Pendahuluan PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM

IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM

4.1. Pendahuluan

Ketersediaan data curah hujan dalam jangka panjang secara runut waktu time series sangat diperlukan dalam analisis, demikian juga dengan sebarannya secara spasial. Informasi tentang besaran jeluk serta pola curah hujan tidak dapat diketahui apabila di lokasi yang bersangkutan tidak tersedia penakar hujan yang merekam kejadian tersebut secara berkesinambungan. Distribusi stasiun penakar hujan di Indonesia belum merata secara spasial, demikian juga dengan kualitas dan kontinyuitas datanya. Pemasangan penakar hujan masih terkait dengan kepentingan instansi yang menggunakan data tersebut baik untuk kepentingan penelitian ataupun keperluan teknis lainnya seperti irigasi dan sebagainya. Akibatnya ada wilayah tertentu yang cukup rapat sebaran stasiunnya, sebaliknya ada wilayah lain yang sangat jarang sebaran stasiunnya. Akibatnya ada wilayah tertentu yang ada penakar hujannya sehingga bisa merepresentasikan pola hujan setempat, tetapi sebaliknya untuk wilayah yang tidak ada penakar hujannya maka pola hujan pada umunya direpresentasikan oleh stasiun terdekat apabila keadaan topografinya relatif datar. Hasil penelitian Adiningsih 2000 diacu dalam Boer 2008a menunjukkan bahwa kerapatan jaringan stasiun di Indonesia masih sangat rendah terutama untuk pulau-pulau di luar Pulau Jawa. Pulau Jawa adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan kerapatan jaringan stasiun meteorologi tertinggi Sri Harto 1993. Hingga akhir tahun 1941 terdapat sejumlah 3128 pengukur hujan yang tercatat ada di Pulau Jawa dengan kerapatan 15 km 2 pengukur hujan, namun tidak satupun yang mengumpulkan basis data secara lengkap baik dalam waktu panjang Sandy 1982 diacu dalam Damayanti 2001. Pada Pulau Jawa sendiri kerapatannya sudah cukup tinggi, yaitu 11.6 artinya untuk setiap 100 km 2 wilayah di Pulau Jawa terdapat sekitar 11-12 penakar hujan. Pulau yang paling rendah kerapatan stasiunnya adalah Papua Irian Jaya, yaitu 0.05 stasiun per 100 km 2 . Jawa Barat termasuk DKI Jakarta dan Banten rata-rata kerapatan stasiunnya sebesar 47.12 km 2 tiap stasiun Damayanti 2000. Menurut Damayanti 2001 jumlah stasiun hujan di Jawa Barat yang sudah sesuai dengan ketentuan World Meteorological Organization WMO, namun perlu diperhatikan sebaran dan kualitas datanya. Selain sebaran data secara spasial, masalah lain yang dihadapi adalah kelengkapan data secara runut waktu. Dalam bidang klimatologi misalnya, kelengkapan data curah hujan secara runut waktu dalam jangka panjang sangat diperlukan dalam analisis seperti analisis dampak perubahan iklim dan sebagainya. Tetapi kebutuhan tersebut tidak selalu tersedia seperti yang diinginkan. Seringkali data yang tersedia cukup panjang tetapi tidak lengkap secara runut waktu, atau cukup lengkap tetapi hanya dalam jangka waktu yang relatif pendek atau tersedia secara runut waktu tetapi tidak lengkap secara spasial. Kondisi ini akan menghambat dalam analisis data. Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat besar variasinya baik dari waktu ke waktu maupun dari satu tempat ke tempat yang lain. Oleh karena itu, tinggi rendahnya curah hujan sangat besar pengaruhnya terhadap keragaman hasil. Penggunaan data curah hujan dalam berbagai analisis membutuhkan syarat apakah data tersebut bisa digunakan baik ditinjau dari aspek spasial maupun temporal. Untuk kelengkapan data dari aspek temporal, saat ini telah digunakan dan dikembangkan berbagai metode prediksi data hingga skala waktu yang kecil seperti data harian. Untuk aspek spasial, metode yang dikembangkan masih terbatas. Selama ini permasalahan yang sering dijumpai adalah tidak adanya stasiun hujan yang berada dalam wilayah yang diteliti sehingga harus menggunakan data dari stasiun pewakil. Solusi yang digunakan pada umumnya adalah menggunakan data stasiun terdekat. Artinya data curah hujan dari stasiun yang paling dekat dengan lokasi penelitianlah yang digunakan untuk analisis. Selain itu metode pengelompokkan clustering, poligon thiessen juga sering digunakan untuk mengatasi masalah keterbatasan data curah hujan secara spasial ini. Penelitian ini menawarkan suatu pendekatan baru yang bisa digunakan untuk mengatasi keterbatasan stasiun hujan, yaitu dengan Fuzzy Similarity FS. Terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim Climate Index Insurance, keberadaan stasiun hujan maupun kualitas datanya sangat menentukan dalam penghitungan indeks iklim. Indeks iklim ini digunakan sebagai dasar untuk klaim asuransi. Jadi faktor curah hujan sangat besar peranannya. Permasalahannya adalah tidak semua lokasi penelitian memiliki stasiun hujan, atau seandainya ada stasiun hujan tetapi datanya tidak memenuhi syarat sehingga harus menggunakan stasiun terdekat sebagai pewakil. Namun seberapa luas dan wilayah mana saja yang bisa diwakili masih menjadi pertanyaan dan perlu analisis lebih lanjut. Penentuan stasiun pewakil ini menjadi sangat penting ketika dihadapkan pada suatu keadaan dimana data curah hujan tersebut menjadi input yang menentukan dalam suatu pengambilan keputusan seperti dalam penetapan indeks iklim. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut di atas, penelitian ini mencoba untuk menganalisis hubungan antara stasiun hujan yang digunakan sebagai pewakil stasiun referensi dengan stasiun lainnya untuk mengetahui sebaran dan cakupan wilayah yang bisa diwakilinya menggunakan metode Fuzzy Similarity FS. Metode FS merupakan pendekatan baru dalam bidang aplikasi klimatologi. Terkait dengan periode data yang tidak selalu sama pada setiap stasiun, metode FS tetap dapat diterapkan meskipun panjang datanya berbeda- beda pada setiap stasiun. Pendekatan dengan metode FS ini diharapkan juga bisa memberikan solusi bagi masalah keterbatasan stasiun hujan. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1 menentukan nilai FS sebagai indikator kemiripan antar stasiun hujan dan 2 menyusun peta cakupan wilayah indeks untuk aplikasi Asuransi Indeks Iklim. 4.2. Metodologi 4.2.1. Analisis Kemiripan Data dengan