Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Komisi Brundtland PBB 1987 mendefinisikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah model pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi masa kini maupun masa depan secara harmonis. Definisi ini membawa beberapa konsekuensi yang antara lain menuntut adanya kesadaran dan kemauan nasional untuk melaksanakan proses pembangunan agar berjalan seimbang dengan proses pelestarian kualitas lingkungan dan pembaharuan sumber daya agar dapat menjamin tercapainya pemerataan antar generasi dan tidak hanya sekedar mencapai sasaran material semata-mata atau pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga terpenuhinya aspirasi berbagai masyarakat. Sumber daya manusia, sumber daya alam, dan teknologi adalah tiga faktor pembangunan yang pokok. Sumber daya manusia adalah jumlah, komposisi, karakteristik dan persebaran penduduk. Sumber daya alam adalah semua sumber daya yang disediakan oleh alam meliputi sumber daya yang dapat diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui.

2.1.2. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Arsyad 1999 menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi daerah. Untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah tersebut dibutuhkan kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah endogenous development, dengan menggunakan potensi sumberdaya lokal. Untuk mencapai tujuan pembangunan daerah, kebijaksanaan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini perlu diusahakan karena potensi pembangunan yang dihadapi oleh masing-masing daerah sangat bervariasi. Karena itu, bila prioritas pembangunan daerah kurang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, maka sumber daya yang ada kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan tersebut mengakibatkan relatif lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dikatakan berjalan jika ditandai dengan adanya pertumbuhan ekonomi. Menurut Sjafrizal 2008 dalam konteks pembangunan ekonomi daerah maka konsep wilayah region digunakan sebagai representasi dari unsur ruang space yang diartikan sebagai suatu kesatuan ruang yang dikelompokkan berdasarkan unsur tertentu berupa kondisi sosial ekonomi maupun keterkaitan antar wilayah tergantung dari tujuan analisa. Berdasarkan beberapa unsur utama tersebut secara umum terdapat 4 bentuk wilayah, yaitu: a. homogeneous region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk dengan memperhatikan kesamaan karakteristik sosial ekonomi dalam wilayah yang bersangkutan; b. nodal region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk dengan memperhatikan keterkaitan sosial ekonomi yang erat antar daerah; c. planning region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk untuk tujuan perencanaan pembangunan; d. administrative region, yaitu kesatuan wilayah yang dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan dan kebutuhan administrasi pemerintahan. Sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah mewujudkan kemakmuran wilayah dan kemakmuran masyarakatnya. Kemakmuran wilayah adalah terwujudnya kondisi fisik daerah yang maju meliputi sarana dan prasarana perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas pelayanan sosial dibidang pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup dan lain-lainnya. Kemakmuran masyarakat adalah terwujudnya sumberdaya manusia yang berkualitas baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan. Guna tercapainya tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus bersama- sama mengambil inisiatif memanfaatkan seluruh potensi yang ada secara optimal dalam membangun daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Teori-teori pembangunan daerah banyak membahas penggunaan alat analisis dan metode statistik dalam menganalisis perekonomian suatu daerah serta teori tentang berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Todaro 2000 mengatakan bahwa ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi. Pertama, akumulasi modal yang meliputi semua bentuk dan jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia. Kedua, pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya dengan sendirinya membawa pertumbuhan angkatan kerja dan ketiga adalah kemajuan teknologi. Kemudian Jhingan 1999 mengatakan bahwa suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada yang telah dicapai pada masa sebelumnya. Artinya perkembangan baru tercipta apabila jumlah barang dan jasa yang dihasilkan tingkat output dalam perekonomian tersebut menjadi bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya. Menurut Syafrizal 2008, teori pertumbuhan ekonomi daerah digunakan untuk menjelaskan cepat-lambatnya suatu daerah mengalami pertumbuhan dan terjadinya ketimpangan antar wilayah. Ada empat model yang dihasilkan dari teori yang berkembang selama ini. Pertama, model basis ekspor ekspor base models yang dipelopori oleh Douglas C. North pada tahun 1956. Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Bila daerah yang bersangkutan dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis untuk ekspor, maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan akan dapat ditingkatkan. Kedua, model interregional income, dikembangkan oleh Harry W. Richardson menggunakan alur pemikiran ala Keynes. Ekspor diasumsikan sebagai faktor yang berada dalam sistem yang ditentukan oleh perkembangan kegiatan perdagangan antar wilayah yang terdiri atas barang konsumsi dan barang modal serta dimasukkan pula unsur pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah dan kegiatan investasi. Ketiga, model neo classic yang dipelopori oleh George H. Bort 1960. Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut utuk meningkatkan kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerahnya, tetapi juga ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah. Keempat, model penyebab berkumulatif cumulative causation models. Teori ini dipelopori oleh Nikolas Kaldor pada tahun 1970. Menurut model ini, ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat dikurangi melalui program pemerintah. Bagaimanapun pemerintah perlu melakukan campur tangan secara aktif dalam bentuk program pembangunan wilayah, terutama untuk daerah yang tergolong masih terbelakang.

2.2 Ketimpangan Pembangunan