Hasil dan Pembahasan 1. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM

6.2.4. Penentuan Indeks Iklim

Analisis indeks iklim dilakukan setelah diperoleh hasil analisis berupa : 1 persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi serta 2 nilai threshold produksi padi. Persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi diperoleh setelah dilakukaan simulasi tanaman. Nilai threshold produksi padi diperoleh dari hasil analisis usahatani padi, yaitu pada saat nilai RC=1 yang telah dihasilkan dari analisis pada Bab 5. Apabila sudah diperoleh persamaan hubungan antara hasil padi dan curah hujan, maka nilai threshold produksi padi digunakan sebagai input dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi sebagai dasar penentuan indeks iklim. Perhitungan indeks iklim dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung. Tahapan analisis untuk menentukan indeks iklim adalah : 1 hasil simulasi DSSAT yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya disusun menjadi suatu persamaan yang menghubungkan parameter curah hujan dan hasil yield padi, 2 nilai threshold produksi yang telah diperoleh dari hasil analisis usahatani digunakan sebagai input ke dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan hasil padi untuk menentukan trigger curah hujan, 3 dibuat persamaan yang menghubungkan antara produksi padi dan curah hujan setiap fase padi, 4 dihitung nilai indeks hujan pada setiap fase tanaman padi, 5 disusun skenario klaim asuransi berdasarkan persamaan Martirez 2009 yaitu : 6.3. Hasil dan Pembahasan 6.3.1. Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Tadah Hujan Hasil simulasi tanaman padi pada lahan tadah hujan di lokasi penelitian dibedakan untuk MK dan MH. Untuk MK periodenya adalah April-September, sedangkan MH Oktober-Maret. Secara umum, hasil simulasi tanaman di lahan tadah hujan memperlihatkan rata-rata produksi padi antara 1.1-1.4 tonha pada MK dan 3.3-4 tonha pada MH. Sementara hasil observasi berdasarkan wawancara dengan petani diperoleh rata-rata produksi berkisar antara 3.2-3.6 tonha pada MK dan 4.7-5.7 tonha pada MH. Estimasi pada MK pada umumnya Pembayaran = Indeks hujan-curah hujan kumulatif x unit pembayaran x total yang diasuransikan1000 lebih rendah dibandingkan observasinya, sedangkan pada MH besarnya produksi hampir mendekati. Apabila ditinjau untuk masing-masing kecamatan, maka estimasi produksi pada MH pada umum menghasilkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil observasinya dibandingkan dengan musim MK Gambar 64a-d. Simulasi tanaman untuk lahan tadah hujan ini murni hanya mendapat input air dari curah hujan. Kemungkinan kenyataan di lapang, pada MK petani masih bisa mendapatkan sisa-sisa air pada MH sebelumnya. Hal ini yang menyebabkan perbedaan hasil pada MK. Hasil perbandingan antara data produksi dari Diperta Kabupaten Indramayu dengan hasil simulasi selama periode MT 19921993 hingga MT 2000 memperlihatkan nilai R 2 sebesar 0.7 untuk Cikedung, 0.1 untuk Lelea dan 0.5 untuk Kandanghaur Gambar 65. Gambar 64. Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan tadah hujan a b c d Gambar 65. Perbandingan antara data produksi hasil simulasi dan observasi Dikaitkan dengan pola hujan, maka hasil simulasi tanaman ini memperlihatkan pola yang mirip dengan curah hujan. Hal ini disebabkan pada simulasi tanaman di lahan tadah hujan, skenario yang diterapkan adalah tanpa irigasi, artinya input air untuk tanaman murni hanya dari curah hujan. Pada saat curah hujan tinggi, maka tanaman akan mendapat kecukupan air sehingga produksinya tinggi. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, maka pasokan air untuk tanaman juga berkurang dan pada akhirnya produksi tanaman akan menurun. Pada kondisi tertentu ketika curah hujan lebih rendah dari 50 mmbulan tetapi produksi meningkat kemungkinan disebabkan pengaruh penggunaan input seperti pupuk dalan lain-lain sehingga mampu memberikan produksi yang cukup baik. Hubungan antara produksi padi dengan pola curah hujan di lahan tadah hujan untuk masing-masing kecamatan disajikan dalam Gambar 66a-d. Terkait dengan fenomena El-Nino, maka produksi padi di lokasi penelitian juga memperlihatkan dampak yang cukup signifikan. Berdasarkan data kejadian El Nino dari tahun 1951-2010 Hidayati et al. 2010, maka dari periode data yang digunakan dalam analisis ini dapat dikelompokkan berdasarkan tahun kejadian El Nino lemah, sedang dan kuat. Tahun-tahun kejadian El-Nino lemah adalah : 1968, 1969, 1976, 1977, 2004 dan 2006. Tahun El-Nino sedang adalah : 1986, 1987, 1994 dan 2002. Tahun El-Nino kuat adalah : 1965, 1972, 1982, 1991, 1997 dan 2009. Berdasarkan tahun kejadian El-Nino tersebut dan dikaitkan dengan produksi padi, maka terlihat bahwa pada tahun-tahun kejadian El-Nino, sebagian besar produksi padi menurun. Sebagai contoh di Kecamatan Cikedung dan Kandanghaur, kejadian El Nino telah memberi dampak terhadap menurunnya produksi padi, bahkan di tahun yang tidak El Nino pun terjadi penurunan produksi Gambar 67a-c. Gambar 66. Hubungan pola curah hujan dan produksi padi di lahan tadah hujan Gambar 67. Produksi padi dan kejadian El-Nino periode 1965-2009 a b d c

6.3.2. Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Irigasi

Simulasi tanaman padi untuk lahan irigasi dilakukan dengan asumsi tanaman akan tumbuh optimum apabila kebutuhan airnya tercukupi. Air akan secara otomatis ditambahkan ketika tanaman mengalami kekurangan air. Oleh karena itu plot hasil produksi akan menunjukkan produksi tinggi meskipun curah hujan rendah. Tanaman tidak tergantung pada curah hujan, karena ada tambahan air melalui irigasi. Lahan irigasi di lokasi penelitian sebagian besar merupakan lahan irigasi ujung golongan IIIIV. Rata-rata produksi padi di lahan ini berkisar antara 3.8-5.0 tonha pada MK dan 5.1-5.9 tonha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman memperlihatkan nilai produksi berkisar antara 3-7.3 tonha pada MK dan 4.4-5.9 tonha pada MH. Pada MH, secara umum produksi padi antara hasil simulasi dan observasi menunjukkan hasil yang hampir sama baik di kecamatan Cikedung, Lelea, Kandanghaur dan Terisi Gambar 68a-d. Untuk penentuan indeks iklim, hasil simulasi yang digunakan adalah untuk lahan tadah hujan karena sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Gambar 68. Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan irigasi b a d c

6.3.3. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi

Hubungan curah hujan dan produksi padi dinyatakan melalui persamaan polinomial antara kedua parameter tersebut. Produksi padi diperoleh dari hasil simulai DSSAT untuk skenario tanggal tanam 1 dan 15 setiap bulan. Data produksi padi menggunakan data simulasi karena dibutuhkan data runut waktu yang panjang, sedangkan apabila menggunakan data produksi aktual ketersediaan datanya terbatas. Untuk kepentingan asuransi indeks iklim, maka curah hujan dan produksi padi dipilih untuk musim kemarau MK saja. Hal ini disebabkan bahwa pada MK tanaman padi berpeluang besar mengalami kekeringan baik pada lahan tadah hujan maupun irigasi, sehingga risiko petani pada MK ini cukup besar. Risiko kekeringan yang harus ditanggung oleh petani ini dapat diminimalkan dengan cara beradaptasi terhadap kejadian iklim ekstrim yang salah satu opsinya adalah melalui pengembangan model asuransi indeks iklim. Untuk keperluan pengembangan asuransi indeks iklim, maka perlu ditentukan indeks iklim yang dalam penelitian ini parameter iklim yang diplih adalah curah hujan, sehingga untuk selanjutnya akan digunakan istilah indeks hujan. Hubungan curah hujan dan produksi padi serta penentuan indeks hujan akan dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung.. Pola curah hujan di stasiun Cikedung adalah monsunal dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus. Curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Januari. Demikian juga dengan pola hari hujan yang juga mengikuti pola curah hujan. Rata-rata hari hujan berkisar antara 1-13 hari per bulan dengan hari hujan terbanyak pada bulan Januari Gambar 69a. Curah hujan maksimum pada bulan Januari dan Februari bisa mencapai lebih dari 500 mmbulan, tetapi di Bulan Agustus maksimum curah hujan hanya mencapai kurang dari 100 mmbulan Gambar 69b. Hubungan curah hujan dan produksi padi dianalisis untuk mengetahui pola hubungan antara kedua parameter tersebut baik pada seluruh fase maupun pada setiap fase. Skenario yang digunakan adalah tanpa irigasi. Secara umum baik pada MH maupun MK, pola hubungan curah hujan dan produksi padi memperlihatkan bahwa semakin bertambah curah hujan produksi semakin meningkat hingga suatu batas tertentu setelah itu menurun. Hubungan kedua parameter tersebut juga cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai R 2 sekitar 0.5-0.7 kecuali fase 2. Apabila dibedakan untuk setiap fase tanaman, maka fase 3 memperlihatkan pola hubungan yang lebih erat dibandingkan fase 1 dan 2 Gambar 70. Gambar 69. Pola curah hujan, hari hujan a dan curah hujan maksimum b di Stasiun Cikedung Gambar 70. Hubungan curah hujan dan produksi padi di Cikedung. Untuk mengetahui pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil, maka dilakukan analisis regresi terboboti antara curah hujan dan produksi padi dan diperoleh persamaan : Y = 0.830 X 1 + 5.08 X 2 + 4.09 X 3 ................1 Di mana Y=hasil padi, X 1 merupakan curah hujan pada fase 1, X 2 curah hujan pada fase 2 dan X 3 curah hujan pada fase 3. Dari persamaan tersebut diperoleh persentase besarnya pengaruh curah hujan terhadap keragaman hasil adalah 34 untuk fase 1, 43 untuk fase 2 dan 23 untuk fase 3. Diperoleh dari jumlah kuadrat sequen Seq SS dibagi dengan totalnya. Berdasarakan persentase tersebut curah hujan pada fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung dibandingkan curah hujan pada fase 1 dan 3. Hasil regresi terboboti selengkapnya disajikan dalam Lampiran 4.

6.3.4. Threshold Produksi Padi

Untuk menentukan indeks iklim, maka diperlukan nilai threshold produksi padi. Nilai threshold produksi padi telah dianalisis pada bab 5. Untuk Kecamatan Cikedung pada MK baik di lahan tadah hujan maupun irigasi ujung, nilai threshold padi adalah sebesar 2711 kgha. Artinya jika produksi padi kurang dari 2711 kgha, maka secara ekonomi petani tidak untung. Sementara jika produksi padi sama dengan 2711 kgha maka secara ekonomi petani tidak untung dan tidak rugi atau impas. Selama kurun waktu 1981-2009 29 tahun, frekuensi munculnya threshold produksi padi 2711 kgha berkisar antara 1-29 kali. Artinya apabila saat tanam tidak ditentukan dengan tepat, maka ada kemungkinan terjadi kekeringan hampir setiap tahun. Sebagai contoh untuk tanggal tanam 15 April – 15 Juni frekuensinya 29 kali artinya setiap tahun akan terjadi kekeringan apabila dilakukan penanaman pada tanggal tersebut dan hanya mengandalkan curah hujan. Pada MH frekuensi kejadian threshold lebih rendah dari 2711 pada umumnya kurang dari 15 kali dalam 29 tahun, sedangkan pada MK lebih dari 15 kali dalam kurun waktu 29 tahun. Peluang terjadinya produksi lebih rendah dari threshold berkisar dari 0.1 hingga 1. Artinya ada periode di mana hampir setiap tahun terjadi threshold produksi kurang dari 2711 kgha tetapi ada juga yang hanya 3 kali terjadi selama kurun waktu 29 tahun Gambar 71a. Pada MH pada umumnya peluang kejadiannya kurang dari 0.5, sedangkan pada MK peluangnya meningkat hingga 1. Melihat sebaran peluang kejadian ini, maka periode kritis di lokasi Cikedung cukup lama. Hampir di sepanjang MK peluang kejadian dibawah nilai treshold lebih dari 50. Dipandang dari sistim asuransi, maka kondisi ini tidak cukup menguntungkan bagi pihak asuransi karena peluang kejadiannya sangat tinggi. Untuk itu pilihan asuransi perlu dihubungkan dengan periode ulangnya. Periode ulang merupakan satu dibagi nilai peluangnya. Untuk lokasi Cikedung, periode ulang di mana produksi lebih rendah dari threshold memperlihatkan kisaran dari 1 hingga 10 tahun. Artinya ada periode di mana setiap tahun produksinya lebih rendah dari threshold, tetapi ada pula periode di mana hampir 10 tahun sekali baru terjadi produksi lebih rendah dari threshold. Periode ulang 2-10 tahun pada umumnya terjadi pada MH, sedangkan pada MK hampir setiap tahun terjadi produksi yang lebih rendah dari threshold 2711 kgha Gambar 71b. Gambar 71. Peluang a dan periode ulang b produksi threshold 2711 kgha di Kecamatan Cikedung

6.3.5. Penentuan Indeks Iklim

Indeks iklim adalah sebuah jumlah yang diperoleh dari hasil perhitungan data cuaca yang tercatat di stasiun cuaca yang dipilih. Dalam penelitian ini indeks iklim ditentukan berdasarkan pendekatan Martirez Martirez, 2009. Indeks iklim ditentukan setelah diperoleh nilai threshold produksi padi dan triger curah hujan, serta besarnya kontribusi curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil. Untuk lokasi Cikedung telah diperoleh threshold produksi padi sebesar 2711 kgha. Selain itu diperlukan persamaan yang menghubungkan curah hujan dan produksi padi. Pola hubungan curah hujan dan produksi yang telah dihasilkan dari analisis sebelumnya digunakan untuk menentukan indeks iklim. Nilai threshold sebesar 2711 ini selanjutnya digunakan sebagai nilai y pada persamaan polinomial seperti dalam Gambar 72. Dengan demikian untuk nilai y=2711 kgha, maka diperoleh nilai x=542,2. Artinya pada saat tercapai nilai threshold produksi padi, maka curah hujannya adalah sekitar 542,2 mmmusim tanam. Untuk menentukan indeks hujan per fase tanaman, maka digunakan persamaan 1 yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu : Y = 0.830 X 1 + 5.08 X 2 + 4.09 X 3 Selain itu diperlukan nilai rata-rata curah hujan per fasenya. Dari data Cidekung diperoleh rata-rata curah hujan pada setiap fasenya adalah 207 mm fase 1, 154 mm fase 2 dan 134 mm fase 3, dengan total curah hujan 495 mm dan total standar deviasi 612 mmmusim tanam. Indeks hujan pada setiap fase diperoleh dengan memasukkan nilai rata-rata curah hujan per fase dibagi dengan standar deviasinya dan dikalikan dengan triger hujan untuk satu musim tanam. Setelah dilakukan perhitungan, maka untuk lokasi Cikedung diperoleh indeks hujan masing-masing adalah 183 mm fase 1, 136 mm fase 2, 119 mm fase 3 dan 438,5 mm untuk seluruh fase Tabel 13. Gambar 72. Penentuan trigger hujan di Cikedung Tabel 13. Penentuan indeks hujan di lokasi Cikedung Fase 1 Fase 2 Fase 3 Seluruh Fase Indek Iklim 207612x542,2=183 154612x542,2=136 134612x542,2=119 495612x542,2=438,5

6.3.6. Desain Premi dan Klaim Asuransi

Pembayaran premi ditentukan oleh besarnya risiko. Semakin besar risiko maka nilai premi yang dibayarkan semakin tinggi. Sebaliknya semakin kecil risiko maka premi yang harus dibayar juga semakin rendah. Premi pada umumnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar pihak yang terlibat, pada umumnya sebesar 10-15 dari biaya input, tetapi bisa lebih rendah lagi. Sebagai contoh PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 menetapkan premi 5 untuk asuransi gagal panen akibat serangan hamapenyakit, banjir dan kekeringan akibat kekurangan air irigasi atau anomali iklim. Martirez 2009 memberikan contoh besarnya premi untuk risiko tinggi terhadap berbagai bencana Multi Risk Cover sebesar 12.27. Untuk risiko tinggi terhadap bencana alam Natural Disaster Cover premi yang harus dibayar sebesar 9.07. Premi tersebut bisa dibagi antara pihak yang terkait yaitu petani, lembaga pemberi pinjaman lending institution serta pemerintah. Premi yang harus dibayar petani pada umunya paling rendah, dan porsi terbesar hampir setengahnya adalah pemerintah. Hal ini juga terlihat dalam proyek percontohan asuransi pertanian yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BUMN pertanian dan BUMN asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012 di Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur, masing-masing 1000 ha untuk menjamin usahatani padi dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau serangan OPT. Dalam proyek percontohan ini, premi yang ditanggung Pemerintah sebesar 80 dari Rp. 180000haMT dengan nilai pertanggungan jika gagal panen puso dengan kriteria tertentu Rp. 6 jutaha, atau sebesar Rp. 144 ribu, sementara petani membayar sisanya 20, yaitu sebesar Rp. 36 ribu Pasaribu 2012. Dari hasil di Cikedung, antara fase 1, 2 dan 3 curah hujan yang paling besar pengaruhnya terhadap keragaman hasil adalah pada fase 2. Apabila petani mengasuransikan indeks hujan pada fase 2 ini, maka premi yang dibayarkan akan lebih tinggi dibandingkan fase 1 dan 3. Dalam membuat desain premi perlu dipertimbangkan kesediaan membayar WTP oleh petani yang sudah disajikan dalam Bab V tentang usahatani padi. Besarnya klaim ditentukan oleh nilai premi dikalikan dengan periode ulangnya. Peluang diperoleh dari besarnya frekuensi dibagi dengan periode datanya. Dalam contoh kasus di Cikedung, periode data yang memenuhi analisis untuk threshold adalah 1981-2009 29 tahun. Semakin besar peluang terjadinya nilai produksi kurang dari threshold, maka akan semakin besar nilai preminya karena risikonya semakin tinggi. Untuk mendapatkan gambaran tentang klaim asuransi, maka berikut disajikan contoh perhitungan klaim asuransi indeks iklim. Dalam kasus di Cikedung, telah diperoleh nilai indeks hujan pada setiap fase, masing-masing adalah 183 mm fase 1, 136 mm fase 2 dan 119 mm fase 3 dan total satu periode tanam sebesar 439 mm. Untuk kumulatif curah hujan, diperoleh nilai rata-rata curah hujan per fase pada MK yaitu 76 mm fase 1, 37 mm fase 2 dan 58 mm fase 3. Untuk aplikasi di lapang, nilai kumulatif curah hujan diperoleh berdasarkan hasil pengamatan selama masing-masing fase tanaman. Dalam penelitian ini digunakan varietas padi IR 64 dengan umur 110 hari dengan umur setiap fasenya 45 hari fase 1, 35 fase 2 hari dan 30 hari fase 3. Untuk perhitungan klaim asuransi digunakan persamaan formula yang disusun oleh Martirez 2009, yaitu : Untuk studi kasus di Kecamatan Cikedung, diasumsikan polis yang diambil petani senilai Rp 5,000,000. Indeks hujan selama satu periode tanam adalah 439 mm, maka nilai per mm curah hujan adalah Rp. 5,000439 = Rp. 11.402,-. Untuk menghitung nilai per mm defisit hujan per fase tanaman diperlukan nilai persentase yang diambil dari persamaan 1, sebagai berikut : Fase 1 adalah 0.34xRp.5000439=Rp.3.9 per mm curah hujan Fase 2 adalah 0.43xRp.5000439=Rp.4.9 per mm curah hujan Fase 3 adalah 0.23xRp.5000439=Rp. 2.6 per mm curah hujan Tabel 14. Jika petani mengasuransikan indeks iklim untuk satu periode tanam tercapai kondisi di mana curah hujan kumulatif lebih rendah dari indeks hujan, maka total klaim sebesar Rp. 5,315,050, tetapi maksimum pembayaran adalah Rp. 5,000,000 sesuai dengan jumlah nilai yang diasuransikan. Pembayaran = Indek Hujan-Curah hujan Kumulatif x unit pembayaran x Total yang diasuransikan1000 Tabel 14. Contoh perhitungan dalam klaim asuransi indeks iklim di Cikedung Fase Indeks Hujan mm 1 Nilai per mm defisit Rp 2 Kumulatif hujan mm 3 Perhitungan Keuntungan 4=1-32 Nilai Klaim Rp 5=4Nilai Polis Fase 1 Vegetatif 183 3.9 76 416 2.081.489 Fase 2 Pembungaan 136 4.9 37 487 2.437.466 Fase 3 Pengisian Biji 119 2.6 58 159 796,094 Total klaim 5.315.050 Berdasarkan Gambar 73, maka periode yang berpeluang untuk dijadikan produk asuransi indeks iklim adalah pada tanggal tanam 15 Jan-15 Feb, serta 15 September-15 Oktober, yaitu dengan periode ulang 2-4 tahun. Periode yang berpeluang tinggi mengalami kekeringan, yaitu pada periode April-Juni. Apabila petani mengasuransikan indeks curah hujan pada periode April-Juni tersebut baik selama satu musim maupun per fase, maka pembayaran preminya akan lebih mahal dibandingkan periode yang lain. Gambar 73. Periode ulang produksi threshold 2711 kgha

6.3.7. Model Asuransi Indeks Iklim

Asuransi indeks iklim adalah alat yang relatif baru yang dapat digunakan oleh petani untuk mengelola risiko iklim. Parameter iklim yang bisa digunakan untuk penyusunan indeks iklim cukup beragam. Menurut Manuamorn 2010, indeks iklim yang bisa digunakan antara lain : curah hujan, suhu udara, kecepatan angin, kelembaban tanah dan growing degree day. Dalam penelitian ini parameter iklim yang dipilih adalah curah hujan. Hal ini disebabkan curah hujan merupakan parameter iklim yang paling berpengaruh terhadap fluktuasi produksi padi. Manuamorn 2010 juga menyebutkan bahwa dalam pertanian, indeks yang paling sering digunakan adalah indeks hujan yang ditujukan untuk memproteksi petani dari bencana kekeringan. Penyusunan indeks iklim memerlukan input data yang utama yaitu data curah hujan runut waktu dalam jangka panjang 30-40 tahun Mapfumo 2007. Oleh karena itu keberadaan stasiun hujan menjadi sangat penting. Selain itu, pengembangan model asuransi indeks iklim, perlu didukung dengan data usahatani padi serta kesediaan membayar. Penyusunan model asuransi indeks iklim memerlukan beberapa tahapan mulai dari desain produk hingga perhitungan klaim. Didalam desain produk dilakukan tahapan sebagai berikut : 1. Menganalisis hubungan antara curah hujan dan produksi padi. Produksi padi diestimasi dengan model simulasi tanaman DSSAT. 2. Menganalisis hubungan produksi padi dengan RC untuk mendapatkan threshold produksi padi 3. Membuat desain indeks iklim berdasarkan hubungan curah hujan dan produksi padi serta threshold produksi. Penghitungan indeks iklim sebaiknya dilakukan oleh suatu tim yang disebut “sains proker” yang bekerja memberi pemahaman baik dari sisi peserta asuransi dalam hal ini petani maupun yang memberi asuransi bankjasa keuangan lainnya Boer, 2012. Tahap selanjutnya adalah pemasaran produk yang mencakup penyebaran dan penjelasan polis, umpan balik konsumen dan pembelian polis. Indeks iklim yang telah disepakati dan diaplikasikan selanjutnya dipantau selama periode asuransi. Tahap terakhir adalah penghitungan klaim dan pembayaran. Jika curah hujan selama periode asuransi lebih rendah dari exit akan dilakukan pembayaran penuh. Apabila lebih rendah dari trigger akan dilakukan pembayaran parsial, sedangkan apabila curah hujan selama periode asuransi lebih besar dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Diagram alir model asuransi indeks iklim secara garis besar disajikan dalam Gambar 74. Gambar 74. Diagram alir model asuransi indeks iklim dimodifikasi dari Martirez 2009 Dalam konsep asuransi indeks iklim, petani akan memperbarui kontraknya setiap tahun, Jadi indeks iklim yang dihasilkan juga akan diperbarui setiap tahunnya. Hal ini dilakukan agar indeks bisa mewakili kondisi iklim dengan masukan data terbaru near real time. Terkait dengan waktu pelaksanaannya, asuransi indeks iklim dapat diikuti oleh petani setiap tahun karena kontrak diperbarui setiap tahunnya. Kontrak tahun ini dibuat untuk periode asuransi yang akan datang. Persyaratan mengikuti asuransi indeks iklim menurut Mapfumo 2007 adalah : 1. Tersedia jaringan stasiun cuaca. 2. Tersedia data yang berkualitas dan dalam runut waktu yang panjang 30-40 tahun. 3. Kepadatan petani tinggi di sekitar stasiun meteorology tertentu. 4. Pola cuaca relatif seragam dalam radius tertentu dari stasiun cuaca 5. Kapasitas memegang air tanah water holding capacity yang relatif sama untuk lahan pertanian yang diasuransikan terhadap stasiun tertentu. 6. Jaringan pengiriman yang institusional hingga bisa mencapai ke petani yang berkomitmen untuk asuransi ini dan yang memiliki kemampuan teknis mengelola proses ini. 7. Mendistribusikan dan memasarkan produk ke petani 8. Kemampuan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para petani 9. Penanggung atau pengambil risiko bersedia untuk menanggung risiko atau bertindak sebagai perantara pasar untuk risiko. Syarat lainnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk mengikuti program asuransi indeks iklim ini, maka petani harus memiliki tanaman padi yang diusahakan di lahan sawahnya. Petani bisa memanfaatkan kalender tanam untuk mendapatkan informasi saat tanam yang tepat. Penentuan saat tanam yang tepat serta keikutsertaan dalam asuransi indeks iklim akan membantu petani mengelola usahataninya dengan optimal. Asuransi indeks iklim didesain untuk membantu petani meningkatkan produktifitasnya. Pada tahun-tahun yang baik good year, petani diharapkan bisa meningkatkan teknologi inputnya varietas, pupuk, obat- obatan, dan lain-lain sehingga produksinya meningkat. Sementara pada tahun- tahun buruk bad year petani akan mendapat klaim pembayaran asuransi indeks iklim. Dengan demikian petani diharapkan akan lebih berani dalam mengambil risiko. Pada intinya dalam pengembangan asuransi indeks iklim, ada tiga aspek yang terkait, yaitu finansial, produksi dan sosial. Asuransi indeks iklim membuka peluang bagi petani untuk diuntungkan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Apabila petani sejahtera, maka hal tersebut merupakan keberhasilan dan prestasi bagi Kementerian Pertanian. Selain itu juga akan mengurangi gejolak sosial. Untuk aplikasi asuransi indeks iklim, penentuan lokasi bisa dilakukan dengan data dan informasi berdasarkan peta endemik kekeringan. Selain itu, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah : 1 iklimbiofisik, 2 posisi strategis sebagai sentra produksi, dan 3 kondisi petani Las 2012.

6.4. Simpulan