Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein Pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks

(1)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN

PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Martantri Dwi Nugrahani. F24101038. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Dahrul Syah. 2005.

RINGKASAN

Penggunaan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja (Indrawan, 2005). Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 914.36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3 423.51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 941.82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).

Formaldehid dan boraks yang ditambahkan ke dalam bahan pangan merupakan salah satu bahaya terhadap keamanan pangan. Formalin adalah nama umum yang dipakai untuk larutan 37% gas formaldehid dalam air. Senyawa ini mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, mudah dipolimerisasi pada suhu ruang, dan berfungsi sebagai desinfektan atau pengawet (Hart, 1983). Sodium tetraborat dekahidrat dikenal juga dengan nama boraks, yang mempunyai rumus

kimia Na2B4O7.10H2O dengan berat molekul 381.44. Boraks biasanya digunakan

untuk deterjen, perekat, kosmetik, obat-obatan, desinfektan, insektisida, serta sebagai pelarut gum, dekstrin, dan kasein. Penelitian terhadap mie basah mentah yang dilakukan oleh Oktaviani (2005) menunjukkan bahwa formaldehid akan menurunkan kelarutan protein. Boraks juga dapat menurunkan kelarutan protein dalam jumlah yang lebih rendah daripada formaldehid. Kombinasi kedua aditif

tersebut semakin menurunkan kelarutan protein. Selain itu, daya cerna protein in

vitro menurun secara signifikan pada mie mentah yang ditambah formaldehid. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks berdasarkan parameter fisik dan kimia, kadar formaldehid dan boraks dalam produk akhir, perubahan sifat kelarutan protein dalam larutan garam, asam, dan basa, perubahan

daya cerna protein in vitro, serta pola elektroforesis SDS-PAGE dan native

-PAGE. Sampel yang diteliti berupa mie basah matang yang dibuat dengan penambahan formaldehid, boraks, kombinasi keduanya, dan tanpa penambahan kedua bahan tersebut.


(3)

Mie basah matang relatif lebih tahan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis dibandingkan mie basah mentah. Hal ini disebabkan enzim polifenol oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Penambahan formaldehid menyebabkan warna kuning mie semakin pudar, namun tingkat kecerahannya semakin tinggi. Dua sampel yang memiliki konsentrasi formaldehid tertinggi (penambahan sebanyak 3680 mg/kg air perebus) mempunyai warna yang berbeda nyata dengan keempatbelas sampel lainnya (p<0.05). Pigmen karotenoid dari minyak nabati tidak cukup meningkatkan warna kuning kedua sampel tersebut. Sementara itu, karakteristik fisik berupa gaya putus dan elongasi, serta karakteristik kimia berupa Aw, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat seluruh sampel tidak berbeda nyata (p>0.05).

Jumlah absolut formaldehid yang terukur dalam produk akhir selalu lebih kecil dibandingkan jumlah absolut formaldehid di dalam air perebus. Keduanya

berbanding lurus secara linier dengan R2 lebih besar dari 0.9 dan koefisien X jauh

lebih kecil dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa mie memiliki keterbatasan dalam menyerap formaldehid, dan semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus, kemampuan mie menyerap formaldehid justru semakin menurun. Obat mie pasar diketahui mengandung boraks sebanyak 38.64 mg/g, sehingga mie yang dibuat dengan menggunakan obat mie akan selalu mengandung boraks dalam jumlah lebih besar dibandingkan mie yang dibuat dengan menggunakan kansui. Daya cerna mie basah matang justru meningkat dengan semakin tingginya kandungan formaldehid. Penurunan daya cerna baru terjadi apabila formaldehid dikombinasikan dengan boraks.

Pengaruh boraks dalam menurunkan solubilitas protein lebih besar pada mie yang menggunakan obat mie dibandingkan pada mie yang menggunakan kansui. Sebaliknya, pengaruh penambahan formaldehid justru lebih besar pada mie yang menggunakan kansui dibandingkan mie yang menggunakan obat mie. Kombinasi formaldehid dan boraks sekaligus umumnya menghasilkan solubilitas protein yang lebih rendah dibandingkan sampel yang hanya mengalami penambahan salah satu aditif. Sampel dengan kadar boraks rendah, mempunyai solubilitas maksimum pada pH basa, sedangkan sampel dengan kadar boraks tinggi mempunyai solubilitas maksimum pada pH asam. Pada mie yang ditambah formaldehid, solubilitas maksimum umumnya tercapai di pH basa. Solubilitas sampel yang mengalami penambahan formaldehid sekaligus boraks umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam.

Elektroforegram SDS-PAGE menunjukkan bahwa sampel tanpa penambahan aditif dan sampel yang ditambah boraks diperkirakan mengandung

subunit protein ω-5-gliadin, ω-1,2-gliadin, α-gliadin, -gliadin, dan LMW subunit

glutenin. Sementara itu, sampel dengan penambahan formaldehid dan kombinasi

formaldehid-boraks diduga mengandung ω-1,2-gliadin, α-gliadin, -gliadin, dan

LMW subunit glutenin. BM protein di dalam native-PAGE jauh lebih besar

daripada BM protein di dalam SDS-PAGE. Protein di dalam native-PAGE juga

tidak terpisah menjadi beberapa subunit. Untuk sampel tanpa penambahan formaldehid dan boraks, BM subunit proteinnya dapat diduga sebagai HMW subunit glutenin. BM protein sampel lainnya, baik yang hanya mengalami penambahan formaldehid atau boraks saja, maupun keduanya, mempunyai nilai yang jauh lebih besar daripada BM sampel yang dihasilkan dalam SDS-PAGE.


(4)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1983 Di Bogor

Tanggal Lulus: 9 Desember 2005

Menyetujui, Bogor, Desember 2005

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Martantri Dwi Nugrahani dilahirkan di Bogor pada hari Kamis, 3 Maret 1983. Sebagai anak kedua dari dua bersaudara, penulis dibesarkan dalam keluarga yang bahagia, dengan ayah bernama Suripto dan ibu bernama Sri Yuli Absari. Bangku sekolah dijalani oleh penulis di kota hujan, dimulai dari TK Tunas Rimba 2 Bogor, SDN Panaragan 1 Bogor, SMPN 4 Bogor, dan SMUN 5 Bogor. Selepas SMU, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur USMI.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) di divisi kesekretariatan, anggota paduan suara Fateta, asisten praktikum Teknologi Pengolahan Bumbu dan Rempah (2005), dan asisten praktikum Kimia untuk mahasiswa tingkat 1 (2003–2005). Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitiaan berbagai acara di lingkungan Fateta, seperti Lepas Landas Sarjana, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan, dan BAUR. Pada tahun 2002, penulis mendapat beasiswa Gudang Garam, kemudian pada tahun 2003, penulis berhasil memperoleh beasiswa BCA.

Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2

bulan dengan tema “Penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) dalam

Produksi Susu Chilled, Susu Prepack, dan Susu Cup di Milk Treatment KPBS

Pangalengan Bandung”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. dan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, atas rahmat dan karunia Allah SWT, tugas akhir mengenai perubahan karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks ini dapat diselesaikan. Di dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelesaian tugas akhir ini, di antaranya adalah:

1. Mama dan Bapak, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan moril dan materiil yang telah kalian berikan.

2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi., selaku dosen pembimbing, yang telah memberi nasihat, motivasi, saran, dan kritik yang membangun.

3. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc., yang telah memberi saran dan masukan selama penelitian ini.

4. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc., atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

5. Australian Wheat Board, atas dukungan dana untuk penelitian ini.

6. Keli, kakakku tersayang, Puji sepupuku, dan keluarga besar Rd. Suryo Hadi Sapoetro, lingkungan penuh kasih sayang tempat penulis dibesarkan.

7. Loemoeders (Sanjung, Via, Maya, Vica, dan Ari), sahabat-sahabat yang membuat masa kuliah di TPG menjadi lebih indah.

8. Laboran-laboran (Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Yahya, Pak Sidiq, Pak Gatot, Bu Rubiah, Teh Ida, dan Mbak Darsi).

9. Okta, rekan penelitian yang selalu siap membantu, selalu memberi semangat, dan selalu menjadi inspirasi bagi penulis.

10. Teman-teman TPG 38, khususnya golongan B yang kompak, seru, dan penuh kekeluargaan, Ari Junaedi, Gesit, kelompok B1 (Hans, Inne, Armi, dan Chamdani), teman-teman sebimbingan (Daniel, Pahrudin, dan Anwar), serta adik-adik kelasku TPG 39 (Yulizar, Ully, dkk).

11. Nia, yang telah membantu dalam perubahan skripsi ini dari bentuk disket menjadi tulisan di atas kertas.


(8)

12. Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Lina, Meli, Wulan, Derry, Astri, Aya, Putri, Christina, Mimi, Umi, Vivin, Sigit, Riyadi, Inggrid, Gilang, Stella, Hendry, Ale, Sidarta, Amanda, dan Novi.

Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak ada karya manusia yang sempurna. Semoga dengan kekurangan yang masih ada, skripsi ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2005


(9)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR……… DAFTAR ISI………... DAFTAR TABEL………... DAFTAR GAMBAR……….. DAFTAR LAMPIRAN………... I. PENDAHULUAN………...

A. LATAR BELAKANG………..

B. TUJUAN PENELITIAN………...

C. MANFAAT PENELITIAN………..

II. TINJAUAN PUSTAKA………..

A. MIE………... 1. Pembuatan Mie Basah Matang………. 2. Warna Mie……… 3. Tekstur Mie……….. B. PROTEIN………..

1. Protein Gandum………... 2. Sifat-sifat Protein………. C. FORMALDEHID……….

1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid……….. 2. Studi Keamanan Formaldehid……….. 3. Analisis Formaldehid (AOAC, 1995)……….. D. BORAKS………..

1. Sifat Kimia dan Fisik Boraks………... 2. Studi Keamanan Boraks………... 3. Analisis Boraks (SNI, 1991)……… E. ELEKTROFORESIS………

1. SDS-PAGE………...

2. Native-PAGE………

iii v viii ix xi 1 1 3 3 4 4 5 8 9 11 11 14 20 20 23 28 28 28 31 33 35 37 38


(10)

III. BAHAN DAN METODE………

A. BAHAN DAN ALAT………...

B. METODE PENELITIAN………..

1. Pembuatan Mie Basah Matang………. 2. Analisis Sifat Fisik………... a. Warna (Metode Hunter)……….. b. Tekstur (Gaya Putus dan Elongasi)……… 3. Analisis Sifat Kimia………. a. Aktivitas Air (Aw)………... b. Kadar Air (AOAC, 1995)……… c. Kadar Abu (AOAC, 1995)……….. d. Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl)………. e. Kadar Lemak (Metode Soxhlet)………..

f. Kadar Karbohidrat (by difference)………...

g. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995)………. h. Kadar Boraks (SNI, 1991)………...

4. Daya Cerna Protein In Vitro (Teknik Multi Enzim)………

5. Analisis Solubilitas Protein……….. a. Persiapan Sampel untuk Solubilitas (Sathe, 1994)……….. b. Pengukuran Solubilitas Protein (Metode Bradford)……… c. Perubahan Solubilitas Protein akibat Perubahan pH…………... d. Perubahan Solubilitas Protein di dalam Larutan Garam………. 6. Elektroforesis………...

a. Persiapan Sampel untuk Elektroforesis………...

b. SDS-PAGE dan Native-PAGE………

7. Analisis Data……… IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……… A. KARAKTERISTIK FISIK MIE BASAH MATANG………..

1. Warna………... 2. Tekstur………. B. KARAKTERISTIK KIMIA MIE BASAH MATANG……….... 1. Aktivitas Air (Aw)………...

39 39 40 40 42 42 43 44 44 44 45 45 46 46 47 47 49 49 49 49 50 51 51 51 51 52 53 53 53 55 57 57


(11)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN

PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Martantri Dwi Nugrahani. F24101038. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Dahrul Syah. 2005.

RINGKASAN

Penggunaan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja (Indrawan, 2005). Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 914.36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3 423.51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 941.82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).

Formaldehid dan boraks yang ditambahkan ke dalam bahan pangan merupakan salah satu bahaya terhadap keamanan pangan. Formalin adalah nama umum yang dipakai untuk larutan 37% gas formaldehid dalam air. Senyawa ini mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, mudah dipolimerisasi pada suhu ruang, dan berfungsi sebagai desinfektan atau pengawet (Hart, 1983). Sodium tetraborat dekahidrat dikenal juga dengan nama boraks, yang mempunyai rumus

kimia Na2B4O7.10H2O dengan berat molekul 381.44. Boraks biasanya digunakan

untuk deterjen, perekat, kosmetik, obat-obatan, desinfektan, insektisida, serta sebagai pelarut gum, dekstrin, dan kasein. Penelitian terhadap mie basah mentah yang dilakukan oleh Oktaviani (2005) menunjukkan bahwa formaldehid akan menurunkan kelarutan protein. Boraks juga dapat menurunkan kelarutan protein dalam jumlah yang lebih rendah daripada formaldehid. Kombinasi kedua aditif

tersebut semakin menurunkan kelarutan protein. Selain itu, daya cerna protein in

vitro menurun secara signifikan pada mie mentah yang ditambah formaldehid. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks berdasarkan parameter fisik dan kimia, kadar formaldehid dan boraks dalam produk akhir, perubahan sifat kelarutan protein dalam larutan garam, asam, dan basa, perubahan

daya cerna protein in vitro, serta pola elektroforesis SDS-PAGE dan native

-PAGE. Sampel yang diteliti berupa mie basah matang yang dibuat dengan penambahan formaldehid, boraks, kombinasi keduanya, dan tanpa penambahan kedua bahan tersebut.


(13)

Mie basah matang relatif lebih tahan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis dibandingkan mie basah mentah. Hal ini disebabkan enzim polifenol oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Penambahan formaldehid menyebabkan warna kuning mie semakin pudar, namun tingkat kecerahannya semakin tinggi. Dua sampel yang memiliki konsentrasi formaldehid tertinggi (penambahan sebanyak 3680 mg/kg air perebus) mempunyai warna yang berbeda nyata dengan keempatbelas sampel lainnya (p<0.05). Pigmen karotenoid dari minyak nabati tidak cukup meningkatkan warna kuning kedua sampel tersebut. Sementara itu, karakteristik fisik berupa gaya putus dan elongasi, serta karakteristik kimia berupa Aw, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat seluruh sampel tidak berbeda nyata (p>0.05).

Jumlah absolut formaldehid yang terukur dalam produk akhir selalu lebih kecil dibandingkan jumlah absolut formaldehid di dalam air perebus. Keduanya

berbanding lurus secara linier dengan R2 lebih besar dari 0.9 dan koefisien X jauh

lebih kecil dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa mie memiliki keterbatasan dalam menyerap formaldehid, dan semakin tinggi kadar formaldehid dalam air perebus, kemampuan mie menyerap formaldehid justru semakin menurun. Obat mie pasar diketahui mengandung boraks sebanyak 38.64 mg/g, sehingga mie yang dibuat dengan menggunakan obat mie akan selalu mengandung boraks dalam jumlah lebih besar dibandingkan mie yang dibuat dengan menggunakan kansui. Daya cerna mie basah matang justru meningkat dengan semakin tingginya kandungan formaldehid. Penurunan daya cerna baru terjadi apabila formaldehid dikombinasikan dengan boraks.

Pengaruh boraks dalam menurunkan solubilitas protein lebih besar pada mie yang menggunakan obat mie dibandingkan pada mie yang menggunakan kansui. Sebaliknya, pengaruh penambahan formaldehid justru lebih besar pada mie yang menggunakan kansui dibandingkan mie yang menggunakan obat mie. Kombinasi formaldehid dan boraks sekaligus umumnya menghasilkan solubilitas protein yang lebih rendah dibandingkan sampel yang hanya mengalami penambahan salah satu aditif. Sampel dengan kadar boraks rendah, mempunyai solubilitas maksimum pada pH basa, sedangkan sampel dengan kadar boraks tinggi mempunyai solubilitas maksimum pada pH asam. Pada mie yang ditambah formaldehid, solubilitas maksimum umumnya tercapai di pH basa. Solubilitas sampel yang mengalami penambahan formaldehid sekaligus boraks umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam.

Elektroforegram SDS-PAGE menunjukkan bahwa sampel tanpa penambahan aditif dan sampel yang ditambah boraks diperkirakan mengandung

subunit protein ω-5-gliadin, ω-1,2-gliadin, α-gliadin, -gliadin, dan LMW subunit

glutenin. Sementara itu, sampel dengan penambahan formaldehid dan kombinasi

formaldehid-boraks diduga mengandung ω-1,2-gliadin, α-gliadin, -gliadin, dan

LMW subunit glutenin. BM protein di dalam native-PAGE jauh lebih besar

daripada BM protein di dalam SDS-PAGE. Protein di dalam native-PAGE juga

tidak terpisah menjadi beberapa subunit. Untuk sampel tanpa penambahan formaldehid dan boraks, BM subunit proteinnya dapat diduga sebagai HMW subunit glutenin. BM protein sampel lainnya, baik yang hanya mengalami penambahan formaldehid atau boraks saja, maupun keduanya, mempunyai nilai yang jauh lebih besar daripada BM sampel yang dihasilkan dalam SDS-PAGE.


(14)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PERUBAHAN KARAKTERISTIK DAN KUALITAS PROTEIN PADA MIE BASAH MATANG YANG MENGANDUNG

FORMALDEHID DAN BORAKS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MARTANTRI DWI NUGRAHANI F24101038

Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1983 Di Bogor

Tanggal Lulus: 9 Desember 2005

Menyetujui, Bogor, Desember 2005

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Martantri Dwi Nugrahani dilahirkan di Bogor pada hari Kamis, 3 Maret 1983. Sebagai anak kedua dari dua bersaudara, penulis dibesarkan dalam keluarga yang bahagia, dengan ayah bernama Suripto dan ibu bernama Sri Yuli Absari. Bangku sekolah dijalani oleh penulis di kota hujan, dimulai dari TK Tunas Rimba 2 Bogor, SDN Panaragan 1 Bogor, SMPN 4 Bogor, dan SMUN 5 Bogor. Selepas SMU, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur USMI.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) di divisi kesekretariatan, anggota paduan suara Fateta, asisten praktikum Teknologi Pengolahan Bumbu dan Rempah (2005), dan asisten praktikum Kimia untuk mahasiswa tingkat 1 (2003–2005). Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitiaan berbagai acara di lingkungan Fateta, seperti Lepas Landas Sarjana, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan, dan BAUR. Pada tahun 2002, penulis mendapat beasiswa Gudang Garam, kemudian pada tahun 2003, penulis berhasil memperoleh beasiswa BCA.

Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2

bulan dengan tema “Penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) dalam

Produksi Susu Chilled, Susu Prepack, dan Susu Cup di Milk Treatment KPBS

Pangalengan Bandung”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. dan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(17)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, atas rahmat dan karunia Allah SWT, tugas akhir mengenai perubahan karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks ini dapat diselesaikan. Di dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelesaian tugas akhir ini, di antaranya adalah:

1. Mama dan Bapak, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan moril dan materiil yang telah kalian berikan.

2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi., selaku dosen pembimbing, yang telah memberi nasihat, motivasi, saran, dan kritik yang membangun.

3. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc., yang telah memberi saran dan masukan selama penelitian ini.

4. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc., atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

5. Australian Wheat Board, atas dukungan dana untuk penelitian ini.

6. Keli, kakakku tersayang, Puji sepupuku, dan keluarga besar Rd. Suryo Hadi Sapoetro, lingkungan penuh kasih sayang tempat penulis dibesarkan.

7. Loemoeders (Sanjung, Via, Maya, Vica, dan Ari), sahabat-sahabat yang membuat masa kuliah di TPG menjadi lebih indah.

8. Laboran-laboran (Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Pak Yahya, Pak Sidiq, Pak Gatot, Bu Rubiah, Teh Ida, dan Mbak Darsi).

9. Okta, rekan penelitian yang selalu siap membantu, selalu memberi semangat, dan selalu menjadi inspirasi bagi penulis.

10. Teman-teman TPG 38, khususnya golongan B yang kompak, seru, dan penuh kekeluargaan, Ari Junaedi, Gesit, kelompok B1 (Hans, Inne, Armi, dan Chamdani), teman-teman sebimbingan (Daniel, Pahrudin, dan Anwar), serta adik-adik kelasku TPG 39 (Yulizar, Ully, dkk).

11. Nia, yang telah membantu dalam perubahan skripsi ini dari bentuk disket menjadi tulisan di atas kertas.


(18)

12. Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Lina, Meli, Wulan, Derry, Astri, Aya, Putri, Christina, Mimi, Umi, Vivin, Sigit, Riyadi, Inggrid, Gilang, Stella, Hendry, Ale, Sidarta, Amanda, dan Novi.

Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak ada karya manusia yang sempurna. Semoga dengan kekurangan yang masih ada, skripsi ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2005


(19)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR……… DAFTAR ISI………... DAFTAR TABEL………... DAFTAR GAMBAR……….. DAFTAR LAMPIRAN………... I. PENDAHULUAN………...

A. LATAR BELAKANG………..

B. TUJUAN PENELITIAN………...

C. MANFAAT PENELITIAN………..

II. TINJAUAN PUSTAKA………..

A. MIE………... 1. Pembuatan Mie Basah Matang………. 2. Warna Mie……… 3. Tekstur Mie……….. B. PROTEIN………..

1. Protein Gandum………... 2. Sifat-sifat Protein………. C. FORMALDEHID……….

1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid……….. 2. Studi Keamanan Formaldehid……….. 3. Analisis Formaldehid (AOAC, 1995)……….. D. BORAKS………..

1. Sifat Kimia dan Fisik Boraks………... 2. Studi Keamanan Boraks………... 3. Analisis Boraks (SNI, 1991)……… E. ELEKTROFORESIS………

1. SDS-PAGE………...

2. Native-PAGE………

iii v viii ix xi 1 1 3 3 4 4 5 8 9 11 11 14 20 20 23 28 28 28 31 33 35 37 38


(20)

III. BAHAN DAN METODE………

A. BAHAN DAN ALAT………...

B. METODE PENELITIAN………..

1. Pembuatan Mie Basah Matang………. 2. Analisis Sifat Fisik………... a. Warna (Metode Hunter)……….. b. Tekstur (Gaya Putus dan Elongasi)……… 3. Analisis Sifat Kimia………. a. Aktivitas Air (Aw)………... b. Kadar Air (AOAC, 1995)……… c. Kadar Abu (AOAC, 1995)……….. d. Kadar Protein (Metode Mikro Kjeldahl)………. e. Kadar Lemak (Metode Soxhlet)………..

f. Kadar Karbohidrat (by difference)………...

g. Kadar Formaldehid (AOAC, 1995)………. h. Kadar Boraks (SNI, 1991)………...

4. Daya Cerna Protein In Vitro (Teknik Multi Enzim)………

5. Analisis Solubilitas Protein……….. a. Persiapan Sampel untuk Solubilitas (Sathe, 1994)……….. b. Pengukuran Solubilitas Protein (Metode Bradford)……… c. Perubahan Solubilitas Protein akibat Perubahan pH…………... d. Perubahan Solubilitas Protein di dalam Larutan Garam………. 6. Elektroforesis………...

a. Persiapan Sampel untuk Elektroforesis………...

b. SDS-PAGE dan Native-PAGE………

7. Analisis Data……… IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……… A. KARAKTERISTIK FISIK MIE BASAH MATANG………..

1. Warna………... 2. Tekstur………. B. KARAKTERISTIK KIMIA MIE BASAH MATANG……….... 1. Aktivitas Air (Aw)………...

39 39 40 40 42 42 43 44 44 44 45 45 46 46 47 47 49 49 49 49 50 51 51 51 51 52 53 53 53 55 57 57


(21)

2. Kadar Air……….. 3. Kadar Abu……… 4. Kadar Protein………... 5. Kadar Lemak……… 6. Kadar Karbohidrat……… 7. Kadar Formaldehid………... 8. Kadar Boraks………

C. DAYA CERNA PROTEIN………..

D. SOLUBILITAS………. 1. Solubilitas Protein dalam Berbagai pH……… 2. Solubilitas Protein dalam Berbagai Konsentrasi Larutan Garam…. E. ELEKTROFORESIS………

1. SDS-PAGE………...

2. Native-PAGE………

V. KESIMPULAN DAN SARAN……… A. KESIMPULAN………. B. SARAN………. DAFTAR PUSTAKA………. LAMPIRAN………

59 60 62 63 65 67 70 74 76 80 83 86 86 93 99 99 101 102 108


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.

Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14.

Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992)……….. Karakteristik formaldehid………... Kandungan formaldehid dalam bahan pangan………... Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia melalui pernapasan.. Kandungan boron dalam beberapa bahan pangan……….. Keterangan jumlah dari bahan tambahan………... Formulasi bahan tambahan untuk masing-masing sampel…………. Nilai Aw dan kadar air mie basah……….. Kadar proksimat tepung terigu Segitiga dan Cakra Kembar... Kadar formaldehid mie basah matang………...………. Kadar boraks mie basah matang………. Konsentrasi akrilamid untuk pemisahan protein pada BM tertentu... Subunit protein mie basah matang dalam SDS-PAGE………... Perbandingan berat molekul (BM) subunit protein mie matang

dalam native-PAGE dan SDS-PAGE……….

5 20 22 25 30 40 41 58 59 68 71 87 90


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.

Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22.

Senyawa asam borat………... Reaksi polimerisasi akrilamid……… Diagram alir pembuatan mie basah matang………... Kurva hubungan gaya putus dan elongasi……….. Diagram alir tahapan dalam elektroforesis………. Pengaruh penambahan aditif terhadap warna mie...………. Pengaruh penambahan aditif terhadap tekstur mie...……… Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar abu mie...…... Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar protein mie... Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar lemak mie... Pengaruh penambahan aditif terhadap kadar karbohidrat mie…... Penyerapan formaldehid pada mie basah matang.………. Hubungan kadar formaldehid dengan adanya boraks di dalam mie matang... Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam mie matang yang menggunakan obat mie... Hubungan kadar boraks dengan adanya formaldehid di dalam mie matang yang menggunakan kansui... Jumlah boraks yang tertahan di dalam mie basah matang... Hubungan formaldehid dengan boraks dalam mie matang……… Pengaruh penambahan aditif terhadap daya cerna protein mie….. Solubilitas protein mie basah matang dalam NaOH 0.1 M……… Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat mie dalam berbagai pH... Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan kansui dalam berbagai pH... Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan obat mie dalam larutan garam...

29 36 42 43 52 54 56 61 63 65 66 68 69 72 72 73 73 74 77 81 82 84


(24)

Gambar 23.

Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27.

Solubilitas protein mie yang diberi perlakuan penambahan kansui dalam larutan garam... Elektroforegram I SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10%………. Elektroforegram II SDS-PAGE pada konsentrasi gel 10%………

Elektroforegram I native-PAGE pada konsentrasi gel 5%……….

Elektroforegram II native-PAGE pada konsentrasi gel 5%……...

85 88 89 94 95


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1.

Lampiran 2. Lampiran 3.

Lampiran 4.

Lampiran 5.

Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21.

Karakteristik fisik dan Aw mie basah matang……….. Karakteristik kimia mie basah matang……….. Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat

kekuningan mie………. Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap tingkat

kecerahan mie………... Uji Anova One-Way dan uji Duncan terhadap derajat hue mie………. Uji Anova One-Way terhadap gaya putus mie……….. Uji Anova One-Way terhadap persen elongasi mie…………... Uji Anova One-Way terhadap aktivitas air mie………. Uji Anova One-Way terhadap kadar air mie………. Uji Anova One-Way terhadap kadar abu mie……… Uji Anova One-Way terhadap kadar protein mie……….. Uji Anova One-Way terhadap kadar lemak mie……… Uji Anova One-Way terhadap kadar karbohidrat mie………... Kurva standar formaldehid……… Daya cerna protein mie basah matang……….. Kurva standar BSA………... Solubilitas protein mie basah matang………... Larutan-larutan untuk elektroforesis………. Prosedur elektroforesis……….. Kurva standar elektroforesis……….

Perhitungan kesalahan mutlak SDS-PAGE dan native-PAGE.

108 110 112 113 114 115 115 115 115 116 116 116 116 117 118 119 120 121 124 127 130


(26)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pasal 1 ayat 4 Undang-undang RI no. 7 tahun 1996 tentang Pangan menyatakan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Kesadaran masyarakat Indonesia akan keamanan pangan dapat dikatakan masih sangat rendah. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya makanan dan jajanan yang mengandung bahan tambahan yang dilarang seperti formalin dan boraks. Kepala Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Winiati Pudji Rahayu (2005) menyatakan bahwa walaupun tidak bisa dipastikan berapa persen dari masyarakat Indonesia yang mengerti dan sadar tentang keamanan pangan, jumlah yang tidak mengerti lebih banyak.

Senada dengan Winiati, Endang S. Rahayu dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukannya terhadap 40 unit Usaha Kecil Menengah (UKM), hanya 61% dari pengelola UKM yang memahami tentang pedoman cara produksi yang baik untuk makanan berdasarkan SK Menkes 1978, sementara 8% tidak paham sama sekali. Endang juga menyampaikan hasil penelitian BPOM pada 2003, yang menunjukkan bahwa dari 9 456 sampel makanan/jajanan yang diambil, 5.6%-nya tidak memenuhi persyaratan. Selain itu, 195 jenis produk makanan menggunakan pewarna yang bukan untuk makanan (rhodamin B), 70 jenis menggunakan formalin, 94 jenis menggunakan boraks, dan 50 jenis menggunakan pengawet yang berlebihan

terutama asam benzoat (Media Indonesia On Line, 2004). Banyaknya UKM

yang tidak memahami pedoman produksi makanan yang baik sangat mengkhawatirkan, karena mereka seharusnya menjadi tulang punggung keamanan pangan.


(27)

Mie basah merupakan salah satu contoh produk pangan yang dihasilkan oleh UKM. Mie basah telah menjadi makanan populer dan merupakan bagian yang penting dalam diet masyarakat Indonesia. Pembuatan mie saat ini menggunakan bahan tambahan, dengan tujuan memperbaiki sifat fisik dan daya

tahan mie. Biasanya, bahan tambahan yang digunakan adalah K2CO3, Na2CO3,

dan polifosfat yang pada kadar tertentu boleh digunakan.

Hasil survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) menunjukkan bahwa natrium benzoat digunakan oleh 91.7% industri mie basah dan 100% industri mie matang, kalium sorbat bersama-sama dengan natrium benzoat digunakan oleh 16.7% industri mie mentah dan 20% industri mie matang, sedangkan pewarna tartrazine digunakan oleh 16.7% industri mie mentah dan 100% industri mie matang (Indrawan, 2005).

Mie basah memiliki umur simpan yang pendek, hanya sekitar satu sampai dua hari pada suhu ruang. Kerusakan yang terjadi banyak disebabkan oleh kontaminasi mikroba selama proses produksi dan kerusakan selama pengangkutan atau distribusi. Itulah sebabnya, banyak produsen yang menggunakan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Mereka melakukan ini untuk meraih keuntungan lebih besar tanpa memikirkan bahayanya bagi kesehatan. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang di daerah Jabotabek yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja (Indrawan, 2005).


(28)

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik dan kualitas protein pada mie basah matang yang mengandung formaldehid dan boraks, berdasarkan parameter fisik dan kimia mie basah matang, kadar formaldehid dan boraks dalam produk akhir, perubahan sifat kelarutan protein dalam larutan

garam, asam, dan basa, perubahan daya cerna protein in vitro, serta pola

elektroforesis SDS-PAGE dan native-PAGE.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini berguna untuk memberi informasi mengenai keamanan pangan kepada masyarakat. Melalui analisis ini, karakteristik bahan pangan yang diawetkan dengan formaldehid dan boraks dapat dibedakan berdasarkan

sifat fisik, kimia, kelarutan protein, pola elektroforesis, dan nilai biologis in


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE

Mie, seperti halnya nasi, telah memainkan peranan penting dalam diet masyarakat Indonesia. Produk mie umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya yang relatif tinggi. Ada beberapa tipe mie yang disebabkan perbedaan dalam bahan baku, bentuk produk, dan metode pengolahan. Mie tersebut telah melalui berbagai perubahan yang dilatarbelakangi perjalanan waktu, inovasi teknik, dan permintaan konsumen.

Pembuatan mie di dalam rumah tangga diperkenalkan dari Cina sekitar 1 200 tahun yang lalu, dan kemudian menyebar ke negara-negara lain. Sekitar

700 tahun yang lalu, telah dikembangkan pembuatan so-men (mie yang sangat

tipis) dengan tangan. Pengembangan mesin pembuat mie dilakukan oleh T.

Masaki pada 1884 (Kruger et al., 1996), yang menjadi revolusi industri mie.

Pada tahun 1957, mie tipe Cina yang disajikan dingin menjadi populer, terutama di daerah Nagoya, Jepang. Pada tahun berikutnya, mie instan

pertama yang disebut chicken ra-men diluncurkan ke pasaran, dan pada 1964

banyak industri yang mulai memproduksi mie instan tipe Cina.

Menurut Pagani (1985), berdasarkan ukuran diameter produk, mie dibedakan menjadi tiga, yaitu spaghetti (0.11–0.27 inci), mie (0.07–0.125 inci), dan vermiselli (<0.04 inci). Jika dilihat dari bahan bakunya, ada dua jenis mie, yaitu mie yang berasal dari tepung terutama tepung terigu, dan mie transparan yang berasal dari pati (misalnya soun dan bihun). Dari segi jenis produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis mie, yaitu mie basah (mie ayam dan mie bakso), dan mie kering (mie telor dan mie instan). Mie kering dan mie basah memiliki komposisi yang hampir sama. Perbedaannya terletak pada kadar air dan tahapan pembuatan.

Mie basah yang terdapat di pasaran, berdasarkan pembuatan dan cara konsumsinya, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mie mentah (misalnya untuk mie ayam) dan mie matang (misalnya mie bakso). Mie mentah dijual tanpa


(30)

dimasak dahulu dan kadar airnya sekitar 35%. Di pihak lain, mie matang telah mengalami pemasakan sehingga kadar airnya meningkat menjadi sekitar 60%.

Menurut Badan Standardisasi Nasional (1992), definisi mie basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Kualitas mie basah menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1.

Keadaan : • Bau • Rasa • Warna

- Normal Normal Normal

2. Kadar air % b/b 20 – 35

3. Kadar abu (dihitung atas dasar bahan

kering) % b/b Maks. 3

4. Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas

dasar bahan kering) % b/b

Min. 3

5.

Bahan tambahan pangan • Boraks dan asam borat • Pewarna

• Formalin

-

Tidak boleh ada

Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

6.

Cemaran logam : • Timbal (Pb) • Tembaga (Cu) • Seng (Zn) • Raksa (Hg)

mg/kg

Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05

7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0.05

8.

Cemaran mikroba : • Angka lempeng total • E. coli

• Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks. 1.0 x 106 Maks. 10 Maks. 1.0 x 104

1. Pembuatan Mie Basah Matang

Bahan dasar umum untuk pembuatan mie basah ialah terigu, air, dan bahan tambahan lain seperti garam, air abu, dan minyak goreng. Terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber protein, pelarut garam, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi


(31)

memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie. Air abu adalah bahan alkali yang digunakan untuk meningkatkan tekstur mie. Air abu atau kansui dapat mengandung satu atau lebih bahan tambahan pangan, dan yang biasa digunakan adalah

natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3), dan kalium polifosfat

(KH2PO4) sebagai bahan alkali dalam pembuatan mie. Bahan-bahan alkali

tersebut memiliki fungsi berbeda. Gabungan Na2CO3 dan K2CO3 berguna

untuk meningkatkan warna kuning dan memberikan flavor yang lebih baik.

Na2CO3 sendiri berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie,

K2CO3 untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie, sedangkan KH2PO4 untuk

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Badrudin, 1994).

Tahap pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Jumlah penambahan air adalah sekitar 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk menjadi lembaran, sedangkan jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan

menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985). Badrudin (1994) menyatakan

bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit. Apabila kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering. Suhu adonan

yang terbaik adalah 25-40oC. Apabila suhunya kurang dari 25oC, adonan

menjadi keras, rapuh, dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40oC,

adonan menjadi lengket sehingga mie kurang elastis. Hal ini disebabkan semakin tinggi suhu, kapasitas pengikatan air dari protein semakin berkurang. Akibatnya, jika suhu terlalu rendah, air tidak tersebar merata ke seluruh adonan, namun jika suhu terlalu tinggi, air kurang terikat dalam adonan. Adonan yang diharapkan bersifat lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis, dan mengembang dengan normal.


(32)

Tahap selanjutnya ialah pembentukan lembaran (sheeting). Proses ini bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan jalan melewatkan adonan

berulang-ulang di antara dua roll logam. Faktor-faktor yang mempengaruhi

proses ini di antaranya adalah suhu dan jarak antara roll. Hasil akhir yang

diharapkan adalah berupa lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat searah, sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus (Badrudin, 1994).

Proses pembentukan lembaran dilanjutkan dengan proses pemotongan. Proses pemotongan lembaran bertujuan untuk membentuk pita-pita mie dengan ukuran lebar 1-3 mm. Selanjutnya, mie direbus. Perebusan pita-pita mie bertujuan agar terjadi proses gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994).

Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat menghasilkan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994).

Tahap terakhir adalah pemberian minyak goreng. Pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar untaian mie tidak menjadi lengket satu sama lain, memberikan citarasa, serta meningkatkan warna dan penampakan agar mie tampak mengkilap.

Kadar air mie basah yang cukup tinggi menyebabkan mie basah cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada suhu lemari es. Kerusakan yang sering terjadi adalah timbulnya kapang. Pada mie basah matang, kerusakan terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam, berupa tumbuhnya kapang (Hoseney, 1998).

Setelah melewati umur simpan, mie basah akan menunjukan tanda-tanda kerusakan. Karena mie basah cepat mengalami kerusakan atau kebusukan, banyak usaha dilakukan untuk mencampurkan bahan kimia


(33)

pengawet. Seringkali pengawet yang dipakai bukanlah pengawet yang ditujukan untuk makanan. Penggunaan bahan tambahan ilegal formalin dan boraks yang banyak terjadi di Jabotabek, dapat meningkatkan umur simpan mie basah (Indrawan, 2005). Hal ini terlihat dari hasil survei terhadap pedagang pasar tradisional dan pedagang produk olahan mie di daerah Bogor dan Jakarta, yang menunjukkan bahwa umur simpan mie basah mentah bisa mencapai 4 hari, sementara umur simpan mie basah matang bisa mencapai 14 hari (Gracecia, 2005). Pedagang pasar tradisional maupun pedagang produk olahan mie di daerah Bogor dan Jakarta sependapat menyatakan bahwa kerusakan mie basah mentah ditandai dengan timbulnya jamur (adanya bintik-bintik warna hitam/merah/biru), munculnya bau asam, mie menjadi hancur, patah-patah, atau menjadi lembek. Demikian juga untuk mie basah matang, ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Secara umum, ciri-ciri kerusakan mie basah mentah dan mie basah matang hampir sama (Gracecia, 2005).

2. Warna Mie

Mutu bahan pangan sangat bergantung pada beberapa faktor, seperti citarasa, warna, tekstur, nilai gizi, dan sifat mikrobiologisnya. Di antara faktor-faktor tersebut, warna seringkali menjadi faktor penting yang menjadi penilaian pertama. Bahan yang dinilai bergizi, enak, dan bertekstur baik, tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya.

Ada 5 sebab umum yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan menjadi berwarna, yaitu: (1) pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan; (2) reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan menghasilkan warna coklat; (3) warna gelap yang timbul karena adanya reaksi Maillard; (4) reaksi antara senyawa organik dengan udara menghasilkan warna hitam atau coklat gelap; (5) penambahan zat warna, baik zat warna alami maupun zat warna sintetik.


(34)

Warna mie sering diasosiasikan dengan warna kuning. Warna kekuningan alami pada mie mentah disebabkan oleh kandungan flavonoid

pada tepung terigu, yaitu karotenoid (Kruger et al., 1996). Komponen warna

ini akan terlepas dari pati pada kondisi alkali, sehingga pigmen-pigmen flavonoid berpeluang membentuk warna kuning pada adonan. Oleh karena itu, penambahan alkali seperti kansui dan obat mie pada pembuatan mie akan menyebabkan perubahan warna mie menjadi kuning.

Karotenoid utama di dalam gandum adalah karoten, xantofil, dan

ester xantofil (Rhim et al., 2000). Sebenarnya, kandungan karotenoid dalam

gandum sangat sedikit jika dibandingkan dengan kandungan karotenoid dalam jagung. Oleh karena karotenoid hanya merupakan konstituen minor dari gandum, maka gandum bukanlah sumber prekursor vitamin A yang signifikan. Meskipun demikian, warna yang berasal dari karotenoid merupakan faktor penting dalam penggunaan serealia untuk produksi pangan, terutama gandum durum yang digunakan untuk membuat pasta.

Menurut Hoseney (1998), selain timbulnya kapang, kerusakan pada mie basah mentah adalah perubahan warna menjadi lebih gelap setelah disimpan selama 50-60 jam pada suhu lemari es. Perubahan warna mie menjadi lebih gelap disebabkan aktivitas enzim polifenol oksidase (PPO),

enzim yang juga menyebabkan browning pada buah. Enzim PPO dalam

adonan mie berasal dari tepung terigu. Penelitian Baik et al. (1995)

menunjukkan bahwa aktivitas enzim PPO pada tepung terigu kuat (hard

flour) lebih tinggi dibandingkan tepung terigu lemah (soft flour). Karena

adonan mie menggunakan terigu dengan kandungan protein tinggi (hard

flour), maka mie mentah mudah mengalami pencoklatan enzimatis. Oh et al. (1985) menyatakan bahwa warna mie mentah juga dipengaruhi oleh absorpsi air dan pH adonan. Jika absorpsi air meningkat, reaksi pencoklatan enzimatis berpeluang untuk terjadi. Pencoklatan enzimatis tidak terjadi pada mie matang, karena perebusan dapat merusak enzim PPO (Hoseney, 1998).

3. Tekstur Mie

Tekstur mie yang dimaksud di sini mencakup gaya putus dan persentase elongasi. Gaya putus merupakan gaya maksimum mie untuk


(35)

menahan beban yang dinyatakan dalam satuan gram force (gf), sedangkan persentase elongasi merupakan daya ulur mie, yaitu perubahan panjang maksimum mie sebelum sampel rusak atau putus yang dibandingkan dengan panjang awalnya (Hay, 1968).

Protein gluten terutama fraksi gliadinnya mempunyai peran penting dalam memperkuat adonan mie (Ruiter, 1978). Gluten merupakan suatu massa yang kohesif dan dapat meregang secara elastis, sehingga peningkatan gluten akan menyebabkan adonan semakin elastis dan tidak

mudah putus, baik sewaktu pencetakan maupun gelatinisasi. Dexter et al.

(1981) menambahkan bahwa kekuatan adonan mie berasal dari interaksi ikatan disulfida pada gluten. Pengurangan ikatan disulfida dan ikatan ionik akan menurunkan elastisitas dan kekuatan mie. Jadi, penurunan kadar gluten

menyebabkan mie rapuh dan mudah patah. Menurut Roos et al. (1997), mie

disebut memiliki tekstur yang baik apabila dapat memanjang lebih dari 75% dari panjang mula-mula.

Bahan-bahan aditif yang ditambahkan ke dalam adonan dapat mempengaruhi tekstur produk. Asam borat dapat membentuk kompleks dengan protein dan karbohidrat untuk memperkuat tekstur. Reaksi antara asam borat dengan gugus hidroksil yang banyak terdapat dalam senyawa tersebut akan menghasilkan ester. Ester yang paling stabil terbentuk ketika asam borat menjadi jembatan di antara komponen karbohidrat misalnya pada fruktosa-boron-fruktosa.

Kemampuan formaldehid dalam memodifikasi gaya putus dan

elongasi terjadi karena formaldehid bereaksi dengan gugus ε-NH2 dari lisin

untuk membentuk ikatan silang protein yang memperkuat tekstur. Kemampuan formaldehid dalam melakukan ikatan silang pada protein telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Misalnya penelitian terhadap biopolimer

dari film tepung biji kapas yang dilakukan oleh Marquie et al. (1997). Di

dalam larutan yang basa, ikatan silang antara protein yang disebabkan oleh formaldehid berupa ikatan silang metilen di antara asam amino lisin. Ikatan


(36)

force) film tepung biji kapas. Bentuk ikatan silang metilen dapat

digambarkan sebagai berikut (Marquie et al., 1997):

Protein Lys-NH-CH2-NH-Lys Protein

Pembentukan ikatan silang akibat reaksi antara formaldehid dengan grup asam amino bebas lisin juga bisa terjadi pada film gluten gandum. Akibatnya, sifat mekanis film ikut berubah. Penelitian yang dilakukan

Michard et al. (2000) menunjukkan bahwa pemberian uap formaldehid pada

film akan memodifikasi protein dan mempengaruhi sifat fisik film. Pengaruh yang ditimbulkan dapat berbeda tergantung dari jenis polimer protein tersebut. Contohnya, film yang terbuat dari zein dan kacang pea mengalami penurunan elongasi, sedangkan film yang terbuat dari tepung

biji kapas justru mengalami peningkatan elongasi (Michard et al., 2000).

Formaldehid mampu bereaksi dengan bentuk primer dan sekunder dari amina, hidroksil, amida, dan grup tiol untuk membentuk turunan metilol (WHO, 2001). Tepung terigu mengandung 4-19 mikroekivalen tiol dan 83-130 mikroekivalen grup disulfida per gram protein. Grup tiol pada protein berpengaruh besar dalam pengembangan adonan. Reaksi antara formaldehid dengan grup tiol protein dapat menurunkan elastisitas dan gaya putus karena penurunan jumlah tiol dapat mengurangi kemungkinan terjadinya ikatan intermolekular disulfida. Padahal, ikatan disulfida ini berperan dalam menjaga elastisitas dan gaya putus mie (Kinsella, 1979).

Reaksi antara formaldehid dengan grup asam amino pada protein dapat mengurangi toksisitas formaldehid, akan tetapi mengakibatkan penurunan kualitas tekstur. Menurut Dingle (1977), formaldehid dengan konsentrasi 0.5 mM di dalam 100 g daging ikan akan menghasilkan struktur yang keras sehingga mengurangi akseptabilitasnya untuk dikonsumsi.

B. PROTEIN

1. Protein Gandum

Hard-grain wheat (gandum durum) menghasilkan adonan yang kuat

sehingga digunakan dalam pembuatan pasta. Sebaliknya, soft-grain wheat


(37)

pembuatan kue (biskuit). Gandum dengan sifat di antara keduanya cocok digunakan dalam pembuatan roti.

Gandum durum (Triticum turgidum L. var. durum) adalah komoditas

pangan penting di dunia, tidak hanya karena lahannya yang luas namun juga karena peranan pentingnya dalam diet. Program-program pangan di tingkat nasional maupun internasional menekankan aktivitasnya bukan hanya terhadap aspek produktivitas, melainkan juga terhadap kualitas gandum. Telah diketahui bahwa karakteristik gandum durum yang akan mempengaruhi kualitas produk akhir berhubungan dengan tingginya kandungan protein dan komponen dari protein tersebut.

Terdapat hubungan antara komposisi dan struktur protein dengan sifat fungsional. Dari sudut pandang sifat fungsionalnya, protein gandum dibedakan ke dalam dua kelas, yaitu protein monomerik dan protein polimerik, tergantung apakah protein tersebut terdiri dari satu atau lebih rantai polipeptida. Protein monomerik (atau rantai tunggal) tersusun dari dua grup utama, yaitu grup bertipe gliadin dan grup bertipe albumin atau globulin.

Gliadin biasanya dibagi menjadi empat grup berdasarkan mobilitasnya ketika dipisahkan dalam gel poliakrilamid pada kondisi pH

asam (acid-PAGE), yaitu α-, -, -, dan ω- gliadin. Bobot molekul gliadin

berkisar antara 30 000 sampai 80 000 Da. Subunit ω-gliadin terpisah secara

jelas dari polipeptida lainnya dalam sodium dodecyl sulphate

polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) karena bobot molekulnya

(70 000-80 000 Da) tidak berdekatan dengan polipeptida lain. Subunit ω

-gliadin kekurangan sulfur, tapi subunit -gliadin lainnya mempunyai sejumlah residu sistein, yang dapat membentuk ikatan disulfida intramolekul (Srinivasan dan Alain, 1997).

Albumin (larut dalam air) dan globulin (larut dalam larutan garam) adalah campuran dari komponen berbobot molekul rendah, banyak di antaranya berupa enzim. Bobot molekulnya lebih rendah daripada gliadin (20 000-30 000 Da). Komposisi asam aminonya juga berbeda nyata dengan protein gluten (gliadin dan glutenin). Protein gluten banyak mengandung


(38)

asam glutamat dan prolin, sementara albumin dan globulin memiliki kandungan asam glutamat yang lebih rendah namun kaya akan asam amino esensial lisin (Srinivasan dan Alain, 1997).

Tiga gugus utama protein menyusun protein polimerik, yaitu

glutenin, high molecular weight (HMW) albumin, dan triticin. Glutenin

mempunyai porsi terbesar (sekitar 85%) dari protein polimerik. Bersama dengan gliadin, mereka ditemukan dalam serealia dan tepung, dan merupakan fraksi protein utama dalam endosperm gandum durum. Kesamaan komposisi kimia glutenin dan gliadin mengindikasikan adanya kesamaan asal usul genetik. Glutenin mengandung polipeptida-polipeptida berbeda yang dihubungkan oleh ikatan disulfida intermolekul.

Polipeptidanya disebut subunit dan dibagi menjadi low molecular weight

(LMW) atau polipeptida berbobot molekul rendah dan HMW atau polipeptida berbobot molekul tinggi, sesuai dengan bobot molekulnya ketika dipisahkan dalam SDS-PAGE. Subunit glutenin menyebabkan perbedaan dalam sifat viskoelastis gluten (Srinivasan dan Alain, 1997).

Protein polimerik selanjutnya yang jumlahnya cukup melimpah adalah HMW albumin, terutama -amilase. Subunit albumin membentuk polimer di antara jenisnya sendiri dan bukan dengan glutenin. Grup lain dari protein polimerik adalah triticin, yaitu protein bertipe seperti globulin. Mereka juga membentuk polimer dengan subunitnya sendiri (Srinivasan dan Alain, 1997).

Tepung gandum mengandung pati dan protein. Dua bahan ini menyusun 90% komposisi tepung (70-80% pati dan 10-15% protein). Di dalam produk pangan, pati muncul dalam bentuk granula kecil (diameter 1-40 m), dan di dalam sistem seperti adonan, pati terdispersi dan berperan sebagai bahan pengisi. Di pihak lain, protein membentuk jaringan yang kontinyu dalam pengembangan adonan dan bertanggung jawab terhadap viskoelastisitas produk.

Interaksi antara protein tepung dan air, yang juga merupakan komponen penting dalam adonan, merupakan faktor kritis dalam tahap pencampuran. Kapasitas penyerapan air dari tepung gandum berkisar antara


(39)

2.25 sampai 3.15 ml/g (Zayas, 1997). Hidrasi seluruh komponen tepung, terutama protein dan pati, merupakan syarat awal terbentuknya adonan yang baik. Gluten dapat menahan sejumlah besar air di dalam strukturnya, menghasilkan adonan dengan kadar air yang bisa mencapai 60%. Selama pencampuran, gluten yang terdiri dari gliadin dan glutenin akan berinteraksi dengan air, dengan satu sama lain, dan dengan komponen tepung lainnya, seperti lipid, pati, gula, dan protein terlarut. Sifat reologi adonan dipengaruhi oleh rasio protein dalam tepung dan pembentukan ikatan selama tahap pencampuran.

Elastisitas dan viskoelastisitas gluten ditentukan oleh glutenin, yang memiliki bobot molekul besar, dan interaksi hidrofobik dari residu asam amino non polar. Glutenin mengandung sejumlah besar asam hidrofobik, misalnya leusin, yang berkontribusi terhadap pembentukan interaksi hidrofobik. Selain itu, sifat elastisitas juga dikembangkan melalui ikatan disulfida interpolipeptida dalam glutenin. (Zayas, 1997).

2. Sifat-sifat Protein

Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Selain itu, protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein ikut mengatur berbagai proses tubuh, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara membentuk zat-zat pengatur proses dalam tubuh.

Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein menyebabkan protein mempunyai banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun dengan basa). Daya reaksi berbagai jenis protein terhadap asam dan basa tidak sama, tergantung dari jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam molekul. Di dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi

dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini

dilakukan elektrolisis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda. Sebaliknya, di dalam larutan basa (pH tinggi), molekul protein akan


(40)

bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif, sehingga molekul protein akan bergerak menuju anoda. Pada pH tertentu yang disebut titik isoelektrik (pI), muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol. Pengendapan paling cepat terjadi pada titik isoelektrik ini dan tiap jenis protein mempunyai titik isoelektrik yang berlainan, sehingga prinsip ini sering digunakan dalam pemisahan serta pemurnian protein.

Kelarutan protein dipengaruhi oleh komposisi, urutan, berat molekul, konformasi asam amino, serta keberadaan grup polar dan nonpolar asam amino (Zayas, 1997). Protein dapat diendapkan secara selektif dengan mengganti pH, kekuatan ionik, konstanta dielektrik, atau suhu larutan.

Struktur alami (native) protein umumnya sangat berlipat-lipat. Panas

atau pH ekstrim menyebabkan struktur yang kompak itu kehilangan bentuknya. Fenomena ini disebut denaturasi. Protein akan kembali ke

struktur native apabila kondisinya cepat dikembalikan ke keadaan normal.

Namun, apabila kondisi normal tidak tercapai dengan cepat, protein tidak

akan kembali ke bentuk native-nya, karena telah terjadi agregasi dan reaksi

kimia. Protein yang stabil pada suhu tinggi atau pH ekstrim paling mudah dipisahkan dengan teknik ini karena protein yang tidak diinginkan akan mengendap akibat denaturasi, sementara protein yang diinginkan akan tertinggal dalam larutan.

Denaturasi protein umumnya didefinisikan sebagai perubahan non kovalen dalam struktur protein. Perubahan ini dapat berupa pergantian struktur sekunder, tersier, atau kuartener molekul. Ketika menggunakan definisi ini, harus diperhatikan bahwa terdeteksinya denaturasi sangat bergantung pada metode yang digunakan. Beberapa metode dapat mendeteksi perubahan yang sangat kecil di dalam struktur, sementara metode yang lain membutuhkan terjadinya perubahan yang lebih besar untuk dapat terdeteksi.

Salah satu metode tertua yang dimanfaatkan untuk mendeteksi denaturasi adalah pengukuran perubahan solubilitas. Metode ini merupakan


(41)

pengukuran kasar dari denaturasi protein karena hanya menunjukkan adanya denaturasi, bukan menunjukkan besarnya denaturasi (Zayas, 1997).

Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Denaturasi menyebabkan lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik ke luar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam. Pembalikan atau pelipatan terutama terjadi bila larutan protein telah mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas larutan akan bertambah karena molekul mengembang dan menjadi asimetrik. Demikian pula sudut putaran optik larutan protein akan meningkat. Jika hal ini terjadi pada enzim-enzim yang gugus prostetiknya terdiri dari protein, maka aktivitasnya akan hilang sehingga tidak berfungsi lagi sebagai enzim yang aktif.

Denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya pemanasan, perubahan pH, penambahan bahan kimia seperti merkaptoetanol, perlakuan mekanik seperti pengadukan, dan sebagainya. Masing-masing mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap denaturasi protein.

Ketika protein dihadapkan pada peningkatan suhu yang melebihi batas normal, penurunan solubilitas atau aktivitas enzimatik akan terjadi. Perubahan ini dapat atau tidak dapat reversibel, tergantung jenis protein dan tingkat pemanasan. Seiring dengan peningkatan suhu, sejumlah ikatan dalam molekul protein melemah. Ikatan yang paling pertama terpengaruh adalah interaksi jarak jauh yang dibutuhkan untuk membentuk struktur tersier. Ketika struktur tersier akhirnya pecah, protein menjadi lebih fleksibel dan gugusnya terekspos ke pelarut. Jika pemanasan dihentikan pada tahap ini, protein dapat melipat kembali ke struktur alaminya. Namun, jika pemanasan dilanjutkan, sejumlah ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks mulai pecah. Ketika ikatan ini akhirnya putus, air dapat berinteraksi dan membentuk ikatan hidrogen baru dengan nitrogen amida dan oksigen karbonil dari ikatan peptida. Lebih jauh lagi, kehadiran air akan melemahkan ikatan hidrogen dengan meningkatkan konstanta dielektrik di sekitarnya. Ketika struktur heliks akhirnya rusak, gugus hidrofobik


(42)

terekspos ke pelarut sehingga interaksi hidrofobik meningkat. Perlakuan suhu tinggi terhadap protein menghasilkan denaturasi yang irreversibel.

Presipitasi isoelektrik adalah proses di mana protein mengendap pada pH yang mendekati titik isoelektriknya. Titik isoelektrik (pI) protein merupakan pH di mana muatan total protein adalah nol. Protein cenderung bergabung dan mengendap pada pI karena tidak ada tolakan elektrostatik yang membuat mereka berpisah. Walaupun sebagian kecil protein tetap bertahan di larutan pada titik isoelektrik, pH tersebut biasanya merupakan titik solubilitas minimumnya. Protein yang titik isoelektriknya berada pada pH asam disebut protein asam, sedangkan protein yang titik isoelektriknya berada pada pH basa disebut protein basa. Sebagian besar protein pada pH fisiologis berada di atas titik isoelektriknya dan mempunyai muatan bersih negatif. Artinya, terdapat lebih banyak protein asam daripada protein basa (Zayas, 1997).

Jika pH diturunkan jauh di bawah titik isoelektriknya, protein akan kehilangan muatan negatif dan menjadi bermuatan positif. Muatan yang sama akan saling tolak menolak dan mencegah protein untuk mulai beragregasi. Di daerah dengan densitas muatan yang besar, tolakan intramolekul mungkin akan cukup besar untuk menyebabkan lipatan protein lepas. Efek ini mirip dengan perlakuan pemanasan medium terhadap struktur protein. Pada beberapa kasus, terurainya lipatan mungkin dapat mengakibatkan gugus hidrofobik terekspos ke pelarut dan terjadi agregasi irreversibel. Sampai hal ini terjadi, penguraian lipatan sebagian besar masih reversibel.

Perlakuan pH tinggi mempunyai efek yang analog dengan pH rendah. Pada pH tinggi, protein memiliki muatan negatif besar karena

kondisi lingkungan yang mengandung banyak OH- menyebabkan semakin

banyak gugus hidroksil protein yang melepaskan H+. Gaya tolak menolak

antara muatan negatif tersebut cukup besar untuk menyebabkan lipatan protein terlepas dan akhirnya terjadi agregasi protein.

Ketika protein asam terdenaturasi pada kondisi asam (misalnya pH 2-3), protein beragregasi satu sama lain dengan mudah dan presipitasi


(43)

meningkat pada pH mendekati titik isoelektrik (di mana tolakan elektrostatik rendah). Di pihak lain, ketika protein basa terdenaturasi di kondisi asam, mereka tidak mudah beragregasi karena protein memiliki banyak muatan positif dalam kondisi asam dan gaya tolak menolaknya tinggi. Ketika pH dikembalikan ke netral, protein basa yang tidak

mengendap akan kembali ke struktur native-nya. Akan tetapi, hal ini tidak

selalu terjadi pada protein asam. Kembalinya protein asam ke struktur alaminya dimungkinkan jika protein dilarutkan dalam denaturan yang

sangat kental (misalnya urea atau guanidine hydrochloride).

Konsep yang sama berlaku untuk kondisi basa. Akan tetapi, jika perlakuan ini dilakukan dalam jangka waktu lama, protein asam akan mengendap walaupun dalam kondisi basa. Hal ini disebabkan ikatan peptida rusak dan sulfur dilepaskan sebagai akibat berlebihnya jumlah ion hidroksida dalam larutan basa.

Oleh karena jumlah protein asam lebih banyak dibandingkan protein basa, sebagian besar protein mengendap di kondisi asam. Namun, ini hanya berlaku untuk perlakuan jangka pendek. Jika perlakuan cukup lama, seperti telah dijelaskan sebelumnya, protein juga akan mengendap dalam kondisi basa. Perbedaan di antara kondisi asam dan basa adalah presipitasi protein di

larutan asam biasanya tidak merusak dan dapat kembali ke struktur native

-nya, sementara presipitasi protein di larutan basa biasanya merusak sehingga

protein tidak dapat kembali ke struktur native-nya.

Protein umumnya lebih larut dalam larutan garam dibandingkan dalam air murni. Garam akan berasosiasi dengan gugus protein yang muatannya berlawanan. Kombinasi muatan ini mengikat air lebih banyak daripada muatan tunggal sehingga hidrasi protein meningkat. Peristiwa ini

disebut salting in. Namun, jika konsentrasi larutan garam terlalu tinggi, akan

terjadi kompetisi antara ion garam dan protein untuk mengikat air. Ketika hal ini terjadi, protein akan mengalami dehidrasi dan kehilangan solubilitas. Akibatnya, protein terpisah sebagai endapan. Peristiwa pengendapan protein


(44)

Solubilitas protein tergantung pada konstanta dielektrik larutan di sekelilingnya karena hal itu mempengaruhi kekuatan interaksi elektrostatik di antara grup-grup yang bermuatan. Penambahan pelarut organik yang

miscible dengan air tapi kurang polar, seperti etanol atau aseton, akan menurunkan konstanta dielektrik sistem. Apabila konstanta dielektrik menurun, interaksi elektrostatik antara grup-grup yang bermuatan dalam protein akan meningkat. Akibatnya, solubilitas protein menurun karena muatan berkurang, sehingga tolakan antara molekul protein tidak cukup untuk mencegah mereka berkumpul. Kehadiran pelarut yang kurang polar juga mempunyai efek melemahkan ikatan hidrogen dari protein.

Jumlah pelarut organik yang dibutuhkan untuk menimbulkan presipitasi tergantung dari jenis protein, sehingga protein juga dapat dipisahkan dengan prinsip ini. Jumlah optimumnya bervariasi dari 5-60%.

Fraksinasi dengan pelarut biasanya dilakukan pada suhu 0oC atau di bawah

itu untuk mencegah denaturasi protein akibat peningkatan suhu yang terjadi ketika pelarut organik bercampur dengan air.

Protein bisa membentukikatan silang dengan molekul lain, misalnya

melalui ikatan kovalen dengan karbohidrat membentuk glikoprotein. Kehadiran grup yang berikatan silang dengan protein cenderung menurunkan kecepatan denaturasi. Ada dua alasan utama untuk hal ini. Pertama, protein yang berikatan silang dan berukuran besar akan lebih sulit terurai lipatannya daripada protein yang tidak berikatan silang. Ketika energi ditambahkan ke sistem dan ikatan yang menjaga struktur sekunder melemah, molekul yang berikatan silang dengan protein akan cenderung mempertahankan struktur. Hal ini terutama terjadi jika ikatan silang berupa ikatan kovalen, seperti dalam ikatan disulfida. Semakin kompak molekul dan semakin banyak jumlah ikatan disulfida, semakin tinggi stabilitas protein. Ikatan silang juga akan mencegah tereksposnya sejumlah besar gugus hidrofobik ke pelarut.

Isolasi protein dari mie basah matang dilakukan setelah mie dikeringkan, ditepungkan, dan dihilangkan lemaknya (defattisasi). Penghilangan lemak biasanya menggunakan pelarut organik, misalnya


(45)

heksan, petroleum eter, dan aseton. Kadar isolat protein juga dipengaruhi oleh kandungan komponen-komponen dari sampel, seperti karbohidrat dan lemak. Hal ini disebabkan protein dapat berikatan dengan molekul-molekul tersebut. Kemampuan ekstraksi protein dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan, suhu, pH, dan kekuatan ion dari medium pengekstrak (Kinsella, 1979).

C. FORMALDEHID

1. Sifat Kimia dan Fisik Formaldehid

Formaldehid merupakan senyawa yang bersifat mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, dan mudah dipolimerisasi pada suhu ruang. Formaldehid mudah larut di dalam air, alkohol, dan pelarut polar yang lain, tetapi memiliki kelarutan yang rendah dalam pelarut non polar. Karakteristik lainnya dari formaldehid disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik formaldehid

Nama Formaldehid, metanal, metil

aldehid, metilen oksida

Struktur

Rumus kimia H2CO

Berat molekul 30.03

Titik leleh -118 sampai -92oC

Titik didih -21 sampai -19oC

Triple point 155.1 K (-118.0oC)

Densitas 1.13 x 103 kg/m3

Tekanan uap (Pa, 25oC) 516 000

Kelarutan (mg/liter, 25oC) 400 000 – 550 000

Faktor konversi 1 ppm = 1.2 mg/m3

(WHO, 2002)

Sekalipun berbentuk gas (td=-21oC), formaldehid tidak dapat

disimpan dalam bentuk bebasnya karena mudah berpolimerisasi. Formaldehid sering dibuat dalam bentuk larutan 37% yang lebih dikenal


(46)

sebagai formalin. Larutan ini berfungsi sebagai desinfektan dan pengawet (Hart, 1983). Di dalam pembuatan formalin ini, seringkali ditambahkan

metanol (10-15%) sebagai stabilizer untuk mengurangi polimerisasi

internal.

Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana, namun ia merupakan elektrofil yang paling kuat dan paling reaktif di antara aldehid yang lain. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfir untuk membentuk asam format. Senyawa ini juga mudah mengalami oksidasi oleh cahaya matahari menjadi karbon dioksida (WHO, 2002). Pada

suhu 150oC, formaldehid terdekomposisi menjadi metanol dan karbon

monoksida. Selain itu, formaldehid mampu berkondensasi dengan banyak komponen membentuk turunan metilol dan metilen (IARC, 1982).

Formaldehid hadir di lingkungan sebagai hasil dari proses alami dan dari tindakan manusia. Senyawa ini terbentuk dalam jumlah besar di troposfer akibat oksidasi hidrokarbon. Dekomposisi tumbuhan juga termasuk dalam proses alami yang menghasilkan formaldehid, walaupun jumlahnya kecil.

Udara merupakan daerah utama siklus formaldehid, karena sebagian besar proses produksi, emisi, dan degradasi senyawa ini terjadi di atmosfer. Di dalam air, formaldehid cepat mengalami biodegradasi oleh mikroorganisme sehingga konsentrasinya rendah. Begitu pula di dalam tanah, formaldehid mudah terbiodegradasi. Oleh karena penyerapan tanah sangat rendah, formaldehid mudah tercuci dan mobilitasnya sangat tinggi.

Konsentrasi formaldehid di udara, dekat permukaan, pegunungan,

atau lautan, berkisar antara 0.05 sampai 14.7 g/m3, dengan konsentrasi

mayoritas dalam kisaran 0.1-2.7 g/m3. Di lingkungan manusia yang jauh

dari kawasan industri, kadar rata-ratanya adalah 7-12 g/m3 dengan

sejumlah kecil daerah mencapai 60-90 g/m3. Air hujan mengandung

110-174 g/l, dengan kadar tertinggi 310-1 380 g/l. Di dalam air minum, konsentrasi formaldehid sekitar 0.1 mg/l sehingga rata-rata asupan yang berasal dari air minum adalah 0.2 mg/hari.


(47)

Bahan pangan secara alami mengandung formaldehid, dengan level 1 mg/kg sampai 90 mg/kg. Kontaminasi terhadap pangan bisa terjadi melalui fumigasi, bahan tambahan pangan, atau pemasakan. Asupan dari makanan tergantung komposisi makanan itu sendiri. Bagi orang dewasa, jumlahnya berkisar 1.5-14 mg/hari. Tabel 3 di bawah ini memuat kadar formaldehid dalam beberapa bahan pangan.

Tabel 3. Kandungan formaldehid dalam bahan pangan

Sampel Formaldehid (mg/kg)

Produk nabati:

Apel summer

Wortel Semangka Aprikot Plum

Apel winter

Tomat Pisang Kentang Anggur Beetroot kecil Kembang kol Beetroot besar

Produk hewani:

Susu mentah Potongan daging Ham ayam Ham

Sosis boy-scout

Sosis casino

Sosis peasant

6.3 6.8 9.0 9.5 11.2 12.5 13.3 16.3 19.5 22.4 22.5 26.9 35.0

0.8 2.9 3.8 12.4 12.9 13.1 20.7

(Trezl et al., 1996)

Secara besar-besaran, formaldehid dihasilkan dari industri buatan manusia, misalnya dalam asap keluaran mesin-mesin, residu, emisi, atau limbah sisa pengolahan formaldehid dan turunan-turunannya, serta bahan yang dikenai perlakuan dengan formaldehid. Emisi formaldehid dari industri bervariasi tergantung tipe industri tersebut. Sejumlah besar dikeluarkan


(48)

melalui asap kendaraan bermotor, namun ini pun tergantung kebijakan suatu negara dan kualitas bahan bakarnya.

Formaldehid mempunyai banyak kegunaan dalam industri. Senyawa ini digunakan dalam produksi plastik dan resin, produk intermediet, dan keperluan lain yang bervariasi seperti agen pengkelat. Salah satu penggunaannya yang paling umum adalah dalam resin urea-formaldehid dan melamin-formaldehid. Di USA, resin dan plastik yang berbasis formaldehid mencapai 60%. Resin formaldehid digunakan sebagai alat perekat pada produksi triplek dan kayu. Formaldehid diaplikasikan dalam bidang medis untuk sterilisasi, sebagai pengawet, dan bahan pembersih rumah tangga. Fungsinya sebagai desinfektan untuk membunuh virus, bakteri, fungi, dan parasit baru efektif jika konsentrasi penggunaannya besar. Algae, protozoa, dan organisme uniseluler lain cukup sensitif terhadap formaldehid dengan konsentrasi akut letal berkisar 0.3-22 mg/l (WHO, 1969). Mekanisme formaldehid sebagai desinfektan adalah membunuh sel dengan cara mendehidrasi sel jaringan dan sel bakteri dan menggantikan cairan yang normal dengan komponen kaku yang seperti gel.

2. Studi Keamanan Formaldehid

Menurut Gracecia (2005) dan Priyatna (2005), mie basah yang dijual di daerah Jabotabek mengandung formalin dengan jumlah rata-rata di pasar tradisional sebesar 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 914.36 mg/kg (mie basah matang), di pedagang produk olahan mie sebesar 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3 423.51 mg/kg (mie basah matang), dan di supermarket sebesar 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2 941.82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).

Menurut Oktaviani (2005), mie basah mentah yang diberi perlakuan formaldehid dengan konsentrasi 300 mg/kg adonan mengalami peningkatan elastisitas dibandingkan mie tanpa penambahan formaldehid. Hal ini disebabkan pembentukan ikatan silang protein yang dapat memperkuat tekstur mie. Namun, apabila konsentrasi penambahan formaldehid dinaikkan menjadi 600 mg/kg adonan, elastisitas akan menurun. Selain itu,


(49)

penambahan formaldehid pada mie mentah dapat menurunkan daya cerna protein. Hal itu ditunjukkan oleh menurunnya daya cerna mie yang ditambah formaldehid sebanyak 300 dan 600 mg/kg adonan dibandingkan dengan mie tanpa penambahan bahan tersebut. Pengaruh lain yang timbul karena penambahan formaldehid adalah meningkatnya kecerahan warna mie basah mentah (Oktaviani, 2005).

Formaldehid endogenus merupakan produk metabolisme normal dan esensial bagi biosintesis beberapa asam amino dalam tubuh manusia. Formaldehid endogenus diproduksi oleh jaringan dengan kisaran 3-12 ng/g jaringan. Secara alami, sejumlah kecil formaldehid diproduksi di dalam

tubuh sebagai metabolit yang normal dan sebagai hasil oksidasi xenobiotics

sehingga senyawa ini dapat ditemukan di hati.

Formaldehid eksogenus masuk ke dalam tubuh manusia melalui asupan oral, inhalasi, dan kulit. Formaldehid yang diasup secara oral akan segera diserap oleh saluran pencernaan, sedangkan formaldehid yang diinhalasi akan diserap oleh saluran pernapasan bagian atas tetapi tidak sampai didistribusikan ke seluruh tubuh karena metabolismenya yang cepat

(Heck et al. 1985). Formaldehid eksogenus dalam plasma manusia akan

dikonversi menjadi asam format oleh enzim aldehid dehidrogenase dengan waktu paruh 1-1.5 menit (Bardana dan Montanaro, 1991), sedangkan asam format sendiri memiliki waktu paruh 90 menit. Artinya, metabolisme asam format di dalam tubuh membutuhkan waktu yang lebih lama daripada metabolisme formaldehid (WHO, 2001). Hati manusia dapat mengkonversi

formaldehid menjadi CO2 dengan kecepatan 22 mg formaldehid/menit

(Owen et al., 1990).

Formaldehid yang diserap oleh tubuh akan cepat diubah menjadi asam format, melalui senyawa antara S-formilglutation, oleh enzim formaldehid dehidrogenase dan enzim-enzim lainnya. Konversi formaldehid menjadi asam format terjadi di dalam sel darah merah dan hati. Selanjutnya, asam format dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air oleh enzim formiltetrahidrofolat sintetase, yang mengkatalisa produksi formiltetrahidrofolat dari format dan tetrahidrofolat. Melalui jalur alternatif


(50)

lainnya, format dapat dikonversi menjadi garam sodium yang diekskresikan

ke dalam urin atau dapat juga diinkorporasikan melalui one-carbon pool

untuk digunakan dalam biosintesis (Bardana dan Montanaro, 1991).

Formaldehid memiliki bau menyengat yang dapat terdeteksi walaupun pada konsentrasi rendah. Selain itu, uap dan larutannya juga mengiritasi mata dan kulit. Iritasi terjadi jika kulit terpapar larutan formaldehid 5-20%. Iritasi mata, hidung, dan tenggorokan dihasilkan dari paparan sedikitnya 1 ppm formaldehid di udara. Paparan lebih dari 50 ppm bisa mengakibatkan kerusakan yang serius terhadap saluran pernapasan (Federal Provincial-Territorial Committee on Drinking Water, 1997). Konsentrasi terendah yang bisa menimbulkan reaksi pada orang yang sensitif adalah 0.05% (WHO, 1969). Tabel 4 di bawah ini menunjukkan efek inhalasi formaldehid terhadap manusia.

Tabel 4. Pengaruh formaldehid bagi kesehatan manusia melalui pernapasan

Pengaruh bagi kesehatan Konsentrasi formaldehid (ppm)

Tidak ada pengaruh 0.05

Ambang batas bau (odor threshold) 0.05-1.0

Iritasi mata* 0.01-2.0

Iritasi dan kesulitan pernapasan 0.1-25

Kerusakan kronis paru-paru 5-30

Pulmonary edema, inflammation,

pneumonia 50-100

Kematian 100+

*iritasi mata pada 0.01 ppm terjadi karena paparan formaldehid dan polutan yang lain (MFL Inc., 2004)

Formaldehid sangat reaktif dan sangat larut dalam air. Oleh karena

lapisan mucous epitelium saluran pernapasan 95% tersusun dari air,

formaldehid dengan mudah terserap ke dalam membran mucous saluran

pernapasan atas. Walaupun demikian, Heck et al. (1985) mengatakan bahwa

paparan formaldehid melalui inhalasi tidak memperlihatkan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi formaldehid dalam darah. Studi dilakukan terhadap tikus, monyet, dan manusia, dengan dosis paparan masing-masing 14.4 ppm selama 2 jam untuk tikus, 6 ppm selama 4 minggu untuk monyet,


(51)

dan 1.9 ppm selama 40 menit untuk manusia. Konsentrasi formaldehid dalam darah diukur sebelum dan sesudah pemaparan, dengan hasil berturut-turut 2.24/2.25 g/g (tikus), 2.42/1.84 g/g (monyet), dan 2.61/2.77 g/g (manusia). Akan tetapi, beberapa objek yang lain memperlihatkan adanya perbedaan kandungan formaldehid yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemaparan. Hal ini membuktikan perbedaan variasi pada individu

(Heck et al., 1985). Kandungan formaldehid diukur pada beberapa jaringan

tikus yang dipaparkan formaldehid (14C-formaldehid) selama 6 jam.

Konsentrasi formaldehid tertinggi terdapat dalam esofagus, diikuti ginjal,

hati, usus, dan paru-paru. Hal ini berarti 14C-formaldehid cepat

didistribusikan dari aliran darah ke seluruh tubuh (WHO, 1989).

Formaldehid dapat diserap melalui permukaan kulit.

Permeabilitasnya telah diuji secara in vitro menggunakan kulit manusia.

Tingkat penyerapan formaldehid pada kulit yang terpapar larutan formalin

37% adalah 319 g/cm2/jam (Loden, 1986). Percobaan juga dilakukan

terhadap 5 monyet dengan dosis 0.4-0.9 g/cm2 selama 24 jam. Hasilnya

menunjukkan bahwa penyerapan yang terjadi sangat rendah. Sejumlah 52% diuapkan melalui kulit dan hanya 0.5% dari dosis yang mampu terserap ke dalam kulit (Jeffcoat, 1984).

Penyerapan formaldehid pada organ pencernaan telah diuji terhadap 5 ekor anjing yang diberi formaldehid sebanyak 70 mg/kg. Kandungan asam format di dalam darah meningkat cepat. Namun, lima belas menit setelah perlakuan, semua anjing memuntahkannya sehingga perhitungan secara

kuantitatif tidak mungkin dilakukan (Malorny et al., 1965).

Kasus-kasus yang terjadi pada manusia menunjukkan bahwa formaldehid tidak potensial sebagai senyawa karsinogen. Kanker yang terjadi pada populasi yang terekspos formaldehid adalah tumor nasal. Formaldehid tidak memiliki efek terhadap reproduksi dan tidak bersifat

teratigenik. Secara in vitro, formaldehid mengganggu DNA dalam sel

manusia, namun tidak ada data yang berhubungan dengan akibat mutagenik. Konsentrasi formaldehid yang bersifat karsinogenik biasanya juga bersifat sitotoksik dan meningkatkan proliferasi sel di dalam hidung.


(1)

Lampiran 19 (lanjutan). Prosedur elektroforesis

6. Gel destaining

Gel ditempatkan dalam wadah yang telah diisi larutan destaining (± 20 ml). Gel diagitasi konstan (± 24 jam) sampai pita-pita protein yang terbentuk terlihat nyata dan warna latar gel menjadi terang.


(2)

Lampiran 20. Kurva standar elektroforesis

1. Kurva standar I SDS-PAGE

Rf standar (X) BM standar Log BM standar (Y)

0.0175 97 1.987 0.0614 66 1.820 0.1667 45 1.653 0.2456 30 1.477 0.4386 20.1 1.303 0.6053 14.4 1.158

2. Kurva standar II SDS-PAGE

Rf standar (X) BM standar Log BM standar (Y)

0.0254 97 1.987 0.0678 66 1.820 0.1695 45 1.653 0.2458 30 1.477 0.4322 20.1 1.303 0.5932 14.4 1.158

y = -1.3449x + 1.9104 R2 = 0.9474

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

Rf


(3)

Lampiran 20 (lanjutan). Kurva standar elektroforesis

3. Kurva standar I native-PAGE

Rf standar (X) BM standar Log BM standar (Y)

0.1000 669 2.825 0.2750 440 2.643 0.4250 232 2.365 0.5250 140 2.146 0.6333 45 1.653 0.7583 30 1.477 0.8667 20.1 1.303 0.9333 14.4 1.158

y = -1.3921x + 1.9222 R2 = 0.9474

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

R f

Log BM

y = -2.1558x + 3.1634 R2 = 0.9747

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

R f

Log B


(4)

Lampiran 20 (lanjutan). Kurva standar elektroforesis

4. Kurva standar II native-PAGE

Rf standar (X) BM standar Log BM standar (Y)

0.0893 669 2.825 0.2768 440 2.643 0.4554 232 2.365 0.5446 140 2.146 0.6429 45 1.653 0.7857 30 1.477 0.8571 20.1 1.303 0.9196 14.4 1.158

y = -2.1497x + 3.1747 R2 = 0.9646

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Rf


(5)

Lampiran 21. Perhitungan kesalahan mutlak SDS-PAGE dan native-PAGE

Kesalahan mutlak penentuan berat molekul didapat dengan cara menghitung selisih berat molekul dari perbedaan migrasi sebesar 0.05. Nilai 0.05 merupakan setengah dari satuan terkecil pengukuran (½ x 0.1 cm = 0.05 cm). 1. Regresi linier kurva standar I SDS-PAGE adalah Y = -1.3449X + 1.9104.

Persamaan ini digunakan untuk sampel O, K, O+B375, K+B375, O+B750, K+B750, O+F55.2, K+F55.2, O+F110.4, dan K+F110.4.

Migrasi Rf Log BM BM

1 0.1754 1.674 47.3

1.05 0.1842 1.663 46.0 Selisih BM = 1.3

2. Regresi linier kurva standar II SDS-PAGE adalah Y = -1.3921X + 1.9222. Persamaan ini digunakan untuk sampel O+B375+F55.2, K+B375+F55.2, O+B750+F110.4, dan K+B750+F110.4.

Migrasi Rf Log BM BM

1 0.1695 1.686 48.6

1.05 0.1780 1.674 47.3 Selisih BM = 1.3

3. Regresi linier kurva standar I native-PAGE adalah Y = -2.1558X + 3.1634. Persamaan ini digunakan untuk sampel O, K, O+B375, K+B375, O+B750, K+B750, O+F55.2, K+F55.2, O+F110.4, dan K+F110.4.

Migrasi Rf Log BM BM

1 0.1667 2.804 636.9

1.05 0.1750 2.786 611.1 Selisih BM = 25.8

4. Regresi linier kurva standar II native-PAGE adalah Y = -2.1497X + 3.1747. Persamaan ini digunakan untuk sampel O+B375+F55.2, K+B375+F55.2, O+B750+F110.4, dan K+B750+F110.4.

Migrasi Rf Log BM BM

1 0.1786 2.791 617.8

1.05 0.1875 2.772 591.1 Selisih BM = 26.7


(6)