dimana : RC=Revenue and cost Ratio, TR=total penerimaan usahatani padi, TC=total biaya usahatani padi.
Model ini dihitung berdasarkan data survey kebutuhan dan biaya per hektar tanaman padi. Komponen yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi
usaha tani adalah biaya input seperti jumlah dan harga benih, pupuk, pestisida, dan sebagainya. Selain itu juga komponen biaya lainnya yaitu upah untuk
persemaian, gegaleng, penyiangan, penyemprotan, sewa lahan, air, PBB, swadaya, pengolahan tanah, tanam dan sebagainya.
Ambang batas threshold produksi diperoleh ketika petani tidak mendapat keuntungan maupun tidak rugi dalam usahataninya. Kondisi ini
dicerminkan pada saat nilai RC=1. Threshold produksi padi ini digunakan sebagai bagian dalam penentuan indeks iklim. Selain itu, terkait dengan
pengembangan asuransi indeks iklim, dalam penelitian ini dilakukan juga wawancara petani tentang kesediaan membayar Willingness to Pay yang
besarannya dinyatakan dalam bentuk persentase maupun nominal. Quisoner wawancara untuk menggali informasi tentang kesediaan membayar ini
selengkapnya disajikan dalam Lampiran 5 bagian VIII.
5.3. Hasil dan Pembahasan
5.3.1. Karakteristik Petani dan Usahatani Padi
Usia, Pendidikan dan Pekerjaan Responden
Untuk mengetahui karakteristik petani di lokasi penelitian, maka telah dilakukan survey pertama dan wawancara petani di Kecamatan Cikedung, Lelea
dan Terisi yang mencakup 13 desa. Tipe lahan yang diusahakan petani responden mewakili 5 tipe yaitu : irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi PU, swadaya
dan tadah hujan dengan jumlah responden 150 orang. Usia responden didominasi oleh usia lebih dari 30 tahun. Dari keseluruhan
responden 21.3 berusia 45-49 tahun, 16.7 berusia 35-39 tahun, 16.0 berusia 40-44 tahun, 13.3 berusia 50-54 tahun, 8.7 berusia 30-34 tahun, 6.7 berusia
55-59 dan 2 berusia 25-29 tahun. Dari distribusi ini terlihat bahwa kegiatan
pertanian di wilayah studi sebagian besar masih dilakukan oleh petani usia produktif 15-55 tahunGambar 44a.
Tingkat pendidikan responden bervariasi mulai dari tidak sekolah sampai dengan Sarjana. Dari keseluruhan responden persentase yang tamat SD adalah
dominan, yaitu 38.4. Diikuti tidak tamat SD 25.2, tamat SMP 19.9, tamat SMU 9.3, tidak sekolah 4, diplomasarjana 2.6 dan yang
pendidikan 0.7 Gambar 44b. Pekerjaan Utama responden didominasi sebagai petani 91.4, meskipun
ada juga yang mempunyai pekerjaan lain seperti wiraswasta 5.3, pedagang 2 dan aparat pemerintah 0.7 Gambar 44c.
Gambar 44. Persentase usia a, pendidikan b dan pekerjaan utama c responden
Pola Tanam dan Komoditas
Pola tanam yang sebagian besar dilakukan oleh petani adalah padi-padi- bera yaitu 83.4. Selain itu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-palawija
6, padi-bera 5.3, padi-palawija-bera 2, padi-palawija-sayur 1.3 dan padi-palawija-padi 0.7 Gambar 45. Komoditas yang ditanam selain padi
yang merupakan komoditas utama 90.7 adalah padi-palawija 4, padi kacang hijau 2.6, padi-kacang hijau-timun 0.7 Gambar 46.
Gambar 45. Persentase pola tanam yang pada umumnya dilakukan petani
Gambar 46. Persentase jenis komoditas yang umumnya di tanam petani
Varietas dan Luas Lahan
Varietas Ciherang merupakan varietas padi yang paling banyak ditanam petani baik pada MH 72.7 maupun MK-1 76. Alasannya hasil bagus, tahan
hama wereng, umur pendek, harga jual tinggi dan hemat air. Diskripsi varietas Ciherang disajikan dalam Lampiran 1. Varietas lain yang biasa ditanam pada MH
adalah IR 64 1.3, Kebo 22.7, Bestari, Merauke dan Inpari, masing-masing 0.7., sedangkan pada MK-1, selain Bestari dan Inpari, petani juga menanam
kacang hijau dan widas Gambar 47. Luas lahan yang dimiliki petani cukup beragam mulai kurang dari 0.5 Ha
hingga lebih dari 5 Ha. Petani memiliki lahan garapan paling banyak adalah untuk luasan lebih dari 0.5 sampai dengan 1 Ha, yaitu sebanyak 42. Untuk luasan
garapan ≤ 0,5 Ha dimiliki oleh 22 petani. Berikutnya berturut-turut adalah 1.5-
2 Ha 10.7, 1-1,5 Ha 10, 2-2,5 Ha 4, 3-3,5 Ha 4, 2.5-3 Ha 3.3, 3.5-4 Ha 2.7 dan hanya satu orang petani yang memilik lahan lebih
dari 4 Ha dan 6 Ha 0.7 Gambar 48.
Gambar 47. Persentase pilihan varietas yang ditanam petani pada MH dan MK
Gambar 48. Persentase kepemilikan lahan
Produksi Padi
Produksi padi bervariasi sesuai dengan jenis lahan petani. Untuk lahan irigasi teknis, rata-rata produksi padi yang diperoleh paling tinggi dibandingkan
dengan jenis lahan lainnya, yaitu 5,909 tonha. Irigasi setengah teknis 4,862 tonha, swadaya 4,857 tonha, irigasi PU SPU 4,696 tonha dan tadah hujan
3,921 tonha. Hal ini disebabkan pada lahan irigasi teknis, pasokan air lebih tersedia dibandingkan lahan yang lain. Selain itu kondisi saluran irigasi relatif
lebih baik, sehingga tidak banyak air yang terbuang. Hal ini sesuai dengan batasan tentang sawah irigasi teknis, yaitu sawah yang memperoleh pengairan dimana
saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian
irigasi dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Jaringan seperti ini biasanya terdiri dari saluran induk, sekunder dan tersier. Saluran induk, sekunder
serta bangunannya dibangun, dikuasai dan dipelihara oleh Pemerintah Ditjen Sarana dan Prasarana Pertanian, 2012. Namun dalam distribusi airnya, irigasi ini
masih dibedakan lagi berdasarkan golongannya. Golongan 1 adalah wilayah yang mendapat pasokan air irigasi pertama dan berlanjut ke golongan 2, 3, 4 dan 5.
Golongan 4 dan 5 ini merupakan wilayah irigasi ujung yang rawan terhadap kekeringan. Demikian juga dengan lahan sawah tadah hujan dimana sumber
airnya hanya berasal dari curah hujan. Lahan ini juga cukup rawan terhadap kekeringan. Oleh karena itu pada survey kedua difokuskan pada petani di lahan
irigasi ujung dan tadah hujan. Berdasarkan hasil survey dan wawancara petani, produksi maksimum yang
bisa dicapai pada MH di lahan irigasi teknis adalah 7,58 tonha, SPU 8,5 tonha, swadaya dan setengah teknis 7 tonha dan tadah hujan bisa mencapai 6 tonha,
sedangkan produksi minimum pada umumnya kurang dari 4 tonha Gambar 49.
Gambar 49. Produksi padi pada setiap tipe lahan pada MH Hasil survey kedua di 4 kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan
Kandanghaur terhadap 80 responden menghasilkan data dan informasi tentang produksi padi pada setiap musim pada tipe lahan tadah hujan dan irigasi. Fluktuasi
produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 tonha dan pada lahan tadah hujan sekitar 5 tonha. Pada MK dilahan irigasi ujung produksinya
sekitar 4 tonha dan pada tadah hujan 3 tonha Tabel 9.
Tabel 9. Produksi padi di 4 kecamatan pada setiap jenis lahan dan musim TonHa
Kecamatan MH
MK Irigasi
Ujung Tadah
Hujan Irigasi
Ujung Tadah
Hujan
Cikedung
Max 6.429
6.500 5.000
5.000 Min
3.800 3.500
2.667 2.000
Rata-rata 5.078
4.683 3.745
3.342
Lelea
Max 7.714
6.300 6.900
4.480 Min
4.000 3.600
2.857 2.000
Rata-rata 5.769
4.733 5.011
3.436
Terisi
Max 7.143
5.714 5.500
4.200 Min
4.200 4.000
2.857 2.500
Rata-rata 5.864
4.903 4.468
3.550
Kandanghaur
Max 7.500
7.000 6.000
4.714 Min
4.375 5.000
1.857 1.071
Rata-rata 5.685
5.686 3.743
3.229
Risiko Pendapatan Petani
Risiko yang harus ditanggung petani yang mengakibatkan gagal panen pada umumnya disebabkan oleh bencana terkait iklim seperti kekeringan, banjir
dan serangan organisme pengganggu tanaman OPT. Berdasarkan hasil survey dan wawancara petani, maka bencana terkait iklim yang menjadi penyebab utama
gagal panen di Kecamatan Cikedung, Lelea dan Terisi adalah kekeringan, yaitu 79.8, sedangkan gagal panen akibat serangan OPT 15.6 dan akibat banjir
sekitar 5.6 Gambar 50a. Menurut petani, kekeringan pada umumnya berlangsung selama 1-8 bulan.
Bulan terparah dengan periode kekeringan yang sangat panjang 8 bulan dialami oleh sekitar 1.6 petani responden. Berdasarkan hasil survey, petani mengalami
kekeringan yang paling sering adalah selama 6 bulan, yaitu sekitar 32 petani. Kekeringan selama 3 dan 5 bulan juga cukup banyak dialami petani responden,
yaitu masing-masing 17.2 dan 19.5 Gambar 50b. Petani mengalami kekeringan antara 1-8 tahun sekali. Berdasarkan lamanya kejadian kekeringan ini
memperlihatkan bahwa lokasi penelitian ini mengalami kekeringan yang cukup intens. Apabila terjadi kekeringan, petani pada umumnya mengatasinya dengan
pompanisasi, sumur bor dan penggantian tanaman atau ada sebagian yang pasrah menunggu sampai hujan turun.
Gambar 50. Persentase penyebab gagal panen a dan lama kekeringan b
Terkait dengan aspek kredit, sebagian besar petani 51 telah
memanfaatkan fasilitas kredit, sedangkan 37 tidak atau belum melakukan kredit Gambar 51a. Sementara sumber kredit yang dominan adalah Bank 65 yang
meliputi BRI, KUR, dan Bank keliling. Selebihnya berturut-turut adalah saudaratemantetangga 27, Gapoktankelompok tani 5, koperasi 2 dan
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM 1 Gambar 51b. Petani meminjam uang pada umumnya setiap musim yaitu pada saat mau tanam dan
dikembalikan setelah panen.
65 27
2 5 1
Sumber kredit
Bank BRI, KUR, Keliling Saudaratemantetangga
Koperasi Gapoktankelompok tani
PNPM
Gambar 51. Persentase akses terhadap kredit a dan sumber kredit b
Untuk mengetahui respon dari pihak Bank terhadap model asuransi indeks iklim, maka dilakukan wawancara terhadap perwakilan dari Bank BNI cabang
Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Berdasarkan wawancara diperoleh informasi bahwa rata-rata petani yang mengajukan kredit setiap tahunnya adalah sekitar
4.2 dengan rata-rata besar kredit per petani 5 juta rupiah. Laju pengembalian kredit cukup bagus yaitu 93. Apabila petani tidak dapat mengembalikan kredit
biaanya pihak bank mengadakan restrukturisasi atau penjadwalan kembali jangka waktu kredit. Sehubungan dengan model asuransi indeks iklim, pihak bank
menyatakan tertarik untuk menawarkan produk ini kepada petani. Mekanisme pembayaran yang dianggap baik oleh bank adalah individu atau kelompok
tergantung pada sifat kreditnya. Mengacu pada data Bank Indonesia, nilai penyaluran kredit untuk sektor
pertanian dan kehutanan di Indonesia meningkat signifikan dalam tahun 2010- 2011. Pada tahun 2009, nilai kredit untuk sektor ini mencapai Rp. 7.6 triliun.
Angka tersebut melonjak menjadi Rp. 16.7 triliun tahun 2011. Namun apabila dibandingkan dengan total kredit, porsi penyaluran kredit di sektor pertanian dan
kehutanan terus menurun. Tahun 2011 kredit di sektor ini hanya menyumbang 5.7 dari total kredit, atau turun dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 23
Koran Tempo, 3 Oktober 2012. Hal ini disebabkan tingginya risiko di sektor pertanian.
5.3.2. Kelayakan Usahatani Padi
Untuk memperoleh informasi tentang usahatani padi, maka dilakukan survey kedua di Kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur dengan
jumlah responden 80 orang. Petani responden adalah petani yang melakukan usahataninya di lahan sawah irigasi ujung dan tadah hujan, karena berdasarkan
hasil survey pertama, tipe lahan inilah yang rawan terhadap kekeringan. Hasil survey karakteristik petani menunjukkan bahwa petani responden
sebagian besar berusia antara 30-60 tahun. Secara rinci berdasarkan pengelompokkan usia, maka berturut-turut adalah 41-50 tahun 34, 51-60 tahun
30, 31-40 tahun 24, 61-70 tahun 10 dan usia 20-30 tahun sebanyak 2 Gambar 52a. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pertanian masih didominasi
oleh petani dengan usia produktif 15-55 tahun yaitu sekitar 71.3. Pendidikan responden didominasi oleh tamatan SD 49, berikutnya berturut-turut adalah
SMP 24, SMA 13, tidak tamat SD 10, tidak sekolah 3 dan ada satu petani yang tamatan D2 1 Gambar 52b.
Gambar 52. Persentase usia a dan pendidikan b responden Dari 80 responden, rata-rata kepemilikan lahannya adalah 1.8 hektar.
Luasan terkecil adalah 0.1 hektar dan terbesar adalah 8.5 hektar. Berdasarkan klasifikasi luas kepemilikan lahan, maka persentase tertinggi adalah luas lahan
0.5-1 Ha 40 Gambar 53a. Berdasarkan persentase luas lahan lahan, maka sebagian besar responden memiliki lahan yang kurang dari 2 Ha. Berdasarkan
survey dan wawancara, 61 responden atau 49 petani memiliki lahan irigasi ujung, dan 31 petani atau 39 memiliki jenis lahan tadah hujan. Rata2
kepemilikan lahan pada jenis lahan irigasi ujung adalah 1,9 Ha dengan kisaran 0.4-7 Ha. Sementara untuk lahan tadah hujan, rata-rata luas lahannya adalah 1.7
Ha, dengan kisaran 0.1-8,5 Ha Gambar 53b.
Gambar 53. Persentase luas kepemilikan lahan a dan luas tiap jenis lahan b a
b
Klasifikasi Tipe Usahatani Padi
Untuk mengetahui karakteristik usahatani padi, maka dilakukan pengelompokkan tipe petani berdasarkan besarnya biaya input dan produksinya.
Selanjutnya masing-masing dihitung anomalinya dan diplot masing-masing untuk MH, MK serta MH dan MK Gambar 54. Hasil analisis memperlihatkan adanya
4 tipe petani dalam usahatani padi di lokasi penelitian, yaitu : 1 petani dengan anomali biaya input dan anomali produksi positif, 2 petani dengan anomali biaya
input positif dan anomali produksi negatif, 3 petani dengan anomali biaya input dan anomali produksi negatif, dan 4 petani dengan anomali biaya input negatif
dan anomali produksi positif. Pada tipe 1, petani harus mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi
untuk menghasilkan produksi yang tinggi pula. Pada tipe 2, meskipun petani mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi tetapi produksinya tidak cukup
tinggi. Pada tipe 3, petani mengeluarkan biaya input yang rendah dan produksi yang dihasilkan juga rendah. Pada tipe 4, petani mengeluarkan biaya input yang
rendah tapi menghasilkan produksi yang cukup tinggi. Sebagai gambaran persentase petani tipe 1 pada setiap musim adalah 24 MH, 30 MK dan
23 MH dan MK. Tipe 2, persentasenya adalah 15 MH, 13 MK dan 18 MH dan MK. Untuk tipe 3, persentasenya paling tinggi dibandingkan tipe
lainnya, yaitu 35 MH, 32 MK dan 36 MH dan MK, sedangkan untuk tipe 4, persentasenya adalah 26 MH, 25 MK dan 24 MH dan MK
Tabel 10. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar petani di lokasi penelitian adalah tipe 3. Pada MH, petani tipe 4 cukup besar 26. Biaya input yang rendah
tetapi produksi tinggi pada tipe 4 ini sangat dibantu oleh faktor curah hujan, sedangkan pada MK, tipe 1 persentasenya cukup besar 30. Hal ini dikarenakan
untuk mengejar produksi yang tinggi sementara ketersediaan air terbatas, petani harus mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi. Selain biaya berupa pupuk
dan lain-lain, biaya untuk irigasi juga cukup besar. Proporsi rata-rata biaya, rata- rata produksi dan anomalinya pada MH dan MK disajikan dalam Gambar 55 dan
56. Klasifikasi ini memberikan gambaran bahwa usahatani padi memberikan beberapa pilihan untuk mencapai produksi yang tinggi. Untuk mengetahui apakah
usahatani padi masih memberikan keuntungan dan layak diusahakan, maka dilakukan analisis RC dan BC.
Gambar 54. Klasifikasi usahatani padi pada MH, MK serta MH dan MK Tabel 10. Persentase tipe petani berdasarkan biaya input dan produksi
MH MK
MH dan MK Tipe 1
24 30
23 Tipe 2
15 13
18 Tipe 3
35 32
36 Tipe 4
26 25
24
Gambar 55. Proporsi antara biaya input dan anomalinya a serta produksi dan anomalinya b pada MH
Gambar 56. Proporsi antara biaya input dan anomalinya a serta produksi dan anomalinya b pada MK
Karakteristik Usaha Tani Padi
Analisis usahatani padi di Kabupaten Indramayu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana nilai ekonomi yang dihasilkan petani terhadap usaha
budidaya tanaman padi nya, apakah sudah memberikan keuntungan atau rugi atau hanya balik modal saja. Untuk mengetahui hal tersebut, maka digunakan analisis
dengan Revenue Cost Ratio RC. RC merupakan perbandingan antara biaya input dengan pendapatan yang diperoleh.
Musim Hujan MH. Pada MH, petani pada umumnya mulai tanam pada
bulan Oktober hingga awal Januari. Pupuk utama yang digunakan adalah Urea dan TSP dengan dosis rata-rata 1,5 kuintal per hektar, serta Ponska 1 kuintal per
hektar. Pupuk Urea, TSP dan Ponska pada umumnya diberikan dua kali selama masa tanam yaitu sekitar 15 hari setelah tanam HST dan 30 HST. Pada lahan
irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 juta per hektar lahan. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan usahatani padi
dari hasil percobaan lapang demplot hasil penelitian Impron et al. 2011, yaitu sebesar Rp. 9.3 juta per hektar. Pada lahan tadah hujan, biaya input sedikit lebih
rendah yaitu Rp. 8.7 juta per hektar. Biaya produksi ini termasuk tinggi dibandingkan biaya rata-rata sebesar 5-6 juta rupiahhektarmusim Pasaribu,
2012. Besarnya biaya ini disebabkan pada lahan irigasi ada penambahan biaya irigasi sehingga menambah biaya input. Selain itu juga ada biaya sewa lahan.
Pupuk dan obat-obatan yang digunakan petani juga cukup intensif dengan berbagai jenis produk, sehingga juga menambah biaya produksi. Berdasarkan data
dan informasi dari Dinas Pertanian serta wawancara petani, biaya sewa lahan
sawah di Kabupaten Indramayu adalah senilai dengan 3.5 hingga 4 ton gabah per hektar per tahun. Apabila harga gabah di Kabupaten Indramayu sebesar Rp.
500000 per kuintal data Bulan Januari 2012, maka biaya sewa lahannya berkisar antara Rp. 17500000 hingga Rp. 20000000 per hektar per tahun. Produksi padi
pada MH di lahan irigasi ujung berkisar antara 4-7 tonha. Sebagai pembanding, percobaan demplot Impron et al. 2011 diperoleh hasil sebesar 6.9 tonha. Harga
gabah di tingkat petani berkisar antara Rp. 2800-3900kg, dengan rata-rata Rp. 3300kg. Untuk panen padi dari demplot Impron et al. 2011 diperoleh harga
gabah basah pada MH sekitar Rp. 3700kg dan GKG sekitar Rp. 4000kg.
Musim Kemarau MK . Pada MK, petani pada umumnya melakukan
tanam mulai bulan Maret sampai dengan Juni. Pupuk yang digunakan pada MK sebagian besar sama dengan MH, baik dosis maupun pemberiannya. Pemakaian
pestisida dan obat-obatan sangat intensif, baik pada MH maupun MK. Dari survey dan wawancara petani, diperoleh data dan informasi bahwa ada berbagai merek
dagang yang digunakan petani yang sebagian besar hanya karena iklan atau ikut sesama teman yang terlebih dulu menggunakan. Petani bingung dengan begitu
banyaknya produk obat-obatan pembasmi hama. Pengetahuan terhadap khasiat obat-obatan juga masih terbatas. Selama ini hanya bertanya ke tokokios penjual
obat-obatan. Harga obat-obatan tersebut juga cukup mahal. Oleh karena itu, biaya input petani menjadi besar. Biaya input pada MK di lahan irigasi sekitar Rp. 8.9
juta per hektar. Di lahan tadah hujan sekitar Rp. 7.9 juta per hektar. Pada lahan irigasi ada tambahan biaya untuk pengadaan air irigasi. Produksi padi pada MK di
lahan irigasi ujung sekitar 4.3 ton per hektar dan pada lahan tadah hujan sekitar 3.4 ton per hektar. Untuk harga gabah pada MK relatif lebih tinggi dibandingkan
MH, yaitu Rp. 3000-4500kg. Sebagai perbandingan dari hasil panen demplot Impron et al. 2011 diperoleh harga gabah basah MK sebesar Rp. 4200kg dan
GKG Rp. 4500kg. Berdasarkan hasil penelitian Boer et al. 2011 diperoleh informasi, bahwa harga gabah dalam rentang waktu satu tahun di Kabupaten
Indramayu mengalami fluktuasi yang berpola selalu terjadi setiap tahunnya, yaitu pada saat panen raya harga gabah cenderung selalu rendah dibandingkan
harga gabah pada saat musim paceklik. Musim panen raya terjadi pada retang waktu bulan Febuari s.d April, sedangkan pada musim paceklik terjadi pada
rentang waktu bulan September sampai dengan November. Hasil penelitian Hidayati et al. 2011 berdasarkan wawancara dengan petani menunjukkan
kisaran harga gabah Rp 4700 Oktober-Nopember dan Rp 3000 pada Februari- Maret.
Baik pada MH maupun MK, petani di Kabupaten Indramayu, pada umumnya masih menggunakan kearifan lokal, yaitu pranata mangsa untuk
menentukan saat tanam. Berdasarkan pengetahuan tersebut pranata mangsa, para petani terutama petani padi mengatur jadwal tanam mereka dalam jangka satu
tahun. Sebagian besar petani merencanakan pola tanam satu tahun dengan pola padi-padi-palawija tanam padi 2 kali, namun ada juga yang menanam dengan
pola padi-padi-padi terutama pada tipe golongan irigasi I yang mendapatkan kepastian distribusi air stok air selalu tersedia. Variasi komoditas tanam,
sebenarnya tergantung dari keadaan kawasannya, dalam hal ini menyesuaikan tipe irigasinya. Tipe irigasi I umumnya menggunakan pola padi-padi-padi atau padi-
padi-palawija, tipe irigasi II dan III umumnya menggunakan pola padi-padi- palawija, sedangkan tipe irigasi IV umumnya menggunakan pola padi-padi-
palawija atau padi-palawija-palawija. Hal ini tergantung dari ketersediaan airnya atau keadaan iklim tertentu kemarau hujan panjang.
Analisa Pendapatan Biaya Revenue Cost Ratio, CR dan Analisa Manfaat
Biaya Benefit Cost Ratio, BC
Dalam mengusahakan suatu komoditi, seorang petani akan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu apakah komoditas yang akan diusahakan menguntungkan
atau tidak. Dengan adanya dua pilihan tersebut, petani akan semakin selektif dalam memilih komoditas mana yang akan diusahakannya. Untung rugi komoditi
yang diusahakan dipengaruhi oleh besarnya biaya yang dikeluarkan dan besarnya penerimaan yang didapatkan. Besarnya biaya produksi tersebut dipengaruhi oleh :
1 Skala usahatani, 2 efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja, alat-alat dan sarana produksi, 3 produktifitas dan 4 cara pemasaran, harga dan sebagainya
Nurmalinda et al. 1994. Terkait dengan usahatani padi di Kabupaten Indramayu, untuk mengetahui apakah usahatani padi tersebut memberikan keuntungan dan
layak diusahakan atau tidak, maka diperlukan suatu indikator yaitu berupa nilai RC dan BC.
Nilai RC dan BC dianalisis berdasarkan komponen biaya dan produksi serta harga. Biaya meliputi tenaga kerja, sarana dan lain-lain termasuk sewa lahan,
iuran dan sebagainya. Komponen tenaga kerja menyerab biaya yang paling besar dibandingkan sarana dan komponen lainnya. Persentase masing-masing
komponen pada MH adalah tenaga kerja 62.9, sarana 27.6, lain-lain 10.6, sedangkan pada MK, tenaga kerja 60.8, sarana 27.7, lain-lain 13.5. Hasil
penelitian Ariani 2009 juga menyebutkan bahwa biaya tenaga kerja untuk usahatani padi mencapai lebih dari 60. Dari komponen tenaga kerja ini, biaya
terbesar adalah untuk panen. Hal ini dikarenakan petani masih menggunakan sistim bawon dengan perbandingan 5:1 atau 6:1. Untuk biaya sarana yang
meliputi benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan, persentasenya sekitar 27 dari total biaya keseluruhan. Sebagai pembanding, biaya usahatani padi untuk sarana
produksi di Kabupaten Banten sekitar 21.2-25 Ariani et al. 2009 dan di Kabupaten Karawang tahun 2005 sekitar 22-25 Andriati dan Sudana 2007.
Revenue Cost Ratio, RC . Rasio biaya terhadap pendapatan Revenue Cost
Ratio, RC usahatani padi merupakan perbandingan antara pendapatan dengan biaya input usahatani padi. Parameter ini digunakan untuk menilai apakah
usahatani padi yang dilakukan memberikan keuntungan secara ekonomi dan layak untuk diusahakan. Jika nilai RC 1, maka usahatani padi memberikan
keuntungan dan layak diusahakan. Jika RC 1, usahatani padi yang dilakukan belum layak dan belum menguntungkan secara ekonomi. Apabila nilai RC=1,
maka usahatani padi tersebut impas, artinya tidak untung dan tidak rugi. Nilai RC=1 inilah yang akan digunakan untuk menentukan batas ambang threshold
produksi padi. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa nilai RC petani contoh di
Indramayu pada MH sebagian besar lebih dari 1. Nilai RC berkisar dari 0.9 hingga 3.4. Artinya ada petani yang secara ekonomi rugi dalam penerimaan,
meskipun secara sosial merasa untung karena masih bisa panen. Petani dengan RC1 ini adalah petani yang sewa lahan dan produksinya tidak terlalu tinggi.
Rata-rata RC sebesar 2.1. Nilai ini memberi gambaran bahwa untuk setiap biaya
yang dikeluarkan pada awal kegiatan usahatani sebesar Rp. 1000 akan memperoleh pemasukan atau penerimaan sebesar Rp. 2100 pada akhir kegiatan
usahatani. Untuk MK, nilai RC berkisar dari 0.6 hingga 3.2, dengan rata-rata 1.8.
Nilai RC pada MK relatif lebih kecil dibandingkan dengan MH. Hal ini disebabkan produksi padi pada MK lebih rendah dibandingkan pada MH.
Meskipun harga gabah lebih tinggi pada MK dibandingkan MH, tetapi belum dapat meningkatkan pendapatan petani seperti pada MH. Untuk menyiasati situasi
ini, pada umumnya petani mempunyai cara tersendiri untuk memperoleh keuntungan, yaitu dengan menyimpan sebagian gabah yang dihasilkan pada MH
untuk dijual pada MK dimana harganya lebih tinggi. Dengan mengambil nilai gabah rata-rata sebesar Rp. 3000 MH dan Rp. 3400 MK, maka secara umum
analisa kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian menghasilkan nlai RC sebesar 1.94 pada MH dan 1.70 pada MK Tabel 11. Sebagai perbandingan, hasil
penelitian usahatani padi sawah pada MH di Kabupaten Karawang nilai RC nya 1.54-1.70, sedangkan pada MK 1.41 hingga 1.58 Andriati dan Sudana 2007, dan
di Provinsi Banten pada MH sebesar 1.9 hingga 2.3 Ariani et al. 2009.
Tabel 11. Analisis kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian Uraian
MH MK
Total biaya 8,370,800 8,067,282
Produksi tonha 5.4 4.0
Nilai produksi 16,200,000 13,719,000
RC 1.94
1.70 Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata nilai RC, baik pada MH dan MK
pada umumnya nilainya 1, artinya secara ekonomi usahatani padinya memberikan keuntungan dan layak untuk diusahakan, meskipun ada juga petani
yang belum memperoleh keuntungan dari usahataninya yang ditunjukkan oleh nilai RC kurang dari 1. Ada pula petani yang untung di MH, tetapi kurang untung
di MK. Meskipun demikian karena bertani adalah pilihan hidup way of life bagi petani, maka baik untung maupun rugi tetap berusahatani Pasaribu 2012.
Persamaan yang menghubungkan produksi padi dan RC pada MH menunjukkan trend yang meningkat, demikian juga pada MK Gambar 57. Trend
yang meningkat mengindikasikan bahwa usahatani yang dilakukan di lokasi penelitian akan semakin menguntungkan seiring dengan meningkatnya produksi
padi. Peningkatan produksi padi pada MK lebih besar pengaruhnya dalam peningkatan RC. Hal ini ditunjukkan oleh gradien garis trend yang lebih besar
pada MK dibandingkan pada MH. Batas ambang threshold produksi padi diperoleh pada saat nilai RC sama dengan 1, yaitu sebesar 4523.9 pada MH dan
2839.3 pada MK. Nilai threshold produksi ini akan digunakan dalam penentuan indeks curah hujan untuk pengembangan asuransi indeks iklim. Untuk masing-
masing kecamatan nilai RC dibedakan untuk MH dan MK Tabel 12. Nilai threshold berbeda-beda untuk setiap wilayah dan setiap musim. Hal ini
disebabkan nilai threshold ditentukan oleh nilai RC yang diperoleh pada wilayah tersebut pada MH, MK maupun MH dan MK.
Gambar 57. Hubungan produksi padi dan RC pada MH dan MK Tabel 12. Nilai threshold produksi padi pada MK dan MH KgHa
Kecamatan MK
MH Cikedung
2710.8 4034.5
Lelea 2844.2
4575.2 Terisi
2906.3 5075.5
Kandanghaur 3016.7
4782.7
Benefit Cost Ratio, BC. Rasio keuntungan terhadap pendapatan Benefit
Cost Ratio usahatani padi merupakan suatu parameter yang menunjukkan apakah usahatani yang dilakukan meningkatkan pendapatan petani atau tidak. Rasio
antara selisih pendapatan dan biaya input per pendapatan menghasilkan nilai baik positip maupun negatip. Nilai negatip bila pendapatan lebih kecil dari biaya input,
sebaliknya nilai positip jika pendapatan lebih besar dari biaya input. Hasil analisis menunjukkan nilai BC pada MH berkisar antara -0.07
hingga 2.37, dengan rata-rata 1.1. Pada MK diperoleh kisaran nilai BC -0.41 hingga 2.15 dengan rata-rata 0.84. Secara umum nilai BC pada MK lebih rendah
dari MH. Perbedaan yang sering muncul adalah pada faktor produksi dan harga gabah. Pada MH produksi tinggi tetapi harga gabah relatif rendah, sedangkan pada
MK, produksi padi rendah tetapi harga gabah cukup tinggi. Sementara luas tanam relatif sama antara MH dan MK. Selain itu, pada MK biasanya ada penambahan
biaya irigasi untuk lahan yang beririgasi. Namun faktor produksi dan biaya inilah yang pada umumnya berpengaruh terhadap tinggi rendahnya pendapatan petani.
Berdasarkan hubungan antara produksi dan BC diperoleh trend yang cenderung meningkat baik pada MH maupun MK Gambar 58. Peningkatan
produksi pada MK berpengaruh lebih besar terhadap nilai BC dibandingkan pada MH.
Gambar 58. Hubungan produksi padi dan BC pada MH dan MK
Walaupun secara ekonomi usahatani padi di lokasi penelitian menguntungkan dan layak diusahakan, namun petani belum terbiasa mengelola
keuangan dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh hasil wawancara yang
memperlihatkan bahwa 51 petani tidak terbiasa menyimpan uang dari hasil panennya. Sementara sekitar 31 petani sudah terbiasa menyimpan uang, dan ada
yang menyimpan dalam bentuk gabah 3 dan dalam bentuk perhiasan 1 Gambar 59.
Menurut Simatupang dan Rusastra 2004 sebagian besar petani padi adalah keluarga miskin yang lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan pokok
saat ini daripada masa mendatang, sehingga penggunaan modal untuk membiayai ongkos usahatani dan investasi bukan merupakan prioritas utama. Meskipun
sebagian besar petani belum mampu menyisihkan hasil panennya untuk ditabung, dan petani hampir setiap musim atau tahun melakukan kredit pinjam uang untuk
usahataninya, namun menurut petani usahatani padi ini masih tetap memberikan keuntungan dibandingkan komoditas lainnya. Selain itu, petani tidak punya
pilihan lain selain mengusahakan lahannya untuk usahatani padi.
Gambar 59. Persentase kebiasaan petani menyimpan uang dalam usahataninya
5.3.3. Kesediaan Membayar Willingnes to Pay, WTP
Kesediaan membayar merupakan hal penting dalam pengembangan asuransi indeks iklim. Hal ini terkait dengan kemampuan petani dalam
pembayaran premi yang harus dilakukan dalam sistim asuransi. Terkait dengan finansial petani, untuk melakukan usahataninya, petani
pada umumnya memimjam uang baik setiap musim atau setiap tahun ketika akan memulai tanam. Hasil survey dan wawancara menunjukkan bahwa sekitar 65
petani sudah terbiasa dengan fasilitas kredit, 10 tidak melakukan kredit dan hanya 2 petani yang kadang-kadang melakukan kredit Gambar 60a. Bank
merupakan tempat yang paling banyak dituju petani 40 untuk memperoleh pinjaman uang. Selebihnya petani mendapat pinjaman dari kelompok
tanigapoktanRT 12.5, saudara 11.3, tetanggateman 7.5, pegadaian 1.3 dan anak 1.3. Sekitar 26.5 petani tidak melakukan peminjaman
Gambar 60b. Pengembalian pinjaman biasanya dilakukan setelah panen. Mekanisme kredit ini dilakukan petani hampir setiap musim atau setiap tahun,
yaitu pada saat akan memulai tanam.
Gambar 60. Persentase akses kredit petani a dan sumber kredit b dalam usahatani padi
Hasil wawancara terhadap 80 responden di lokasi penelitian, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar petani 82.5 bersedia atau sanggup membayar
premi, dengan besaran yang bervariasi. Hanya 7.5 petani yang tidak bersedia membayar, tergantung yang lain 3.75 dan yang tidak menjawab 6.25.
Pembayaran secara musiman paling banyak disanggupi oleh petani setelah mereka memperoleh hasil panen. Ada beberapa petani juga yang sanggup dengan cara
mencicil tiap bulan dengan kisaran 10000-50000bulan. Sekitar 8.75 petani bersedia membayar premi 10 dari nilai input. Data hasil wawancara
memperlihatkan bahwa petani bersedia membayar hingga Rp.500000,- HaMusim.
Berdasarkan survey kesediaan membayar yang dilakukan di lokasi penelitian, diperoleh bahwa persentase paling besar 28.4 petani bersedia
membayar sebesar 200-300 ribu rupiah per musim. Selanjutnya 25.4 bersedia membayar 100-200 ribu rupiah per musim, 16 bersedia membayar kurang dari
100 ribu rupiah per musim, 13.4 bersedia membayar 300-400 dan 400-500 ribu rupiah per musim, dan hanya 3 yang tidak bersedia membayar premi.
Berdasarkan plot frekuensi WTP, maka persentase kesediaan membayar yang paling besar adalah 200-300 ribu rupiah per musim Gambar 61.
Gambar 61. Frekuensi kesediaan membayar premi oleh petani
Prospek tentang asuransi iklim ini juga dikaji dengan melakukan diskusi dan pengisian quisoner dengan para penyuluh pertanian dalam forum Workshop
“Pendayagunaan Informasi Iklim Untuk Kemandirian Pangan di Kabupaten Indramayu” yang dilaksanakan di kantor Bapeda Kabupaten Indramayu pada
tanggal 12 Juni 2012. Point yang ditanyakan antara lain tentang prospek asuransi iklim, kendala utama yang mungkin dihadapi, lembaga apa yang disarankan untuk
mengelola asuransi koperasi, Bank, kelompok tani, lainnya serta berapa kira-kira kemampuan dalam membayar premi. Hasil workshop menunjukkan bahwa 68
responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjajikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank
52. Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi 32 Gambar 62.
Gambar 62. Prospek dan kendala asuransi indeks iklim di Kabupaten Indramayu
5.4. Simpulan