Pembangunan Wilayah Analisis dampak pemekaran wilayah terhadap pengelompokkan kecamatan berdasarkan beberapa peubah sosial ekonomi di Kabupaten Bogor Tahun 2008

pembangunan dan hasil-hasilnya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor ketidaksetaraan anugrah awal diantara pelaku-pelaku ekonomi. Kondisi ini disebabkan adanya ketidaksamaan sumber daya alam, kapital, keahlian, bakat atau potensi atau sarana dan prasarana antar daerah. Kedua, strategi pembangunan yang lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan tanpa pernah menetapkan target mengenai tingkat kemerataan. Ketimpangan pembangunan juga dijelaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2004-2009. Ketimpangan pembangunan antar wilayah ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan.

2.3. Pembangunan Wilayah

Sebelum menentukan kebijakan pembangunan wilayah terlebih dahulu perlu ditetapkan pengelompokkan wilayah pembangunan dengan memperhatikan kondisi dan potensi wilayah tersebut agar penetapan kebijakan pembangunan wilayah tersebut menjadi lebih operasional dan terarah. Menurut Sugandhy 1984 kebijaksanaan pembangunan dengan pendekatan perwilayahan akan mempunyai beberapa amanat salah satu diantaranya adalah untuk mengetahui potensi dan faktor-faktor pembatas yang ada pada setiap wilayah. Pengembangan wilayah merupakan suatu cara pendekatan dalam meratakan segala aspek sosial ekonomi dalam kaitannya dengan perataan ruang wilayah sebagai wadah keterpaduan program-program pembangunan yang sangat diperlukan baik dalam skala makro maupun mikro. Menurut Sjafrizal 2008 penetapan wilayah pembangunan dapat dilakukan dengan memperhatikan 4 aspek utama yaitu : 1. kesamaan kondisi, permasalahan dan potensi umum wilayah, sosial dan geografi. Bila aspek ini dijadikan pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah pembangunan maka wilayah tersebut dikategorikan sebagai homogenous region. Aspek ini sangat penting agar kebijakan dapat ditetapkan sesuai dengan kondisi dan potensi utama wilayah yang bersangkutan; 2. keterkaitan yang erat antara daerah-daerah yang tergabung dalam wilayah pembangunan yang bersangkutan. Hal ini diketahui melalui data tentang kegiatan perdagangan antar daerah dan mobilitas penduduk. Bila aspek ini dijadikan pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah pembangunan maka wilayah tersebut dikategorikan sebagai nodal region. Aspek ini sangat penting agar kebijakan yang ditetapkan dapat mendorong keterpaduan dan sinergi pembangunan antar daerah dalam wilayah yang bersangkutan; 3. kesamaan karakteristik geografis antar daerah-daerah yang tergabung dalam wilayah pembangunan tersebut. Meliputi jenis daerah, kesuburan, kesesuaian lahan dan potensi sumber daya alam. Bila aspek ini dijadikan pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah pembangunan maka wilayah tersebut dikategorikan sebagai Wilayah Fungsional. Aspek ini sangat penting agar kebijakan yang ditetapkan akan dapat didukung oleh kondisi geografis dan potensi sumber daya alam; 4. kesatuan wilayah administrasi pemerintahan yang tergabung dalam wilayah pembangunan yang bersangkutan. Bila aspek ini dijadikan pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah pembangunan maka wilayah tersebut dikategorikan sebagai Wilayah Perencanaan Planning Region. Aspek ini sangat penting agar kebijakan yang ditetapkan dapat terjamin pelaksanaannya karena sesuai dengan kewenangan yang dimiliki sehingga dapat dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan. John Glasson dalam bukunya Pengantar Perencanaan Regional yang diterbitkan pada tahun 1977 menyatakan pemecahan persoalan kemerosotan ekonomi dapat mencakup penentuan batas-batas formal dengan menggunakan kriteria tertentu yang relevan dan pemecahan persoalan yang terlampau banyak dapat mencakup penentuan batas-batas daerah fungsional. Pada saat data yang memadai tidak tersedia dapat digunakan cara pendekatan intuitif yang bersifat kualitatif tetapi pendekatan ini cenderung membuat batas-batas daerah menjadi sangat kabur. Hal ini membuat orang beralih pada pendekatan yang lebih kuantitatif mengenai identifikasi daerah. Selanjutnya dikatakan bahwa penentuan batas-batas daerah formal berarti mengelompok dan unit-unit lokal yang mempunyai ciri-ciri serupa menurut kriteria tertentu dengan definisi yang jelas. Namun berbeda secara nyata dengan unit-unit yang ada dikelompok lain sesuai dengan kriteria yang dipilih. Daerah formal yang didefinisikan seperti itu memang tidak pernah homogen secara sempurna, tetapi haruslah homogen di dalam batas- batas tertentu yang didefinisikan secara jelas Vincentius, 1985. Menurut Sjafrizal 2008, bila upaya pembangunan wilayah diarahkan untuk peningkatan kemakmuran masyarakatnya yang berarti meningkatkan kualitas sumberdaya manusia biasanya laju pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja cenderung akan bertumbuh lebih lambat dibandingkan bila upayanya diarahkan untuk peningkatan kemakmuran wilayah. Hal ini terjadi karena upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat lebih ditekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan manusia yang biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan upaya pembangunan fisik wilayah. Sehingga pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja daerah cenderung menjadi lebih rendah yang berimplikasi pada kinerja pembangunan daerah akan cenderung lebih lambat pula.

2.4. Penelitian Sebelumnya