Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian

Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengubah komposisi atmosfer dan yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang Trenberth, Hougton dan Meira Filho, 1995 diacu dalam Handoko et al. 2008. Perubahan iklim alamiah terjadi secara gradual dalam rentang waktu yang cukup panjang, namun sejak revolusi industri, telah terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang cukup signifikan yang pada akhirnya menyebabkan pemanasan global. Selain meningkatkan suhu udara, pemanasan global juga menyebabkan : a peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim atau anomali iklim seperti El-Nino dan La-Nina, serta penurunan atau peningkatan suhu secara ekstrim; b perubahan dan ketidakmenentuan uncertainty curah hujan dan musim; c peningkatan permukaan air laut dan robb gelombang pasang laut. Banyak bukti menunjukkan bahwa secara global kejadian iklim esktrim semakin sering terjadi. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim salah satunya ditandai oleh makin seringnya muncul berbagai bencana. Bencana hazard merupakan kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang serius, misalnya badai tropis, kemarau panjang, banjir, atau kondisi yang dapat menimbulkan peledakan penyakit tertentu Boer 2008a. Bencana angin kencang yang selama ini jarang melanda wilayah pertanian di Jawa, sekarang jenis bencana ini sudah mulai sering terjadi. Berdasarkan data OFDACRED International Disaster Database, selama periode 1907-2006 bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global mencapai 345 kejadian. Sekitar 60 dari bencana ini merupakan bencana terkait iklim. Dalam periode ini, bentuk becana alam terkait iklim yang pertama kali terjadi baru pada awal tahun 1950an. Kemudian setelah tahun 1980an, jumlah bencana alam terkait iklim yang masuk ke dalam kategori bencana global meningkat tajam Gambar 3. Bentuk bencana iklim yang paling sering terjadi ialah bencana banjir kemudian diikuti oleh tanah longsor, penyakit yang dibawa oleh air dan vektor, angin kencang, kebakaran dan kekeringan. Pada tingkat global frekuensi dan intensitas kejadian bencana iklim juga meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu Sivakumar 2005. Gambar 3. Jumlah bencana terkait iklim menurut jenis kanan dan menurut tahun kiri. Sumber: Diolah dari basis data OFDACRED International Disaster Database Sumber : Boer dan Perdinan 2008c Indikator perubahan iklim berupa kenaikan suhu udara akan berdampak terhadap peningkatan transpirasi, peningkatan konsumsi air, percepatan pematangan buahbiji sehingga mempengaruhi mutu hasil, perkembangan organisme pengganggu tanaman OPT, serta pergeseran pola dan jenis tanaman. Kenaikan muka air laut akan berdampak pada penciutan lahan pertanian di sepanjang pantai akibat genangan air laut dan peningkatan salinitas tanah disekitar pantai. Perubahan pola hujan berdampak terhadap pergeseran masa tanam atau awal musim. Kejadian iklim ekstrim berupa peningkatan curah hujan pada musim hujan MH banjir dan penurunan curah hujan pada musim kering MK kekeringan berdampak pada penciutan luas area tanampanen akibat banjir dan kekeringan. Kejadian iklim esktrim di Indonesia seringkali berasosiasi dengan fenomena ENSO El-Nino and Southern Oscillation yang pada umumnya membawa dampak yang merugikan. Dampak kejadian El-Nino terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam menurut lokasi. Pengaruh El-Nino kuat pada wilayah yang pengaruh sistem monsoon kuat, lemah pada wilayah yang pengaruh sistem equatorial kuat, dan tidak jelas pada wilayah yang pengaruh lokal 108 38 27 10 9 8 2 20 40 60 80 100 120 Fl oo ds La nd s lid es W at er o r V ec to r B or ne d D is ea se s W in d st or m C yc lo ne Fo re st F ire D ro ug ht H ig h Ti de S ur ge F re q u e n c y 2 4 6 8 10 12 14 1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 N u m b e r o f C li m a te -R e la te d . H a za rd s kuat. Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola: 1 akhir musim kemarau mundur dari normal, 2 awal masuk musim hujan mundur dari normal, 3 curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, dan 4 deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia bagian timur. Hasil penelitian Boer dan Las 2003 menunjukkan bahwa wilayah yang terkena bencana iklim banjir, kemarau panjang, angin besar sudah semakin luas dengan tingkat kehilangan produksi yang semakin tinggi. Meningkatnya suhu juga diperkirakan akan menurunkan tingkat produktivitas komoditas pangan seperti padi. Penelitian KP3I Boer 2008b menggambarkan bahwa peningkatan suhu akibat naiknya konsentrasi CO 2 akan menurunkan hasil tanaman. Jika diasumsikan tidak ada konversi sawah dan indeks penanaman tidak mengalami peningkatan, maka pada tahun 2025 produksi padi di tingkat kabupaten diperkirakan akan mengalami penurunan antara 12,500 hingga 72,500 ton. Menurut Cline 2007 diacu dalam Boer 2010b, penurunan produktivitas komoditas pertanian di Indonesia pada tahun 2080 akibat pemanasan global berkisar antara 15-25. Tschirley 2007 menunjukkan bahwa pemanasan global akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan khususnya di daerah tropis. Penurunan dapat mencapai lebih dari 20 apabila suhu naik melebihi 4 o C. Namun demikian peningkatan suhu sebesar 2 o C tetap akan berdampak negatif berupa penurunan hasil tanaman pangan, yaitu sekitar 10 untuk jagung dan 5 untuk padi Gambar 4. Hasil penelitian Handoko et al. 2008 memperlihatkan bahwa kenaikan suhu 2 o C akan menyebabkan penurunan produksi gabah hingga 36.9. Apabila curah hujan turun sebesar 246 mmtahun maka diperkirakan produksi gabah turun 4.6. Jika kedua faktor tersebut digabungkan, maka diperkirakan akan terjadi penurunan produksi padi sekitar 38 Tabel 1. Gambar 4. Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di daerah tropis akibat pemanasan global dan perubahan iklim Sumber : Tschirley 2007. Tabel 1. Dampak perubahan iklim terhadap produksi komoditas strategis dalam kondisi BAU Sumber : Handoko et al. 2008. Komoditas Suhu naik 2 o C CH turun 246 mmth Kombinasi keduanya Padi -36,9 -4,6 -38,0 Jagung -440,0 -20,0 -450,0 Kedelai -285,7 -65,2 -952,0 Tebugula -300,0 -17,1 -328,0 Kelapa sawit -314,2 -21,4 -343,0 Menurut Handoko et al. 2008 dampak kenaikan suhu udara terhadap tanaman padi sawah melalui tiga faktor, yaitu : 1 penurunan luas areal panen akibat kekurangan air irigasi karena meningkatnya evapotranspirasi, 2 penurunan produktivitas karena umur tanaman menjadi lebih pendek cepat matang dan 3 meningkatnya laju respirasi tanaman. Penurunan luas areal panen padi sawah akibat peningkatan suhu udara pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 3.3 di Jawa dan 4.1 di luar Jawa dari luas panen padi saat ini. Dampak yang paling besar dirasakan oleh sektor pertanian khususnya tanaman pangan akibat variabilitas dan perubahan iklim adalah perubahan curah hujan dan pergeseran musim. Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa awal musim kemarau lebih cepat 1-6 dasarian, awal musim hujan mundur Jagung Padi Per u b h an Hasil Perubahan Suhu o C Perubahan Suhu o C 1-3 dasarian, penurunan curah hujan pada musim kemarau dan peningkatan variabilitas curah hujan pada musim hujan Las 2007. Sementara luas areal tanaman padi yang mengalami gagal penen akibat kekeringan tahun 2000, 2004 dan 2008, berturut-turut: 97.221 ha, 190.307 ha dan 423.284 ha. Jumlah kehilangan hasil akibat kekeringan pada tiga tahun yang sama tercatat 201.148 ton, 410.034 ton dan 984.188 ton GKG Pasaribu 2009b. Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh fenomena El-Nino pada wilayah pertanaman padi sangat erat kaitannya dengan pola tanam dan perilaku petani Boer 2002c. Berdasarkan berbagai dampak tersebut, Boer et al. 2011a secara garis besar mensarikan bahwa berdasarkan prosesnya, dampak perubahan iklim dapat dibedakan menjadi langsung, tidak langsung dan konteks yang lebih luas broader context. Dampak perubahan iklim secara langsung terjadi pada sumberdaya pertanian, yaitu terjadinya degradasi dan penciutan sumberdaya lahan, dinamika dan anomali ketersediaan air dan kerusakan sumberdaya genetikbiodiversity. Sistem produksi pangan juga terkena dampak langsung perubahan iklim. Penurunan produktivitas akan berpengaruh terhadap produksi yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya sistim ketahanan pangan dan menyebabkan kemiskinan. Dampak tidak langsung sebagian besar disebabkan adanya dampak komitmen atau kewajiban melaksanakan mitigasi, seperti yang tertuang dalam RAN-GRK, perpres 61 tahun 2011 yang berpengaruh terhadap produktivitasproduksi, ketahanan pangan, pengembangan bioenergi dan sosial ekonomi. Dampak INPRES NO. 10 tahun 2011 berupa penundaan ijin pembukaan hutan produksi dan lahan gambut akan berdampak terhadap program perluasan areal baru serta dampak lainnya. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan iklim terkait dengan kebijakan baik nasional maupun internasional, harga pangan dan sebagainya Tim Road Map 2011. Berdasarkan sifatnya, dampak perubahan iklim global terhadap sektor pertanian dibedakan menjadi tiga yaitu: 1 dampak yang bersifat kontinu berupa kenaikan suhu udara, perubahan hujan dan kenaikan salinitas air tanah untuk wilayah pertanian dekat pantai akan menurunkan produktivitas tanaman dan perubahan panjang musim yang merubah pola tanam dan indeks penanaman. 2 dampak yang bersifat diskontinu seperti meningkatnya gagal panen akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim banjir, kekeringan, angin kencang dll dan meningkatnya gagal panen akibat munculnya serangan atau ledakan hama penyakit baru tanaman. 3 dampak yang bersifat permanen berupa berkurangnya luas kawasan pertanian di kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut. 2.2. Kekeringan dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang berkepanjangan beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Definisi lain menyebutkan bahwa kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. US Weather Bureau diacu dalam Chow 1964 mendefinisikan kekeringan sebagai kondisi kekurangan curah hujan yang begitu banyak dan lama sehingga mengakibatkan adanya pengaruh terhadap tempat hidup tanaman dan hewan dan mengakibatkan berkurangnya suplai air baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk pertumbuhan tanaman, terutama pada daerah yang secara normal cukup untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Kekeringan juga berkonotasi beragam di berbagai belahan dunia. Di Bali, suatu periode dikatakan kering apabila tidak hujan selama 6 hari berturut- turut. Di Libya, suatu wilayah dianggap kering hanya jika tidak terjadi hujan selama 2 tahun. Di Mesir, Sungai Nil dianggap kering jika tidak terjadi banjir sepanjang tahun. Dengan demikian penggambaran kekeringan merupakan suatu hal yang spesifik lokasi dan spesifik waktu. Namun demikian, suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan. Menurut Irianto 2005 secara faktual kekeringan lebih menakutkan dibandingkan banjir dalam hal besaran: luas wilayah, durasi kejadian, biaya dan waktu pemulihannya. Namun seringkali penanggulangannya belum terencana dengan baik akibat kurangnya data dan informasi secara spasial dan temporal tentang wilayah-wilayah endemik kekeringan. Berdasarkan penyebab kejadiannya, kekeringan dibedakan menjadi dua, yaitu i secara alamiah dan ii karena ulah manusia antropogenik. Secara alamiah, kekeringan diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu : 1 kekeringan meteorologis, 2 kekeringan hidrologis, kekeringan agronomis, dan 4 kekeringan sosial ekonomi. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan agronomis berhubungan dengan kekurangan lengas tanah kandungan air dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi.Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi, dan agronomis. Kekeringan Antropogenik adalah kekeringan yang disebabkan karena ketidak-taatan pada aturan terjadi. Kekeringan antropogenik ini disebabkan karena: 1 kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanampenggunaan air, serta 2 kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia www.bakornaspb.go.id . Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah kandungan air dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada phase tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi rusakmengering. Dampak dari bahaya kekeringan ini seringkali secara graduallambat, sehingga jika tidak dimonitor secara terus menerus akan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak urbanisasi www.bakornaspb.go.id . Chow 1964 mengatakan bahwa kekeringan merupakan bentuk kejadian alam yang salah satunya dapat disebabkan oleh anomali iklim El-Nino. Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan erat dengan fenomena ENSO El-Nino Southern Oscillation. Pengamatan dari tahun 1844, dari 43 kejadian kekeringan di Indonesia, hanya enam kejadian yang tidak berkaitan dengan kejadian El‐Nino www.bakornaspb.go.id. Data curah hujan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, memberikan gambaran bahwa di Indonesia pernah terjadi kemarau panjang pada tahun 1903, 1914, 1925, 1929, 1935, 1948, 1961, 1963, 1965, 1967, 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994 dan 1997. Sementara itu penyimpangan iklim El-Nino terjadi pada tahun 1951, 1953, 1957, 1958, 1963, 1965, 1969, 1972, 1977, 1982, 1983, 1987, 1991, 1992, 1993, 1994, 1997. Selama kurun waktu tersebut, dari 17 kali kejadian kemarau panjang, 11 kali diantaranya bersamaan dengan kejadian El-Nino. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan dapat terjadi ketika terjadi penyimpangan iklim El-Nino atau ketika tidak terjadi penyimpangan iklim El-Nino. Namun, kejadian penyimpangan iklim El-Nino dapat memperparah tingkat kekeringan di Indonesia. Banyak tanaman pangan yang mengalami cekaman air water stress sehingga menyebabkan gagal panen. Pada wilayah yang secara faktual lebih basah seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah mengalami kekeringan dan fuso relatif tinggi. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan evaporasi, transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia. Penyebab kekeringan yang utama adalah curah hujan yang berkaitan dengan jumlah uap air di atmosfer. Jika salah satu dari komponen tersebut berkurang, maka hasilnya adalah kekeringan. Aktivitas manusia secara langsung dapat memperburuk dan menjadi faktor pemicu seperti pada pertanian, irigasi berlebihan, deforestasi. Erosi berdampak negatif dalam hal kemampuan tanah untuk menangkap dan menahan air. Dalam bidang pertanian, dari berbagai bencana yang terkait iklim, bencana kekeringan merupakan salah satu bencana yang paling dominan dan menimbulkan kerugian cukup besar. Kekeringan terjadi karena air yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan atau jumlah yang diharapkan. Ditinjau dari aspek klimatologi pertanian, kekeringan merupakan gangguan terhadap keseimbangan hubungan antara tanaman dan air tanah yang mengakibatkan persediaan air dalam tanah tidak mampu mencukupi kebutuhan air tanaman. Di Indonesia, bencana kekeringan yang melanda kawasan pertanian semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena cenderung semakin luas Badan Litbang Pertanian 1996, Sumaryanto dan Friyatno 1999. Berdasarkan peta rawan kekeringan menurut kabupaten Gambar 5 sebagian besar pulau Jawa, sebagian Sulawesi Selatan dan sebagian Kalimantan Selatan merupakan daerah- daerah yang rawan dan sangat rawan terhadap kekeringan. Menurut Boer 2010b jumlah kepala keluarga miskin di kabupaten yang rawan bencana pada umumnya lebih dari 45. UNDP 2007 melaporkan bahwa antara tahun 1844 hingga 1960, masalah kekeringan rata-rata empat tahun sekali, tetapi antara 1961 hingga 2006 rata-rata kejadiannya menjadi setiap tiga tahun. Kejadian El Niño yang terjadi pada 1997-1998 merupakan yang terburuk selama 50 tahun terakhir, dan tahun 1998 tercatat sebagai tahun terpanas pada abad 20. Gambar 5. Distribusi wilayah rawan kekeringan menurut kabupaten Sumber: Boer 2010b Untuk wilayah pertanaman padi di Indonesia, dampak kekeringan pada tahun El-Nino meningkat secara signifikan, khususnya di daerah Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Wilayah-wilayah ini merupakan sentra padi di Indonesia. Rata-rata luas wilayah pertanaman padi yang terkena dampak kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten 1989-2006 dengan luasan lebih dari 2000 Ha cukup besar Boer 2008b Gambar 6. Gambar 6. Rata-rata wilayah pertanaman padi yang terkena dampak kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten 1989-2006 Sumber : Boer 2008b. Tingkat kerawanan lahan pertanian terhadap kekeringan bervariasi antar- wilayah Tabel 2. Dari 5.14 juta ha lahan sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha di antaranya sangat rentan dan sekitar satu juta ha rentan terhadap kekeringan Wahyunto 2005. Tabel 2. Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan Ha Wilayah provinsi Sangat rentan Rentan Luas baku Sawah Jawa Barat - 30,863 971,474 Banten - 26,588 192,904 Jawa Tengah 2,322 142,575 1,053,882 DI Yogyakarta - 3,652 69,063 Jawa Timur 1,580 70,802 1,313,726 Bali - 14,758 85,525 Nusa Tenggara 38,546 105,687 214,576 Lampung 29,378 168,887 278,135 Sumatera Selatan - 184,993 439,668 Sumatera Utara 2,055 342,159 524,649 Jumlah 73,881 1,090,964 5,143,602 Sumber : Wahyunto 2005 Pramudia 2008 melakukan penelitian tentang delineasi wilayah rawan kekeringan di DAS Cimanuk, Propinsi Jawa Barat dengan mengkombinasikan aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis. Wilayah pertanian yang sangat rawan kekeringan umumnya terjadi di lahan kering yang merupakan DAS kritis dan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap anomali iklim global. Sementara wilayah pertanian yang agak rawan kekeringan umumnya terjadi di lahan sawah irigasi yang jauh dari sumber irigasi utama, atau lahan tadah hujan yang memiliki irigasi non-teknis, dan memiliki tingkat sensitivitas yang rendah terhadap anomali iklim global. Berdasarkan analisis ini, kabupaten Indramayu, khususnya bagian selatan termasuk dalam wilayah pertanian yang sangat rawan hingga agak rawan terhadap kekeringan. Berdasarkan data Ditlin 1989-2010, pada tahun El Niño luas tanaman padi yang terkena kekeringan mencapai 300-850 ribu ha Gambar 7. Kerusakan tanaman padi akibat kekeringan lebih parah dibandingkan banjir karena berlangsung pada daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih lama. Banjir mempunyai karakterisik kejadian yang lebih lokal dengan waktu kejadian yang lebih pendek. Gambar 7. Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan di Indonesia dalam periode 1989-2010 Sumber : Road Map 2011. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat 2006, wilayah Jawa Barat pada MT 2003 yang sangat rawan terhadap kekeringan pada umumnya adalah : 1 daerah irigasi yang tidak ada fasilitas waduknya misalnya bendung Rentang yang mengairi wilayah Cirebon dan Indramayu, 2 areal sawah yang tidak direkomendasikan untuk tanaman gadu atau areal sawah irigasi yang ada di wi layah “tail end” ujung ekor, 3 areal sawah tadah hujan dan 4 areal sawah yang infra struktur irigasinya mengalami kerusakan. Menurut Drektorat Perlindungan Tanaman Ditlin 2009, dampak kekeringan antara lain dapat berupa : menurunnya persediaan air permukaan dan air tanah, terganggunya pola tanam, pertanaman yang mengalami puso berpotensi meningkat, musim hujan pertama pasca kekeringan berdasarkan pengalaman dapat meningkatkan serangan OPT utama tikus, wereng, penggerek batang, dan belalang kembara dan kebakaran lahan pertanian dan hutan berpotensi meningkat. Di Indonesia, frekuensi kejadian kemarau panjang atau kekeringan dalam periode 1844 dan 1960 hanya 1 kali dalam 4 tahun, kemudian dalam periode 1961-2006 frekuensinya meningkat menjadi 1 kali dalam 2-3 tahun Boer et al. 2007. Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan seringkali menjadi penyebab utama turunnya produksi pangan. di Indonesia. Pada musim kemarau 1994, wilayah Jawa yang masih merupakan penyumbang padi terbesar 59, merupakan wilayah yang paling terkena dampak kekeringan. Luas wilayah di pulau Jawa yang terkena kekeringan mencapai 290.457 ha 79 dari luas total seluruh Indonesia. Diurut dari yang terbesar, propinsi Jawa Barat berada pada urutan yang pertama kemudian diikuti oleh propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur Kahar 1995. Propinsi Jawa Timur yang secara historis jauh lebih kering dari Jawa Barat, luas wilayah yang terkena kekeringan hanya 14 nya Jawa Barat Kahar 1995. Menurut Boer 2008b hal ini diduga karena tingkat kewaspadaan petani pada daerah ini terhadap bahaya kekeringan lebih tinggi dibanding dengan petani di Jawa Barat terutama terhadap risiko menanam padi pada musim gadu. Padahal, sebagian besar areal sawah di Jawa Barat berada di jalur pantura yang curah hujannya relatif rendah dengan bulan kering lebih dari 6 bulan. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar sawah di jalur pantura diairi oleh irigasi teknis, sehingga kurang memperhatikan pola dan tingkah curah hujan. Oleh karena itu, kajian yang mendalam tentang tingkat kerawanan dan endemik suatu wilayah terhadap kekeringan perlu dilakukan. Permasalahan yang terjadi pada bencana kekeringan menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat 2006 pada umumnya adalah karena : 1 ketidakdisiplinan pola tanam, 2 kerusakan infrastruktur, saranaprasarana saluran irigasi, 3 sulitnya memprediksi iklimcuaca pada musim kemarau dan 4 masih kurangnya kesadaran petani terhadap gerakan hemat air. Terkait dengan pola tanam, menurut Boer 2010a pola tanam yang umum diikuti oleh petani di Jawa dan hampir seluruh wilayah Indonesia adalah padi-padi-bera dan pada beberapa wilayah dengan sistem irigasi yang baik bisa tiga kali tanam padi. Padi pertama ditanam pada musim hujan yaitu November-Januari MT1, padi kedua pada awal masuk musim kemarau yaitu Maret-Mei MT2. Padi yang biasanya terkena kekeringan adalah padi yang ditanam pada musim kemarau. 2.3. Karakteristik Usahatani Serta Dampak Anomali Iklim Terhadap Produksi Padi di Kabupaten Indramayu Karakteristik Usaha Tani Usaha Tani padi merupakan sistim usahatani yang paling dominan di Kabupaten Indramayu. Lebih dari 50 wilayahnya 118,513 ha dari 200,014 ha merupakan lawan persawahan. Letak wilayah persawahan menyebar dari utara- selatan. Di bagian Utara luas lahan persawahan sekitar 19, wilayah tengah 59 dan Selatan 22. Lahan pertanian di Indramayu mengandalkan dua sumber pengairan utama, yaitu air irigasi dan air hujan. Sekitar 87 dari lahan persawahan merupakan lahan beririgasi yang hampir semuanya terletak di wilayah bagian utara dan tengah. Untuk wilayah selatan sebagian besar merupakan wilayah tadah hujan. Pola tanam antara wilayah utara, tengah dan selatan relatif berbeda. Pada wilayah utara pola tanam adalah i padi-padi-bera, ii padi- palawijasayuran-bera dan iii sayuran-padi-bera. Pola tanam ke tiga didahului oleh sayuran dimana penanaman dilakukan awal musim hujan yaitu sebelum hujan tinggi. Setelah masuk musim hujan baru dilakukan penanaman padi. Pada wilayah tengah bentuk pola tanam umum i padi-padi-padi, ii padi-padi- palawijasayuran, iii padi-sayuran-padi dan iv padi-padi-bera. Untuk wilayah selatan, pola tanam umum ialah i padi gogo-palawijasayuran-bera, ii padi-padi- bera, iii padi-palawijasayuran-bera dan iv padi gogosayuran-padi-bera. I II III IV V 7 8 9 1 2 3 4 5 6 Penggo- longan air Musim Hujan Musim Kemarau 1 MK1 MK2 Bulan Bulan Bulan 10 11 12 Berdasarkan penggolongan air, wilayah bagian utara termasuk wilayah golongan air III, IV dan V, sedangkan untuk wilayah tengah golongan I dan II. Pada wilayah golongan air I dan II penanaman padi memungkinkan sampai 3 kali dalam setahun Gambar 8. Catatan: merupakan tanggal penanaman padi pertama MH dan kedua MK paling terakhir. = Padi I, = Padi II, dan = tanaman III. Gambar 8. Sistem penggolongan air dan pola tanam di Indramayu Sumber: Boer et al. 2002c Pada tahun ekstrim kering jadwal penggolongan bisa bergeser sehingga mempengaruhi penggolongan lainnya. Petani yang ada di wilayah utara relatif responsif dan umumnya mengikuti jadwal penanaman rekomendasi yang disampaikan oleh penyuluh, sedangkan di wilayah tengah kurang disiplin karena lahannya berada dekat saluran utama dan secara umum jarang mengalami kekurangan air. Rata-rata hasil padi pada wilayah Utara, Tengah dan Selatan masing-masing sekitar 5.3, 6.0 dan 5.6 tha Boer et al. 2011. Berdasarkan letaknya menurut ketinggian atau posisinya di DAS, Kabupaten Indramayu dapat dikelompokkan menjadi kecamatan yang berada di bagian atas dan di bagian bawah. Permasalahan yang dihadapi oleh petani di kedua wilayah ini terkait dengan permasalahan sarana irigasi relatif sama, yaitu permasalahan infrastruktur irigasi yang banyak terdapat kerusakan, pendangkalan saluran karena erosi dan terdapatnya sejumlah pintu air yang rusak. Perbedaannya adalah letak kedua kawasan dimana kawasan pertama terletak lebih dekat ke hulu DAS dibanding kawasan kedua sehingga air mengalir terlebih dahulu melalui kawasan pertama sebelum mencapai kawasan kedua. Kondisi ini memberikan pengaruh utamanya dalam jumlah debit air, ketika musim penghujan dimana debit air melimpah maka kawasan pertama dapat menampung air menurut kebutuhan mereka dan membiarkan sisa aliran air mengalir mengikuti DAS, sedangkan kawasan kedua karena letaknya yang berada di hilir sungai menyebabkan daerah mereka menjadi lokasi genangan air yang mengakibatkan banjir. Sementara, pada musim kemarau, aliran air yang melewati kawasan pertama belum banyak melalui daerah dangkalan, penyempitan dan pintu air yang rusak sehingga ketersediaan air masih mencukupi untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian. Berbeda dengan kawasan kedua yang karena letaknya lebih dekat ke hilir menyebabkan tidak banyak air tersisa yang mengalir ke daerah mereka sehingga mengakibatkan kondisi kekeringan. Secara garis besar, keseluruhan karakteristik alam lingkungan, infrastruktur irigasi dan interaksi keduanya menyebabkan kawasan pertama menjadi kawasan yang relatif aman dari banjir dan kekeringan. Sebaliknya, kawasan kedua, sangat rentan terhadap banjir dan kekeringan. Kondisi ini menyebabkan banyaknya lahan persawahan yang rusak di kedua wilayah pun berbeda Boer et al. 2011b. Khusus untuk lahan tadah hujan, faktor sosial ekonomi yang paling menentukan adalah tekanan jumlah penduduk yang berpengaruh terhadap luas garapan dan tingkat pendapatan petani atau akses ke pasar Pane et al. 2008. Berdasarkan hubungan kedua faktor tersebut Piggin et al 1998 diacu dalam Pane et al. 2008 membuat klasifikasi tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah tadah hujan Gambar 9. Diantara keempat tipe sistem produksi pertanian, Tipe I dan Tipe II perlu kehati-hatian atau analisis yang mendalam dalam menentukan prioritas penelitian dan anjuran teknologi. TIPE II Pemilikan lahan sempit orientasi pertanian subsistem, intensif tenaga kerja TIPE III Pemilikan lahan sempit diversifikasi usaha tani, komersial dan mekanisasi TIPE I Pemilikan lahan luas, orientasi pertanian subsisten TIPE IV Pemilikan lahan luas, spesialisasi tanaman palawija, komersial, mekanisasi Rendah Tinggi Tingkat pendapatan atau akses ke pasar Gambar 9. Tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah tadah hujan modifikasi dari Piggin et al. 1998 diacu dalam Pane et al. 2008. T in g g i R en d ah T ekanan jum lah pend ud uk Pola hujan bulanan di Kabupaten Indramayu adalah monsunal yaitu mengalami satu kali musim kemarau April-September dan satu kali musim hujan Oktober-Maret. Berdasarkan pola hujan bulanan tersebut maka waktu tanam padi di Indramayu adalah sama dengan waktu terjadinya musim hujan, sedangkan waktu tanam palawija terjadi pada akhir musim hujan hingga awal musim kemarau Gambar 10. Gambar 10. Kombinasi curah hujan bulanan dengan pola tanam padi dan palawija pada lahan irigasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan di Kabupaten Indramayu Boer et al. 2011c. Menurut Hidayati et al. 2010, musim hujan di Kabupaten Indramayu umumnya dimulai pada akhir bulan November dan berakhir pada akhir Maret. Pada tahun El Nino, awal musim hujan dapat mundur sampai awal Januari sedangkan pada tahun La-Nina awal musim hujan umumnya terjadi lebih awal bisa terjadi pada pertengahan Oktober. Lama musim hujan pada umumnya berkisar antara 4 sampai 5 bulan. Pengaruh Anomali Iklim Terhadap Usahatani Padi di Kabupaten Indramayu Berdasarkan data produksi padi seluruh Indonesia Departemen Pertanian, 2010, Propinsi Jawa Barat menyumbang 17.6 dari seluruh produksi padi nasional. Persentase sebesar 17.6 tersebut, 11.7 nya diantaranya berasal dari Kabupaten Indramayu. Jadi Kabupaten Indramayu berkontribusi paling besar terhadap produksi padi di seluruh Propinsi Jawa Barat. Hal ini juga disampaikan oleh Boer et al. 2011b bahwa pada tahun 2010 lalu, tercatat produksi padi Indramayu mencapai 1,321,315.07 ton dengan produktivitasnya mencapai 6.450 tonha. Komoditi beras di Kabupaten Indramayu memiliki stok cukup potensial, bahkan selama ini menjadi sentra pangan terbesar di Jawa Barat sekaligus penopang pangan DKI Jakarta. Namun di sisi lain, Kabupaten Indramayu sangat rentan terhadap kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan. Kekeringan menjadi penyebab utama gagal panen Boer et al. 2011a. Di Kabupaten Indramayu, apabila waktu sudah memasuki bulan-bulan musim hujan dan kemudian terjadi hujan 1-2 hari berturut-turut biasanya petani sudah menganggap musim hujan sudah mulai dan kegiatan penanaman mulai dilakukan. Namun, pada kondisi tertentu, hujan yang terjadi tersebut seakan-akan bersifat tipuan false rain, karena kemudian ternyata diikuti oleh hari-hari tanpa hujan yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang yaitu lebih dari dua dasarian dan diluar batas toleransi tanaman, atau yang disebut dengan long dry spell. Akibat dari kondisi ini, petani yang sudah terlanjur tanam seringkali akan terkena kekeringan. Bibit disiapkan terlalu cepat akibat adanya hujan tipuan yang sebenarnya belum merupakan indikasi masuknya awal musim hujan. Pada waktu musim hujan sudah masuk, bibit sudah terlalu tua sehingga tidak bisa digunakan lagi. Kejadian kekeringan umumnya terjadi awal bulan Juni setelah penanaman padi MT2. Kondisi ini biasanya terjadi pada saat fenomena El-Nino dan kekeringan yang terjadi sebagai akibat curah hujan bersifat di bawah normal BN, sehingga ketersediaan air tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tanaman selanjutnya. Kejadian kekeringan semacam ini tidak hanya terjadi di sawah tadah hujan tetapi juga di sawah beririgasi, khususnya yang berada di wilayah irigasi bagian ujung Golongan III dan IV. Sebagai contoh MT 19971998 dan 20022003. Penurunan hujan bulan Juni-September jauh di bawah normal akibat dari berlangsungnya fenomena El-Nino telah menimbulkan luas tanaman padi terkena kekeringan yang sangat tinggi Gambar 11. Kajian yang dilakukan di Indramayu Boer 2003a menunjukkan bahwa El-Nino berpengaruh besar terhadap produksi padi karena beberapa hal. Pertama, El-Nino berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga penanaman padi pada musim hujan yang biasanya dilakukan bulan November menjadi mundur sampai Januari atau Februari. Akibatnya tanaman padi kedua juga mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan menjadi tinggi karena hujan pada akhir pertumbuhan tanaman sudah mengalami penurunan yang besar sudah masuk musim kemarau. Kedua, El-Nino menyebabkan hujan pada musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Ketiga, El-Nino menyebabkan awal musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman padi kedua mengalami cekaman kekeringan. Gambar 11. Hubungan antara kejadian hujan bawah normal BN pada musim tanam gadu dengan kejadian kekeringan Tahun 1997 dan 2003 di Indramayu Boer et al. 2008a Mundurnya awal musim hujan akibat berlangsungnya fenomena El Nino, menyebabkan awal musim penanaman padi pertama mundur dari biasanya. Akibatnya musim penanaman padi kedua juga akan mundur, masuk ke musim kemarau Gambar 12. Berdasarkan data historis, mundurnya awal musim hujan akibat berlangsungnya fenomena El-Nino menyebabkan kumulatif luas tanam selama musim hujan MH menurun. Penurunan ini biasanya dikompensasi dengan meningkatkan luas tanam pada musim kemarau MK yang berisiko tinggi untuk terkena kekeringan. Kondisi sebaliknya pada fenomena La-Nina Boer 2010b. 1996 1997 2002 2003 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C u ra h H u ja n m m 100 200 300 400 500 C u ra h H u ja n m m 199697 Normal 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C u ra h H u ja n m m 100 200 300 400 500 C u ra h H u ja n m m 200203 Normal Terkena Kekeringan: 47,995 ha Terkena Kekeringan: 7,896 ha Gambar 12. Pola tanam padi petani dan risiko terkena kekeringan Sumber : Boer 2010b

2.4. Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim