Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim

Gambar 12. Pola tanam padi petani dan risiko terkena kekeringan Sumber : Boer 2010b

2.4. Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim

Adaptasi adalah berbagai tindakan penyesuaian diri terhadap kejadian yang diakibatkan oleh fenomena perubahan iklimpemanasan global Las 2007. Besar kecilnya kerugian atau kerusakan yang dirasakan akibat perubahan iklim sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Menurut Boer 2008a kemampuan adaptasi Adaptive Capacity merupakan kemampuan untuk mendesain atau melaksanakan strategi adaptasi atau bereaksi terhadap bencana atau kondisi yang kurang menguntungkan sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bencana tersebut atau mengurangi besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh kondisi iklim yang tidak menguntungkan tersebut. Oleh karena itu, kemampuan adaptasi sangat terkait erat dengan tingkat kerentanan vulnerability dan sensitivitas sensitivity. Sensitivitas sensitivity merujuk kepada tingkat yang menggambarkan sejauh mana atau sebesar apa suatu sistem dapat dipengaruhi oleh berbagai sifat iklim. Kerentanan vulnerability merupakan resultan dari sensitifitas dan kemampuan adaptif atau menunjukkan kemampuan sistem mengatasi dampak merusak dari perubahan iklim Boer 2008a. Berdasarkan kajian IPCC 2007 pemanasan global dan perubahan iklim pada wilayah tropis diperkirakan akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan apabila tidak dilakukan langkah-langkah adaptasi. Menurut Las 2007 adaptasi di sektor pertanian melibatkan infrastruktursarana, tata ruang, sistem produksi, sosial ekonomi dan sebagainya. Untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap infrastruktur atau sarana usaha tani, sistem produksi, dan sosial-ekonomi, maka strategi pendekatan adaptasi yang dilakukan antara lain : teknologi prediksi iklim, pengembangan sistem jaringan iklim, pengembangan sistem peringatan dini, pengembangan sekolah lapang pertanian, penyesuaian pola tanamkalender tanam waktu, rotasi, jenis tanam, pengembangan varietas adaptif VUB rendah emisi gas rumah kaca, VUB toleran kegaraman, VUB tahan kering dan umur genjah, VUB tahan genangan, serta pengembangan teknologi pengelolaan lahan tanah, air dan Iklim. Contoh varietas padi tahan kekeringan adalah Silugonggo dan Dodokan. Secara teoritis sikap petani adalah ingin menghindari risiko risk-averse behavior. Sifat ini muncul apabila suatu kejadian mempunyai dampak ekonomi sangat buruk sehingga mengganggu posisi finansial petani. Untuk itu petani telah menerapkan berbagai strategi. Menurut Hadi 2000, ada lima strategi yang dapat dilakukan petani, yaitu : 1 Strategi finansial, sebagai contoh menyimpan dana cadangan tabungan dalam jumlah cukup besar, melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi atau membuat proyeksi arus tunai berdasarkan estimasi yang realistis tentang harga, produksi dan biaya produksi. 2 Strategi pemasaran, misalnya penetapan dan penguncian harga oleh penjual dan pembeli untuk waktu mendatang, kontrak penjualan atau menyebar pemasaran menurut waktu. Strategi pemasaran ini disebut juga sebagai penyimpanan hasil pertanian crop storage. Petani padi di Indonesia juga banyak yang menerapkan strategi ini. 3 Strategi produksi, sebagai contoh diversifikasi dengan melakukan lebih dari satu jenis usahatani atau kegiatan non-usahatani. Memilih jenis kegiatan yang cukup fleksibel dari segi waktu, biaya dan produk, atau menerapkan management yang baik dengan membuat prediksi pendapatan yang stabil. Hasil berbagai penelitian Pusat Sosial Ekonomi Pertanian menunjukkan bahwa petani Indonesia umumnya melakukan diversifikasi berupa usahatani lain atau kegiatan non-usahatani. 4 Kredit informal, sebagai contoh meminjam uang atau barang kebutuhan pokok dari pedagang atau pemilik modal perseorangan. Hasil berbagai penelitian Pusat Sosial Ekonomi Pertanian juga menunjukkan bahwa petani Indonesia pada umumnya menerapkan strategi ini. 5 Membeli asuransi pertanian formal berupa polis dari lembaga asuransi untuk menutup semua atau sebagian kerugian yang diperkirakan akan terjadi. Strategi ini pada umumnya diterapkan di negara-negara maju seperti AS, Perancis dan Jepang, serta beberapa negara sedang berkembang seperti Filipina, Thailand, India dan Sri Langka. Empat strategi pertama dapat digolongkan sebagai asuransi sendiri self insurance atau asuransi informal informal insurance, sedangkan strategi kelima disebut sebagai asuransi formal formal insurance. Pasaribu 2008 melakukan penelitian di Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Nusa Tenggara Timur NTT untuk mengetahui bentuk dan pola adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk petani di Propinsi Jawa Tengah, bentuk dan pola adaptasinya, antara lain : a membangun long storage sebagai penampung air, b peningkatan kerjasama kelompok tani gotong royong melalui kelembagaan P3A yang dibantu oleh Pemerintah Daerah setempat, c mengubah pola tanam termasuk penanaman serentak disertai dengan pola tanam pada lahan irigasi teknis dengan pola budidaya hemat air pola SRI dan pada lahan non irigasi teknis dengan budidaya gogo rancah pemanfaatan air dangkal. Untuk petani di Propinsi NTT, adaptasi dilakukan antara lain dengan 3 strategi, yaitu : a bertahan menanam tanaman secara berulang dengan pertimbangan aspek ekonomi dan pasrah kepada keadaan, b agresif mengganti jenis tanaman, mengubah pola tanam, menerapkan inovasi pemanenan air dengan embung dan sumur, serta menunggu informasi curah hujan dan c antisipatif menyiapkan input yang cukup, mengalihkan usaha dari on-farm ke off-farm, serta memanfaatkan pengetahuan spesifik lokal. Berdasarkan penelitian tersebut, Pasaribu 2008 menyimpulkan secara garis besar ada dua faktor utama yang mempengaruhi kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Pertama adalah faktor di luar kegiatan usaha tani, seperti : kondisi topografi, dukungan kebijakan pemerintah yang masih kurang, rendahnya akses terhadap informasi iklim, kurangnya tenaga penyuluh atau pendamping yang membantu menginterpretasikan informasi iklim yang ada, faktor sosial budaya serta kelembagaan. Kedua adalah faktor yang terkait dengan pelaksanaan usaha tani, seperti : belum memadainya sarana dan prasarana usaha tani, keterbatasan modal usaha tani yang menyulitkan petani menerapkan teknologi tertentu terkait dengan antisipasi perubahan iklim. Di Kabupaten Indramayu, petani telah memiliki beberapa cara untuk mengurangi risiko iklim. Hasil penelitian Boer 2008b di Indramayu menunjukkan bahwa pada musim hujan, petani pada umumnya melakukan teknik gogo rancah, ngipuk dan rendengan. Gogo rancah penyebaran benih secara langsungdirect seeded yaitu penanaman bibit padi secara langsung tanpa dilakukan penyemaian. Cara ini dilakukan ketika curah hujan rendah tetapi sering. Cara lain yang dilakukan adalah ngipuk dry seeded. Cara ini dilakukan ketika curah hujan tinggi namun jarang. Sebelum melakukan penanaman bibit disemai terlebih dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan kering sebelum musim hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah disemai dipindahkan ke seluruh petak sawah. Rendengan transplanting system dilakukan ketika curah hujan tinggi dan sering. Sebelum melakukan penanaman, bibit disemai terlebih dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan basah beberapa waktu sebelum musim hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah disemai dipindahkan ke seluruh petak sawah. Pada musim kering, teknik yang dilakukan antara lain : padi gadu, sistim culik, tanam selain padi dan bera. Padi gadu dilakukan ketika curah hujan cukup tinggi dan berlangsung lama lebih dari 3 bulan. Sistim culik adalah melakukan persiapan pembibitan. Cara ini dilakukan jika curah hujan cukup tinggi tetapi tidak berlangsung sampai 3 bulan. Ketika petani akan panen untuk masa tanam pertama, terlebih dahulu dilakukan panen muda pada sebagian kecil petak sawah untuk ditanami bibit yang akan ditanam pada masa tanam kedua. Sehingga setelah panen, bibit yang telah disemai terlebih dahulu dapat langsung ditanam. Khusus untuk kejadian El-Nino, bentuk respon petani padi di Indramayu terhadap prakiraan El-Nino terdiri dari beberapa cara yaitu: i tetap tidak merubah pola tanamnya, yaitu tetap tanam padi, ii tidak melakukan penanaman padi sama sekali diberakan, iii merubah tanaman dari padi menjadi non-padi yang butuh air lebih sedikit, dan iv merubah bentuk kegiatan dari usahatani padi ke usaha lainnya misalnya menambang garam. Sampai saat ini bentuk respon yang masih umum ialah mengabaikan hasil hasil ramalan sehingga setiap El-Nino terjadi, wilayah ini selalu mengalami kekeringan yang meluas Boer 2003b. Hal ini seiring dengan hasil penelitian Zubaida 2004 yang menyebutkan bahwa petani di Kabupaten Indramayu secara umum belum melakukan adaptasi sebelum tanam agar terhindar dari gagal panen akibat iklim ekstrim, padahal mereka telah mengetahui ada teknologi-teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam mengadaptasi kejadian iklim ekstrim seperti mengganti varietas, mengatur pola tanam dan waktu tanam. Perkiraan kerugian petani akibat kejadian iklim ekstrim berdasarkan tanaman yang gagal panen adalah Rp. 1890000 untuk tanaman usia 10 HST, Rp. 2890000 untuk tanaman usia lebih dari 20 HST dan Rp. 3350000 untuk tanaman usia lebih dari 30 HST Zubaida 2004. Secara umum, mekanisme adaptasi yang dilakukan petani dalam menghadapi gagal panen akibat kejadian iklim ekstrim adalah menghemat pengeluaran, meningkatkan pendapatan dari usaha lain, dan mencari pinjaman jika dalam keadaan darurat. Pinjaman biasanya dilakukan antar kerabat dekat seperti keluarga, teman atau tetangga, sedangkan untuk pinjaman modal untuk usaha tani biasanya berasal dari bank. Kendala yang dihadapi dalam beradaptasi pada umumnya adalah masalah ekonomi, seperti kurangnya kepastian pendapatan dari usaha lain atau terbatasnya dana bantuan. Membangun kemampuan adaptasi merupakan proses untuk memperkuat kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri terhadap keragaman iklim saat ini dan mendatang serta goncangan iklim. Pembangunan kemampuan adaptasi bertujuan untuk memperlebar selang toleransi dari suatu sistem yang diprioritaskan terhadap bencana iklim, dan kemudian membangun kemampuan sistem tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dan keragamannya. Apabila kemampuan adaptasi tidak dibangun maka risiko sistem tersebut untuk terkena dampak perubahan iklim akan semakin besar. Proses untuk meningkatkan kemampuan adaptasi akan memerlukan kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu dalam menghadapi keragaman iklim dan menggunakan pengalaman tersebut untuk membangun kemampuan beradaptasi terhadap keragaman iklim masa datang, termasuk terhadap goncangan iklim.

2.5. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi