6.2.4. Penentuan Indeks Iklim
Analisis  indeks  iklim  dilakukan  setelah  diperoleh  hasil  analisis  berupa  :  1 persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi serta 2 nilai threshold
produksi  padi.  Persamaan  hubungan  antara  curah  hujan  dan  produksi  padi diperoleh  setelah  dilakukaan  simulasi  tanaman.  Nilai  threshold  produksi  padi
diperoleh dari hasil analisis usahatani padi, yaitu pada saat nilai RC=1 yang telah dihasilkan dari analisis pada Bab 5. Apabila sudah diperoleh persamaan hubungan
antara hasil padi  dan  curah hujan, maka nilai  threshold produksi padi  digunakan sebagai  input  dalam  persamaan  hubungan  antara  curah  hujan  dan  produksi  padi
sebagai  dasar  penentuan  indeks  iklim.  Perhitungan  indeks  iklim  dilakukan  untuk stasiun hujan referensi Cikedung.
Tahapan  analisis  untuk  menentukan  indeks  iklim  adalah  :  1  hasil  simulasi DSSAT  yang  telah  diperoleh  pada  tahap  sebelumnya  disusun  menjadi  suatu
persamaan yang menghubungkan parameter curah hujan dan hasil yield padi, 2 nilai  threshold  produksi  yang  telah  diperoleh  dari  hasil  analisis  usahatani
digunakan  sebagai  input  ke  dalam  persamaan  hubungan  antara  curah  hujan  dan hasil  padi  untuk  menentukan  trigger  curah  hujan,  3  dibuat  persamaan  yang
menghubungkan antara produksi padi dan curah hujan setiap fase padi, 4 dihitung nilai  indeks  hujan  pada  setiap  fase  tanaman  padi,  5  disusun  skenario  klaim
asuransi berdasarkan persamaan Martirez 2009 yaitu :
6.3. Hasil dan Pembahasan 6.3.1.
Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Tadah Hujan
Hasil  simulasi  tanaman  padi  pada  lahan  tadah  hujan  di  lokasi  penelitian dibedakan  untuk  MK  dan  MH.  Untuk  MK  periodenya  adalah  April-September,
sedangkan  MH  Oktober-Maret.  Secara  umum,  hasil  simulasi  tanaman  di  lahan tadah  hujan  memperlihatkan  rata-rata  produksi  padi  antara  1.1-1.4  tonha  pada
MK  dan  3.3-4  tonha  pada  MH.  Sementara  hasil  observasi  berdasarkan wawancara  dengan  petani  diperoleh  rata-rata  produksi  berkisar  antara  3.2-3.6
tonha pada MK dan 4.7-5.7 tonha pada MH. Estimasi pada MK pada umumnya Pembayaran = Indeks hujan-curah hujan kumulatif x unit pembayaran x total
yang diasuransikan1000
lebih rendah dibandingkan observasinya, sedangkan pada MH besarnya produksi hampir mendekati.
Apabila ditinjau untuk masing-masing kecamatan, maka estimasi produksi pada MH pada umum menghasilkan nilai  yang tidak terlalu jauh berbeda dengan
hasil  observasinya  dibandingkan  dengan  musim  MK  Gambar  64a-d.  Simulasi tanaman  untuk  lahan  tadah  hujan  ini  murni  hanya  mendapat  input  air  dari  curah
hujan.  Kemungkinan  kenyataan  di  lapang,  pada  MK  petani  masih  bisa mendapatkan  sisa-sisa  air  pada  MH  sebelumnya.  Hal  ini  yang  menyebabkan
perbedaan hasil pada MK. Hasil  perbandingan  antara  data  produksi  dari  Diperta  Kabupaten
Indramayu dengan hasil simulasi selama periode MT 19921993 hingga MT 2000 memperlihatkan  nilai  R
2
sebesar  0.7  untuk  Cikedung,  0.1  untuk  Lelea  dan  0.5 untuk Kandanghaur Gambar 65.
Gambar 64.   Perbandingan  produksi  padi  antara  hasil  simulasi  dan  observasi  di lahan tadah hujan
a b
c d
Gambar 65. Perbandingan antara data produksi hasil simulasi dan observasi
Dikaitkan  dengan  pola  hujan,  maka  hasil  simulasi  tanaman  ini memperlihatkan  pola  yang  mirip  dengan  curah  hujan.  Hal  ini  disebabkan  pada
simulasi  tanaman  di  lahan  tadah  hujan,  skenario  yang  diterapkan  adalah  tanpa irigasi,  artinya  input  air  untuk  tanaman  murni  hanya  dari  curah  hujan.  Pada  saat
curah  hujan  tinggi,  maka  tanaman  akan  mendapat  kecukupan  air  sehingga produksinya  tinggi.  Sebaliknya  pada  saat  curah  hujan  rendah,  maka  pasokan  air
untuk  tanaman  juga  berkurang  dan  pada  akhirnya  produksi  tanaman  akan menurun. Pada kondisi tertentu ketika curah hujan lebih rendah dari 50 mmbulan
tetapi  produksi  meningkat  kemungkinan  disebabkan  pengaruh  penggunaan  input seperti pupuk dalan lain-lain sehingga mampu memberikan produksi  yang cukup
baik.  Hubungan  antara  produksi  padi  dengan  pola  curah  hujan  di  lahan  tadah hujan untuk masing-masing kecamatan disajikan dalam Gambar 66a-d.
Terkait dengan fenomena El-Nino, maka produksi padi di lokasi penelitian juga  memperlihatkan  dampak  yang  cukup  signifikan.  Berdasarkan  data  kejadian
El Nino dari tahun 1951-2010 Hidayati et al. 2010, maka dari periode data yang digunakan dalam analisis ini dapat dikelompokkan berdasarkan tahun kejadian El
Nino lemah, sedang dan kuat. Tahun-tahun kejadian El-Nino lemah adalah : 1968, 1969,  1976,  1977,  2004  dan  2006.  Tahun  El-Nino  sedang  adalah  :  1986,  1987,
1994  dan  2002.  Tahun  El-Nino  kuat  adalah  :  1965,  1972,  1982,  1991,  1997  dan 2009. Berdasarkan tahun kejadian El-Nino tersebut dan dikaitkan dengan produksi
padi,  maka  terlihat  bahwa  pada  tahun-tahun  kejadian  El-Nino,  sebagian  besar produksi  padi  menurun.  Sebagai  contoh  di  Kecamatan  Cikedung  dan
Kandanghaur,  kejadian  El  Nino  telah  memberi  dampak  terhadap  menurunnya produksi padi, bahkan di tahun yang tidak El Nino pun terjadi penurunan produksi
Gambar 67a-c.
Gambar 66. Hubungan pola curah hujan dan produksi padi di lahan tadah hujan
Gambar 67. Produksi padi dan kejadian El-Nino periode 1965-2009 a
b
d c
6.3.2. Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Irigasi
Simulasi  tanaman  padi  untuk  lahan  irigasi  dilakukan  dengan  asumsi tanaman  akan  tumbuh  optimum  apabila  kebutuhan  airnya  tercukupi.  Air  akan
secara  otomatis  ditambahkan  ketika  tanaman  mengalami  kekurangan  air.  Oleh karena itu plot hasil produksi akan menunjukkan produksi tinggi meskipun curah
hujan rendah. Tanaman tidak tergantung pada curah hujan, karena ada tambahan air melalui irigasi.
Lahan  irigasi  di  lokasi  penelitian  sebagian  besar  merupakan  lahan  irigasi ujung golongan IIIIV. Rata-rata produksi padi di lahan ini berkisar antara 3.8-5.0
tonha pada MK dan 5.1-5.9 tonha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman memperlihatkan nilai produksi berkisar antara 3-7.3 tonha pada MK dan 4.4-5.9
tonha pada MH. Pada MH, secara umum produksi padi antara hasil simulasi dan observasi  menunjukkan  hasil  yang  hampir  sama  baik  di  kecamatan  Cikedung,
Lelea,  Kandanghaur  dan  Terisi  Gambar  68a-d.  Untuk  penentuan  indeks  iklim, hasil  simulasi  yang  digunakan  adalah  untuk  lahan  tadah  hujan  karena  sangat
dipengaruhi oleh curah hujan.
Gambar 68.   Perbandingan  produksi  padi  antara  hasil  simulasi  dan  observasi  di lahan irigasi
b a
d c
6.3.3. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi
Hubungan  curah  hujan  dan  produksi  padi  dinyatakan  melalui  persamaan polinomial  antara  kedua  parameter  tersebut.  Produksi  padi  diperoleh  dari  hasil
simulai  DSSAT  untuk  skenario  tanggal  tanam  1  dan  15  setiap  bulan.  Data produksi  padi  menggunakan  data  simulasi  karena  dibutuhkan  data  runut  waktu
yang panjang, sedangkan apabila menggunakan data produksi aktual ketersediaan datanya terbatas. Untuk kepentingan asuransi indeks iklim, maka curah hujan dan
produksi padi dipilih untuk musim kemarau MK saja. Hal ini disebabkan bahwa pada MK tanaman padi berpeluang besar mengalami kekeringan baik pada lahan
tadah  hujan  maupun  irigasi,  sehingga  risiko  petani  pada  MK  ini  cukup  besar. Risiko  kekeringan  yang  harus  ditanggung  oleh  petani  ini  dapat  diminimalkan
dengan cara beradaptasi terhadap kejadian iklim ekstrim yang salah satu  opsinya adalah melalui pengembangan model asuransi indeks iklim.
Untuk  keperluan  pengembangan  asuransi  indeks  iklim,  maka  perlu ditentukan  indeks  iklim  yang  dalam  penelitian  ini  parameter  iklim  yang  diplih
adalah  curah  hujan,  sehingga  untuk  selanjutnya  akan  digunakan  istilah  indeks hujan.  Hubungan  curah  hujan  dan  produksi  padi  serta  penentuan  indeks  hujan
akan dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung.. Pola curah hujan di stasiun Cikedung adalah monsunal dengan curah hujan
terendah  pada  bulan  Agustus.  Curah  hujan  tertinggi  pada  umumnya  terjadi  pada bulan  Januari.  Demikian  juga  dengan  pola  hari  hujan  yang  juga  mengikuti  pola
curah hujan. Rata-rata hari hujan berkisar antara 1-13 hari per bulan dengan hari hujan terbanyak pada bulan Januari Gambar  69a. Curah hujan maksimum pada
bulan  Januari  dan  Februari  bisa  mencapai  lebih  dari  500  mmbulan,  tetapi  di Bulan  Agustus  maksimum  curah  hujan  hanya  mencapai  kurang  dari  100
mmbulan Gambar 69b. Hubungan curah hujan dan produksi padi dianalisis untuk mengetahui pola
hubungan  antara  kedua  parameter  tersebut  baik  pada  seluruh  fase  maupun  pada setiap fase. Skenario yang digunakan adalah tanpa irigasi. Secara umum baik pada
MH maupun MK, pola hubungan curah hujan dan produksi padi memperlihatkan bahwa semakin bertambah curah hujan produksi semakin meningkat hingga suatu
batas  tertentu  setelah  itu  menurun.  Hubungan  kedua  parameter  tersebut  juga
cukup  tinggi  yang  ditunjukkan  oleh  nilai  R
2
sekitar  0.5-0.7  kecuali  fase  2. Apabila dibedakan untuk  setiap  fase tanaman,  maka fase 3 memperlihatkan pola
hubungan yang lebih erat dibandingkan fase 1 dan 2 Gambar 70.
Gambar 69.   Pola curah hujan, hari hujan a dan curah hujan maksimum b di Stasiun Cikedung
Gambar 70. Hubungan curah hujan dan produksi padi di Cikedung. Untuk  mengetahui  pengaruh  curah  hujan  setiap  fase  terhadap  keragaman
hasil,  maka  dilakukan  analisis  regresi  terboboti  antara  curah  hujan  dan  produksi padi dan diperoleh persamaan :
Y = 0.830 X
1
+ 5.08 X
2
+ 4.09 X
3
................1 Di  mana  Y=hasil  padi,  X
1
merupakan  curah  hujan  pada  fase  1,  X
2
curah hujan  pada  fase  2  dan  X
3
curah  hujan  pada  fase  3.  Dari  persamaan  tersebut
diperoleh  persentase  besarnya  pengaruh  curah  hujan  terhadap  keragaman  hasil adalah 34 untuk fase 1, 43 untuk fase 2 dan 23 untuk fase 3. Diperoleh dari
jumlah kuadrat sequen Seq SS dibagi dengan totalnya. Berdasarakan persentase tersebut curah hujan pada fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap
keragaman  hasil  padi  di  Cikedung  dibandingkan  curah  hujan  pada  fase  1  dan  3. Hasil regresi terboboti selengkapnya disajikan dalam Lampiran 4.
6.3.4. Threshold Produksi Padi
Untuk menentukan indeks iklim, maka diperlukan nilai threshold produksi padi. Nilai threshold produksi padi telah dianalisis pada bab 5. Untuk Kecamatan
Cikedung  pada  MK  baik  di  lahan  tadah  hujan  maupun  irigasi  ujung,  nilai threshold padi adalah sebesar 2711 kgha. Artinya jika produksi padi kurang dari
2711  kgha,  maka  secara  ekonomi  petani  tidak  untung.  Sementara  jika  produksi padi sama dengan 2711 kgha maka secara ekonomi petani tidak untung dan tidak
rugi atau impas. Selama kurun waktu 1981-2009 29 tahun, frekuensi munculnya threshold  produksi  padi  2711  kgha  berkisar  antara  1-29  kali.  Artinya  apabila
saat  tanam  tidak  ditentukan  dengan  tepat,  maka  ada  kemungkinan  terjadi kekeringan  hampir  setiap  tahun.  Sebagai  contoh  untuk  tanggal  tanam  15  April
– 15 Juni frekuensinya 29 kali artinya setiap tahun akan terjadi kekeringan apabila
dilakukan  penanaman  pada  tanggal  tersebut  dan  hanya  mengandalkan  curah hujan.  Pada  MH  frekuensi  kejadian  threshold  lebih  rendah  dari  2711  pada
umumnya kurang dari 15 kali dalam 29 tahun, sedangkan pada MK lebih dari 15 kali dalam kurun waktu 29 tahun.
Peluang  terjadinya  produksi  lebih  rendah  dari  threshold  berkisar  dari  0.1 hingga  1.  Artinya  ada  periode  di  mana  hampir  setiap  tahun  terjadi  threshold
produksi kurang dari 2711 kgha tetapi ada juga yang hanya 3 kali terjadi selama kurun  waktu  29  tahun  Gambar  71a.  Pada  MH  pada  umumnya  peluang
kejadiannya  kurang  dari  0.5,  sedangkan  pada  MK  peluangnya  meningkat  hingga 1.  Melihat  sebaran  peluang  kejadian  ini,  maka  periode  kritis  di  lokasi  Cikedung
cukup  lama.  Hampir  di  sepanjang  MK  peluang  kejadian  dibawah  nilai  treshold lebih  dari  50.  Dipandang  dari  sistim  asuransi,  maka  kondisi  ini  tidak  cukup
menguntungkan  bagi  pihak  asuransi  karena  peluang  kejadiannya  sangat  tinggi. Untuk itu pilihan asuransi perlu dihubungkan dengan periode ulangnya.
Periode  ulang  merupakan  satu  dibagi  nilai  peluangnya.  Untuk  lokasi Cikedung,  periode  ulang  di  mana  produksi  lebih  rendah  dari  threshold
memperlihatkan  kisaran  dari  1  hingga  10  tahun.  Artinya  ada  periode  di  mana setiap  tahun  produksinya  lebih  rendah  dari  threshold,  tetapi  ada  pula  periode  di
mana  hampir  10  tahun  sekali  baru  terjadi  produksi  lebih  rendah  dari  threshold. Periode  ulang  2-10  tahun  pada  umumnya  terjadi  pada  MH,  sedangkan  pada  MK
hampir setiap tahun terjadi produksi yang lebih rendah dari threshold 2711 kgha Gambar 71b.
Gambar 71.   Peluang a dan periode ulang b produksi  threshold 2711 kgha di Kecamatan Cikedung
6.3.5. Penentuan Indeks Iklim
Indeks  iklim  adalah  sebuah  jumlah  yang  diperoleh  dari  hasil  perhitungan data cuaca yang tercatat di stasiun cuaca yang dipilih. Dalam penelitian ini indeks
iklim ditentukan berdasarkan pendekatan Martirez Martirez, 2009.  Indeks iklim ditentukan setelah diperoleh nilai threshold produksi padi dan triger curah hujan,
serta besarnya kontribusi curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil. Untuk lokasi  Cikedung  telah  diperoleh  threshold  produksi  padi  sebesar  2711  kgha.
Selain itu diperlukan persamaan  yang menghubungkan curah hujan dan produksi padi. Pola hubungan curah hujan dan produksi  yang telah dihasilkan dari analisis
sebelumnya  digunakan  untuk  menentukan  indeks  iklim.  Nilai  threshold  sebesar 2711 ini selanjutnya digunakan sebagai nilai y pada persamaan polinomial seperti
dalam  Gambar  72.  Dengan  demikian  untuk  nilai  y=2711  kgha,  maka  diperoleh
nilai  x=542,2.  Artinya  pada  saat  tercapai  nilai  threshold  produksi  padi,  maka curah hujannya adalah sekitar 542,2 mmmusim tanam.
Untuk  menentukan  indeks  hujan  per  fase  tanaman,  maka  digunakan persamaan 1 yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu :
Y = 0.830 X
1
+ 5.08 X
2
+ 4.09 X
3
Selain itu diperlukan nilai  rata-rata curah hujan  per fasenya. Dari data Cidekung diperoleh rata-rata curah hujan pada setiap fasenya  adalah 207 mm fase 1, 154
mm  fase  2  dan  134  mm  fase  3,  dengan  total  curah  hujan  495  mm  dan  total standar  deviasi    612  mmmusim  tanam.  Indeks  hujan  pada  setiap  fase  diperoleh
dengan  memasukkan  nilai  rata-rata  curah  hujan  per  fase  dibagi  dengan  standar deviasinya  dan  dikalikan  dengan  triger  hujan  untuk  satu  musim  tanam.  Setelah
dilakukan  perhitungan,  maka  untuk  lokasi  Cikedung  diperoleh  indeks  hujan masing-masing  adalah  183  mm  fase  1,  136  mm  fase  2,  119  mm  fase  3  dan
438,5 mm untuk seluruh fase Tabel 13.
Gambar 72. Penentuan trigger hujan di Cikedung
Tabel 13. Penentuan indeks hujan di lokasi Cikedung Fase 1
Fase 2 Fase 3
Seluruh Fase Indek Iklim
207612x542,2=183 154612x542,2=136
134612x542,2=119 495612x542,2=438,5
6.3.6. Desain Premi dan Klaim Asuransi
Pembayaran  premi  ditentukan  oleh  besarnya  risiko.  Semakin  besar  risiko maka nilai premi yang dibayarkan semakin tinggi. Sebaliknya semakin kecil risiko
maka  premi  yang  harus  dibayar  juga  semakin  rendah.  Premi  pada  umumnya ditetapkan  berdasarkan  kesepakatan  antar  pihak  yang  terlibat,  pada  umumnya
sebesar 10-15 dari biaya input, tetapi bisa lebih rendah lagi. Sebagai contoh PT Asuransi  Umum  Bumi  Putera  Muda  1967  menetapkan  premi  5  untuk  asuransi
gagal  panen  akibat  serangan  hamapenyakit,  banjir  dan  kekeringan  akibat kekurangan  air  irigasi  atau  anomali  iklim.  Martirez  2009  memberikan  contoh
besarnya premi untuk risiko tinggi terhadap berbagai bencana Multi Risk Cover sebesar  12.27.  Untuk  risiko  tinggi  terhadap  bencana  alam  Natural  Disaster
Cover premi yang harus dibayar sebesar 9.07. Premi tersebut bisa dibagi antara pihak  yang  terkait  yaitu  petani,  lembaga  pemberi  pinjaman  lending  institution
serta  pemerintah.  Premi  yang  harus  dibayar  petani  pada  umunya  paling  rendah, dan  porsi  terbesar  hampir  setengahnya  adalah  pemerintah.  Hal  ini  juga  terlihat
dalam  proyek  percontohan  asuransi  pertanian  yang  dilaksanakan  oleh Kementerian  Pertanian  bekerjasama  dengan  BUMN  pertanian  dan  BUMN
asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012  di Sumatera Selatan, Jawa Barat,  dan  Jawa  Timur,  masing-masing  1000  ha  untuk  menjamin  usahatani  padi
dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau serangan OPT. Dalam proyek percontohan ini, premi yang ditanggung Pemerintah sebesar 80 dari Rp.
180000haMT dengan nilai pertanggungan jika gagal panen puso dengan kriteria tertentu  Rp.  6  jutaha,  atau  sebesar  Rp.  144  ribu,  sementara  petani  membayar
sisanya 20, yaitu sebesar Rp. 36 ribu Pasaribu 2012. Dari  hasil  di  Cikedung,  antara  fase  1,  2  dan  3  curah  hujan  yang  paling
besar  pengaruhnya  terhadap  keragaman  hasil  adalah  pada  fase  2.  Apabila  petani mengasuransikan indeks hujan pada fase 2 ini, maka premi yang dibayarkan akan
lebih  tinggi  dibandingkan  fase  1  dan  3.    Dalam  membuat  desain  premi  perlu dipertimbangkan  kesediaan  membayar  WTP  oleh  petani  yang  sudah  disajikan
dalam Bab V tentang usahatani padi. Besarnya  klaim  ditentukan  oleh  nilai  premi  dikalikan  dengan  periode
ulangnya.  Peluang  diperoleh  dari  besarnya  frekuensi  dibagi  dengan  periode
datanya. Dalam contoh  kasus  di  Cikedung, periode data  yang memenuhi  analisis untuk  threshold  adalah  1981-2009  29  tahun.  Semakin  besar  peluang  terjadinya
nilai  produksi  kurang  dari  threshold,  maka  akan  semakin  besar  nilai  preminya karena  risikonya  semakin  tinggi.  Untuk  mendapatkan  gambaran  tentang  klaim
asuransi, maka berikut disajikan contoh perhitungan klaim asuransi indeks iklim. Dalam  kasus  di  Cikedung,  telah  diperoleh  nilai  indeks  hujan  pada  setiap
fase, masing-masing adalah 183 mm fase 1, 136 mm fase 2 dan 119 mm fase 3  dan  total  satu  periode  tanam  sebesar  439  mm.  Untuk  kumulatif  curah  hujan,
diperoleh  nilai rata-rata curah hujan per fase pada MK yaitu 76 mm fase 1, 37 mm fase 2 dan 58 mm fase 3. Untuk aplikasi di lapang, nilai kumulatif curah
hujan  diperoleh  berdasarkan  hasil  pengamatan  selama  masing-masing  fase tanaman.  Dalam  penelitian  ini  digunakan  varietas  padi  IR  64  dengan  umur  110
hari dengan umur setiap fasenya 45 hari fase 1, 35 fase 2 hari dan 30 hari fase 3. Untuk perhitungan klaim asuransi digunakan persamaan formula yang disusun
oleh Martirez 2009, yaitu :
Untuk  studi  kasus  di  Kecamatan  Cikedung,  diasumsikan  polis  yang diambil  petani  senilai  Rp  5,000,000.  Indeks  hujan  selama  satu  periode  tanam
adalah  439  mm,  maka  nilai  per  mm  curah  hujan  adalah  Rp.  5,000439  =  Rp. 11.402,-.  Untuk  menghitung  nilai  per  mm  defisit  hujan  per  fase  tanaman
diperlukan nilai persentase yang diambil dari persamaan 1, sebagai berikut : Fase 1 adalah 0.34xRp.5000439=Rp.3.9 per mm curah hujan
Fase 2 adalah 0.43xRp.5000439=Rp.4.9 per mm curah hujan Fase 3 adalah 0.23xRp.5000439=Rp. 2.6 per mm curah hujan Tabel 14.
Jika  petani  mengasuransikan  indeks  iklim  untuk  satu  periode  tanam tercapai  kondisi  di  mana  curah  hujan  kumulatif  lebih  rendah  dari  indeks  hujan,
maka total klaim sebesar Rp. 5,315,050, tetapi maksimum pembayaran adalah Rp. 5,000,000 sesuai dengan jumlah nilai yang diasuransikan.
Pembayaran = Indek Hujan-Curah hujan Kumulatif x unit pembayaran x Total yang diasuransikan1000
Tabel 14. Contoh perhitungan dalam klaim asuransi indeks iklim di Cikedung
Fase Indeks Hujan mm 1 Nilai per mm defisit Rp
2 Kumulatif hujan mm
3 Perhitungan Keuntungan
4=1-32 Nilai Klaim Rp
5=4Nilai Polis
Fase 1 Vegetatif 183
3.9 76
416 2.081.489
Fase 2 Pembungaan 136
4.9 37
487 2.437.466
Fase 3 Pengisian Biji 119
2.6 58
159 796,094
Total klaim 5.315.050
Berdasarkan  Gambar  73,  maka  periode  yang  berpeluang  untuk  dijadikan produk asuransi  indeks iklim adalah pada tanggal  tanam  15 Jan-15 Feb, serta 15
September-15  Oktober,  yaitu  dengan  periode  ulang  2-4  tahun.  Periode  yang berpeluang tinggi  mengalami  kekeringan,  yaitu pada periode  April-Juni.  Apabila
petani mengasuransikan indeks curah hujan pada periode April-Juni tersebut baik selama  satu  musim  maupun  per  fase,  maka  pembayaran  preminya  akan  lebih
mahal dibandingkan periode yang lain.
Gambar 73. Periode ulang produksi  threshold 2711 kgha
6.3.7. Model Asuransi Indeks Iklim
Asuransi  indeks iklim adalah alat  yang relatif baru  yang dapat  digunakan oleh  petani  untuk  mengelola  risiko  iklim.    Parameter  iklim  yang  bisa  digunakan
untuk  penyusunan  indeks  iklim  cukup  beragam.  Menurut  Manuamorn  2010, indeks iklim yang bisa digunakan antara lain : curah hujan, suhu udara, kecepatan
angin, kelembaban tanah dan growing degree day. Dalam penelitian ini parameter
iklim yang dipilih adalah curah hujan. Hal ini disebabkan curah hujan merupakan parameter  iklim  yang  paling  berpengaruh  terhadap  fluktuasi  produksi  padi.
Manuamorn 2010 juga menyebutkan bahwa dalam pertanian, indeks yang paling sering  digunakan  adalah  indeks  hujan  yang  ditujukan  untuk  memproteksi  petani
dari bencana kekeringan. Penyusunan  indeks  iklim  memerlukan  input  data  yang  utama  yaitu  data
curah  hujan  runut  waktu  dalam  jangka  panjang  30-40  tahun  Mapfumo  2007. Oleh  karena  itu  keberadaan  stasiun  hujan  menjadi  sangat  penting.  Selain  itu,
pengembangan  model  asuransi  indeks  iklim,  perlu  didukung  dengan  data usahatani padi serta kesediaan membayar.
Penyusunan  model  asuransi  indeks  iklim  memerlukan  beberapa  tahapan mulai  dari  desain  produk  hingga  perhitungan  klaim.  Didalam  desain  produk
dilakukan tahapan sebagai berikut : 1.  Menganalisis hubungan antara curah hujan dan produksi padi. Produksi padi
diestimasi dengan model simulasi tanaman DSSAT. 2.  Menganalisis  hubungan  produksi  padi  dengan  RC  untuk  mendapatkan
threshold produksi padi 3.  Membuat  desain  indeks  iklim  berdasarkan  hubungan  curah  hujan  dan
produksi padi serta threshold produksi. Penghitungan  indeks  iklim  sebaiknya  dilakukan  oleh  suatu  tim  yang
disebut “sains  proker”  yang  bekerja  memberi  pemahaman  baik  dari  sisi peserta
asuransi  dalam  hal  ini  petani  maupun  yang  memberi  asuransi  bankjasa keuangan  lainnya  Boer,  2012.  Tahap  selanjutnya  adalah  pemasaran  produk
yang  mencakup  penyebaran  dan  penjelasan  polis,  umpan  balik  konsumen  dan pembelian polis. Indeks iklim yang telah disepakati dan diaplikasikan selanjutnya
dipantau selama periode asuransi. Tahap terakhir adalah penghitungan klaim dan pembayaran. Jika curah hujan selama periode asuransi lebih rendah dari exit akan
dilakukan  pembayaran  penuh.  Apabila  lebih  rendah  dari  trigger  akan  dilakukan pembayaran parsial, sedangkan apabila curah hujan selama periode asuransi lebih
besar  dari  trigger,  maka  tidak  ada  pembayaran.  Diagram  alir  model  asuransi indeks iklim secara garis besar disajikan dalam Gambar 74.
Gambar 74. Diagram alir model asuransi indeks iklim dimodifikasi dari Martirez 2009
Dalam konsep asuransi indeks iklim, petani akan memperbarui kontraknya setiap  tahun,  Jadi  indeks  iklim  yang  dihasilkan  juga  akan  diperbarui  setiap
tahunnya.  Hal  ini  dilakukan  agar  indeks  bisa  mewakili  kondisi  iklim  dengan masukan data terbaru near real time.
Terkait dengan waktu pelaksanaannya, asuransi indeks iklim dapat diikuti oleh petani setiap tahun karena kontrak diperbarui setiap tahunnya. Kontrak tahun
ini  dibuat  untuk  periode  asuransi  yang  akan  datang.  Persyaratan  mengikuti asuransi indeks iklim menurut Mapfumo 2007 adalah :
1.  Tersedia jaringan stasiun cuaca. 2.  Tersedia  data  yang  berkualitas  dan  dalam  runut  waktu  yang  panjang  30-40
tahun. 3.  Kepadatan petani tinggi di sekitar stasiun meteorology tertentu.
4.  Pola cuaca relatif seragam dalam radius tertentu dari stasiun cuaca 5.  Kapasitas  memegang  air  tanah  water  holding  capacity  yang  relatif  sama
untuk lahan pertanian yang diasuransikan terhadap stasiun tertentu. 6.  Jaringan pengiriman yang institusional hingga bisa mencapai ke petani  yang
berkomitmen  untuk  asuransi  ini  dan  yang  memiliki  kemampuan  teknis mengelola proses ini.
7.  Mendistribusikan dan memasarkan produk ke petani 8.  Kemampuan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para petani
9.  Penanggung  atau  pengambil  risiko  bersedia  untuk  menanggung  risiko  atau bertindak sebagai perantara pasar untuk risiko.
Syarat  lainnya  yang  perlu  diperhatikan  adalah  bahwa  untuk  mengikuti program asuransi indeks iklim ini, maka petani harus memiliki tanaman padi yang
diusahakan  di  lahan  sawahnya.  Petani  bisa  memanfaatkan  kalender  tanam  untuk mendapatkan  informasi  saat  tanam  yang  tepat.  Penentuan  saat  tanam  yang  tepat
serta keikutsertaan dalam asuransi indeks iklim akan membantu petani mengelola usahataninya  dengan  optimal.  Asuransi  indeks  iklim  didesain  untuk  membantu
petani  meningkatkan  produktifitasnya.  Pada  tahun-tahun  yang  baik  good  year, petani  diharapkan  bisa  meningkatkan  teknologi  inputnya  varietas,  pupuk,  obat-
obatan,  dan  lain-lain  sehingga  produksinya  meningkat.  Sementara  pada  tahun- tahun buruk bad year petani akan mendapat klaim pembayaran asuransi indeks
iklim.  Dengan  demikian  petani  diharapkan  akan  lebih  berani  dalam  mengambil risiko.
Pada  intinya  dalam  pengembangan  asuransi  indeks  iklim,  ada  tiga  aspek yang terkait, yaitu finansial, produksi dan sosial. Asuransi indeks iklim membuka
peluang  bagi  petani  untuk  diuntungkan  sehingga  dapat  meningkatkan kesejahteraan.  Apabila  petani  sejahtera,  maka  hal  tersebut  merupakan
keberhasilan  dan  prestasi  bagi  Kementerian  Pertanian.  Selain  itu  juga  akan mengurangi gejolak sosial.
Untuk  aplikasi  asuransi  indeks  iklim,  penentuan  lokasi  bisa  dilakukan dengan  data  dan  informasi  berdasarkan  peta  endemik  kekeringan.  Selain  itu,
faktor  lain  yang  perlu  dipertimbangkan  adalah  :  1  iklimbiofisik,  2  posisi strategis sebagai sentra produksi, dan 3 kondisi petani Las 2012.
6.4. Simpulan