147 mematuhi kearifan lokal tersebut. Untuk itu, pembahasan ini akan melihat konflik
yang terjadi antara kedua komunitas nelayan tersebut dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
Pada pembahasan konflik antar nelayan di Kabupaten Bengkalis ini akan menjelaskan beberapa hal yang dipandang penting, antara lain: penyebab-
penyebab utama konflik, cara pandang pihak yang terlibat konflik baik dari segi nelayan tradisional rawai, kelompok nelayan jaring batu bottom gill net serta
pemerintah Kabupaten Bengkalis dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan. Selain itu, juga dilihat bagaimana pemetaan konflik yang selama ini terjadi, yang
didalamnya menitikberatkan pada langkah-langkah yang telah ditempuh pihak yang berkonflik, serta keterlibatan pihak-pihak tertentu di sekitar konflik.
Pemaparan tentang hal-hal tersebut dipandang penting karena untuk lebih memjelas melihat bagaimana kondisi yang terjadi pada pihak-pihak yang terlibat
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis.
6.4.1 Penyebab-Penyebab Utama Konflik antar Nelayan
Konflik antar nelayan di Kabupaten Bengkalis terus saja terjadi, konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan terutama pada
wilayah perairan Pulau Bengkalis yaitu sepanjang 12 mil laut dari Tanjung Sekodi sampai dengan Tanjung Jati. Dari kondisi yang ada ditemukan beberapa
faktor yang menyebabkan konflik tersebut. Konflik yang terjadi pada umumnya antara masyarakat nelayan tradisional Kecamatan Bantan yang tergabung dalam
organisasi Solidaritas Nelayan Kecamatan Bantan SNKB yang mengedepankan kearifan lokal merawai dengan nelayan yang berasal dari kecamatan lain di
Kabupaten Bengkalis, antara lain Kecamatan Bengkalis Desa Meskom, Kecamatan Rangsang, Kecamatan Merbau dan Kecamatan Tebing Tinggi.
Disamping itu juga nelayan yang berasal dari kabupatenkota lain seperti Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, juga nelayan dari Provinsi Kepulauan Riau.
Nelayan-nelayan tersebut menggunakan teknologi alat tangkap yang lebih maju bottom gill net, kelompok pengguna alat tangkap ini lebih dikenal dengan
komunitas nelayan jaring batu. Konflik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan ini telah berlangsung sangat lama yaitu dimulai pada tahun 1985 sampai sekarang.
148 Konflik ini dilatarbelakangi karena pemahaman yang berbeda cara pandang
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. 6.4.2 Cara Pandang Kelompok-Kelompok yang Terlibat Konflik
Seperti telah dijelaskan pada bagian di atas, berkepanjangannya konflik dari tahun 1985 sampai sekarang belum sampai pada penyelesaian secara tuntas.
Dilihat dari kondisi dan permasalahan yang ada, bahwa konflik yang terjadi dikarenakan pihak-pihak yang bertikai mempunyai pandangan persepsi yang
berbeda dalam pengelolaan perairan dan sumberdaya perikanan khususnya pada wilayah perairan dari Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi di Kabupaten
Bengkalis. 1. Cara Pandang Kelompok Nelayan Tradisional Rawai
Dari perbedaan pemahaman yang diyakini masing-masing komunitas nelayan, komunitas nelayan tradisional rawai beranggapan bahwa perairan Pulau
Bengkalis dari Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi adalah daerah perlindungan dan merupakan wilayah Hak ulayat laut HUL yang dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan harus sesuai dengan kearifan lokal. Yaitu dengan penggunaan alat penangkapan ikan tertentu saja rawai atau alat tangkap
lain yang dianggap tidak merusak keberlangsungan sumberdaya perikanan. Cara pandang kelompok nelayan tradisional ini sebenarnya sudah menjadi suatu
pertimbangan yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan agar tetap terjaga keberlangsungannya seperti yang dikemukakan Murdiyanto 2004 bahwa
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan agar tetap terjaga keberlanjutannya perlu dipertimbangkan pembatasan penggunaan alat tangkap yang menyangkut
jenis, spesifikasi, ukuran alat dan metode pengopersiannya. Disamping itu diperlukan juga pembatasan ikan yang ditangkap, penggunaan tipe alat tangkap
tertentu di daerah dan waktu tertentu. Untuk legalisasi kearifan lokal yang ada, beliau juga menambahkan bila perlu aturan-aturan tradisional yang sifatnya positif
yang berlaku di desa-desa secara kultural harus diangkat menjadi peraturan yang berkuatan hukum positif dan berlaku pada tingkat yang lebih luas di kecamatan
atau kabupaten. Secara lebih rinci cara pandang kelompok nelayan tradisional rawai dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah sebagai berikut:
149 1.
Wilayah perairan laut Kabupaten Bengkalis Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi merupakan wilayah hukum adat yang harus dapat
dimanfaatkan pada masa sekarang serta dijaga keberlanjutannya sampai masa yang akan datang.
2. Sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis Tanjung Jati sampai
dengan Tanjung Sekodi harus dapat meningkatkan taraf hidup secara berkelanjutan sehingga pengelolaan dan pemanfaatannya harus dilakukan
secara arif dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, pengaturan jam kerja melaut serta dilakukan usaha pemulihan kondisi laut
dalam bentuk acara adat yang disebut semah laut. 3.
Penggunaan jaring batu bottom gill net dan jenis alat tangkap perusak lainnya bisa mengganggu keberlangsungan sumberdaya perikanan. Karena
sifat dari jaring batu dinamis bergerak serta mencapai dasar laut dan ikan yang dipanen merupakan ikan yang berada di dasar laut yang pada
umumnya ikan dalam keadaan bertelur yang merupakan induk sehingga harus dijaga keberadaannya.
4. Sementara rawai adalah alat tangkap statis tidak bergerak sehingga ikan
yang tertangkap adalah benar-benar ikan yang lagi kelaparan butuh makanan karena rawai dalam penggunaannya dengan menggunakan
umpan dan disamping digunakan untuk memanfaatkanmenangkap ikan juga sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk melestarikan ikan.
5. Dengan menggunakan rawai secara tidak langsung ikut menjaga
keberlanjutan sumberdaya perikanan, karena rawai hanya berbentuk pancing dan menggunakan umpan dan tidak semua umpan yang dimakan
ikan tertangkap oleh rawai. 6.
Nelayan tradisional rawai tidak melarang penggunaan jaring batu asalkan di luar wilayah Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi perairan
Pulau Bengkalis karena wilayah tersebut diyakini sebagai wilayah hukum adat. Secara lebih jelas cara pandang kelompok nelayan tradisional rawai
dituangkan dalam pernyataan sikap nelayan Kecamatan Bantan dapat dilihat pada Lampiran 1. Sistem masyarakat nelayan tradisional rawai di
150 Kabupaten Bengkalis dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan laut dapat dilihat pada Gambar 29.
2. Cara Pandang Komunitas Nelayan Jaring Batu Bottom Gill Net
Pada sisi yang lain komunitas nelayan pengguna jaring batu bottom gill net
mempunyai persepsi yang berbeda bahkan sebaliknya dari nelayan rawai.
Cara pandang kelompok nelayan jaring batu sebagai berikut: 1.
Sumberdaya perikanan laut yang ada harus dapat meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu pengelolaan dan pemanfaatannya harus
Hukum adat lokal
Komunitas nelayan tradisional rawai
Sumberdaya perikanan Kab. Bengkalis
Tj. Jati sd Tj. Sekodi 1. Harus dapat
meningkatkan taraf hidup
2. Menjaga konservasi
3. Tahu akan Teknologi
4. Wilayah hukum adat
Pengaturan penggunaan alat tangkap
Pengaturan kegiatan ritual laut
Pengaturan penggunaan jam kerja melaut
Pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan Sumberdaya
perikanan terjaga
Gambar 29 Sistem masyarakat nelayan tradisional rawai di Kabupaten Bengkalis dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan laut.
Sumber: Survey 2006
151 dilakukan secara optimal dengan menggunakan alat penangkapan dengan
penerapan teknologi yang lebih maju. 2.
Dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan tidak ada larangan atau batasannya karena sifat dari laut merupakan sumberdaya
milik bersama common proferty dan terbuka untuk siapa saja yang ingin memanfaatkannya open acces. Penggunaan jaring batu bottom gill net
bukan merupakan alat tangkap yang dilarang di Indonesia, tidak seperti halnya trawl. Hal ini memang dibuktikan dengan tidak ada satupun
Undang-undang yang mengatur tentang pelarangan penggunaan jaring batu bottom gill net di Perairan Indonesia.
3. Pada umumnya ikan yang ditangkap oleh alat tangkap ikan yang besar
sesuai dengan lebar mata jaring bekisar antara 5-7 inci, jadi tidak menggangu kehidupan ikan-ikan yang kecil. Secara lebih jelas cara
pandang kelompok nelayan jaring batu dituangkan dalam bentuk pernyataan sikap masyarakat nelayan jaring batu Kabupaten Bengkalis
dapat dilihat pada Lampiran 2. Cara pandang masyarakat nelayan jaring batu bottom gill net dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan laut dapat dilihat pada Gambar 30. Persepsi yang berbeda pada kedua belah pihak yang terlibat konflik sangat
sulit diatasi, karena kedua komunitas nelayan mempunyai kepentingan yang sama yaitu bagaimana dapat melakukan penangkapan di perairan yang banyak populasi
ikan kuraunya. Hal ini terbukti meskipun tidak dapat diketahui secara pasti berapa jumlah ikan kurau yang ada di perairan Pulau Bengkalis, namun disisi lain dapat
dilihat bahwa pada perairan lain di Provinsi Riau dan juga Provinsi Kepulauan Riau keberadaan ikan kurau ini sangat langka. Hal ini ditunjukkan pada umumnya
wilayah dimana tempat para nelayan jaring batu ini bermukim juga merupakan wilayah pesisir yang mempunyai perairan laut. Namun dalam melakukan aktivitas
sebagai nelayan tidak di wilayah perairan mereka, tetapi dilakukan pada wilayah perairan Pulau Bengkalis Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi. Kondisi
ini menunjukkan sangat berpengaruhnya kearifan lokal yang dianut masyarakat nelayan tradisional terhadap keberlangsungan dari sumberdaya perikanan yang
ada pada wilayah perairan tersebut.
152 Ditinjau dari sisi yang lain, spesies ikan kurau merupakan jenis ikan yang
mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis ikan yang lain. Harga ikan kurau berkisar antara 45-60 ribu rupiah per kilogram
Gambar 31, disamping harga ikan yang tinggi tersebut pada ikan kurau juga terdapat perut ikan yang dikenal dengan istilah lupe bagi masyarakat nelayan yang
setiap ekor ikan kurau besar terdapat lupe dengan berat sekitar 1 ons. Harga 1 kg lupe
mencapai 400 ribu rupiah. Lupe yang dipasarkan adalah lupe yang sudah dikeringkan. Dari kondisi yang ada menjadikan nilai ekonomis dari ikan kurau
tersebut semakin tinggi. Nilai ekonomis yang tinggi dari ikan kurau tersebut skaligus membenarkan apa yang dikemukakan Wahyono, et al. 2000 bahwa
sumber-sumber konflik yang terjadi tidak terlepas dari pengaruh komersialisasi pasar dari produk perikanan, pengaruh inilah yang melatarbelakangi pihak-pihak
tertentu untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan yang ada. Pada pemasaran ikan kurau, disamping dipasarkan secara lokal di Kabupaten Bengkalis, pasaran
ikan kurau tersebut juga sangat berkembang di luar Kabupaten Bengkalis seperti di Provinsi Kepulauan Riau sampai menembus pasar luar negeri yaitu Malaysia
dan Singapura. Namun Sistem pemasaran yang ada masih secara ilegal. Dari kondisi tersebut menjadikan harga ikan kurau terus meningkat dan banyak
diminati oleh masyarakat kalangan atas baik dalam maupun luar negeri.
Komunitas Nelayan Jaring
Batu Sumberdaya
perikanan laut
Dapat meningkatkan kesejahnteraan
Penerapan teknologi
Alat tangkap modern
Penggunaan modal besar
Pemanfaatan dan pengelolaan secara
modern
Gambar 30 Cara pandang masyarakat nelayan jaring batu bottom gill net dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut.
Pengusaha
Kerjasama
Sumber: Survey 2006
153
Gambar 31 Ikan kurau yang sering mengakibatkan konflik antar nelayan, berat
rata-rata 5-6 kgekor dengan harga di tingkat nelayan 50-60 ribu rupiahkg a dan b.
Dilihat dari kondisi di atas, ikan kurau merupakan salah satu penyebab kuatnya keinginan dari komunitas nelayan pengguna jaring batu melakukan usaha
penangkapan ikan pada wilayah perairan Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi yang merupakan wilayah hukum adat bagi nelayan tradisional. Hal ini
dikarenakan tingginya nilai ekonomis dari species ikan tersebut, yang sekaligus berpengaruh pada tingginya permintaan pasar yang ada sampai ke luar negeri.
Secara lebih jelas, rantai pemasaran ikan kurau oleh nelayan jaring batu dapat dilihat pada Gambar 32.
Ikan Kurau Nelayan Jaring
Batu Pengusaha dari Tanjung
Balai Karimun Provinsi Kep. Riau
Perairan Kab. Bengkalis Tanjung
Jati-Tanjung Sekodi
Aktivitas Penangkapan Pemasaran
Hasil Ekspor ke
Malaysia
G b
32 R t i
ik k
l j i
b t
a b
154
3. Cara Pandang Pemerintah Kabupaten Bengkalis Terjadinya ketegangan antara kedua komunitas nelayan, tidak terlepas dari
kebijakan pemerintah daerah dalam menyikapinya permasalahan konflik yang terjadi. Sikap pemerintah daerah yang dalam hal ini diwakili oleh Dinas Perikanan
Kabupaten Bengkalis mempunyai cara pandang terhadap konflik sebagai berikut. 1.
Jumlah masyarakat di Kabupaten Bengkalis yang menggantungkan hidup dengan mata pencaharian sebagai nelayan semakin meningkat baik dari
nelayan rawai maupun nelayan jaring batu bottom gill net. 2.
Adanya alat tangkap dengan sasaran dominan pada jenis ikan yang sama baik jaring batu dan dan rawai yaitu species ikan kurau, dan kadangkala
wilayah perairan penangkapan juga sama. 3.
Adanya perbedaan teknologi dan permodalan yang digunakan diantara kedua jenis alat tangkap tersebut, dimana alat tangkap rawai menggunakan
kapal perahu berukuran kecil yaitu 2-3 GT Gross Tonage dengan modal yang rendah dan pada umumnya dimiliki oleh nelayan yang berasal
dari Kecamatan Bantan. Sedangkan nelayan jaring batu menggunakan teknologi yang lebih maju dan permodalan yang lebih besar dengan
ukuran kapal 10-15 GT. Sebagai konsekwensinya di lapangan, alat tangkap jaring batu lebih besar pendapatannya dibanding dengan jaring
rawai. 4.
Konflik antar nelayan ini tidak dapat terselesaikan secara tuntas akibat pemaksaan sepihak oleh nelayan rawai yang menginginkan penghapusan
penggunaan jaring batu tanpa kecuali di wilayah perairan 0-12 mil laut Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi di perairan Pulau Bengkalis.
155 Sedangkan peraturan yang berlaku tidak ada pelarangan dalam
penggunaan jaring batu. 5.
Konflik makin tidak terselesaikan akibat dari pihak nelayan rawai main hakim sendiri dalam bentuk pembakaran kapal jaring batu, pemukulan,
perampasan hak milik dan penyanderaan terhadap Anak buah kapal ABK jaring batu yang terjadi dengan berulang kali, dan tidak ada tindakan
hukum yang jelas sehingga konsekwensinya timbul dendam dari kelompok nelayan jaring batu.
6. Dalam mengatasi permasalahan yang ada, Pemerintah Kabupaten
Bengkalis telah menyediakan dana dari APBD tahun 2006 untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional dengan mengucurkan
program peningkatan alat penangkapan ikan dari rawai ke alat tangkap jaring batu bottom gill net. Namun program ini tidak disambut baik dari
kelompok nelayan tradisional, karena mereka hanya menginginkan penghapusan pengunaan alat tangkap jaring batu pada wilayah perairan
dari tanjung Jati sampai dengan Tanjung Skodi. Dilihat dari sikap Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis di
atas, menunjukkan kurangnya ketajaman identifikasi masalah dari pemerintah Kabupaten Bengkalis tentang permasalahan konflik yang terjadi, yaitu suatu
keinginan yang kuat dari masyarakat nelayan tradisional untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan yang ada dari kepunanahan yang dianut
dalam sistem kearifan lokal, namun dalam penerapan kearifan lokal tersebut tidak dihormati oleh komunitas nelayan yang lebih maju sehingga menimbulkan
konflik. Pelanggaran terhadap kearifan lokal di atas menunjukkan tidak adanya
keberpihakan pemerintah terhadap eksistensi dari norma-norma yang diatur masyarakat secara lokal. Menurut Kusnadi 2001, pelangggaran terhadap hak
ulayat laut yang terjadi karena dilatarbelakangi pengabaian dan penindasan oleh negara terhadap kearifan lokal masyarakat dalam rangka mengembangkan
pengelolaan sumberdaya perikanan yang bersifat monopolis. Dengan didominasi kebijakan yang demikian, dikembangkan pandangan luas seolah-olah kearifan
lokal yang ada merupakan rintangan pembangunan yang dapat menghambat
156 pencapaian target ekonomi. Kemudian beliau juga menambahkan penghancuran
dan pengabaian kearifan lokal dengan berbagai regulasi negara sebenarnya menghancurkan otonomi masyarakat secara ekonomi dan politis yang akhirnya
akan menempatkan masyarakat pada posisi yang marginal dan bergantung pada negara. Kurangnya dukungan pemerintah mengakibatkan permasalahan konflik
sulit untuk diselesaikan secara tuntas dan masyarakat nelayan senantiasa terhimpit kemiskinan.
6.4.3 Perbedaan Sistem Kerja Dua Jenis Alat Penangkapan Ikan yang Terlibat Konflik