungai Asahan mungkin karena pada saat ini banyak aktifitas masyarakat yang terjadi di sekitar Sungai Asahan, seperti pemukiman, persawahan, dan objek wisata yang mempengaruhi kondisi lingkungan sungai berubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Merta (1993), secara ekologis kondisi lingkungan akan berpengaruh terhadap pertambahan panjang maupun berat. Kondisi ekologis tersebut terkait erat dengan ketersediaan makanan dan dinamika kualitas perairan.

Hubungan panjang dan berat melalui nilai b tidak selalu bernilai tetap, nilainya dapat berubah dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, hal ini dikarenakan faktor ekologis dan biologis yang mempengaruhi suatu ikan di suatu perairan (Taunay et al.,2013). Menurut Effendi (1979), perbedaan nilai b pada setiap ikan dipengaruhi oleh ikan itu sendiri, kondisi perairan, tingkat kedewasaan ikan, musim dan waktu penangkapan.

Hubungan panjang dan berat ikan yang sejenis dengan ikan batak (Tor soro) adalah ikan jurung (Tor sp) juga bervariasi pada penelitian Wahyuningsih dan Dedi (2003) di Sungai Bahorok Langkat dimana didapatkan nilai b pada bulan Juli (3,8056), bulan Agustus (1,8339), dan bulan September (1,3865). Shukor et al., (2008) menyatakan bahwa ikan yang hidup diperairan arus deras umumnya memiliki nilai b yang rendah dan sebaliknya ikan yang hidup pada perairan tenang akan menghasilkan nilai b yang tinggi. Hal ini terkait dengan alokasi energi yang dikeluarkan untuk pergerakan dan pertumbuhan (Muchlisin, 2010).


(49)

Grafik hubungan panjang dan berat ikan batak (Tor soro) pada kelima stasiun dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4.1 Hubungan Panjang dan Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 1 (Sungai Ponot)

Gambar 4.2 Hubungan Panjang dan Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 2 (Sungai Baturangin)


(50)

Gambar 4.3 Hubungan Panjang dan Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 3 (Sungai Tangga)

Gambar 4.4 Hubungan Panjang dan Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 4 (Sungai Parhitean)

Gambar 4.5 Hubungan Panjang dan Berat Ikan Batak (Tor soro) pada Stasiun 5 (Sungai Hula-huli)


(51)

Dari kelima grafik hubungan panjang dan berat ikan batak (Tor soro) di atas diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) pada stasiun 1 (Sungai Ponot) sebesar 0,921, stasiun 2 (Sungai Baturangin) sebesar 0,985, stasiun 3 (Sungai Tangga) sebesar 0,619, stasiun 4 (Sungai Parhitean) sebesar 0,951) dan stasiun 5 (Sungai Hula-huli) sebesar 0,932. Nilai koefisien determinasi (R2) dari hubungan panjang dan berat ikan batak (Tor soro) relatif cukup besar, besarnya nilai tersebut yang mendekati nilai 1 menunjukkan bahwa hubungan antara panjang dan berat ikan batak (Tor soro) sangat erat. Berdasarkan koefisien determinasi (R2) di atas bahwa faktor yang mempengaruhi berat ikan batak (Tor soro) adalah panjang ikan sebagai faktor utama dan faktor pendukung lain seperti faktor fisika-kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, arus air, intensitas cahaya, pH, DO, BOD5

Dari hubungan panjang dan berat ikan batak (Tor soro) didapat nilai koefisien korelasi (r) pada setiap stasiun maka diperoleh nilai (r) secara berurutan yaitu: 0,992 (Sungai Baturangin), 0,975 (Sungai Parhitean), 0,965 (Sungai Hula-huli), 0,959 (Sungai Ponot), dan 0,786 (Sungai Tangga). Nilai koefisien korelasi (r) tersebut dapat menunjukkan keeratan hubungan antara panjang total dengan berat tubuh ikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Walpole (1995) bahwa jika nilai r mendekati 1 maka terdapat hubungan yang kuat antara kedua variabel, akan tetapi apabila r mendekati 0 maka hubungan keduanya sangat lemah atau hampir tidak ada. Dapat diambil kesimpulan bahwa nilai koefisien korelasi (r) pada stasiun Sungai Baturangin, Sungai Parhitean, Sungai Hula-huli, Sungai Ponot, dan Sungai Tangga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara panjang tubuh dengan berat tubuh ikan batak (Tor soro) di sungai Asahan.

, Nitrat dan Posfat.


(52)

4.2 Faktor Kondisi (K)

Faktor kondisi dihitung untuk menilai kesehatan ikan secara umum, dan kondisi fisiologi dari populasi ikan (Richter, 2007). Perhitungan faktor kondisi ini didasarkan pada panjang dan berat ikan Nilai faktor kondisi ini menunjukka n keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup (survival) dan reproduksi (Effendie, 1997). Nilai Faktor Kondisi ikan batak (Tor soro) disajikan pada Tabel 4.2. berikut:

Tabel 4.2 Nilai Faktor Kondisi Ikan Batak (Tor soro)

No. Stasiun Lrataan (mm) Wrataan (g) K = W/aLb

1 Sungai Ponot 112,5 21,4 1,2587

2 Sungai Baturangin 90,5 12,5667 1,5847

3 Sungai Tangga 55,2272 1,7181 1,1091

4 Sungai Parhitean 91 9,93 1,1519

5 Sungai Hula-huli 74,4444 4,2888 1,0510

Berdasarkan hasil nilai faktor kondisi ikan batak (Tor soro) diperoleh nilai K (Tabel 4.2). Nilai faktor kondisi (K) ikan batak (Tor soro) pada kelima stasiun berkisar antara 1,0510-1,5847. Nilai faktor kondisi terbesar (1,5847) terdapat pada stasiun Sungai Baturangin dan terendah (1,0510) terdapat pada stasiun Sungai Hula-huli. Faktor kondisi terendah pada stasiun Sungai Hula-huli diakibatkan karena letak stasiun tersebut yang terjal dan memiliki arus yang deras sehingga


(53)

menyebabkan ikan yang ada pada stasiun tersebut harus mengeluarkan lebih banyak energi untuk penyesuaian terhadap kondisi lingkungan.

Fluktuasi nilai faktor kondisi diduga karena proses pertumbuhan ikan batak (Tor soro) pada setiap stasiun penelitian dipengaruhi oleh faktor ekologi berbeda satu sama lain. Besarnya nilai faktor kondisi tergantung pada banyak hal antara lain jumlah organisme yang ada, kondisi organisme, ketersediaan makanan, dan kondisi lingkungan perairan. Semakin tinggi nilai faktor kondisi menunjukkan adanya kecocokan antara ikan dengan lingkungannya (Effendie, 1979). Kisaran faktor kondisi ikan batak (Tor soro) dari kelima stasiun penelitian yang diperoleh termasuk dalam kategori kurang pipih karena semua nilai K stasiun dibawah nilai 2 (dua).

4.3 Kebiasaan Makanan

Makanan adalah organisme, bahan, maupun zat yang dimanfaatkan ikan ntuk menunjang pertumbuhan organ tubuhnya. Mengetahui jenis dan jumlah makanan dapat menentukan makanan utama yaitu makanan yang dimanfaatkan dalam jumlah besar, makanan pelengkap yaitu makanan yang dimanfaatkan dalam jumlah yang sedikit, dan makanan tambahan yang dimanfaatkan dalam jumlah yang sangat sedikit. Hasil analisis isi lambung, diperoleh 46 jenis makanan ikan batak (Tor soro) pada (Tabel 4.3). Jenis makanan yang ditemukan pada ikan batak (Tor soro) sangat bervariasi selain plankton, juga ditemukan potongan tubuh serangga (ekor dan kaki). Nilai IP (Index of Prepoderance) dari ikan batak (Tor soro) disajikan pada Tabel 4.3.


(54)

Tabel 4.3 Nilai IP (Index of Prepoderance) makanan Ikan Batak (Tor soro) pada kelima stasiun penelitian

No Jenis Makanan Index of Prepoderance (%)

Sungai Ponot

Sungai Baturangin

Sungai Tangga

Sungai Parhitean

Sungai Hula-huli

I Kelas

Bacillariophyceae

1 Cocconeis 0,20

2 Amphora 0,37 0,74

3 Cymbella 1,83 47,57 0,06 0,95

4 Fragilaria 0,39 11,24 0,06 21,03

5 Tabellaria 0,26 0,06 0,053

6 Ghomphonema 1,33 0,06

7 Caloneis 0,02 0,13

8 Frustulia 0,81 0,09 0,03 0,053

9 Mastogloia 2,55 0,02

10 Navicula 33,05 8,93 0,06 0,74

11 Stauroneis 0,72 7,19

12 Bacillaria 0,22 0,11

13 Nitzschia 1,37 4,51 0,19 0,19 0,53

14 Rhopalodia 0,13

15 Diatoma 14,04 1,03 1,27

16 Amphipora 0,06 5,36 1,89

17 Anomoeneis 0,02

18 Gyrosigma 0,02

19 Pinnularia 0,09

20 Surirella 0,26


(55)

No

Jenis Makanan Index of Prepoderance (%)

Sungai Ponot

Sungai Baturangin

Sungai Tangga

Sungai Parhitean

Sungai Hula-huli

22 Melosira 8,58 13,70 0,053

23 Opephora 0,06 1,37

24 Synedra 0,03

25 Neidium 0,11

II Kelas

Chlorophyceae

26 Cladophora 47,01 0,24 62,29 71,11

27 Chaetophora 0,13

28 Tetraedron 0,06

29 Zygnema 0,41

30 Sphaeroplea 3,12

31 Ulotrix 0,78 1,12 0,69

32 Gonatozygon 1,95 0,37

33 Mougeotia 2,34 0,16

34 Spyrogira 7,41

35 Staurastrum 0,03

36 Netrium 0,09

III Kelas

Xanthophyceae

37 Vaucheria 51,46

38 Characiopsis 0,09

39 Tribonema 1,36


(56)

Cyanophyceae

40 Spirulina 0,06 0,40

41 Phormidium 0,12

V Kelas

Cryptophyceae

42 Bangia 9,75

43 Kyliniella 0,65

44 Thiotrix 17,33

VI Kelas Insecta

45 Ekor serangga 4,29 9,97 0,053

46 Kaki serangga 4,29 4,76

Jumlah 100 100 100 100 100

Jumlah Jenis Makanan 16 23 13 22 15

Dari nilai IP (Index of preponderance) pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.6 menunjukkan bahwa jenis makanan yang dimakan ikan batak (Tor soro) pada stasiun 1 (Sungai Ponot) terdiri dari 3 kelas yaitu: Chlorophyceae, Bacillariophyceae, dan Cryptophyceae. Makanan utama ikan batak (Tor soro) pada stasiun 1 (Sungai Ponot) berasal dari kelas Chlorophyceae (Cladophora) dengan IP (47,01%), makanan pelengkap berasal dari kelas Bacillariophyceae (Navicula) dengan IP (33,05%), kelas Cryptophyceae (Bangia) dengan IP (9,75%), sedangkan makanan tambahan berasal dari kelas Bacillariophyceae (Mastogloia, Cymbella, Nitzschia, Ghomphonema, Frustulia, Stauroneis, Fragilaria, Amphora, Tabellaria, Bacillaria, Cocconeis, Caloneis) dan kelas Chlorophyceae (Chaetophora). Jenis makanan yang dimakan ikan batak (Tor soro) pada stasiun 1 (Sungai Ponot) terdiri dari 3 kelas yaitu: Chlorophyceae, Bacillariophyceae, dan Cryptophyceae.


(57)

Gambar 4.6 Diagram Komposisi Makanan Ikan Batak (Tor soro) di stasiun 1 (Sungai Ponot)

Berdasarkan hasil perhitungan IP (Index of preponderance) pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.7 menunjukkan bahwa jenis makanan yang dimakan ikan batak (Tor soro) pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) terdiri dari 6 kelas yaitu: Bacillariophyceae, Proteobacteria, Clorophyceae, Cryptophyceae, Cyanophyceae dan Xanthophyceae. Makanan utama ikan batak (Tor soro) pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) berasal dari kelas Bacillariophyceae (Cymbella) dengan IP (47,57%), makanan pelengkap berasal dari kelas Bacillariophyceae (Fragilaria, Navicula, Stauroneis, Nitzschia) dengan IP berturut-turut (11,24%, 8,93%, 7,19%, 4,51%), dan kelas Proteobacteria (Thiotrix) dengan IP (17,33%), sedangkan makanan tambahan berasal dari kelas Bacillariophyceae (Amphora, Surirella, Rhopalodia, Calonies, Diatoma, Frustulia, Pinnularia, Ghomphonema, Amphipora, Mastogloia Anomoeneis, Gyrosigma), kelas Cryptophyceae (Kyliniella), kelas Chlorophyceae (Zygnema, Cladophora, Tetraedron) kelas Cyanophyceae (Spirulina,), dan kelas Xanthophyceae (Characiopsis).


(58)

Gambar 4.7 Diagram Komposisi Makanan Ikan Batak (Tor soro) di stasiun 2 (Sungai Baturangin)

Dari hasil perhitungan IP (Index of preponderance) pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.8 menunjukkan bahwa jenis makanan yang dimakan ikan batak (Tor soro) pada stasiun 3 (Sungai Tangga) terdiri dari 5 kelas yaitu: Xanthophyceae, Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Insecta, dan Cyanophyceae. Makanan utama ikan batak (Tor soro) pada stasiun 3 (Sungai Tangga) berasal dari kelas adalah Xanthophyceae (Vaucheria) dengan IP (51,46%), makanan pelengkap berasal dari kelas Bacillariophyceae (Diatoma, Melosira) dengan nilai IP berturut-turut (14,04%, 8,58%,), kelas Chlorophyceae (Spyrogira) dengan IP (7,41%) dan kelas Insecta (Ekor serangga dan Kaki serangga) dengan nilai IP (4,29%), sedangkan makanan tambahan berasal dari kelas Bacillariophyceae (Coscinodiscus, Nitzschia), kelas Chlorophyceae (Ulotrix, Sphaeroplea, Mougeotia, Gonatozygon) dan kelas Cyanophyceae (Tribonema).


(59)

Gambar 4.8 Diagram Komposisi Makanan Ikan Batak (Tor soro) di stasiun 3 (Sungai Tangga)

Dari hasil perhitungan IP (Index of preponderance) pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.9 menunjukkan bahwa jenis makanan yang dimakan ikan batak (Tor soro) pada stasiun 4 (Sungai Parhitean) terdiri dari 4 kelas yaitu:, Chlorophyceae, Bacillariophyceae, Insecta, dan Cyanophyceae Makanan utama ikan batak (Tor soro) pada stasiun 4 (Sungai Parhitean) berasal dari kelas Chlorophyceae (Cladophora) dengan IP (62,29%), makanan pelengkap berasal dari kelas Bacillariophyceae (Melosira, Amphipora) dengan IP berturut-turut (13,7%, 5,36%), kelas Insecta (Ekor Serangga, Kaki Serangga) dengan IP berturut-turut

(9,97%, 4,36%) sedangkan makanan tambahan berasal dari kelas

Bacillariophyceae (Diatoma, Nitzschia, Cymbella, Fragilaria, Opephora, Tabellaria, Navicula, Coscinodiscus, Synedra, Frustulia), kelas Chlorophyceae (Ulothrix, Gonatozygon, Mougeotia, Netrium, Staurastrum), kelas Cyanophyceae (Spirulina, Phormidium).

Gambar 4.9 Diagram Komposisi Makanan Ikan Batak (Tor soro) di stasiun 4 (Sungai Parhitean)


(1)

Melosira Pearson Correlati on

.504 .074 -.585 .579 .229 -.840 -.891 -.024 .385

Spyrogira Pearson Correlati on

-.063 -.308 -.185 -.372 -.612 .659 .728 .612 .131

Vaucheria Pearson Correlati on

-.063 -.308 -.185 -.372 -.272 -.132 -.515 .612 .131

Ekor serangga Pearson Correlati on

.554 .139 -.581 .685 .296 -.860 -.837 -.147 .380

Kaki serangga Pearson Correlati on


(2)

Lampiran J. Foto jenis makanan yang terdapat dalam lambung ikan batak

(Tor soro)

Cladophora Vaucheria

(Perbesaran 40 x) (Perbesaran 40 x)

Navicula Cymbella

(Perbesaran 40 x) (Perbesaran 40 x)

Zygnema Tribonema


(3)

Lampiran K. Foto Peneliti dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Air

Sungai Asahan dan Pengambilan Sampel ikan batak (Tor

soro) serta Analisis Lambung di Laboratorium LIDA USU

Pengambilan air sampel Titrasi DO di lokasi Penangkapan ikan

Pengukuran panjang Pengukuran berat Pembedahan ikan

Usus ikan Pengamatan lambung Pengamatan Mikroskop


(4)

Lampiran L. Peraturan Pemerintah No. 82/2001 (Baku Mutu Air)

LAMPIRAN

PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR 82 TAHUN 2001

TANGGAL 14 DESEMBER 2001

TENTANG

PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN

PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas

PARAMETER SATUAN KELAS KETERANGAN

I II III IV

FISIKA

Temperatur 0 Deviasi 3

C Deviasi

3

Deviasi 3

Deviasi 5

Deviasi

temperatur dari keadaan alamiahnya Residu Terlarut mg/L 1000 1000 1000 2000

Residu Tersuspensi

mg/L 50 50 400 400 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, residu

tersusupensi ≤ 5000 mg/L

KIMIA ANORGANIK

pH 6-9 6-9 6-9 5-9 Apabila secara alamiah di luar


(5)

rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah

BOD mg/L 2 3 6 12

COD mg/L 10 25 50 100

DO mg/L 6 4 3 0 Angka batas

minimum Total Fosfat sbg P mg/L 0,2 0,2 1 5

NO3 sebagai N mg/L 10 10 20 20

NH3-N mg/L 0,5 (-) (-) (-) Bagi perikanan,

kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka ≤ 0,02 mg/L sebagai NH3

Arsen mg/L 0,05 1 1 1

Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2 Barium mg/L 1 (-) (-) (-)

Boron mg/L 1 1 1 1

Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05 Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01 Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01

Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Cu ≤ 1 mg/L

Besi mg/L 0,3 (-) (-) (-) Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe ≤ 1 mg/L


(6)

Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 1 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb ≤0, 1 mg/L Mangan mg/L 0,1 (-) (-) (-)

Air Raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005

Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Zn ≤ 5 mg/L

Khlorida mg/L 600 (-) (-) (-) Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 (-) Fluorida mg/L 0,5 1,5 1,5 (-)

Nitrit sebagai N mg/L 0,06 0,06 0,06 (-) Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2_N ≤ 1 mg/L

Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-)

Khlorin bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 (-) Bagi ABAM tidak

dipersyaratkan Belerang sebagai

H2

mg/L S

0,002 0,002 0,002 (-) Bagi pengolahan air minum secara konvensional, H2S ≤0, 1 mg/L

Keterangan:

ABAM = Air Baku untuk Air Minum, Logam berat merupakan logam terlarut.

Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH dan DO. Bagi pH

merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih dari nilai yang

tercantum. Nilai DO merupakan batas minimum.

Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termasuk, parameter tersebut tidak

dipersyaratkan