136 Dengan kata lain konflik yang terjadi sangat berpengaruh terhadap rendahnya
tingkat pendapatan nelayan sasaran.
6.3 Peran Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di
Kabupaten Bengkalis Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan sasaran Co-Fish
Project di Kabupaten Bengkalis salah satu penyebabnya belum optimalnya
pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada. Meskipun demikian, ketergantungan masyarakat terhadap sektor perikanan tangkap masih menjadi pilihan utama dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi wilayah yang merupakan pesisir dan laut, sehingga sulitnya masyarakat nelayan
merubah cara hidup selain dari sektor perikanan tangkap yang selama ini dijalankan, sektor perikanan tangkap tersebut selama ini dipandang sudah
merupakan suatu budaya didalam kehidupan masyarakat sehingga sulit sekali untuk dirubah. Kondisi inilah sebenarnya harus dipertimbangkan dalam menyusun
suatu program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah harus lebih menitikberatkan pada pembangunan sektor perikanan itu sendiri.
Meskipun kehidupan sebagai nelayan belum dapat meningkatkan kondisi sosial-ekonomi, namun budaya ketergantungan pada sektor perikanan tangkap
tetap menyatu di tengah-tengah masyarakat dan bahkan menjadi sangat kuat dengan adanya suatu kearifan lokal yang mengatur norma-norma hubungan
nelayan dengan lingkungan maupun hubungan nelayan dengan masyarakat umum lainnya. Kearifan lokal ini penting untuk dipelajari karena sangat berhubungan
dengan konflik yang selama ini terjadi. Sebelum menelusuri lebih jauh, harus diketahui terlebih dahulu seperti apa kearifan lokal itu sendiri. Kearifan lokal
yang diyakini masyarakat nelayan menurut Wahyono, et al. 2000 merupakan pengelolaan sumberdaya laut yang diatur melalui institusi lokal yang lebih dikenal
dengan Hak ulayat laut HUL. Secara khusus hak laut tersebut diartikan sebagai seperangkat aturan mengenai pengelolaan sumberdaya laut serta semua yang
terkandung didalammnya, terkait tentang siapa yang memiliki hak atas wilayah, jenis sumberdaya apa yang boleh ditangkap, serta bagaimana teknik
pemanfaatannya agar terhindar dari kepunahan dari eksploitasi yang berlebihan. Pengertian ini dihubungkan dengan kearifan lokal yang selama ini diyakini
137 masyarakat nelayan tradisional di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis
mempunyai ciri-ciri yang sama dan sesuai dengan teori yang ada. Tatacara pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengedepankan
kearifan lokal tersebut terjadi pada wilayah laut Pulau Bengkalis Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi yang dalam hal sangat jelas terlihat pada
komunitas nelayan tradisional Kecamatan Bantan. Kearifan lokal tersebut sudah ada secara turun temurun dan menjadi suatu rangkaian budaya dari masyarakat
nelayan tentang prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengedepankan keselarasan dengan alam. Secara jelas pembahasan ini akan
memaparkan aspek-aspek yang ada pada nilai budaya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, serta pengaturan-pengaturan kelembagaan sosial-ekonomi
lokal dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya laut. Pola hubungan sosial pada komunitas nelayan tradisional menunjukkan
adanya interaksi sosial yang terjalin antar nelayan dibangun atas dasar budaya melayu yang kental, yaitu menganut pada nilai-nilai yang berakar dari tradisi atau
adat istiadat yang kemudian menjadi kebiasaan. Hal ini dapat terlihat pada tindakan masing-masing individu pada komunitas masyarakat yang terlibat dalam
hubungan sosial mempunyai status yang berbeda-beda. Berdasarkan lapisan sosial-budaya, pada komunitas masyarakat nelayan tradisional dikenal adanya
tokoh formal dan informal, yang terdapat di tengah-tengah masyarakat dipandang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada anggota komunitas yang lain.
Tokoh informal yang dimaksud tidak hanya mencakup tokoh masyarakat atau pemangku adat, tetapi juga penjaga tradisi seperti bomo, dukun atau pawang serta
orang-orang tua yang dianggap sesepuh kampung seperti alim ulama dan para guru. Struktur sosial yang demikian juga pada umumnya juga berlaku pada
masyarakat Melayu Riau. Pola hubungan sosial yang seperti ini menurut Wahyono, et al. 2000 sebagai sebuah sistem norma, hak ulayat laut mencakup
aspek kultural orientasi nilai, sikap terhadap perkembangan teknologi, kebiasaan dan gaya hidup dan aspek struktural peranan sosial dan penguatan solidaritas.
Penempatan posisi di tengah-tengah masyarakat yang ada biasanya didasarkan atas ukuran kehormatan, pada umumnya penempatan posisi ini
diberikan pada golongan masyarakat tua atau orang-orang yang telah biasa bagi
138 kehidupan masyarakat. Secara tidak langsung dengan penempatan posisi ini
tokoh-tokoh formal dan informal tersebut dengan sendirinya telah menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial yang ada di komunitas masyarakat
nelayan. Dalam kesehariannya, tokoh formal dan informal mempunyai peran yang sangat penting di tengah-tengah komunitas nelayan tradisional, selain berperan
sebagai pemberi pertimbangan dan pengambil keputusan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, tokoh-tokoh ini juga memainkan peranan utama dalam
pelaksanaan aktivitas sosial yang ada pada komunitas nelayan seperti memberi petuah-petuah dalam melakukan aktivitas melaut.
6.3.1 Nilai-Nilai Budaya yang Ada dalam Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan
Nilai-nilai budaya yang ada pada pengelolaan sumberdaya perikanan dalam penerapannya mengacu pada sistem interaksi hubungan manusia dengan
alam, dalam hal ini dapat dibedakan menjadi tiga bentuk interaksi, yaitu selaras mengimbangi dengan kondisi alam, pasrah menyerah terhadap kondisi alam,
dan menaklukkan alam. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, komunitas nelayan tradisional di Kecamatan Bantan pada umumnya menempuh cara-cara
yang akur yaitu selaras dengan kondisi alam, hal ini sangat berbeda dengan komunitas nelayan yang lebih maju yang pada umumnya mempunyai prinsip
bagaimana menaklukkan alam. Penyelarasan dengan kondisi alam dalam pengelolaan sumberdaya perikanan bukan berarti masyarakat tradisional tidak
punya kekuatan dalam menaklukkan alam, namun hal ini dilakukan dengan sikap yang bijaksana dengan maksud bagaimana alam yang dikelola dan dimanfaatkan
disatu sisi yang sama harus dapat terjaga dan berkelanjutan. Kondisi ini berpengaruh terhadap teknologi baru yang diperkenalkan di tengah-tengah
masyarakat menjadi sangat selektif untuk diserap. Dalam penerapan nilai-nilai budaya agar tetap selaras dengan kondisi
alam, nelayan tradisional Kecamatan Bantan mengenal dan menganut suatu kelembagaan informal yang lebih dikenal dengan merawai. Merawai selain
ditujukan untuk usaha penangkapan ikan juga ditujukan sebagai hak ulayat laut dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya laut dari kepunahan. Dengan kata lain,
merawai merupakan kelembagaan sosial-ekonomi lokal yang mengatur nelayan
139 tradisional yang ada di Kecamatan Bantan dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan. Dalam penerapannya, kelembagaan merawai ini hanya diperuntukkan pada wilayah perairan dari Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi pada
perairan Pulau Bengkalis. Wilayah laut tersebut diyakini sebagai peninggalan leluhur yang memiliki keramat dan wajib dijaga secara arif dan bijaksana. Dengan
kondisi demikian, wilayah perairan tersebut diklaim masyarakat nelayan tradisional sebagai wilayah hukum adat yang merupakan hak ulayat laut bagi
masyarakat nelayan tradisional. Adanya pengklaiman terhadap wilayah laut yang diyakini nelayan
tradisional sebenarnya secara hukum positif terlihat pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor 329 Tahun 1999. Yaitu adanya perbedaan wilayah penangkapan
ikan yang dibedakan dengan Jalur-jalur penangkapan. Dimana pada jalur I diperuntukkan bagi alat tangkap ikan yang sifatnya menetap dengan armada
bermotor tempel yang panjangnya tidak lebih dari 10 meter. Dari pembagian jalur tersebut kalau dihubungkan dengan alat tangkap yang digunakan nelayan yang
mengedepankan kearifan lokal bisa digolongkan pada jalur I. Namun perbedaannya kearifan lokal mengklaim suatu wilayah perairan, sementara hukum
positif pembagian wilayah laut yang dimaksud melalui pengukuran laut dari garis pantai.
Dalam menjaga keberlangsungan sumberdaya ikan di wilayah perairan dari Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi, masyarakat nelayan tradisional
secara turun temurun telah menerapkan peraturan-peraturan, yaitu dalam bentuk penggunaan alat tangkap, jumlah jam kerja penangkapan serta pelaksanaan ritual
laut . Tujuan diterapnya pengaturan ini tidak lain adalah untuk melestarikan
sumberdaya laut dan pesisir supaya tetap dapat dimanfaatkan pada masa sekarang serta dapat diwariskan bagi generasi-generasi pada masa mendatang secara
berkesinambungan. Secara yuridis, hak ulayat atas laut tersebut belum mempunyai dasar
hukum secara formal dari pemerintah terutama Pemerintah Kabupaten Bengkalis. Meskinpun demikian, masyarakat nelayan tradisional tetap meyakini kelembagaan
merawai merupakan suatu usaha yang memiliki nilai budaya yang tinggi dan
sesuai untuk dijadikan pegangan secara turun temurun dalam menjaga
140 sumberdaya laut yang ada dari kepunahan. Oleh karena itu, pengklaiman wilayah
hukum adat oleh nelayan tradisional di Kecamatan Bantan dalam hal ini belum mendapat pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Bengkalis. Kondisi demikian
mengakibatkan hukum adat tersebut bersifat lemah bagi masyarakat umum, hal ini memberikan pengertian bahwa wilayah hukum adat hanya diakui oleh komunitas
nelayan tradisional khususnya bagi nelayan yang menggunakan alat tangkap rawai. Hal ini justru menjadi bumerang bagi pemerintah, karena antara komunitas
nelayan tradisional yang mematuhi adanya hak ulayat laut dengan nelayan yang sudah maju dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap
yang dalam pelaksanaan saling memperebutkan wilayah tangkap, dan mengunakan alat tangkap berbeda sehingga sering menimbulkan konflik yang
sangat sulit diselesaikan. 6.3.2 Pengaturan-Pengaturan Kelembagaan Sosial-Ekonomi Lokal dalam
Menjaga Keberlanjutan Sumberdaya Laut
Dalam usaha menjaga bagaimana keberlangsungan sumberdaya perikanan agar tetap dapat dimanfaatkan dari masa ke masa secara berkesinambungan,
kearifan lokal yang ada mengenal adanya pengaturan-pengaturan yang harus dipatuhi. Adapun pengaturan-pengaturan yang yang dianut di pada kelembagaan
lokal dalam menjaga keberlangsungan sumberdaya perikanan khususnya wilayah perairan dari Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi sebagai berikut.
1. Pengaturan Penggunaan Alat Tangkap Seperti telah di jelaskan di atas, dalam upaya menjaga keberlangsungan
sumberdaya perikanan agar tetap dapat dimanfaatkan masyarakat nelayan secara berkesinambungan, nelayan tradisional di Kecamatan Bantan dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan laut mewajibkan kepada masyarakat nelayan menggunakan alat tangkap yang disebut rawai. Rawai merupakan istilah masyarakat nelayan
setempat yang ditujukan kepada alat penangkapan ikan sejenis pancing. Perbedaan rawai dengan pancing yang masyarakat kenal selama ini adalah
pancing hanya terdiri dari satu tali, sedangkan rawai terdiri dari banyak tali. Secara teknis, rawai terdiri dari beberapa bagian yaitu tali latuna, tali pancing dan
mata pancing mata kail. Pada tali latuna yang panjangnya bisa mencapai 600
141 depa sekitar 900 m, setiap jarak dua depa 3 m diikatkan satu tali pancing
perambut atau tali rawai yang panjangnya mencapai 60 depa. Kemudian di ujung tali diikatkan mata pancing, ukuran mata pancing bervariasi mulai dari
nomor satu sampai nomor tujuh istilah para nelayan. Namun nelayan tradisional di Kecamatan Bantan pada umumnya menggunakan mata pancing yang berukuran
enam dan tujuh. Jumlah mata pancing yang digunakan nelayan sama dengan jumlah tali pancing yang ada, yaitu sekitar 200-300 utas pancing setiap perahu.
Sebagai pemberat dari mata pancing di ujung dan di pangkal rawai diberi sauh atau jangkar tuntun dengan maksud supaya rawai dapat tenggelam pada saat
dilemparkan ke dalam laut. Dalam kebiasaan melakukan aktivitas merawai, biasanya nelayan mencari
umpan terlebih dahulu untuk diikatkan pada mata pancing sebelum dilempar ke laut. Umpan yang digunakan biasanya berupa ikan-ikan kecil seperti ikan biang,
lomek dan ikan parang-parang dan juga udang. Dalam pelaksanaannya, sekali rawai dilemparkan ke dalam laut membutuhkan waktu kira-kira 45-60 menit,
kemudian barulah rawai diangkat di atas perahu. Hal ini dilakukan secara terus menerus sampai pekerjaan menangkap ikan di laut selesai dan nelayan kembali ke
darat. Penggunaan alat tangkap rawai dan cara kerja menangkap ikan seperti
demikian, diyakini masyarakat nelayan tradisional bahwa penggunaan alat tangkap rawai merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan dan benar-benar
selektif yang dapat menjaga keberlangsungan sumberdaya perikanan. Hal ini mempunyai alasan bahwa pertama karena rawai bentuknya bukan jaring maka alat
tangkap rawai tidak menangkap ikan dalam jumlah yang banyak dan tidak
merusak terumbu karang serta aktivitasnya jauh dari kegiatan eksploitasi
ekosistem laut. Kedua secara tidak sengaja dengan penggunaan alat tangkap rawai
nelayan tradisional telah berusaha menjaga kelestarian lingkungan laut dan dapat diwarisi sampai ke generasi yang akan datang. Dalam hal ini nelayan tradisional
mempunyai pemahaman bahwa umpan yang tidak termakan oleh ikan waktu merawai tetap akan menjadi makanan ikan. Karena umpan yang tidak termakan
tadi akan dijatuhkan saja oleh nelayan ke dalam laut, serta umpan yang termakan ikan juga tidak semuanya tertangkap mata pancing. Disamping itu juga, ikan yang
142 memakan umpan rawai diyakini adalah ikan yang benar-benar dalam kondisi lapar
butuh makanan. Jadi dapat disimpulkan, bahwa disamping nelayan memanfaatkan
sumberdaya perikanan untuk kebutuhan hidup, pada saat yang sama nelayan juga berusaha memelihara ikan-ikan dalam bentuk pemberian makan melalui
penggunaan alat tangkap rawai. Dengan kata lain nelayan butuh ikan untuk keperluan hidup dan dalam waktu bersamaan ikan juga tetap terjaga
perkembangbiakannya. Hal ini sependapat dengan yang dikemukakan seorang tokoh nelayan tradisional Kecamatan Bantan yaitu Bapak ”AS 48 tahun” sebagai
berikut:
”Pemakaian jenis alat tangkap rawai secare tak sengaje oleh nelayan di daerah Kecamatan Bantan ikut membantu menjage keberlangsungan ikan, ape sebab, karene
setiap kali kami pegi merawai umpan yang kami bawak tidak semuenye dapat ikan, yang dapat hanye sebagiannye aje, hal ini secara tak sengaje nelayan telah bantu ikan
bekembang, lagipun rawai tak merusak terumbu karang”.
2. Pengaturan Jumlah Jam Kerja Selain menerapkan pengaturan terhadap penggunaan alat tangkap didalam
pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan, nelayan tradisional di Kecamatan Bantan dalam mengedepankan prinsip kearifan lokal memahami adanya
pengaturan jam kerja melakukan aktivitas penangkapan ikan. Dalam seminggu nelayan hanya merawai melakukan penangkapan ikan selama enam hari,
kegiatan melaut dimulai pada waktu selesai Sholat Subuh jam 05.30 WIB sampai menjelang Sholat Maghrib jam 17.00 WIB. Kegiatan ini juga dilakukan
tergantung keadaan air di laut apakah air laut pasang atau tidak. Apabila air laut rendah atau surut, para nelayan tidak melakukan aktivitas melaut dan mereka
menunggu air laut pasang. Hal ini dilakukan karena kondisi lingkungan perairan dimana tempat melakukan usaha penangkapan ikan pada umumnya di laut,
sedangkan tempat penambatan perahu kapal dilakukan di pinggir pantai, pada kondisi air laut surut perahu tidak bisa dikeluarkan dari lokasi penambatan.
a c
b
143 Gambar 28 Perahu nelayan tradisional a, gotong royong kampung pada waktu
istirahat melaut b, rembuk diskusi para nelayan c. Satu hari yang digunakan nelayan untuk tidak melaut dalam seminggu
adalah Hari Jumat, hal ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat nelayan secara turun temurun bahwa pada hari jumat mereka tidak boleh melakukan aktivitas
melaut. Hal ini disebabkan selain Hari Jumat merupakan hari yang pendek karena pada hari ini diwajibkan untuk menunaikan Sholat Fardhu Jumat di masjid secara
berjamaah. Disamping itu juga melakukan aktivitas melaut pada hari tersebut merupakan suatu hal yang tabu terlarang bagi nelayan, kepercayaan ini dari
kisah yang secara turun temurun diyakini oleh nelayan yang muslim bahwa melakukan aktivitas melaut pada Hari Jumat akan mendapat kutukan dari Allah
SWT, bahwa barang siapa yang melaut pada hari tersebut bisa dimungkinkan akan kena laknat menjadi kera monyet karena meninggalkan perintah Sholat Fardhu
Jumat, laknat ini sangat ditakuti oleh para nelayan. Tidak dilakukannya aktivitas melaut ini pada umumnya setelah selesai melaksanakan Sholat Fardhu Jumat
digunakan nelayan bersama-sama masyarakat umum lainnya bergotong royong membersihkan kampung desa, dan juga digunakan bagi sesama nelayan untuk
berembuk diskusi untuk membahas permasalahan-permasalahan didalam pekerjaan melaut. Pelanggaran terhadap kesepakatan ini akan dikenakan sanksi.
Sanksi yang dikenakan terhadap yang melakukan pelanggaran yang dimaksud di atas bukanlah berbentuk sanksi materi, seperti didenda atau harus
membayar uang, tetapi sanksi yang dimaksud adalah berupa sanksi moral, biasanya nelayan yang tidak melaksanakan kegiatan ini tanpa sebab-sebab tertentu
dengan sendiri terkucilkan dari hubungan sosial sesama masyarakat di kampung tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh bapak ”AS 48 tahun” salah seorang tokoh
masyarakat nelayan sebagai berikut:
”Pade hari jumat, nelayan istirahat melaut, sebab hari jumat tu hari yang pendek orang- orang harus Sholat Jumat, juge hari tu tidak boleh melaut karene akan dapat musibah dari
Allah SWT, dan pade hari jumat juge kami bergotong royong bersihkan kampung. Dan itu sudah menjadi tradisi yang kami yakini selame ini secare turun temurun”.
Selesai melakukan aktivitas melaut nelayan membawa hasil tangkapannya ke darat. Hasil tangkapan tersebut mereka jual kepada pihak-pihak tertentu.
Namun pada umumnya nelayan langsung menjualnya kepada tauke. Tauke yang
144 dimaksud adalah orang-orang pengusaha yang dalam kehidupan sehari-hari
sangat berpengaruh terhadap nelayan, tauke tersebut merupakan pembantu nelayan dalam hal pemberian pinjaman modal dan belanja hidup bagi rumah
tangga. Dalam hal peminjaman modal kepada nelayan, tauke-tauke tersebut dalam pelaksanaannya tidak menggunakan anggunan jaminan perjanjian. Pada intinya
hubungan yang terjadi saling percaya dengan hasil yang didapat dari kegiatan melaut harus dijual kepada tauke yang telah membantu nelayan tersebut.
3. Bentuk-Bentuk Keritualan Laut Pekerjaan sebagai nelayan adalah merupakan sebagian besar sumber mata
pencaharian masyarakat. Untuk menjaga sumber mata pencaharian agar tetap terjaga dari kepunahan, maka berbagai upaya atau tindakan yang dilakukan
nelayan untuk menjaga kelestarian laut. Upaya-upaya ini nelayan kukuhkan dalam aturan-aturan yang disepakati dan diyakini bersama. Meskipun aturan-aturan ini
tidak tertulis, tetapi selalu ditaati oleh seluruh nelayan. Salah satu bentuk dalam upaya menjaga kelestarian laut adalah dengan mengadakan ritual yang disebut
semah laut atau yang lebih dikenal juga dengan sebutan bele kampung. Bele
kampung yang berasal dari kata membela memelihara yang dimaknai nelayan
sebagai suatu upaya atau tindakan untuk memelihara atau menjaga serta memulihkan kondisi laut. Ritual ini dilaksanakan secara rutin pada setiap tahun
bertepatan pada tanggal 1 Muharam pada Tahun Hijriah. Setiap desa yang ada di di Kecamatan Bantan yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian
sebagai nelayan melaksanakan ritual ini di desanya masing-masing. Untuk melaksanakan ritual ini biayanya dipungut dari nelayan secara sukarela, dan
ditambah dengan sumbangan dari masyarakat dan juga bantuan dari pemerintahan desa. Keritualan semah laut ini dilakukan dengan cara sebelum pelaksanaan orang
yang dituakan di kampung biasanya akan mendapat petunjuk mimpi mengenai bagaimana pelaksanaan acara semah laut. Pada mimpi tersebut akan diberikan
pentunjuk bagaimana dan dimana sesaji untuk makanan penunggu laut harus diletakkan penduduk.
Pada hari pelaksanaan semah laut seluruh nelayan di desa akan berkumpul di sekitar pantai. Acara dibuka dengan permainan kompang dan kata-kata petuah
dari orang-orang yang dituakan yang bersama-sama masyarakat duduk secara
145 melingkar berselo di tepi pantai seraya berdoa kehadirat Allah SWT supaya
dijauhkan dari segala macam malapetaka musibah dan meminta agar dimudahkan dalam memperoleh rezeki dari laut. Selesai berdoa acara dilanjutkan
dengan makan bersama. Seperti yang diungkapkan bapak ”Z 65 tahun” sebagai berikut:
”Semah Laut merupekan tradisi yang secare turun temurun dilakukan oleh nelayan. Acare ini diyakini dapat mengusei mahluk-mahluk jahat yang
mengganggu nelayan dalam menangkap ikan di laut. Semah laut acarenye same seperti kenduri. Dalam acare tersebut ade makan-makan nasi kunyit dan ade
bomo
nye. Pada hari itu kami bedoa bersame mintak dijauhkan dari bale atau musibah dan didekatkan dengan rezeki. Sebelum acare dimulai, hidangan yang
terdiri dari nasi kunyit, lauk pauk dan kue-kue yang ade telah dibagi menjadi beberape bagian, salah satunye diperuntukkan untuk penunggu laut. Sesaji untuk
penunggu laut tesebut akan diletakkan pade tempat yang telah ditentukan oleh
bomo . Semue sesaji tersebut hanye diletakkan di atas daun pisang. Setelah selesai
makan sise-sise makanan akan dibiokan begitu aje dan tidak boleh dibawak balek. Selama tiga hari pada Bulan Muharam terhitung mulai tanggal 1-3
Muharam nelayan tidak diperbolehkan melakukan aktivitas merawai. Jadi selain pada Hari Jumat ada tiga hari lain yang dilarang bagi nelayan melakukan aktivitas
merawai pertama yaitu pada tiga hari di Bulan Muharam. Kedua saat ada warga yang wafat dan ketiga pada saat ada warga yang melakukan upacara pernikahan.
Ritual semah laut tersebut diyakini nelayan mampu memulihkan kondisi laut. Setelah dilakukan semah laut biasanya hasil tangkapan ikan akan meningkat.
Sebenarnya disamping melakukan ritual semah laut masyarakat juga khawatir kalau ritual ini berseberangan dengan ajaran Agama Islam. Namun disisi
lain kalau ritual ini tidak dilakukan nelayan juga takut akan kemarahan penunggu laut
dengan dapat musibah dalam melakukan aktivitas melaut. Oleh karena itu mereka berkesimpulan apapun kondisinya semah laut tetap harus dilaksanakan
dengan melakukan pendekatan secara Agama Islam. Dengan demikian, pengaturan-pengaturan secara lokal hukum adat
merupakan suatu upaya nelayan yang memiliki peran sentral dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis. Kearifan lokal
ini tetap dijaga dan diyakini oleh nelayan tradisional secara arif dalam menjaga keberlangsungan sumberdaya perikanan agar dapat terus dimanfaatkan baik pada
masa sekarang begitu juga pada generasi yang akan datang.
146
6.4 Konflik antara Nelayan Rawai Tradisional dengan Nelayan Jaring Batu