I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan
kerja, memeratakan distribusi pendapatan, meningkatkan hubungan ekonomi regional dan mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke
sektor sekunder dan tersier. Pembangunan dilakukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan
institusional dimana
terpenuhinya seluruh
kebutuhan dasar
manusia, meningkatnya standar hidup dan tersedianya pilihan pilihan ekonomis dan sosial
bagi setiap individu. Pembangunan ekonomi dalam kerangka perekonomian daerah, Arsyad
1999 menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi daerah. Untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah tersebut dibutuhkan kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan
daerah endogenous development, dengan menggunakan potensi sumberdaya lokal.
Untuk itu pemerintah mengeluarkan kebijakan Otonomi Daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, didalamnya daerah diberikan hak dan kewenangan sesuai
dengan prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab serta berhak mengatur seluruh kewenangannya, baik berupa urusan wajib maupun urusan
pilihan, mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 juga mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pelaksanaan desentralisasi. Konsep pembangunan yang dicantumkan dalam Program Pembangunan
Nasional Propenas 2000-2004 untuk meningkatkan dan mempercepat pembangunan daerah dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah.
Pembangunan lintas wilayah mencakup upaya pengembangan wilayah untuk mendayagunakan potensi dan kemampuan daerah dengan berbagai alat kebijakan
yang mendukung perkembangan perekonomian daerah, berkembangnya pemukiman, perkotaan, pedesaan, wilayah cepat tumbuh, perbatasan dan wilayah
tertinggal, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, meningkatkan
hidup dan kehidupannya. Secara khusus Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan
daerah dan kawasan khusus yang dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dengan syarat
yang diatur perundang-undangan. Hal ini menjelakan bahwa pemerintah pusat
telah mengakomodir keinginan pemerintah dan masyarakat daerah melalui pemekaran wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupatenkota.
Sebelum otonomi daerah diberlakukan, wilayah di Kabupaten Bogor terdiri dari 30 kecamatan kemudian setelah otonomi daerah diberlakukan maka dengan
Perda No. 3 Tahun 2003 tentang pembentukan dan Perda No. 40 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja OTK Kecamatan, telah terbentuk 10
kecamatan baru hasil pemekaran wilayah yaitu Kecamatan Sukajaya, Tanjungsari, Tajurhalang, Leuwisadeng, Rancabungur, Tamansari, Cigombong, Tenjolaya,
Klapanunggal dan Ciseeng, sehingga saat ini Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan. Adanya pemekaran wilayah kecamatan di Kabupaten Bogor ini
diharapkan perekonomian Kabupaten Bogor dapat berkembang pesat yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk membangun suatu daerah sebaiknya kebijakan yang diambil harus sesuai dengan masalah, kebutuhan dan potensi daerah yang bersangkutan. Hal ini
ditekankan karena setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda baik dari sisi potensi sosial ekonomi, kandungan sumber daya alam, kondisi geografis maupun
potensi khas daerah lainnya. Terkait dengan pentingnya identifikasi kebutuhan dan potensi dalam
proses perencanaan pembangunan daerah, maka berbagai pendekatan model perencanaan pembangunan daerah dapat dilakukan untuk menentukan arah dan
bentuk kebijakan yang diambil. Sebelum merumuskan kebijakan pembangunan wilayah hendaknya terlebih dahulu perlu ditetapkan pengelompokkan wilayah
pembangunan dengan memperhatikan kondisi dan potensi wilayah bersangkutan.
Maka perumusan kebijakan akan lebih tepat, sesuai dengan kondisi, permasalahan dan potensi wilayah. Salah satunya adalah pengelompokkan wilayah yang
memiliki karakteristik sosial ekonomi yang sama homogenous region. Rencana Strategis Renstra Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2003-
2008 yang tertuang pada Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 2 Tahun 2004 berisi tentang ditetapkannya visi, misi, tujuan dan sasaran serta strategi
pembangunan. Strategi pembangunan yang dirumuskan berupa serangkaian kebijakan dan program yang memfokuskan pada penyusunan kegiatan dan
pengalokasian sumberdaya, terdiri dari strategi pembangunan p
erwilayahan pembangunan dan strategi urusan pemerintahan. Strategi perwilayahan pembangunan
dikelompokkan ke dalam strategi percepatan pembangunan di wilayah Bogor Barat, pengendalian pembangunan di Bogor Tengah dan strategi pemantapan pembangunan
di wilayah Bogor Timur.
Pembangunan berdasarkan wilayah pembangunan ini diharapkan dapat mencapai tujuan yang diinginkan tiap wilayah pembangunan secara lebih terarah.
Namun saat ini masih dirasakan adanya ketimpangan pembangunan pada beberapa wilayah kecamatan yang dapat dilihat
dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Berdasarkan indeks
Williamson dengan data tahun 2005 didapatkan indeks ketimpangan wilayah pembangunan Bogor Barat 0,27, Bogor Tengah 0,23 dan Bogor Timur 0,06. Hal
ini menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi pada tiap wilayah pembangunan cukup rendah berarti cukup merata pada tiap wilayah
pembangunan. Namun bila dibandingkan antar wilayah pembangunan,
ketimpangan pembangunan ekonomi di wilayah Bogor Barat lebih tinggi dibandingkan wilayah pembangunan yang lainnya. Jumlah rumah tangga miskin
hasil pendataan BPS tahun 2008 menunjukkan bahwa di Kecamatan Gunung Putri berjumlah 2.773 rumah tangga miskin sedangkan di Kecamatan Leuwiliang
mencapai 11.429 rumah tangga miskin lampiran 1. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan dan kesehatan juga terjadi antar
wilayah, dari data terlihat jumlah SLTP di Kecamatan Cibinong berjumlah 39 SLTP sementara di Kecamatan Sukajaya hanya ada 3 SLTP. Kondisi yang sama
juga terlihat pada jumlah puskesmas dimana di Kecamatan Cibinong ada 10 puskesmas sementara di Kecamatan Parung dan Tajurhalang hanya ada 2
puskesmas lampiran 3. Bila dilihat dari wilayah pembangunan yang ada terdapat perbedaan
potensi kecamatan dalam satu wilayah pembangunan. Wilayah pembangunan Bogor Barat terdiri dari kecamatan-kecamatan yang berpotensi dalam sektor
pertanian. Sementara untuk wilayah pembangunan Bogor Timur terdiri dari kecamatan kecamatan yang sebagian berpotensi di sektor pertanian dan sebagian
lagi berpotensi pada sektor industri dan untuk Bogor Tengah terdiri dari kecamatan-kecamatan yang sebagian berpotensi pada sektor perdagangan dan
jasa, sebagian lagi berpotensi pada sektor industri. Sumber daya manusia di Kabupaten Bogor persebarannya juga yang tidak
merata antar kecamatan. Hal ini ditandai dengan kepadatan penduduk yang berbeda cukup tinggi yaitu di atas 5.000 jiwa per kilometer persegi di Kecamatan
Ciomas, Bojonggede dan Cibinong serta terendah di Kecamatan Tanjungsari dan
Jasinga yang kepadatannya kurang dari 500 jiwa per kilometer persegi. Banyak faktor yang menyebabkan persebaran penduduk ini tidak merata. Salah satunya
adalah keterkaitan manusia dengan lingkungan hidup yang ditempatinya, baik lingkungan fisik, sosial dan komponen keluarga, tetangga, organisasi sosial, serta
lingkungan budaya. Semua komponen ini amat berpengaruh dalam penyebaran penduduk dan pergerakan manusia untuk mencapai tujuan hidup yang
diidealkannya. Pengaruh potensi sosial ekonomi pada setiap kecamatan juga sangat berperan dalam mewujudkan terjadinya ketidakmerataan persebaran
penduduk. Bila ditelaah lebih lanjut kecamatan yang kepadatannya kurang dari 500
jiwa per kilometer persegi adalah kecamatan yang sebagian besar wilayahnya adalah daerah pertanian dan perkebunan. Pembangunan sarana dan prasarana
sosial ekonomi di daerah yang berpotensi pertanian ini masih dirasakan kurang memadai. Sementara di kecamatan yang padat penduduknya sarana dan prasarana
sosial ekonomi yang sebenarnya sudah memadai masih terus bertambah jumlahnya misalnya jumlah sarana kesehatan dan jumlah sarana perdagangan.
Tentunya akan sangat berarti bila dalam merencanakan pembangunan terlebih dahulu mengetahui potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi antar
kecamatan. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan lebih terarah sehingga merangsang
terciptanya pembangunan
yang berkelanjutan
sustainable development. Untuk itu perlu dibuat suatu pengelompokkan wilayah kecamatan
yang memiliki kesamaan potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi
sebagai suatu alternatif bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pembangunan.
1.2. Perumusan Masalah