2.25 sampai 3.15 mlg Zayas, 1997. Hidrasi seluruh komponen tepung, terutama protein dan pati, merupakan syarat awal terbentuknya adonan yang
baik. Gluten dapat menahan sejumlah besar air di dalam strukturnya, menghasilkan adonan dengan kadar air yang bisa mencapai 60. Selama
pencampuran, gluten yang terdiri dari gliadin dan glutenin akan berinteraksi dengan air, dengan satu sama lain, dan dengan komponen tepung lainnya,
seperti lipid, pati, gula, dan protein terlarut. Sifat reologi adonan dipengaruhi oleh rasio protein dalam tepung dan pembentukan ikatan
selama tahap pencampuran. Elastisitas dan viskoelastisitas gluten ditentukan oleh glutenin, yang
memiliki bobot molekul besar, dan interaksi hidrofobik dari residu asam amino non polar. Glutenin mengandung sejumlah besar asam hidrofobik,
misalnya leusin, yang berkontribusi terhadap pembentukan interaksi hidrofobik. Selain itu, sifat elastisitas juga dikembangkan melalui ikatan
disulfida interpolipeptida dalam glutenin. Zayas, 1997.
2. Sifat-sifat Protein
Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Selain itu, protein dapat
digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut mengatur berbagai
proses tubuh, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh.
Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein menyebabkan protein mempunyai banyak muatan
polielektrolit dan bersifat amfoter dapat bereaksi dengan asam maupun dengan basa. Daya reaksi berbagai jenis protein terhadap asam dan basa
tidak sama, tergantung dari jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam molekul. Di dalam larutan asam pH rendah, gugus amino bereaksi
dengan H
+
, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini dilakukan elektrolisis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda.
Sebaliknya, di dalam larutan basa pH tinggi, molekul protein akan
bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif, sehingga molekul protein akan bergerak menuju anoda. Pada pH tertentu yang disebut titik isoelektrik
pI, muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol. Pengendapan paling cepat terjadi pada
titik isoelektrik ini dan tiap jenis protein mempunyai titik isoelektrik yang berlainan, sehingga prinsip ini sering digunakan dalam pemisahan serta
pemurnian protein. Kelarutan protein dipengaruhi oleh komposisi, urutan, berat molekul,
konformasi asam amino, serta keberadaan grup polar dan nonpolar asam amino Zayas, 1997. Protein dapat diendapkan secara selektif dengan
mengganti pH, kekuatan ionik, konstanta dielektrik, atau suhu larutan. Struktur alami native protein umumnya sangat berlipat-lipat. Panas
atau pH ekstrim menyebabkan struktur yang kompak itu kehilangan bentuknya. Fenomena ini disebut denaturasi. Protein akan kembali ke
struktur native apabila kondisinya cepat dikembalikan ke keadaan normal. Namun, apabila kondisi normal tidak tercapai dengan cepat, protein tidak
akan kembali ke bentuk native-nya, karena telah terjadi agregasi dan reaksi kimia. Protein yang stabil pada suhu tinggi atau pH ekstrim paling mudah
dipisahkan dengan teknik ini karena protein yang tidak diinginkan akan mengendap akibat denaturasi, sementara protein yang diinginkan akan
tertinggal dalam larutan. Denaturasi protein umumnya didefinisikan sebagai perubahan non
kovalen dalam struktur protein. Perubahan ini dapat berupa pergantian struktur sekunder, tersier, atau kuartener molekul. Ketika menggunakan
definisi ini, harus diperhatikan bahwa terdeteksinya denaturasi sangat bergantung pada metode yang digunakan. Beberapa metode dapat
mendeteksi perubahan yang sangat kecil di dalam struktur, sementara metode yang lain membutuhkan terjadinya perubahan yang lebih besar
untuk dapat terdeteksi. Salah satu metode tertua yang dimanfaatkan untuk mendeteksi
denaturasi adalah pengukuran perubahan solubilitas. Metode ini merupakan
pengukuran kasar dari denaturasi protein karena hanya menunjukkan adanya denaturasi, bukan menunjukkan besarnya denaturasi Zayas, 1997.
Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Denaturasi menyebabkan lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat
hidrofobik berbalik ke luar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam. Pembalikan atau pelipatan terutama terjadi bila larutan
protein telah mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas larutan akan bertambah karena
molekul mengembang dan menjadi asimetrik. Demikian pula sudut putaran optik larutan protein akan meningkat. Jika hal ini terjadi pada enzim-enzim
yang gugus prostetiknya terdiri dari protein, maka aktivitasnya akan hilang sehingga tidak berfungsi lagi sebagai enzim yang aktif.
Denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya pemanasan, perubahan pH, penambahan bahan kimia seperti
merkaptoetanol, perlakuan mekanik seperti pengadukan, dan sebagainya. Masing-masing mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap denaturasi
protein. Ketika protein dihadapkan pada peningkatan suhu yang melebihi
batas normal, penurunan solubilitas atau aktivitas enzimatik akan terjadi. Perubahan ini dapat atau tidak dapat reversibel, tergantung jenis protein dan
tingkat pemanasan. Seiring dengan peningkatan suhu, sejumlah ikatan dalam molekul protein melemah. Ikatan yang paling pertama terpengaruh
adalah interaksi jarak jauh yang dibutuhkan untuk membentuk struktur tersier. Ketika struktur tersier akhirnya pecah, protein menjadi lebih
fleksibel dan gugusnya terekspos ke pelarut. Jika pemanasan dihentikan pada tahap ini, protein dapat melipat kembali ke struktur alaminya. Namun,
jika pemanasan dilanjutkan, sejumlah ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks mulai pecah. Ketika ikatan ini akhirnya putus, air dapat
berinteraksi dan membentuk ikatan hidrogen baru dengan nitrogen amida dan oksigen karbonil dari ikatan peptida. Lebih jauh lagi, kehadiran air akan
melemahkan ikatan hidrogen dengan meningkatkan konstanta dielektrik di sekitarnya. Ketika struktur heliks akhirnya rusak, gugus hidrofobik
terekspos ke pelarut sehingga interaksi hidrofobik meningkat. Perlakuan suhu tinggi terhadap protein menghasilkan denaturasi yang irreversibel.
Presipitasi isoelektrik adalah proses di mana protein mengendap pada pH yang mendekati titik isoelektriknya. Titik isoelektrik pI protein
merupakan pH di mana muatan total protein adalah nol. Protein cenderung bergabung dan mengendap pada pI karena tidak ada tolakan elektrostatik
yang membuat mereka berpisah. Walaupun sebagian kecil protein tetap bertahan di larutan pada titik isoelektrik, pH tersebut biasanya merupakan
titik solubilitas minimumnya. Protein yang titik isoelektriknya berada pada pH asam disebut protein asam, sedangkan protein yang titik isoelektriknya
berada pada pH basa disebut protein basa. Sebagian besar protein pada pH fisiologis berada di atas titik isoelektriknya dan mempunyai muatan bersih
negatif. Artinya, terdapat lebih banyak protein asam daripada protein basa Zayas, 1997.
Jika pH diturunkan jauh di bawah titik isoelektriknya, protein akan kehilangan muatan negatif dan menjadi bermuatan positif. Muatan yang
sama akan saling tolak menolak dan mencegah protein untuk mulai beragregasi. Di daerah dengan densitas muatan yang besar, tolakan
intramolekul mungkin akan cukup besar untuk menyebabkan lipatan protein lepas. Efek ini mirip dengan perlakuan pemanasan medium terhadap
struktur protein. Pada beberapa kasus, terurainya lipatan mungkin dapat mengakibatkan gugus hidrofobik terekspos ke pelarut dan terjadi agregasi
irreversibel. Sampai hal ini terjadi, penguraian lipatan sebagian besar masih reversibel.
Perlakuan pH tinggi mempunyai efek yang analog dengan pH rendah. Pada pH tinggi, protein memiliki muatan negatif besar karena
kondisi lingkungan yang mengandung banyak OH
-
menyebabkan semakin banyak gugus hidroksil protein yang melepaskan H
+
. Gaya tolak menolak antara muatan negatif tersebut cukup besar untuk menyebabkan lipatan
protein terlepas dan akhirnya terjadi agregasi protein. Ketika protein asam terdenaturasi pada kondisi asam misalnya pH
2-3, protein beragregasi satu sama lain dengan mudah dan presipitasi
meningkat pada pH mendekati titik isoelektrik di mana tolakan elektrostatik rendah. Di pihak lain, ketika protein basa terdenaturasi di
kondisi asam, mereka tidak mudah beragregasi karena protein memiliki banyak muatan positif dalam kondisi asam dan gaya tolak menolaknya
tinggi. Ketika pH dikembalikan ke netral, protein basa yang tidak mengendap akan kembali ke struktur native-nya. Akan tetapi, hal ini tidak
selalu terjadi pada protein asam. Kembalinya protein asam ke struktur alaminya dimungkinkan jika protein dilarutkan dalam denaturan yang
sangat kental misalnya urea atau guanidine hydrochloride. Konsep yang sama berlaku untuk kondisi basa. Akan tetapi, jika
perlakuan ini dilakukan dalam jangka waktu lama, protein asam akan mengendap walaupun dalam kondisi basa. Hal ini disebabkan ikatan peptida
rusak dan sulfur dilepaskan sebagai akibat berlebihnya jumlah ion hidroksida dalam larutan basa.
Oleh karena jumlah protein asam lebih banyak dibandingkan protein basa, sebagian besar protein mengendap di kondisi asam. Namun, ini hanya
berlaku untuk perlakuan jangka pendek. Jika perlakuan cukup lama, seperti telah dijelaskan sebelumnya, protein juga akan mengendap dalam kondisi
basa. Perbedaan di antara kondisi asam dan basa adalah presipitasi protein di larutan asam biasanya tidak merusak dan dapat kembali ke struktur native-
nya, sementara presipitasi protein di larutan basa biasanya merusak sehingga protein tidak dapat kembali ke struktur native-nya.
Protein umumnya lebih larut dalam larutan garam dibandingkan dalam air murni. Garam akan berasosiasi dengan gugus protein yang
muatannya berlawanan. Kombinasi muatan ini mengikat air lebih banyak daripada muatan tunggal sehingga hidrasi protein meningkat. Peristiwa ini
disebut salting in. Namun, jika konsentrasi larutan garam terlalu tinggi, akan terjadi kompetisi antara ion garam dan protein untuk mengikat air. Ketika
hal ini terjadi, protein akan mengalami dehidrasi dan kehilangan solubilitas. Akibatnya, protein terpisah sebagai endapan. Peristiwa pengendapan protein
ini disebut salting out.
Solubilitas protein tergantung pada konstanta dielektrik larutan di sekelilingnya karena hal itu mempengaruhi kekuatan interaksi elektrostatik
di antara grup-grup yang bermuatan. Penambahan pelarut organik yang miscible dengan air tapi kurang polar, seperti etanol atau aseton, akan
menurunkan konstanta dielektrik sistem. Apabila konstanta dielektrik menurun, interaksi elektrostatik antara grup-grup yang bermuatan dalam
protein akan meningkat. Akibatnya, solubilitas protein menurun karena muatan berkurang, sehingga tolakan antara molekul protein tidak cukup
untuk mencegah mereka berkumpul. Kehadiran pelarut yang kurang polar juga mempunyai efek melemahkan ikatan hidrogen dari protein.
Jumlah pelarut organik yang dibutuhkan untuk menimbulkan presipitasi tergantung dari jenis protein, sehingga protein juga dapat
dipisahkan dengan prinsip ini. Jumlah optimumnya bervariasi dari 5-60. Fraksinasi dengan pelarut biasanya dilakukan pada suhu 0
o
C atau di bawah itu untuk mencegah denaturasi protein akibat peningkatan suhu yang terjadi
ketika pelarut organik bercampur dengan air.
Protein bisa membentuk ikatan silang dengan molekul lain, misalnya
melalui ikatan kovalen dengan karbohidrat membentuk glikoprotein. Kehadiran grup yang berikatan silang dengan protein cenderung
menurunkan kecepatan denaturasi. Ada dua alasan utama untuk hal ini. Pertama, protein yang berikatan silang dan berukuran besar akan lebih sulit
terurai lipatannya daripada protein yang tidak berikatan silang. Ketika energi ditambahkan ke sistem dan ikatan yang menjaga struktur sekunder
melemah, molekul yang berikatan silang dengan protein akan cenderung mempertahankan struktur. Hal ini terutama terjadi jika ikatan silang berupa
ikatan kovalen, seperti dalam ikatan disulfida. Semakin kompak molekul dan semakin banyak jumlah ikatan disulfida, semakin tinggi stabilitas
protein. Ikatan silang juga akan mencegah tereksposnya sejumlah besar gugus hidrofobik ke pelarut.
Isolasi protein dari mie basah matang dilakukan setelah mie dikeringkan, ditepungkan, dan dihilangkan lemaknya defattisasi.
Penghilangan lemak biasanya menggunakan pelarut organik, misalnya
heksan, petroleum eter, dan aseton. Kadar isolat protein juga dipengaruhi oleh kandungan komponen-komponen dari sampel, seperti karbohidrat dan
lemak. Hal ini disebabkan protein dapat berikatan dengan molekul-molekul tersebut. Kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan, suhu, pH, dan kekuatan ion dari medium
pengekstrak Kinsella, 1979.
C. FORMALDEHID 1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid