Pendahuluan ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM

III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM

3.1. Pendahuluan

Salah satu indikator terjadinya perubahan iklim adalah semakin meningkatnya kejadian iklim ekstrim baik intensitas maupun penyebarannya. Bentuk kejadian iklim ekstrim yang sering muncul adalah berupa kekeringan. Kekeringan terjadi di hampir semua zona iklim, tetapi karakteristiknya bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Di Indonesia, kekeringan merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi dengan frekuensi dan tingkat risiko yang berbeda-beda, dan sektor pertanian merupakan sektor yang paling rentan terhadap kejadian kekeringan. Dampak kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan ini telah meluas ke berbagai wilayah termasuk Kabupaten Indramayu yang merupakan salah satu sentra produksi padi di Propinsi Jawa Barat. Sekitar 11.7 produksi beras Propinsi Jawa Barat berasal dari Kabupaten Indramayu BPS 2009. Oleh karena itu, Kabupaten Indramayu memegang peranan penting dalam produksi beras. Keberhasilan program-program yang diterapkan di Kabupaten Indramayu akan membawa pengaruh yang cukup besar terhadap wilayah lainnya. Selain posisinya yang cukup strategis, di sisi lain, Kabupaten Indramayu sangat rentan terhadap kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan. Kekeringan menempati urutan pertama sebagai penyebab gagal panen di Kabupaten Indramayu Boer 2010a. Adanya gangguan atau goncangan terhadap produksi padi di Kabupaten Indramayu akan membawa dampak terhadap produksi beras dan ketahanan pangan. Berdasarkan hasil identifikasi luas rata-rata wilayah pertanaman padi yang mengalami kekeringan pada tahun El Nino periode 1989-2006 pada masing- masing kabupaten menunjukkan bahwa wilayah yang terkena kekeringan dengan luasan lebih besar dari 2000 ha sebagian besar terjadi di Pantai Utara Jawa Barat, terutama Kabupaten Indramayu Boer 2008b. Kejadian kekeringan pada Bulan Juni tahun 2008 di Kabupaten Indramayu mengakibatkan 461 Ha lahan sawah dari 721.8 Ha luas tanam mengalami kekeringan atau sekitar 63.9. Demikian juga pada Bulan Agustus 2007, hampir 53.5 lahan sawah mengalami kekeringan. Kerusakan tanaman padi akibat kekeringan lebih parah karena berlangsung pada daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih lama. Untuk mengatasi masalah ini, daerah yang berisiko tinggi perlu diidentifikasi untuk membantu dalam pengelolaan risiko iklim. Dalam arti yang paling dasar, upaya pengelolaan risiko iklim adalah mencoba untuk mengurangi dampak cuaca dan iklim yang ekstrim yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan dan mata pencaharian. Untuk memberikan data dan informasi penting terkait dengan pengelolaan risiko iklim, kejadian kekeringan dapat dikuantifikasi besarannya luas serta frekuensi kejadiannya. Berdasarkan data ini dapat dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat endemik kekeringan di suatu kabupaten serta sebarannya secara spasial. Informasi ini penting guna mengetahui penyebaran wilayah dengan tingkat endemik kekeringan mulai dari tinggi hingga rendah untuk menentukan wilayah prioritas penanganan. Penelitian ini bertujuan untuk : 1 melakukan identifikasi dan klasifikasi tingkat endemik kekeringan berdasarkan data luas dan frekuensi kejadian kekeringan, 2 menyusun peta endemik kekeringan dan 3 memberikan pilihan teknologi berdasarkan tingkat endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menentukan wilayah prioritas penanganan bencana kekeringan dan pengelolaan risiko iklim bagi para pengambil kebijakan, khususnya di Kabupaten Indramayu. 3.2. Metodologi 3.2.1. Identifikasi dan Delineasi Wilayah Endemik Kekeringan