batas-batas daerah formal berarti mengelompok dan unit-unit lokal yang mempunyai ciri-ciri serupa menurut kriteria tertentu dengan definisi yang jelas.
Namun berbeda secara nyata dengan unit-unit yang ada dikelompok lain sesuai dengan kriteria yang dipilih. Daerah formal yang didefinisikan seperti itu memang
tidak pernah homogen secara sempurna, tetapi haruslah homogen di dalam batas- batas tertentu yang didefinisikan secara jelas Vincentius, 1985.
Menurut Sjafrizal 2008, bila upaya pembangunan wilayah diarahkan untuk peningkatan kemakmuran masyarakatnya yang berarti meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia biasanya laju pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja cenderung akan bertumbuh lebih lambat dibandingkan bila
upayanya diarahkan untuk peningkatan kemakmuran wilayah. Hal ini terjadi karena upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat lebih
ditekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan manusia yang biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan
upaya pembangunan fisik wilayah. Sehingga pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja daerah cenderung menjadi lebih rendah yang
berimplikasi pada kinerja pembangunan daerah akan cenderung lebih lambat pula.
2.4. Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian Vincentius 1985 memperlihatkan bahwa dalam mengelompokkan wilayah Indonesia berdasarkan beberapa peubah sosial
ekonomi, telah terjadi keragamaan antar propinsi yang disebabkan oleh dua komponen yaitu pendapatan dan pengeluaran perkapita konsumsi kalori dan
protein serta fasilitas pelayanan kesehatan. Kemudian dengan menggunakan teknik pengelompokkan sidik jarak minimum D2 Mahalanobis didapatkan tiga
kelompok propinsi di Indonesia yang masing-masing mempunya ciri umum. Kelompok pertama terdiri dari 14 propinsi, kelompok kedua tujuh propinsi dan
kelompok ketiga lima propinsi. Berdasarkan adanya keragaman tersebut dibutuhkan suatu perencanaan pembangunan yang berbeda untuk tiap kelompok.
Penulis pun telah melakukan penelitian pengelompokkan wilayah di Kabupaten Bogor pada tahun 1999 berdasarkan peubah sarana-prasarana sosial
ekonomi dan sumber daya manusia, sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis faktor dan analisis cluster.
Hasil dari penelitian tersebut adalah ada lima faktor yang digunakan untuk pengelompokkan kecamatan di Kabupaten Bogor. Adapun kelima faktor tersebut
adalah faktor sarana pendidikan dan industri, faktor sarana sektor perdagangan, faktor sarana dan prasarana transportasi, faktor sumber daya manusia dan
prasarana kesehatan dan faktor produktivitas dan tenaga pelayanan kesehatan. Berdasarkan kelima faktor tersebut terbentuk sepuluh cluster kecamatan, dengan
melihat persamaan ciri yang ada antar cluster maka potensi wilayah Kabupaten Bogor dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu kelompok pertama
adalah kecamatan berpotensi bagus terdiri empat kecamatan, kelompok kedua adalah kecamatan yang berpotensi sedang non ekonomi terdiri dari 10
kecamatan, kelompok ketiga adalah kecamatan yang berpotensi sedang ekonomi terdiri dari 10 kecamatan sedang ekonomi terdiri dari enam kecamatan, dan
kelompok keempat adalah kecamatan yang berpotensi rendah terdiri dari 10 kecamatan.
Selanjutnya dalam penelitian kali ini dilakukan pengelompokkan wilayah di Kabupaten Bogor setelah adanya pemekaran wilayah sebagai bagian dari
dijalankannya otonomi daerah. Metode analisis yang digunakan masih sama dengan penelitian sebelumnya yaitu analisis faktor dan analisis cluster.
Penghitungan dilakukan dengan menggunakan Statistical Package for Social Sience SPSS 12 for Windows. Peubah yang mewakili sarana prasarana sosial
ekonomi yang digunakan kali ini dalam bentuk agregat dan sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya karena ada beberapa peubah yang sudah tidak lagi
berkorelasi, sehingga peubah tersebut diganti dengan peubah baru yang dianggap mewakili sarana prasarana sosial ekonomi dan berkorelasi cukup tinggi dengan
peubah yang lain.
2.5. Kerangka Pemikiran