4.2. Parameter Fisika
4.2.1. Suhu
Berdasarkan  hasil  pengamatan  selama  penelitian,  rataan  nilai  suhu  di  Way Perigi berkisar antara 27
o
C sampai 30
o
C. Hasil sebaran suhu pada stasiun 1 sampai stasiun 3, pada sampling 1 sampai sampling 3 bisa terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Sebaran rataan nilai suhu setiap stasiun selama pengamatan
Pada  Gambar  3  mengenai  grafik  suhu  dapat  terlihat  bahwa  pada  setiap stasiun  dari  hulu  ke  hilir,  memiliki  nilai  suhu  yang  cenderung  meningkat.  Hal  ini
dikarenakan  oleh  salah  satu  faktor  yaitu  penutupan  sungai  oleh  tumbuh-tumbuhan. Pada  stasiun  1  yang  berupa  mata  air  terdapat  pepohonan  yang  masih  tergolong
rimbun  sehingga  suhu  cenderung  lebih  rendah,  sedangkan  pada  stasiun  2  dan  3 faktor penutupan lebih rendah sehingga suhu cenderung lebih tinggi. Menurut Barus
2001  pola  temperatur  ekosistem  air  dipengaruhi  oleh  berbagai  faktor  seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya,
ketinggian  geografis,  dan  juga  faktor  canopy  penutupan  oleh  vegetasi  dari pepohonan  yang  tumbuh  di  tepi.  Selain  faktor  penutupan  canopy,  cuaca  saat
pengambilan  sample  juga  mempengaruhi  tinggi  rendahnya  suhu.  Seperti  pada sampling 3 suhu lebih rendah dikarenakan cuaca pengambilan sample adalah hujan,
sedangkan pada  sampling  2 suhu lebih tinggi,  dikarenakan cuaca saat  pengambilan sample adalah panas terik. Berdasarkan baku mutu PP RI no. 82 tahun 2001 kelas I
dan  kelas  III,  nilai  yang  diperbolehkan  untuk  suhu  yaitu  sebesar  deviasi  3
o
C  dari keadaan  alamiahnya,  sehingga  nilai  suhu  dari  ketiga  stasiun  selama  pengamatan  di
Way Perigi, dapat dikatakan masih dalam kisaran yang baik.
25 26
27 28
29 30
31
stasiun 1 stasiun 2
stasiun 3
Su hu
°C
Sampling 1 Sampling 2
Sampling 3 Rata-rata
4.2.2. Padatan tersuspensi total Total Suspended Solid- TSS dan kekeruhan
Berdasarkan  hasil  pengamatan  selama  penelitian,  rataan  nilai  padatan tersuspensi total Total Suspended Solid
– TSS di Way Perigi berkisar antara 3 mgl sampai  24,33  mgl.  Hasil  sebaran  rataan  nilai  TSS  di  setiap  stasiun  selama
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Sebaran rataan nilai TSS setiap stasiun selama pengamatan
Pada  setiap  stasiun  dari  hulu  ke  hilir  selama  waktu  pengamatan  memiliki nilai TSS yang semakin meningkat. Nilai TSS terrendah yaitu terdapat pada stasiun
1,  hal  ini  dikarenakan  stasiun  1  berupa  mata  air,  sehingga  tidak  ada  kegiatan pertanian  maupun  perikanan  yang  bisa  meningkatkan  nilai  TSS.  Selain  itu  tipe
substrat  berbatu  pada  stasiun  1,  tidak  menyebabkan  nilai  TSS  yang  terlalu  tinggi. Nilai  TSS  tertinggi  yaitu  terdapat  pada  stasiun  3,  hal  ini  dikarenakan  stasiun  3
terletak  di  hilir  sungai  dan  terdapat  akumulasi  bahan  organik  dari  kegiatan antropogenik  dan  bahan  tersuspensi  dari  kegiatan  pertanian  dan  perikanan  di
sepanjang  aliran  sungai.  Selain  itu  tipe  substrat  pada  stasiun  2  dan  3  yang  berupa lumpur,  dapat  menambah  tingginya  nilai  TSS  saat  terjadi  pengadukan  dari  arus
maupun  dari  hujan.  Nilai  TSS  dari  Way  Perigi  yang  masih  bernilai  kurang  dari  25 mgl, memiliki arti bahwa kandungan bahan-bahan tersuspensi di  Way Perigi tidak
berpengaruh pada kegiatan perikanan Tabel 1 Berdasarkan  hasil  pengamatan  selama  penelitian,  rataan  nilai  kekeruhan  di
Way Perigi berkisar antara 0,19 NTU sampai 25,90 NTU. Hasil sebaran rataan nilai kekeruhan di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5.
5 10
15 20
25 30
stasiun 1 stasiun 2
stasiun 3
T SS
m g
l
Sampling 1 Sampling 2
Sampling 3 Rata-rata
Gambar 5. Sebaran rataan nilai kekeruhan setiap stasiun selama pengamatan
Pada stasiun 1 dan 2, nilai kekeruhan tertinggi  yaitu terdapat pada sampling 3.  Hal  ini  dikarenakan  cuaca  saat  pengambilan  sample  adalah  hujan,  sehingga
disebabkan karena adanya lapisan tanah yang terbawa oleh aliran air Effendi 2003. Pada  setiap  stasiun  dari  hulu  ke  hilir  memiliki  nilai  kekeruhan  yang  semakin
meningkat. Menurut Welch 1952 sungai yang berada di daerah pegunungan hulu memiliki nilai  kekeruhan  yang lebih rendah daripada sungai  yang berada  di  daerah
hilir.  Hal  tersebut  dapat  diduga  dari  penggunaan  lahan  sekitar  sungai,  yang  berupa kegiatan  pertanian  sawah  dan  ladang  dan  limpasan  tanah  di  sekitar  sungai  akibat
hujan pada stasiun 2 dan 3, sedangkan pada stasiun 1 tidak ada kegiatan tersebut dan limpasan  tanah  dari  hujan  juga  sedikit  karena  pepohonan  yang  masih  rimbun  dan
tidak  ada  aktivitas  pertanian  disekitar  mata  air.  Menurut  Effendi  2003  nilai  TSS berbanding  lurus  dengan  nilai  kekeruhan.  Hal  ini  terbukti  dengan  regresi  antara
keduanya seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan antara nilai TSS dengan kekeruhan
5 10
15 20
25 30
stasiun 1 stasiun 2
stasiun 3
K ek
er uh
a n
NT U
Samping 1 Sampling 2
Sampling 3 Rata-rata
Y = 0,772x + 2,076 R² = 0,938
r = 0,968 5
10 15
20 25
30
5 10
15 20
25 30
T SS
m g
l
Kekeruhan NTU
Berdasarkan  regresi  dari  nilai  TSS  dengan  kekeruhan,  menyatakan  bahwa nilai  TSS  dengan  kekeruhan  berhubungan  erat,  dibuktikan  dengan  nilai  koefisien
determinasi  R
2
sebesar  0,938  dan  nilai  koefisien  korelasi  sebesar  0,968  atau  96,8 .  Nilai  TSS  berbanding  lurus  dengan  nilai  kekeruhan,  semakin  tinggi  nilai
kekeruhan  maka  semakin  tinggi  juga  nilai  TSS.  Hal  ini  terbukti  bahwa  nilai  TSS yang  semakin  tinggi  pada  setiap  stasiunnya  Gambar  4,  diiringi  dengan  nilai
kekeruhan  yang  semakin  tinggi  Gambar  5  juga  pada  setiap  stasiunnya. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang
diperbolehkan untuk TSS adalah 50 mgl dan 400 mgl Lampiran 2, sehingga dari ketiga  stasiun  pengamatan  memiliki  nilai  TSS  yang  masih  memenuhi  kriteria  baku
mutu air.
4.2.3. Padatan terlarut total Total Dissolved Solid- TDS